Tampilkan postingan dengan label pengkafiran. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label pengkafiran. Tampilkan semua postingan

Selasa, 14 Mei 2013

PYPD - 1. Resiko Mengkafirkan Kaum Muslimin



Oleh Prof. DR. Sayyid Muhammad Alawi Abbas Al-Maliki

 
Prof. DR. Sayyid Muhammad Alawi Abbas Al-Maliki

 

KATA PENGANTAR

Kitab berjudul مفاهيم يجب ان تصحح  [ Terj. Pemahaman --salah/menyimpang-- yang Perlu Diluruskan]**), karya Prof. DR. Sayyid Muhammad Alawi Abbas Al-Maliki Al-Hasaniy, merupakan kitab penting yang perlu dibaca oleh kaum muslimin yang mengaku dirinya sebagai pengikut setia faham Ahlussunnah Waljama’ah ala NU, agar dijadikan sebagai pedoman, pegangan dan benteng aqidah yang lurus untuk menangkis berbagai pemahaman keagamaan (aqidah) yang selama ini dipahami secara keliru oleh segelintir “santri baru” Salafi Wahabi dan gerombolannya, sehingga kaum muslimin “selamat” dari ketersesatan aqidah dan tidak mudah melontarkan tuduhan syirik, bid’ah, kafir, munafiq dan semisalnya kepada sesama saudara muslim yang nantinya justru berujung pada rusaknya aqidah dan ukhuwwah islamiyah.

Mengingat pentingnya persoalan tersebut, kami akan mempublikasikan hasil terjemahan terhadap kitab tersebut secara lengkap di blog ini secara bersambung.

Kami persilahkan para sahabat dan siapa saja yang membutuhkannya untuk mengkopi, memanfaatkan, dan menyebarluaskannya kepada kaum muslimin demi tegaknya aqidah Ahlussunnah Waljama’ah di muka bumi dan terciptanya kehidupan yang aman, tentram, saling menghormati dan penuh toleransi, baik dalam kehidupan beragama, bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Asalkan disertai dengan menyebutkan sumber pengambilannya dan tidak digunakan untuk mencari keuntungan duniawi.

Akhirul kalam. Kami menyadari bahwa al-insanul mahallul khotho` wan nis-yan. Karenanya, sumbang saran, nasehat, pembetulan dan kritik yang konstruktif sangat diharapkan demi kesempurnaan postingan ini di masa mendatang. (Pentjm.)

  ________________________________________

 

 

RESIKO MENGKAFIRKAN SESAMA MUSLIM



Kebanyakan orang melakukan kesalahan dalam memahami hakekat sebab-sebab yang dapat mengeluarkan pelakunya dari ruang lingkup agama Islam, dan ia wajib dihukumi kafir. Anda dapat menyaksikan orang-orang yang mudah menuduh “kafir” seorang muslim hanya disebabkan dia berbeda pendapat dengannya, sehingga dengan pengkafiran tersebut jumlah kaum muslimin secara kuantitatif di seluruh dunia akan tinggal sedikit. Kami husnuzhan ( berbaik sangka ) kepada mereka yang suka mengkafirkan itu adalah lebih didasari oleh niat yang baik, yakni ingin melaksanakan kewajiban amar ma’ruf dan nahi munkar . Akan tetapi mereka lupa bahwa kewajiban beramar ma’ruf dan nahi munkar tersebut seharusnya dilakukan dengan cara yang bijaksana (bil hikmah) dan dengan nasehat yang baik (wal mau’izhatul hasanah). Kalaupun akan dilakukan dengan metode diskusi dan dialog (mujadalah), hendaklah dilakukan dengan cara yang baik lagi sopan, sebagaimana yang telah diperintahkan Allah dalam Al-Qur’an surat An-Nahl, [16] : 125
ادْعُ إِلَى سَبِيلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ وَجَادِلْهُمْ بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ
“Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan nasehat  pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik.”

Apabila Anda ingin mengajak seseorang agar melaksanakan shalat, menunaikan perintah-perintah Allah swt, menjauhi semua larangan-Nya, menyebarluaskan dakwah islamiyah, membangun masjid dan lembaga-lembaga pendidikan Islam seperti sekolah pesantren, dan lain-lain, sampai pada persoalan yang menurut pandangan Anda merupakan suatu kebenaran, sedangkan menurut pandangan orang lain bukanlah suatu kebenaran, disebabkan para ulama dalam persoalan ini berbeda pendapat, kemudian orang yang tidak setuju dengan pendapat Anda tersebut, lalu Anda tuduh kafir hanya karena berbeda pendapat dengan anda, maka Anda benar-benar telah melakukan kemungkaran yang besar.

 Al-‘Allamah al-Imam Sayyid Ahmad Masyhur al-Haddad mengatakan:

“Telah disimpulkan adanya kesepakatan di kalangan para ulama Ahlussunnah wal Jamaah tentang larangan mengkafirkan seorang ahli kiblat (muslim), kecuali terhadap seseorang yang benar-benar atheis yang mengingkari adanya Allah swt, atau yang secara jelas melakukan perbuatan syirik tanpa perlu ditakwili lagi, atau mengingkari keberadaan para Nabi dan Rasul, atau mengingkari prinsip-prinsip ajaran Islam yang bernilai qath’iy (dogmatik), atau mengingkari kemutawatiran suatu hadis Nabi saw, atau mengingkari ajaran Islam yang sudah disepakati (ijmak) kepastiannya”

Prinsip-prinsip ajaran Islam yang bernilai dogmatik (qath’iy), antara lain ajaran tentang tauhid (Keesaan Allah), kenabian, keparipurnaan Risalah dengan diutusnya Nabi Muhammad saw, adanya kebangkitan dari kematian (yaumul ba’ts) pada hari kiamat nanti, hisab (penghitungan amal), pembalasan amal, kepastian adanya surga dan neraka. Maka menjadi kafir-lah orang yang mengingkari prinsip-prinsip ajaran Islam tersebut.

Hadis mutawatir adalah hadis yang diriwayatkan oleh sekelompok orang yang tidak mungkin bersepakat untuk melakukan kebohongan daripada sekelompok orang yang semisal dengan mereka. Tingkat kemutawatiran suatu hadis ada kalanya ditentukan oleh  segi isnad, seperti hadis Nabi saw berikut :

من كـذب  عليّ مـتـعمـدا  فـلـيتـبوّء مقـعد ه مـن الـنـار
Barangsiapa yang berdusta atas namaku, maka hendaklah dia menduduki tempat duduknya di neraka
Dari sudut isnad-nya, hadis  mutawatir tersebut diriwayatkan oleh para rawi (periwayat hadis) yang tidak mungkin bersepakat melakukan kebohongan. Dan ada kalanya ditentukan oleh segi thabaqat-nya (lapisan), yakni sekelompok rawi dalam setiap thabaqat atau lapisan, cukup banyak jumlahnya. Misalnya pada thabaqat atau lapisan pertama yang terdiri dari para rawi kalangan sahabat yang secara langsung meriwayatkan hadis dari Rasulullah saw . Kemudian disusul sekelompok rawi pada lapisan kedua yang terdiri dari para rawi kalangan tabi’in yang meriwayatkan hadis dari para sahabat Nabi. Dan seterusnya sampai pada lapisan atau   thabaqat terbawah.
Kemutawatiran hadis dari segi thabaqat ini adalah seperti kemutawatiran Al-Qur’an, disebabkan hadis tersebut diriwayatkan secara merata oleh lapisan masyarakat luas, baik di daerah timur maupun barat, baik mengenai isi ajarannya, bacaannya, maupun lafazhnya, serta mempertemukan dari lapisan satu ke lapisan berikutnya, sehingga tidak diperlukan lagi adanya pengkajian, penelitian terhadap isnadnya.
 Dan terkadang pula bahwa kemutawatiran atau keterurutan dan kontinyuitas suatu hadis adalah dalam segi pengamalan dan pewarisan tradisi, seperti keterurutan suatu amal perbuatan dan tradisi mulai dari masa hidup Rasulullah saw sampai sekarang, atau keterurutan dalam ilmu pengetahuan seperti mutawatirnya hadis tentang mukjizat Nabi, meskipun secara detailnya sebagian hadis tersebut adalah pada derajat Hadis Ahad  (yakni suatu hadis shahih yang tidak sampai pada derajat hadis mutawatir), akan tetapi bertemu pada titik persamaan isinya, sehingga bernilai mutawatir secara qath’iy (pasti kebenarannya) di dalam pengetahuan setiap muslim.
Menuduh dan menghukumi seorang muslim dengan tuduhan kafir di luar kategori yang sudah dijelaskan di atas adalah sangat berbahaya dan gawat. Dalam sebuah hadis, Rasulullah saw bersabda :
إذا قال الرجل لأخيه يا كافر فقد باء بها أحدهما
Barangsiapa yang mengatakan kepada saudaranya : “Hai si Kafir”, maka kembalilah hukum kafir tersebut pada salah satu di antara keduanya”. (HR Bukhari, dari Abu Hurairah ra).
Maksudnya, jika yang dipanggail itu benar-benar kafir, maka hal itu tidak jadi masalah. Namun jika yang dipanggil dengan kata “si Kafir”  tersebut – menurut pandangan Allah – bukan orang kafir, maka orang yang memanggilnya atau menuduhnya demikian  itulah yang kafir.
Tuduhan tersebut tidak dibenarkan diucapkan kecuali oleh orang yang dengan pancaran syari’at telah mengetahui tempat masuk-nya kedalam atau keluar-nya dari kekafiran seseorang, serta mengetahui batas-batas  pembeda antara kekufuran dan keimanan seseorang  menurut ukuran syari’at Islam. Oleh karenanya, seseorang tidak boleh melibatkan diri dalam persoalan ini, lalu saling kafir mengkafirkan orang lain lebih atas dasar khayalannya, rekayasa atau persangkaan semata, dan bukan atas dasar keyakinan dan ilmu yang benar. Misalnya mengkafirkan seseorang hanya disebabkan oleh perbuatan maksiatnya, padahal orang tersebut masih memiliki keimanan yang lurus dan masih berpegang teguh pada dua kalimat syahadat.
Sebuah hadis dari Anas bin Malik ra, bahwa Rasulullah saw bersabda:
ثلاث من أصل الإيمان : الكفء عمن قال لا إله إلا الله لا نكفره بذنب ولا نخرجه عن الإسلام بالعمل, والجهاد ماض منذ بعثني الله إلى أن يقاتل آخر أمتي الدجال لا يبطله جور جائر و لا عدل عادل و الإيمان بالأقدار
Tiga hal yang menjadi prinsip keimanan : 1) menghindarkan diri dari orang yang mengucapkan La ilaha illallah, dan kami tidak mengkafirkan orang tersebut disebabkan amal perbuatannya;  2) jihad itu berlaku terus sejak Allah swt mengutusku sampai umatku yang terakhir memerangi Dajjal. Jihad ini tidak dapat dibatalkan oleh kelalimannya orang yang zhalim dan keadilannya orang yag berbuat adil;  3) Meyakini takdir Allah “ (HR Abu Dawud).
Oleh karena itu, kami memperingatkan agar jangan sampai kalian mudah mengkafirkan seseorang bukan pada tempatnya, disebabkan resikonya sangat besar.


Kalo antum nuduh tahlilan syirik,dan tuduhan antum salah
bisa2 antum sendiri yang justru menjadi musyrik.


  _________________________

Ket.
**) Pemahaman --"salah/menyimpang"-- Yang Perlu Diluruskan, untuk selanjutnya disingkat "PYPD"  


Kamis, 09 Mei 2013

PYPD - 4. Menyadari Posisi Khaliq dan Makhluk, pemisah kekafiran dan keimanan




Sesungguhnya kedudukan Khalik dan makhluk merupakan suatu batas pemisah antara kekafiran dan keimanan. Kami beri’tikad bahwa orang yang mencampuradukkan antara kedua kedudukan tersebut adalah benar-benar kafir. Semoga Allah swt melindunga kita.

Setiap Maqam (kedudukan) atau posisi tersebut memiliki hak-hak secara spesifik. Namun di situ terdapat beberapa persoalan yang dikembalikan kedalam bab ini, khususnya persoalan yang berkaitan dengan Nabi Muhammad saw dan kekhususan-kekhususannya yang menyebabkan beliau menjadi teristimewa, berbeda dan lebih tinggi derajatnya dari sekalian manusia pada umumnya. Persoalan ini kadang menjadi Tasyabbuh (jumbuh, samar) pada sebagian orang, disebabkan keterbatasan akal, kelemahan pemikiran, kesempitan wawasan, dan keburukan pemahaman mereka, lalu mereka serta merta mengkafirkan pelakunya dan mengeluarkannya dari Islam. Mereka mendasarkan diri pada suatu persangkaan bahwa didalamnya terdapat percampuran kedudukan  antara Khalik (Allah swt)  dan Makhluk (Rasulullah saw), dan dianggapnya telah mengangkat posisi Rasulullah saw ke posisi  Uluhiyah (Ketuhanan). Sesungguhnya kami berlepas diri dari pemahaman yang demikian itu.

Berkat anugerah dan karunia Allah swt, kami mengetahui apa yang menjadi Hak bagi Allah swt dan apa yang menjadi Hak bagi Rasulullah saw. Kami mengetahui apa yang secara murni merupakan hak Allah swt dan apa yang secara murni menjadi hak Rasulullah saw. Hal ini lepas dari niat untuk melebih-lebihkan dan mengkultuskan diri pribadi beliau saw sampai pada suatu batas di mana beliau saw secara khusus disifati dengan sifat-sifat rububiyyah dan uluhiyyah, yang sebenarnya keduanya hanya pantas dimiliki Allah swt. Di antara sifat-sifat tersebut adalah seperti adanya kemampuan mutlak untuk menolak bahaya; memberi rizki dan manfaat; memiliki kekuasaan dan kepenguasaan sempurna dan menyeluruh kepada semua makhluk; menguasai kerajaan dan mengatur jagad raya; memonopoli sifat kesempurnaan, keagungan dan kesucian; dan secara ekslusif menerima sesembahan dengan berbagai bentuk, keadaan dan tingkatan peribadatan.

Adapun yang dimaksud dengan sikap “berlebih-lebihan” adalah sikap keterlaluan dalam mencintai dan mentatati Rasulullah saw, melebih kecintaannya kepada Allah swt. Itulah makna yang dimaksud di dalam sebuah hadis Nabi :

لاَ  تـــَـطْــرُوْنــِـيْ كَـمَـا اَطْــرَتْ الــنـَّــصَـارَى  ابــْـنَ  مَـرْيـَـمَ

"Janganlah kalian menyanjung-nyanjungku, sebagaimana kaum nasrani menyanjung-nyanjung  (Isa) Putra Maryam".

 

Maksudnya, menyanjung-nyanjung, menghormat dan memuji-muji beliau saw dengan sanjungan yang dilakukan orang pada umumnya, bukan dalam pengertian pengkultusan (sikap mendewa-dewakan) seperti yang dilakukan kaum Nasrani kepada diri Nabiyullah Isa bin Maryam as, adalah suatu sikap yang terpuji. Sekiranya maknanya tidak demikian, tentulah yang dikehendaki hadis di atas secara prinsip adalah larangan secara mutlak menyanjung dan memuji beliau s aw. Namun yang jelas, hal itu tidak diucapkan oleh salah seorang dari kaum muslimin yang paling bodoh sekalipun. Karena Allah swt sendiri  telah mengagungkan pribadi Rasulullah saw dengan berbagai bentuk pengagungan tertinggi di dalam beberapa ayat Al-Qur’an, maka kita pun wajib mengagungkan “orang” yang telah diperintahkan Allah swt untuk diagungkan, yakni Nabi Muhammad saw .

ذَلِكَ وَمَنْ يُعَظِّمْ شَعَائِرَ اللَّهِ فَإِنَّهَا مِنْ تَقْوَى الْقُلُوبِ

Demikianlah (perintah Allah). Dan barangsiapa mengagungkan syi`ar-syi`ar Allah, maka sesungguhnya itu timbul dari ketakwaan hati.” (QS Al-Hajj,[22] : 32)

ذَلِكَ وَمَنْ يُعَظِّمْ حُرُمَاتِ اللَّهِ فَهُوَ خَيْرٌ لَهُ عِنْدَ رَبِّهِ

Demikianlah (perintah Allah). Dan barangsiapa mengagungkan apa-apa yang terhormat di sisi Allah maka itu adalah lebih baik baginya di sisi Tuhannya.”  (QS Al-Hajj,[22] : 30)

 

Di antara syi’ar-syi’ar dan sesuatu yang terhormat di sisi Allah swt  yang dijelaskan di dalam kedua ayat di atas adalah seperti Ka’bah, hajar aswad, dan maqam Ibrahim, yang kesemuanya itu berupa batu. Namun Allah swt memerintahkan kita agar mengagungkannya dengan cara melakukan thawaf mengelilingi Ka’bah, mengusap rukun yamani di pojok sebelah barat daya Ka’bah, mengecup Hajar aswad, melakukan shalat di belakang “maqam Ibrahim”, lalu berhenti sebentar untuk berdoa di dalam Hijir Isma’il,  di depan pintu Ka’bah, dan di Multazam, yakni suatu tempat di antara pintu Ka’bah dan Hajar Aswad. Pada saat melakukan yang demikian itu, kita tidak berniat untuk melakukan suatu peribadatan atau penyembahan, melainkan ditujukan hanya kepada Allah swt, dan kita tidak memiliki suatu keyakinan atau I’tiqad tentang adanya pengaruh mistis dan kekuatan supranatural lainnya dari batu-batu tersebut, di luar kekuatan Allah swt.