Selasa, 14 Mei 2013

PYPD - 1. Resiko Mengkafirkan Kaum Muslimin



Oleh Prof. DR. Sayyid Muhammad Alawi Abbas Al-Maliki

 
Prof. DR. Sayyid Muhammad Alawi Abbas Al-Maliki

 

KATA PENGANTAR

Kitab berjudul مفاهيم يجب ان تصحح  [ Terj. Pemahaman --salah/menyimpang-- yang Perlu Diluruskan]**), karya Prof. DR. Sayyid Muhammad Alawi Abbas Al-Maliki Al-Hasaniy, merupakan kitab penting yang perlu dibaca oleh kaum muslimin yang mengaku dirinya sebagai pengikut setia faham Ahlussunnah Waljama’ah ala NU, agar dijadikan sebagai pedoman, pegangan dan benteng aqidah yang lurus untuk menangkis berbagai pemahaman keagamaan (aqidah) yang selama ini dipahami secara keliru oleh segelintir “santri baru” Salafi Wahabi dan gerombolannya, sehingga kaum muslimin “selamat” dari ketersesatan aqidah dan tidak mudah melontarkan tuduhan syirik, bid’ah, kafir, munafiq dan semisalnya kepada sesama saudara muslim yang nantinya justru berujung pada rusaknya aqidah dan ukhuwwah islamiyah.

Mengingat pentingnya persoalan tersebut, kami akan mempublikasikan hasil terjemahan terhadap kitab tersebut secara lengkap di blog ini secara bersambung.

Kami persilahkan para sahabat dan siapa saja yang membutuhkannya untuk mengkopi, memanfaatkan, dan menyebarluaskannya kepada kaum muslimin demi tegaknya aqidah Ahlussunnah Waljama’ah di muka bumi dan terciptanya kehidupan yang aman, tentram, saling menghormati dan penuh toleransi, baik dalam kehidupan beragama, bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Asalkan disertai dengan menyebutkan sumber pengambilannya dan tidak digunakan untuk mencari keuntungan duniawi.

Akhirul kalam. Kami menyadari bahwa al-insanul mahallul khotho` wan nis-yan. Karenanya, sumbang saran, nasehat, pembetulan dan kritik yang konstruktif sangat diharapkan demi kesempurnaan postingan ini di masa mendatang. (Pentjm.)

  ________________________________________

 

 

RESIKO MENGKAFIRKAN SESAMA MUSLIM



Kebanyakan orang melakukan kesalahan dalam memahami hakekat sebab-sebab yang dapat mengeluarkan pelakunya dari ruang lingkup agama Islam, dan ia wajib dihukumi kafir. Anda dapat menyaksikan orang-orang yang mudah menuduh “kafir” seorang muslim hanya disebabkan dia berbeda pendapat dengannya, sehingga dengan pengkafiran tersebut jumlah kaum muslimin secara kuantitatif di seluruh dunia akan tinggal sedikit. Kami husnuzhan ( berbaik sangka ) kepada mereka yang suka mengkafirkan itu adalah lebih didasari oleh niat yang baik, yakni ingin melaksanakan kewajiban amar ma’ruf dan nahi munkar . Akan tetapi mereka lupa bahwa kewajiban beramar ma’ruf dan nahi munkar tersebut seharusnya dilakukan dengan cara yang bijaksana (bil hikmah) dan dengan nasehat yang baik (wal mau’izhatul hasanah). Kalaupun akan dilakukan dengan metode diskusi dan dialog (mujadalah), hendaklah dilakukan dengan cara yang baik lagi sopan, sebagaimana yang telah diperintahkan Allah dalam Al-Qur’an surat An-Nahl, [16] : 125
ادْعُ إِلَى سَبِيلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ وَجَادِلْهُمْ بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ
“Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan nasehat  pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik.”

Apabila Anda ingin mengajak seseorang agar melaksanakan shalat, menunaikan perintah-perintah Allah swt, menjauhi semua larangan-Nya, menyebarluaskan dakwah islamiyah, membangun masjid dan lembaga-lembaga pendidikan Islam seperti sekolah pesantren, dan lain-lain, sampai pada persoalan yang menurut pandangan Anda merupakan suatu kebenaran, sedangkan menurut pandangan orang lain bukanlah suatu kebenaran, disebabkan para ulama dalam persoalan ini berbeda pendapat, kemudian orang yang tidak setuju dengan pendapat Anda tersebut, lalu Anda tuduh kafir hanya karena berbeda pendapat dengan anda, maka Anda benar-benar telah melakukan kemungkaran yang besar.

 Al-‘Allamah al-Imam Sayyid Ahmad Masyhur al-Haddad mengatakan:

“Telah disimpulkan adanya kesepakatan di kalangan para ulama Ahlussunnah wal Jamaah tentang larangan mengkafirkan seorang ahli kiblat (muslim), kecuali terhadap seseorang yang benar-benar atheis yang mengingkari adanya Allah swt, atau yang secara jelas melakukan perbuatan syirik tanpa perlu ditakwili lagi, atau mengingkari keberadaan para Nabi dan Rasul, atau mengingkari prinsip-prinsip ajaran Islam yang bernilai qath’iy (dogmatik), atau mengingkari kemutawatiran suatu hadis Nabi saw, atau mengingkari ajaran Islam yang sudah disepakati (ijmak) kepastiannya”

Prinsip-prinsip ajaran Islam yang bernilai dogmatik (qath’iy), antara lain ajaran tentang tauhid (Keesaan Allah), kenabian, keparipurnaan Risalah dengan diutusnya Nabi Muhammad saw, adanya kebangkitan dari kematian (yaumul ba’ts) pada hari kiamat nanti, hisab (penghitungan amal), pembalasan amal, kepastian adanya surga dan neraka. Maka menjadi kafir-lah orang yang mengingkari prinsip-prinsip ajaran Islam tersebut.

Hadis mutawatir adalah hadis yang diriwayatkan oleh sekelompok orang yang tidak mungkin bersepakat untuk melakukan kebohongan daripada sekelompok orang yang semisal dengan mereka. Tingkat kemutawatiran suatu hadis ada kalanya ditentukan oleh  segi isnad, seperti hadis Nabi saw berikut :

من كـذب  عليّ مـتـعمـدا  فـلـيتـبوّء مقـعد ه مـن الـنـار
Barangsiapa yang berdusta atas namaku, maka hendaklah dia menduduki tempat duduknya di neraka
Dari sudut isnad-nya, hadis  mutawatir tersebut diriwayatkan oleh para rawi (periwayat hadis) yang tidak mungkin bersepakat melakukan kebohongan. Dan ada kalanya ditentukan oleh segi thabaqat-nya (lapisan), yakni sekelompok rawi dalam setiap thabaqat atau lapisan, cukup banyak jumlahnya. Misalnya pada thabaqat atau lapisan pertama yang terdiri dari para rawi kalangan sahabat yang secara langsung meriwayatkan hadis dari Rasulullah saw . Kemudian disusul sekelompok rawi pada lapisan kedua yang terdiri dari para rawi kalangan tabi’in yang meriwayatkan hadis dari para sahabat Nabi. Dan seterusnya sampai pada lapisan atau   thabaqat terbawah.
Kemutawatiran hadis dari segi thabaqat ini adalah seperti kemutawatiran Al-Qur’an, disebabkan hadis tersebut diriwayatkan secara merata oleh lapisan masyarakat luas, baik di daerah timur maupun barat, baik mengenai isi ajarannya, bacaannya, maupun lafazhnya, serta mempertemukan dari lapisan satu ke lapisan berikutnya, sehingga tidak diperlukan lagi adanya pengkajian, penelitian terhadap isnadnya.
 Dan terkadang pula bahwa kemutawatiran atau keterurutan dan kontinyuitas suatu hadis adalah dalam segi pengamalan dan pewarisan tradisi, seperti keterurutan suatu amal perbuatan dan tradisi mulai dari masa hidup Rasulullah saw sampai sekarang, atau keterurutan dalam ilmu pengetahuan seperti mutawatirnya hadis tentang mukjizat Nabi, meskipun secara detailnya sebagian hadis tersebut adalah pada derajat Hadis Ahad  (yakni suatu hadis shahih yang tidak sampai pada derajat hadis mutawatir), akan tetapi bertemu pada titik persamaan isinya, sehingga bernilai mutawatir secara qath’iy (pasti kebenarannya) di dalam pengetahuan setiap muslim.
Menuduh dan menghukumi seorang muslim dengan tuduhan kafir di luar kategori yang sudah dijelaskan di atas adalah sangat berbahaya dan gawat. Dalam sebuah hadis, Rasulullah saw bersabda :
إذا قال الرجل لأخيه يا كافر فقد باء بها أحدهما
Barangsiapa yang mengatakan kepada saudaranya : “Hai si Kafir”, maka kembalilah hukum kafir tersebut pada salah satu di antara keduanya”. (HR Bukhari, dari Abu Hurairah ra).
Maksudnya, jika yang dipanggail itu benar-benar kafir, maka hal itu tidak jadi masalah. Namun jika yang dipanggil dengan kata “si Kafir”  tersebut – menurut pandangan Allah – bukan orang kafir, maka orang yang memanggilnya atau menuduhnya demikian  itulah yang kafir.
Tuduhan tersebut tidak dibenarkan diucapkan kecuali oleh orang yang dengan pancaran syari’at telah mengetahui tempat masuk-nya kedalam atau keluar-nya dari kekafiran seseorang, serta mengetahui batas-batas  pembeda antara kekufuran dan keimanan seseorang  menurut ukuran syari’at Islam. Oleh karenanya, seseorang tidak boleh melibatkan diri dalam persoalan ini, lalu saling kafir mengkafirkan orang lain lebih atas dasar khayalannya, rekayasa atau persangkaan semata, dan bukan atas dasar keyakinan dan ilmu yang benar. Misalnya mengkafirkan seseorang hanya disebabkan oleh perbuatan maksiatnya, padahal orang tersebut masih memiliki keimanan yang lurus dan masih berpegang teguh pada dua kalimat syahadat.
Sebuah hadis dari Anas bin Malik ra, bahwa Rasulullah saw bersabda:
ثلاث من أصل الإيمان : الكفء عمن قال لا إله إلا الله لا نكفره بذنب ولا نخرجه عن الإسلام بالعمل, والجهاد ماض منذ بعثني الله إلى أن يقاتل آخر أمتي الدجال لا يبطله جور جائر و لا عدل عادل و الإيمان بالأقدار
Tiga hal yang menjadi prinsip keimanan : 1) menghindarkan diri dari orang yang mengucapkan La ilaha illallah, dan kami tidak mengkafirkan orang tersebut disebabkan amal perbuatannya;  2) jihad itu berlaku terus sejak Allah swt mengutusku sampai umatku yang terakhir memerangi Dajjal. Jihad ini tidak dapat dibatalkan oleh kelalimannya orang yang zhalim dan keadilannya orang yag berbuat adil;  3) Meyakini takdir Allah “ (HR Abu Dawud).
Oleh karena itu, kami memperingatkan agar jangan sampai kalian mudah mengkafirkan seseorang bukan pada tempatnya, disebabkan resikonya sangat besar.


Kalo antum nuduh tahlilan syirik,dan tuduhan antum salah
bisa2 antum sendiri yang justru menjadi musyrik.


  _________________________

Ket.
**) Pemahaman --"salah/menyimpang"-- Yang Perlu Diluruskan, untuk selanjutnya disingkat "PYPD"  


Tawassul




Oleh KH Ali Ma’shum

PENGERTIAN
Kata Tawassul  berasal dari bahasa Arab “التوسل” artinya memakai perantara. Jadi Doa dengan cara tawassul adalah memohon kepada Allah  dengan perantaraan sesuatu. Sedangkan  sesuatu yang dipakai perantara itu disebut dengan Wasilah.

RAHASIA DAN LATAR BELAKANG TAWASSUL
Syaikh Abu Saif Al-Hammamiy, salah seorang Ulama Al-Azhar, menyatakan bahwa terdapat sekelompok orang yang mengatakan bahwa tawassul itu hukumnya musyrik (membawa kekafiran), dan karenanya maka orang yang bertawassul dengan Nabi dan para wali Allah telah menjadi halal darahnya.
Lebih lanjut Abu Saif Al-Hammamiy mengatakan bahwa orang yang bertawassul itu sama sekali tidak beri’tiqad, bahkan terlintas dalam hatinya bahwa Nabi dan para Wali yang ditawassuli itu tempat tujuan akhir  memohon, melainkan mereka yakin bahwa hanya Allah belaka yang mengabulkan permohonan. Demikianlah sesungguhnya keyakinan yang ada dalam benak hati orang-orang yang tawassul. Siapa saja, kapan saja, dan dimana saja.
Jika kita mau membaca diri sendiri, maka akan mengetahui bahwa diri kita ini penuh dosa, maksiat, dan kelaliman. Dan ini semua mengakibatkan terhalangnya pengabulan pengabdian kita. Dan karena doa itu termasuk pengabdian (ibadah), maka doapun akan tidak terkabulkan karena Allah berfirman :
...... إِنَّمَا يَتَقَبَّلُ اللَّهُ مِنَ الْمُتَّقِيْنَ
“ …… sesungguhnya Allah hanya menerima (pengabdian) dari orang-orang yang bertakwa”. (QS. Al- Maidah : 27)
Oleh Karena itu, maka selayaknya jika dalam mengajukan suatu permohonan perlu memakai perantara orang-orang yang dekat kepada Allah, yaitu para Nabi, Waliyullah, Ulama, dan Orang-orang yang Sholih. Sebab merekalah orang-orang yang paling berhak memperoleh kenikmatan dari Allah dan permohonannya selalu dikabulkan.
Dengan begitu, maka Tawassul itu sesungguhnya adalah salah satu cara yang lebih etis/sopan serta luwes dalam mengajukan suatu permohonan kepada Allah, Zat yang Maha Suci dan Maha Agung.
Allah adalah Maha Pengasih, Maha Penyayang, dan Maha Mengabulkan permohonan. Sedangkan manusia sebagai makhluk sudah pasti mempunyai aturan, sopan santun dan tata krama sendiri dalam upaya mendapatkan kemurahan tersebut. Memanglah kesopanan dan tata krama hanya dilakukan oleh orang yang mau sopan, tahu adab dan tidak sombong.
Dalam kenyataannya hampir seluruh anugerah Allah yang dicurahkan kepada makhlukNya itu pasti dengan perantaraan sesuatu. Obat menjadi perantara datangnya kesembuhan. Ulama / guru menjadi wasilah datangnya ilmu. Orang kaya menjadi wasilah datangnya rezeki Allah. Dan lain-lain. Semua itu sebagai wasilah. Sedangkan sumber pertama adalah Allah. Demikian pula dalam masalah doa, anugerah Allah yang wujudnya keterkabulan itu datangnya dengan wasilah para Nabi, Ulama dan Sholihin.

BENTUK TAWASSUL.
Tawassul itu bentuknya ada 2 ( dua ) macam :
1. Tawassul dengan orang lain. Tawassul bentuk ini ada 2 ( dua ) macam, yaitu ;
a). Meminta tolong kepada orang lain agar orang itu     memohonkan     sesuatu yang kita kehendaki kepada Allah. Hal ini telah terjadi pada zaman Nabi Muhammad SAW. Sebagaimana dinyatakan dalam ayat :
“ ……Dan kalaulah mereka telah berbuat lalim atas diri mereka, lalu datang kepadamu (Muhammad) untuk memohon ampunan kepada Allah, dan Rasulpun memohonkan ampun buat mereka, niscaya akan mereka dapati Allah Maha Penerima taubat dan Maha Penyayang “. (QS. An-Nisa : 64 )
Ayat ini dengan jelas mengajarkan kita untuk bertawassul. Dalam hal ini meminta tolong kepada Rasul agar beliau memohonkan ampun buat kita kepada Allah.
b.) Memohon kepada Allah dengan perantara / tawassul keagungan derajat  orang lain di sisi Allah. Misalnya membaca Shalawat Badar ; adalah memohonkan rahmat Nabi dengan perantaraan keagungan sahabat pahlawan Badar (Bi ahli Badri Ya Allah). Dalam suatu Hadits Nabi mengajarkan kepada seseorang yang buta dan ingin memohon agar sembuh dari butanya. Doa tersebut adalah memakai tawassul,  yaitu :
اَلّلهُمَّ إِنِّي أَسْأَلُكَ وَأَتَوَجَّهُ إِلَيْكَ بِنَبِيِّكَ مُحَمَّدٍ نَبِيِّ الرَّحْمَةِ، يَامحَمَّدُ إِنِّي تَوَجَّهْتُ بِكَ إِلَى رَبِّى فِى حَجَتِي هَدِهِ لِتَقْضِيَ، اَلّلهُمَّ فَشَفِّعْهُ فِيَّ. ( رواه الترمذى وغيره)

Ya Allah sesungguhnya aku memohon kepadaMu dan menghadap kepadaMu dengan perantaraan NabiMu, Muhammad Nabi Rahmah, Ya Muhammad sesungguhnya aku menghadap kepada Tuhanku dengan perantaraan engkau dalam hajatku ini agar engkau penuhi, Ya Allah Syafa’atkanlah dia buatku “. ( Riwayat At-Turmudzi, An-Nasa’i, Baihaqi, dan Thabarani).
Setelah selesai berdoa, maka sembuhlah penyakitnya dan bisa melihat seperti sedia kala. Demikian ajaran Nabi untuk tawassul.

2.    Tawassul dengan amal kebaikani. Hal ini berdasarkan sebuah hadits riwayat Bukhari dan Muslim. Haditsnya terlalu panjang untuk kita kutip di sini. Inti ceritanya sebagai berikut : “ Ada tiga ( 3 ) orang tertidur di dalam gua. Gua tersebut lalu pintunya tertutup. Dengan Tawassul amal kebaikan orang bertiga tersebut, ternyata dalam waktu singkat doanya terkabul dan pintu gua pun terbuka. ( Hadts ini termaktub juga dalam kitab syarah Hadits Dalilul Falihin Juz I, hal. 71 – 77 )

PRAKTEK PELAKSANAAN TAWASSUL
Pada dasarnya tawassul itu dilaksanakan dalam rangka mencari / menempuh jalan untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT. Sebagaimana firmanNya :
يَا أَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوْا اتَّقُوْا اللَّهَ وَابْتَغُوْا  إِلَيْهِ الْوَسِيْلَةَ ....
Wahai orang-orang yang beriman bertakwalah kamu kepada Allah dan carilah wasilah ( = jalan untuk mendekatkan ) kepada Allah …..”. ( QS. Al Maidah : 35 )
Ayat ini memerintahkan agar kita bertakwa dan mencari wasilah kepadaNya.

Dalam sejarah perjalanan Islam, tawassul selalu dilakukan oleh para Ulama, bahkan oleh Nabi dan sahabat beliau.
1. Rasulullah pernah tawassul dengan hak Sa-iliin (pemohon kepada Allah) dan hak perjalanan beliau sendiri. Yaitu beliau berdoa :
 اَلّلهُمَّ إِنِّي أَسْأَلُكَ بِحَقِّ السَّا ئِلِيْنَ لَكَ أَسْأَلُكَ بِحَقِّ مَمْشَايَ هَذَا إِلَيْكَ (رواه أحمد وغيره)       
Ya Allah kami memohon kepadaMu dengan tawassul pada hak para pemohon kepadaMu dan hak perjalanan kami ini…..”. (HR. Ahmad, Baihaqi, Thabrani ).
Beliau mendoakan pada jenazah Ummu Fathimah dan tawassul dengan para Nabi sebelum beliau :
إِغْفِرْ ِلأُمَّ فَاِطمَةِ بِنْتِ أَسَدٍ وَوَسِّعْ عَلَيْهَا مَدْخَلَهَا بِحَقِّ نَبِيِّكَ وَاْلأِ نْبِيَاءِ اّلَذِيْنَ مِنْ قَبْلِي ( رواه الطبراني وصححه إبن حبّان)
Ampunilah (dosa) Ummu Fathimah binti Asad dan luaskanlah tempatnya, dengan tawassul pada Nabi-Mu dan para Nabi sebelum aku “. ( Riwayat Ath-Thabrani, dan dinyatakan Shahih oleh Ibnu Hibban dan Al-Hakim, dari Anas bin Malik )
2.  Sahabat Umar pernah tawassul dengan Sayidina Abbas. Sebagaimana diriwayatkan oleh Bukhari :

إِنَّ عُمَرَاْبنَ الْخَطَّاب كَانَ إِذَا قحَطْوَا إِسْتَسْقَى بِاْلعَبَّاسِ بن عبدِ المُطَّلِب، فَقَالَ :اَلّلهُمَّ كُناَّ نَتَوَسَّلُ إِلَيْكَ بِنَبِيِّنَا وإنَا نَتَوَسَّلُ إِلَيْكَ بِعَمِّ بِنَبِيِّنَا فَاسْقِنَا – فَيَسْقَوْنَ. (رواه البخاري) 
Sesungguhnya Umar bin Khathab bila terjadi kemarau panjang memohon hujan dengan tawassul pada Saiyidina Abbas bin Abdul Mutholib dan doanya : Ya Allah, kami memohon kepadaMu dengan tawassul pada Nabi kami maka turunkanlah hujan dan tawassul dengan paman Nabi kami maka, turunkanlah hujan. Maka hujanpun turun dengan deras “. (HR. Bukhari ).
3.   Imam Syafi’i suka berziarah ke makam Imam Hanafi dan tawassul dengannya.
4.    Imam Hambali berziarah ke makam Imam Syafi’i  dan tawassul dengannya.
5.   Imam Abu Hasan Asy-Syazili menganjurkan agar tawassul dengan Imam Al-Ghozali bila  mempunyai hajat.
6.   Syaikh Al-Bakri bin Muhammad Syatha’ –penyusun kitab ‘I’anatuth thalibin- bertawassul dengan Rasulullah.
7.    Imam Abdul Rauf Al-Manawi, pengarang Faidhul Qadir kitab syarah hadts Al-Jamiush Shaghir, bertawassul dengan Rasulullah.
8.   Syaikh Tharabulusi, pengarang kitab Tauhid Al-Husunul Hamidiyah, bertawassul dengan Zat Allah, sifat Allah, dan Asma Allah serta Ruhaniyyah Rasulullah.
9.   Para Ulama dan Kyai di Indonesia semuanya hampir ahli ziarah kubur dan bertawassul dengan Rasulullah, waliyullah, dan para Ulama yang telah meninggal dunia.
10. Shalawat Badar yang biasa di baca oleh kaum Muslimin Indonesia adalah merupakan tawassul dengan para Syuhada’ Badar (Bi Ahlil Badri Ya Allah).

Melihat data tersebut, jika benar bahwa tawassul itu hukumnya musyrik sebagaimana yang didakwahkan oleh sekelompok orang, maka berarti Rasulullah, para sahabat, dan para Ulama tersebut semuanya masuk neraka. Sebab musyrik itu merupakan dosa besar yang tidak bisa diampuni. Lalu, siapa gerangan yang akan masuk sorga?. Adakah surga yang seluas langit dan bumi itu hanya disediakan untuk beberapa gelintir manusia yang memusyrikkan tawassul ?

TAWASSUL DENGAN ORANG MATI
Melihat uraian di atas, maka diketahui bahwa tawassul dapat dilakukan dengan orang-orang yang dekat pada Allah, baik yang masih hidup maupun yang sudah meninggal dunia.
Apabila berwasilah itu dengan Rasulullah, maka ada sebuah Hadits yang menyatakan bahwa para Nabi itu masih tetap hidup setelah dikubur, bahkan melakukan shalat. Bunyi Haditsnya :
اْلأَ نْبِيَاءُ أَحْيَاءٌ فِى قُبُوْرِهِمْ يُصَلُّوْنَ (رواه البيهقى)

“ Para Nabi adalah masih tetap hidup di kubur mereka dan melakukan shalat “. (Riwayat Al-Baihaqi)
Apabila berwasilah itu dengan para Ulama dan Shalihin, maka dinyatakan suatu ayat bahwa mereka tetap hidup setelah matinya dan mendapat kenikmatan dari Allah :
وَلاَ تَحْسَبَنَّ الَّذِيْنَ قُتِلُوْا فِي سَبِيْلِ اللَّهِ أَمْوَاتًا,  بَلْ أَحْيَاءٌ عِنْدَ رَبِّهِمْ يُرْزَقُوْنَ  
Dan janganlah kamu mengira bahwa orang-orang yang mati di jalan Allah itu mati, melainkan mereka hidup di sisi Tuhannya dengan memperoleh rezeki “.
(QS. Ali Imran : 169 )
Ayat ini menyatakan bahwa orang mati di jalan Allah, atau orang mati dalam keadaan Shalih pada hakekatnya tetap hidup. Sudah barang tentu hidupnya bukan di alam dunia lagi tetapi di alam Barzah. Mereka mendapat kenikmatan dan keutamaan di sana termasuk keutamaan mereka adalah mampu digunakan sebagai wasilah
Disamping itu, Mazhab empat telah sepakat memperbolehkan tawassul dengan orang-orang Sholih, baik yang masih hidup maupun yang sudah meninggal dunia. Bahkan menganjurkan untuk melakukannya. Ulama Salaf dan Khalaf dari Ahlilmadzhab empat,  Madzahibil Arba’ah mensunnahkan bagi penziarah ke makam Nabi agar memohon syafa’at dan tawassul dengan Nabi. sebagai berikut :
يَارَسُوْلَ اللهِ إِنِّي قَدْ جِئْتَكَ مُسْتَغْفِرًامِنْ ذَنْبِى مُتَشَفِّعًا بِكَ إِلَى رَبِّى
Ya Rasulullah sesungguhnya aku datang menghadap engkau seraya memohon syafa’atmu guna memohon ampun kepada Tuhanku dari dosaku”.