Tampilkan postingan dengan label tauhid. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label tauhid. Tampilkan semua postingan

Senin, 03 Juni 2013

PYPD - 14. Hakekat Madzhab Asy'ariyah

________________________________________________

Penulis : DR. Sayyid Muhammad Alawi Al-Malikiy *)

 





Banyak sekali generasi muda muslim yang tidak mengetahui apa itu madzhab “Al-Asy’ariyah”  dalam bidang aqidah. Mereka tidak mengenal siapa saja para ulama yang bermadzhab Asy’ariyah dalam bertauhid dan bagaimana metode yang dipakai para ulama bermadzhab Asy’ariyah dalam merumuskan ajaran Akidah Islamiyah. Bahkan sebagian mereka ada yang memandang madzhab Asy’ariyah sebagai madzhab yang sesat, tidak mengakui adanya sifat-sifat Allah swt dan dipandang telah keluar dari rel agama Islam.

Ketidaktahuan mereka terhadap hakekat madzhab Asy’ariyah inilah yang menjadi salah satu sarana terpecahbelahnya persatuan dan kesatuan golongan Ahlussunnah wal Jamaah. Sampai-sampai orang yang bodoh mengira bahwa madzhab Asy’ariyah adalah termasuk sekte sesat. Kami tidak tahu, bagaimana mungkin mereka menyandingkan antara ahli iman dan ahli kesesatan. Bagaimana ia bisa menganggap sama antara golongan Ahlussunnah dengan golongan Mu’tazilah ekstrim yang merupakan perwujudan dari aliran Jahmiyyah .
   
Allah swt berfirman :
أَفَنَجْعَلُ الْمُسْلِمِينَ كَالْمُجْرِمِينَ   (35)  مَا لَكُمْ كَيْفَ تَحْكُمُونَ  (36)
  “Apakah patut Kami menjadikan orang-orang Islam itu sama dengan orang-orang yang berdosa ? Mengapa kamu berbuat demikian ? Bagaimanakah kamu mengambil keputusan ?” (QS Al-Qalam,[68] : 35-36)

Al-Asya’irah adalah para ulama yang keilmuannya tersebar luas ke seantero dunia. Orang-orang mengakui tentang keutamaan, kelebihan, keluasan ilmu dan ketaatan mereka dalam menjalankan syariat Islam. Mereka adalah para pakarnya ulama golongan Ahlususunnah di bidang akidah, yang berusaha sekuat tenaga membendung gelombang serangan pemikiran aliran rasionalis Mu’tazilah. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkomentar, “Para ulama adalah para penolong ilmu agama. Sedangkan para ulama yang bermadzhab Asy’ariyah adalah para penolong ilmu ushuluddin” (“Al-Fatawa” juz 4) [1]

 
Fathul Baariy
Para ulama yang tergolong bermadzhab Asy’ariyah kebanyakan adalah para imam yang ahli di bidang hadis (“Muhadditsin”), fiqih (“Fuqaha’”), dan tafsir (“Mufassirin”). Di antara mereka adalah : 

1.  Syaikhul Islam Ahmad Ibn Hajar al-Asqalany [2], seorang pakar hadis, penulis kitab “Fathul Bari ala Syarhil Bukhary”. Beliau bermadzhab Asy’ariyah dalam berakidah. Kitab beliau di atas tidak mampu ditandingi kehebatannya oleh seorang pun ulama hadis.

 

Syarah Shahih Muslim
2. Imam an-Nawawy [3]: Seorang tokoh ulama Ahlussunnah yang bermadzhab Asy’ariyah dalam berakidah. Di antara karya tulisnya berjudul “Syarah Shahih Muslim”, dan kitab-kitab bermutu lainnya.
3. Imam al-Qurthuby [4]: Seorang pemuka ulama yang ahli di bidang tafsir, yang bermadzhab As’ariyah dalam berakidah. Di antara karya tulisnya berjudul “Al-Jami’ li Ahkamil Qur’an”, berisi tafsir yang sangat terkenal.
Az-Zawajir ,

  4.  Syaikhul Islam Ibnu Hajar al-Haitamy [5]: Seorang ulama besar yang juga bermadzhab Asy’ariyah, penulis kitab “Al-Zawajir ‘aniqtiraf al-Kabaair”.

Fathul Wahhab






5.   Imam Zakaria al-Anshary [6]: Seorang pakar hadis dan fiqih.

  
Al-Bahrul Muhith

Selain di atas, masih banyak lagi ulama besar lainnya seperti Abu Bakar al-Baqilany, imam Al-Asqalany, imam an-Nasafy, imam asy-Syarbiny, Abu Hayyan al-Nahwy al-Andalusi penulis buku tafsir “Al-Bahrul Muhith”, imam Ibn Jauzy penulis buku “At-Tafshil fi ‘Ulum at-Tanzil”. Dan ulama lainnya. Semuanya itu terkenal sebagai ulama bermadzhab Al-Asy’ariyah.


  Jika kita ingin menghitung-hitung jumlah para ulama yang bermadzhab Asy’ariyah dalam bidang akidah, tentu akan mengalami kesulitan, kehabisan waktu dan membutuhkan berjilid-jilid buku untuk dibaca agar dapat mengidentifikasi para ulama asy’ariyah yang keilmuannya tersebar luas memenuhi dunia.

 
Kebaikan atau keuntungan apa yang sebenarnya dapat kita peroleh jika menuduh para ulama bermazhab Asy’ariyah yang sangat ahli di bidangnya dan para Salafusshalih dengan tuduhan bahwa mereka telah melakukan “kesesatan” dan penyimpangan? Bagaimana mungkin Allah swt akan membuka hati dan pikiran kita untuk memanfaatkan ilmu-ilmu mereka, jika kita masih tetap menuduh mereka sebagai orang yang sesat dan menyimpang dari ajaran Islam ?

 
Perlu kami tegaskan di sini. Apakah Anda sudah menemukan seorang guru dari sekian ribu, bahkan  sekian juta ulama, sekalipun mereka yang bergelar Profesor Doktor yang mampu menandingi keilmuan dan kepakaran semacam Syaikhul Islam Ibnu Hajar al-Asqalany dan Syaikh An-Nawawy, di mana mereka berdua sangat berjasa dan menghabiskan seluruh waktunya untuk menjaga, menyebarluaskan dan melestarikan Sunnah Rasulullah saw?  Lalu bagaimana kita bisa melontarkan  tuduhan Sesat dan Menyimpang kepada kedua ulama tersebut khususnya, dan seluruh ulama bermadzhab Asy’ariyah lainnya pada umumnya? Sementara kita sendiri masih tetap membutuhkan uluran ilmu mereka ? Bagaimana mungkin kita dapat mengambil ilmu dari mereka itu, kalau mereka kita tuduh telah melakukan kesesatan ?

 
Benar-benar aneh bin ajaib kita menuduh mereka sesat dan menyimpang, sementara kita sendiri masih membutuhkan, mengambil, mengkaji dan mengembangkan ilmu mereka. Ibnu Sirin pernah mengatakan, “Sesungguhnya ilmu itu adalah agama, maka lihat dan perhatikan, dari siapa Anda mengambil  agama Anda ?!

 
Mereka yang sinis kepada ulama Asy’ariyah berkomentar, “Para ulama Asy’ariyah memang benar telah melakukan ijtihad. Namun dalam ijtihadnya itu mereka telah melakukan kesalahan dalam menakwilkan sifat-sifat Allah swt”.

 
 Apakah komentar mereka tersebut dapat diterima oleh akal sehat ?  Masuk akalkah bahwa para ulama sekaliber imam An-Nawawy, Ibnu Hajar al-Asqalany, dan para ulama besar lainnya yang ilmunya telah diserap kaum muslimin seluruh dunia, bahkan sampai sekarang belum ada seorang pakar pun yang mampu menandinginya, lalu mereka tuduh telah Sesat ? Mungkinkah komentar miring mereka itu justru mencerminkan bahwa mereka sendiri lah sebenarnya yang sesat dan menyimpang dari kebenaran ? Kita benar-benar sangat marah kepada mereka yang gegabah dan tidak secara jantan melontarkan tuduhan sesat kepada para ulama Ahlussunnah Wal Jamaah tersebut.

 
Bila para ulama Asy’ariyah semacam imam an-Nawawy, al-Qurthuby, al-Asqalany, al-Fahrurrazy, al-Haitamy, Zakaria al-Anshary dan para tokoh ulama besar lainnya dikatakan bukan termasuk kelompok ulama Ahlussunnah Wal Jamaah, lalu siapa yang berhak mendapatkan predikat  Ahlussunnah wal Jamaah ?

 
Kami secara ikhlas benar-benar mengajak kepada seluruh propagandis, para praktisi dan para tenaga yang bergerak di bidang dakwah islamiyah  agar bertakwa kepada Allah swt dan berhati-hati dalam melontarkan tuduhan kepada umat Muhammad saw, khususnya kepada para ulama yang ahli di bidang hadis, tafsir dan fiqih. Oleh karena ummat Muhammad saw selalu dalam lingkungan kebaikan sampai akhir jaman. Kita tidak akan terdorong untuk mengenal kemampuan dan keutamaan para ulama kita yang bermadzhab Asy’ariyah.



__________________________________

*).  Sumber : diterjemahkan dari kitab "", karya DR. Sayyud Muhammad Alawi Abbas Al-Maliki

[1]. https://sites.google.com/site/pustakapejaten/ahlus-sunnah-wal-jama-ah/asy-ariyyah

[2]. http://alquran-sunnah.com/kitab/bulughul-maram/source/0.%20Pendahuluan/3.%20Biografi%20al-Hafidh%20Ibnu%20Hajar%20al-Asqalany.htm .       http://ustadzkholid.com/bulughul-maram-seri-04-biografi-ibnu-hajar-al-asqalani/.     https://sites.google.com/site/pustakapejaten/manaqib-biografi/para-imam/imam-ibnu-hajar-al--atsqolani

[3]. https://sites.google.com/site/pustakapejaten/manaqib-biografi/para-imam/imam-nawawi .    http://www.as-salafiyyah.com/2012/05/imam-nawawi-makan-sedikit-tidur-pun.html.

[4]. imamal-qurtubi.blogspot.com/.../biografi-imam-al-qurthubi-ulama-besar.      jacksite.wordpress.com/.../biografi-imam-al-qurthubi-ulama-besar-dari-s

[5]. http://salafytobat.wordpress.com/category/ibn-hajar-haitamy-al-makky-ibn-taymiyah-dan-ibn-qayyim-al-jauziyyah-sesat/ .   

[6]. http://tamanulama.blogspot.com/2008/06/syeikh-zakaria-al-anshari-sufi-nan.html.  














Selasa, 14 Mei 2013

PYPD-2. Syekh Muhammad bin Abdul Wahab Biangkeladi Pengkafiran...???



 
Muhammad bin Abdul Wahhab, Pendiri sekte Wahhabiyah

  Posisi syaikh Abdul Wahhab dalam persoalan ini sangat penting. Sebagian besar orang yang mengaku dan dan mengklaim dirinya sebagai pengikut beliau terkadang memandangnya secara salah, lalu dengan mengatasnamakan beliau mereka seenaknya melontarkan tuduhan kafir kepada setiap orang yang menyalahi atau menolak metode dan sistim pemikiran mereka. Demikian inilah syaikh Abdul Wahhab – pelatak dasar-dasar madzhab Wahhabiyah – yang sangat menolak setiap lontaran kejengkelan dan fitnah yang diatasnamakan beliau, kemudian beliau menyanggahnya dalam “Risalah”-nya yang khusus ditulis dan ditujukan kepada orang-orang yang lemah pikirannya tersebut.

Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab mengatakan, “Tidak perlu disembunyikan kepada kalian, bahwa aku pernah menerima surat dari Sulaiman bin Sahim, sebagaimana yang pernah aku sampaikan kepada kalian dan telah dibenarkan oleh sebagian lembaga keilmuan. Allah swt mengetahui bahwa seseorang telah merekayasa sesuatu persoalan atas namaku, padahal aku belum pernah mengatakannya, lagi pula sebagian persoalan tersebut belum pernah terbayangkan sebelumnya dalam angan-anganku. Di antara rekayasanya: Aku dituduh mendustakan dan menolak kitab-kitab para ulama dari kalangan madzhab empat; aku dibilangnya pernah mengatakan bahwa kaum muslimin sejak enam ratus tahun yang lalu tidak bermadzhab atau tidak berdiri di atas suatu madzhab tertentu; aku dikatakannya telah mengaku-aku berijtihad sendiri dan keluar dari belenggu taqlid; aku dituduhnya pernah mengatakan bahwa sesungguhnya perbedaan pendapat di kalangan para ulama dapat menyebabkan datangnya kemarahan Tuhan; aku dibilang telah mengkafirkan orang yang bertawassul kepada para auliya’us-shalihin; aku dibilangnya telah mengkafirkan syaikh Al-Busyiri lantaran ucapannya “Ya Akromal Khalqi…” (Wahai makhluk yang termulia…, yakni diri  Nabi Muhammad saw );  aku dibilangnya pernah mengatakan bahwa ‘sekiranya mampu merobohkan Qubbatul Khadhra’ (Kubah Hijau) di masjid Nabawi, tentu sudah aku robohkan. Dan sekiranya nampu menguasai Ka’bah, tentu akan aku ambil talang emas-nya lalu aku ganti dengan talang kayu”;  aku dituduh mengharamkan orang menziarahi makam Rasulullah saw  dan menolak menziarahi makam  kedua orang tuaku serta makam kaum muslimin lainnya; aku dibilang telah mengkafirkan orang yang bersumpah dengan memakai nama selain Allah; aku dibilang mengkafirkan syaikh Ibnu al-Farid dan Ibnu Araby; aku dikatakan telah membakar kitab Dala-ilul khairat dan kitab Raudh al-Rayahin, lalu aku ganti dengan judul Raudh asy-Syayathin. Kesmua tuduhan dan rekayasa mereka tersebut hanya aku tanggapi dengan ucapan : Sub-haanaka haadzaa buhtaanun ‘azhiim, Maha Suci Engkau Ya Allah, ini dusta besar” (QS An-Nur, [24] : 16) 

Jauh sebelum itu, pernah ada orang yang membuat-buat kedustaan terhadap diri pribadi Rasulullah saw, bahwa beliau dikatakan orang pernah mencaci maki Nabi Isa as dan kaum shalihin jaman dahulu. Hati mereka benar-benar penuh dengan kebohongan dan kedustaan. Allah swt berfirman  :

إِنَّمَا يَفْتَرِي الْكَذِبَ الَّذِينَ لَا يُؤْمِنُونَ بِآيَاتِ اللَّهِ وَأُولَئِكَ هُمُ الْكَاذِبُونَ

 “Sesungguhnya yang mengada-adakan kebohongan, hanyalah orang-orang yang tidak beriman kepada ayat-ayat Allah, dan mereka itulah orang-orang pendusta”. (QS An-Nahl, [16] : 105 ).

  Mereka melontarkan tuduhan bahwa beliau saw pernah mengatakan, “Sesungguhnya para malaikat, Nabi Isa as dan Nabi Uzair berada di neraka”, kemudian Allah swt  menurunkan ayat :

 إِنَّ الَّذِينَ سَبَقَتْ لَهُمْ مِنَّا الْحُسْنَى أُولَئِكَ عَنْهَا مُبْعَدُونَ

“Bahwasanya orang-orang yang telah ada untuk mereka ketetapan yang baik dari Kami, mereka itu dijauhkan dari neraka” (QS Al-Anbiya’, [21] : 101).

  Syaikh as-Suwaid, seorang ulama di Irak, pernah berkirim surat kepada syaikh Muhamad bin Abdul Wahhab untuk menanyakan tentang desas-desus mengenai diri beliau. Kemudian beliau menanggapi suratnya dengan Risalah berikut ini :

“Sesungguhnya orang yang berfikiran waras seharusnya merasa malu menyiar-nyiarkan suatu kebohongan seperti yang kalian ceritakan, yaitu bahwa aku dituduh orang-orang pernah mengkafirkan kaum muslimin selain yang menjadi pengikutku. Aneh sekali ! Bagaimana hal ini bisa dicerna oleh akal orang yang waras? Apakah pantas tuduhan tersebut dilontarkan oleh seorang muslim ?  Contohnya lagi, bahwa aku dibilangnya pernah mengatakan, “Sekiranya aku mampu merobohkan Qubbatul khadhra’ (Kubah Hijau) di masjid Nabawi, tentu sudah aku robohkan”; aku dituduhnya melarang membaca kitab Dala-ilul Khairat; aku dibilangnya pernah melarang membaca shalawat Nabi yang disusun dalam bentuk syi-ir atau nazham yang ditulis oleh para ulama; dan tuduhan lainnya yang semisal. Semuanya itu adalah rekayasa dan kebohongan belaka. Sebagai seorang muslim, tidak boleh menyangka…/tidak boleh ada persangkaan, bahwa di dalam hatinya terdapat sesuatu yang lebih terhormat daripada Kitabullah, Al-Qur’an”.

Pada halaman 64 dari isi Risalah-nya, Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab mengungkapkan, “Apa yang anda katakan tentang diriku, yaitu bahwa diriku pernah mengkafirkan orang yang bertawassul kepada kaum shalihin; mengkafirkan Al-Busyiry; melarang berziarah ke makam Rasulullah saw dan ke makam kedua orang tua serta makam kaum muslimin lainnya; mengkafirkan orang yang bersumpah dengan nama selain Allah swt, dan lain-lain, kesemuanya itu hanya aku komentari dengan ucapan: Sub-haanaka haadzaa buhtaanun ‘azhiim (QS An-Nur [24] : 16), Maha Suci Engkau, Ya Allah.  Ini dusta besar”.






PYPD - 1. Resiko Mengkafirkan Kaum Muslimin



Oleh Prof. DR. Sayyid Muhammad Alawi Abbas Al-Maliki

 
Prof. DR. Sayyid Muhammad Alawi Abbas Al-Maliki

 

KATA PENGANTAR

Kitab berjudul مفاهيم يجب ان تصحح  [ Terj. Pemahaman --salah/menyimpang-- yang Perlu Diluruskan]**), karya Prof. DR. Sayyid Muhammad Alawi Abbas Al-Maliki Al-Hasaniy, merupakan kitab penting yang perlu dibaca oleh kaum muslimin yang mengaku dirinya sebagai pengikut setia faham Ahlussunnah Waljama’ah ala NU, agar dijadikan sebagai pedoman, pegangan dan benteng aqidah yang lurus untuk menangkis berbagai pemahaman keagamaan (aqidah) yang selama ini dipahami secara keliru oleh segelintir “santri baru” Salafi Wahabi dan gerombolannya, sehingga kaum muslimin “selamat” dari ketersesatan aqidah dan tidak mudah melontarkan tuduhan syirik, bid’ah, kafir, munafiq dan semisalnya kepada sesama saudara muslim yang nantinya justru berujung pada rusaknya aqidah dan ukhuwwah islamiyah.

Mengingat pentingnya persoalan tersebut, kami akan mempublikasikan hasil terjemahan terhadap kitab tersebut secara lengkap di blog ini secara bersambung.

Kami persilahkan para sahabat dan siapa saja yang membutuhkannya untuk mengkopi, memanfaatkan, dan menyebarluaskannya kepada kaum muslimin demi tegaknya aqidah Ahlussunnah Waljama’ah di muka bumi dan terciptanya kehidupan yang aman, tentram, saling menghormati dan penuh toleransi, baik dalam kehidupan beragama, bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Asalkan disertai dengan menyebutkan sumber pengambilannya dan tidak digunakan untuk mencari keuntungan duniawi.

Akhirul kalam. Kami menyadari bahwa al-insanul mahallul khotho` wan nis-yan. Karenanya, sumbang saran, nasehat, pembetulan dan kritik yang konstruktif sangat diharapkan demi kesempurnaan postingan ini di masa mendatang. (Pentjm.)

  ________________________________________

 

 

RESIKO MENGKAFIRKAN SESAMA MUSLIM



Kebanyakan orang melakukan kesalahan dalam memahami hakekat sebab-sebab yang dapat mengeluarkan pelakunya dari ruang lingkup agama Islam, dan ia wajib dihukumi kafir. Anda dapat menyaksikan orang-orang yang mudah menuduh “kafir” seorang muslim hanya disebabkan dia berbeda pendapat dengannya, sehingga dengan pengkafiran tersebut jumlah kaum muslimin secara kuantitatif di seluruh dunia akan tinggal sedikit. Kami husnuzhan ( berbaik sangka ) kepada mereka yang suka mengkafirkan itu adalah lebih didasari oleh niat yang baik, yakni ingin melaksanakan kewajiban amar ma’ruf dan nahi munkar . Akan tetapi mereka lupa bahwa kewajiban beramar ma’ruf dan nahi munkar tersebut seharusnya dilakukan dengan cara yang bijaksana (bil hikmah) dan dengan nasehat yang baik (wal mau’izhatul hasanah). Kalaupun akan dilakukan dengan metode diskusi dan dialog (mujadalah), hendaklah dilakukan dengan cara yang baik lagi sopan, sebagaimana yang telah diperintahkan Allah dalam Al-Qur’an surat An-Nahl, [16] : 125
ادْعُ إِلَى سَبِيلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ وَجَادِلْهُمْ بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ
“Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan nasehat  pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik.”

Apabila Anda ingin mengajak seseorang agar melaksanakan shalat, menunaikan perintah-perintah Allah swt, menjauhi semua larangan-Nya, menyebarluaskan dakwah islamiyah, membangun masjid dan lembaga-lembaga pendidikan Islam seperti sekolah pesantren, dan lain-lain, sampai pada persoalan yang menurut pandangan Anda merupakan suatu kebenaran, sedangkan menurut pandangan orang lain bukanlah suatu kebenaran, disebabkan para ulama dalam persoalan ini berbeda pendapat, kemudian orang yang tidak setuju dengan pendapat Anda tersebut, lalu Anda tuduh kafir hanya karena berbeda pendapat dengan anda, maka Anda benar-benar telah melakukan kemungkaran yang besar.

 Al-‘Allamah al-Imam Sayyid Ahmad Masyhur al-Haddad mengatakan:

“Telah disimpulkan adanya kesepakatan di kalangan para ulama Ahlussunnah wal Jamaah tentang larangan mengkafirkan seorang ahli kiblat (muslim), kecuali terhadap seseorang yang benar-benar atheis yang mengingkari adanya Allah swt, atau yang secara jelas melakukan perbuatan syirik tanpa perlu ditakwili lagi, atau mengingkari keberadaan para Nabi dan Rasul, atau mengingkari prinsip-prinsip ajaran Islam yang bernilai qath’iy (dogmatik), atau mengingkari kemutawatiran suatu hadis Nabi saw, atau mengingkari ajaran Islam yang sudah disepakati (ijmak) kepastiannya”

Prinsip-prinsip ajaran Islam yang bernilai dogmatik (qath’iy), antara lain ajaran tentang tauhid (Keesaan Allah), kenabian, keparipurnaan Risalah dengan diutusnya Nabi Muhammad saw, adanya kebangkitan dari kematian (yaumul ba’ts) pada hari kiamat nanti, hisab (penghitungan amal), pembalasan amal, kepastian adanya surga dan neraka. Maka menjadi kafir-lah orang yang mengingkari prinsip-prinsip ajaran Islam tersebut.

Hadis mutawatir adalah hadis yang diriwayatkan oleh sekelompok orang yang tidak mungkin bersepakat untuk melakukan kebohongan daripada sekelompok orang yang semisal dengan mereka. Tingkat kemutawatiran suatu hadis ada kalanya ditentukan oleh  segi isnad, seperti hadis Nabi saw berikut :

من كـذب  عليّ مـتـعمـدا  فـلـيتـبوّء مقـعد ه مـن الـنـار
Barangsiapa yang berdusta atas namaku, maka hendaklah dia menduduki tempat duduknya di neraka
Dari sudut isnad-nya, hadis  mutawatir tersebut diriwayatkan oleh para rawi (periwayat hadis) yang tidak mungkin bersepakat melakukan kebohongan. Dan ada kalanya ditentukan oleh segi thabaqat-nya (lapisan), yakni sekelompok rawi dalam setiap thabaqat atau lapisan, cukup banyak jumlahnya. Misalnya pada thabaqat atau lapisan pertama yang terdiri dari para rawi kalangan sahabat yang secara langsung meriwayatkan hadis dari Rasulullah saw . Kemudian disusul sekelompok rawi pada lapisan kedua yang terdiri dari para rawi kalangan tabi’in yang meriwayatkan hadis dari para sahabat Nabi. Dan seterusnya sampai pada lapisan atau   thabaqat terbawah.
Kemutawatiran hadis dari segi thabaqat ini adalah seperti kemutawatiran Al-Qur’an, disebabkan hadis tersebut diriwayatkan secara merata oleh lapisan masyarakat luas, baik di daerah timur maupun barat, baik mengenai isi ajarannya, bacaannya, maupun lafazhnya, serta mempertemukan dari lapisan satu ke lapisan berikutnya, sehingga tidak diperlukan lagi adanya pengkajian, penelitian terhadap isnadnya.
 Dan terkadang pula bahwa kemutawatiran atau keterurutan dan kontinyuitas suatu hadis adalah dalam segi pengamalan dan pewarisan tradisi, seperti keterurutan suatu amal perbuatan dan tradisi mulai dari masa hidup Rasulullah saw sampai sekarang, atau keterurutan dalam ilmu pengetahuan seperti mutawatirnya hadis tentang mukjizat Nabi, meskipun secara detailnya sebagian hadis tersebut adalah pada derajat Hadis Ahad  (yakni suatu hadis shahih yang tidak sampai pada derajat hadis mutawatir), akan tetapi bertemu pada titik persamaan isinya, sehingga bernilai mutawatir secara qath’iy (pasti kebenarannya) di dalam pengetahuan setiap muslim.
Menuduh dan menghukumi seorang muslim dengan tuduhan kafir di luar kategori yang sudah dijelaskan di atas adalah sangat berbahaya dan gawat. Dalam sebuah hadis, Rasulullah saw bersabda :
إذا قال الرجل لأخيه يا كافر فقد باء بها أحدهما
Barangsiapa yang mengatakan kepada saudaranya : “Hai si Kafir”, maka kembalilah hukum kafir tersebut pada salah satu di antara keduanya”. (HR Bukhari, dari Abu Hurairah ra).
Maksudnya, jika yang dipanggail itu benar-benar kafir, maka hal itu tidak jadi masalah. Namun jika yang dipanggil dengan kata “si Kafir”  tersebut – menurut pandangan Allah – bukan orang kafir, maka orang yang memanggilnya atau menuduhnya demikian  itulah yang kafir.
Tuduhan tersebut tidak dibenarkan diucapkan kecuali oleh orang yang dengan pancaran syari’at telah mengetahui tempat masuk-nya kedalam atau keluar-nya dari kekafiran seseorang, serta mengetahui batas-batas  pembeda antara kekufuran dan keimanan seseorang  menurut ukuran syari’at Islam. Oleh karenanya, seseorang tidak boleh melibatkan diri dalam persoalan ini, lalu saling kafir mengkafirkan orang lain lebih atas dasar khayalannya, rekayasa atau persangkaan semata, dan bukan atas dasar keyakinan dan ilmu yang benar. Misalnya mengkafirkan seseorang hanya disebabkan oleh perbuatan maksiatnya, padahal orang tersebut masih memiliki keimanan yang lurus dan masih berpegang teguh pada dua kalimat syahadat.
Sebuah hadis dari Anas bin Malik ra, bahwa Rasulullah saw bersabda:
ثلاث من أصل الإيمان : الكفء عمن قال لا إله إلا الله لا نكفره بذنب ولا نخرجه عن الإسلام بالعمل, والجهاد ماض منذ بعثني الله إلى أن يقاتل آخر أمتي الدجال لا يبطله جور جائر و لا عدل عادل و الإيمان بالأقدار
Tiga hal yang menjadi prinsip keimanan : 1) menghindarkan diri dari orang yang mengucapkan La ilaha illallah, dan kami tidak mengkafirkan orang tersebut disebabkan amal perbuatannya;  2) jihad itu berlaku terus sejak Allah swt mengutusku sampai umatku yang terakhir memerangi Dajjal. Jihad ini tidak dapat dibatalkan oleh kelalimannya orang yang zhalim dan keadilannya orang yag berbuat adil;  3) Meyakini takdir Allah “ (HR Abu Dawud).
Oleh karena itu, kami memperingatkan agar jangan sampai kalian mudah mengkafirkan seseorang bukan pada tempatnya, disebabkan resikonya sangat besar.


Kalo antum nuduh tahlilan syirik,dan tuduhan antum salah
bisa2 antum sendiri yang justru menjadi musyrik.


  _________________________

Ket.
**) Pemahaman --"salah/menyimpang"-- Yang Perlu Diluruskan, untuk selanjutnya disingkat "PYPD"