PENGERTIAN
MAULID NABI
Banyak
orang yang salah dialam memahami hakekat makna Maulid Nabi. Mereka
menanggapinya secara negatif, mempersoalkan dan memperdebatkannya secara
berkepanjangan sehingga muncullah polemik di kalangan mereka, sehingga sebagian
besar waktu yang seharusnya mereka pergunakan untuk hal-hal yang sangat
bermanfaat, terbuang begitu saja dan sia-sia, bagaikan debu tertiup angin,
karena semangat mereka dibangun di atas persepsi yang negatif. Berulang kali
kami menulis kajian tentang persoalan Hakekat Maulid Nabi menurut persepsi kami, kemudian kami
sebarluaskan melalui siaran Radio-radio, surat kabar, dan lembaga-lembaga pada
umumnya secara rutin. Namun tetap saja mendapatkan tanggapan yang negatif.
Perlu
kami tergaskan tentang akidah dan keyakinan kami, bahwa persoalan berkumpulnya
orang banyak untuk mengadakan acara Peringatan Maulid Nabi saw tiada
lain adalah kegiatan bersifat tradisi dan adat istiadat, bukan kegiatan
peribadatan kepada sesuatu. Orang yang memahami hakekat makna Maulid Nabi sekehendak
hatinya seharusnya mengerti, bahwa manusia itu, termasuk dirinya sendiri, pada
dasarnya cenderung membenarkan pendapat, tindakan dan keyakinannya sendiri,
serta suka menyalah-nyalahkan orang lain yang tidak sependapat dengannya dan
tidak mau tahu atau mungkin pura-pura tidak tahu pendapat orang lain.
Kami sering mengatakan pada
setiap acara, pertemuan dan kesempatan, bahwa majlis pertemuan dalam rangka
memperingati Maulid Nabi dengan acara dan cara tertentu adalah persoalan adat
istiadat dan tradisi, dan bukannya merupakan bagian dari aktifitas peribadatan
kepada sesuatu selain Allah swt. Selanjutnya setelah ini, apakah masih ada
usaha pengingkaran lagi? Bukankah musibah terbesar itu akan menimpa seseorang
disebabkan ketidakpahamannya? Oleh karena itu, Imam Syafi’iy mengatakan : “Aku
tidaklah akan mendebat seseorang yang berilmu, melainkan aku akan mampu mengalahkannya.
Namun aku tidak akan mendebat orang yang bodoh, melainkan ia akan
mengalahkanku”.
Sebenarnya
santri yang paling sedikit ilmunya, tentu ia akan mampu mengetahui perbedaan
antara tradisi dan peribadatan, serta perbedaan antara hakekat
ini dan itu. Bila aa orang yang mengatakan : “Ini adalah persoalan ibadah yang
disyariatkan dengan berbagai tata caranya”, maka kami akan mengatakan kepadanya
: “Mana dalilnya?”. Namun jika dia mengatakan : “Ini adalah persoalan tradisi”,
maka kami akan mengatakan kepadanya : “Silahkan berbuat sekehendakmu”, karena
bahaya yang terbesar yang kami takuti adalah perbuatan bid’ah yang tidak
disyariatkan dalam agama namun dilakukan dengan berkedok ibadah, meskipun
disertai alasan bahwa perbuatan bid’ah tersebut adalah hasil ijtihad. Cara yang
demikian itu tidak kami sukai, bahkan akan kami perangi dan kami hindari
semaksimal mungkin.
Pendek
kata, berkumpul-kumpul mengadakan majlis dalam rangka memperingati Maulid Nabi
merupakan persoalan tradisi, tapi tradisi yang baik, yang sangat banyak manfaat
dan faedahnya bagi kaum muslimin, karena dengan sendirinya, kemanfaatan inilah
yang dituntut dan diharapkan oleh syariat itu sendiri.
Orang
yang memiliki pemahaman yang kacau menganggap bahwa kami mengajak kaum muslimin
untuk mengadakan majlis ini hanya dalam satu malam sepanjang tahun atau sekali
dalam satu tahun. Nampaknya mereka sudah lupa, bahwa pelaksanaan majlis ini di
kota Makkah dan Madinah tidak ada yang menandinginya, di mana kaum muslimin,
setiap malamnya sepanjang tahun, ada saja yang berkumpul mengadakan majlis ini
yang diisi dengan acara pembacaan Riwayat Hidup Rasulullah saw. Bahkan
di kaum muslimin di seluruh dunia pun hampir setiap malamnya selalu ada yang
menyelenggarakannya. Semua orang yang berakal tentu mengetahui kenyataan ini
dan orang yang bodoh akan selalu membodohkannya.
Segelintir
orang ada yang melontarkan tuduhan, bahwa kami menyelenggarakan majlis ini
hanya didalam satu malam setiap
tahunnya, sementara 359 hari sisanya kami tinggalkan. Ini benar-benar suatu
fitnah dan tuduhan yang sangat besar dosanya.
Berkat pertolongan Allah swt, majlis pertemuan ini selalu
diselenggarakan kaum muslimin di kota Makkah dan Madinah pada setiap malam
sepanjang tahun, dan hampir setiap malam dan hari selalu diadakan kaum muslimin
di seluruh dunia Islam. Kalau memang benar bahwa kami mengajak kaum muslimin
agar menyelenggarakan majlis dalam rangka memperingati Maulid Nabi hanya pada
satu malam tertentu setiap tahunnya, bukan sepanjang hari atau hari setiap
tahunnya, sebagaimana yang mereka tuduhkan, sungguh merupakan sikap yang kasar
dan tidak ramah terhadap Rasulullah saw. Yang jelas, kami mengajak kaum muslimin agar
menyelenggarakan majlis ini setiap malam atau hari sepanjang tahun, dan
ternyata mereka menyetujui ajakan kami tersebut. Orang-orang yang menuduh bahwa
kami membatasi peringatan Maulid Nabi hanya di Madinah Al-Munawwarah saja,
adalah cermin orang yang bodoh atau pura-pura bodoh terhadap kenyataan yang
sebenarnya. Kami senentiasa berdoa, semoga Allah swt menyinari hati mereka
dengan cahaya hidayah-Nya dan membukakan hati mereka dari tirai kebodohan yang
menutupinya, sehingga nantinya mereka mampu menyaksikan bahwa majlis peringatan
ini tidak hanya di kota Madinah saja, tidak hanya dilaksanakan pada satu malam
saja, dan tidak hanya pada bulan-bulan tertentu saja, melainkan dilaksanakan
kaum muslimin di setiap waktu dan tempat di seluruh dunia.
Wal-hasil, kami tidak pernah mengajak kaum muslimin
untuk menyelenggarakan majlis Maulid Nabi ini hanya dalam satu malam, bahkan
orang yang beranggapan semacam itu berarti ia telah melakukan bid’ah, karena
acara Maulid Nabi selalu diwarnai dengan bacaan-bacaan shalawat Nabi, sementara
pembacaan shalwat Nabi seharusnya dilakukan pada setiap ksempatan dan tempat.
Majlis
peringatan Maulid Nabi merupakan sarana yang sangat efektif untuk dimanfaatkan
berdakwah mengajak orang ke jalan yang lurus, bahkan suatu kesempatan emas yang
tidak boleh disia-siakan dan dibuang begitu saja. Para muballigh khususnya dan
para ulama pada umumnya, seharusnya memanfaatkannya untuk beramar makruf dan
nahi munkar, mengingatkan kaum muslimin yang berkumpul tersebut agar selalu
meneladani keagungan akhlak Rasulullah saw, serta merenungkan perjalanan hidup
dan cara beribadah beliau saw, di samping itu juga dimanfaatkan untuk
memberikan nasehat dan bimbingan kepada mereka agar selalu melakukan kebajikan
serta menjauhi perbuatan jelek, bid’ah, kejahatan dan fitnah. Alhamdulillah,
berkat taufiq, hidayah dan pertolongan Allah swt, kami tidak ketinggalan memanfaartkan
kesempatan tersebut untuk mengajak mereka ke arah itu, dan bersama-sama dengan
mereka yang hadir melaksanakan acara tersebut dengan penuh hikmat, kemudian
kami mengatakan kepada mereka: “Maksud dan tujuan majlis pertemuan semacam ini
bukanlah sekedar pertemuan belaka, akan tetapi merupakan sarana yang luhur
untuk mencapai tujuan yang luhur pula, yakni begini dan begitu….”.
Pembahasan
ini tidak perlu kami panjang lebarkan, karena kami telah menyusun makalah yang
secara khusus mengupas persoalan Maulid Nabi ini dengan judul : Haul
al-Ihtifal bi al-Maulid an-Nabiy asy-Syarif.
Selanjutnya kami akan melengkapi pembahawsan ini dengan kisah
kemerdekaan budak Tsuwaibah al-Aslamiyah .
KISAH
PEMERDEKAAN BUDAK TSUWAIBAH AL-ASLAMIYAH
Para
ulama menuturkan didalam beberapa kitab Hadis dan biografi para tokoh suatu
kisah mengenai kemerdekaan budak yang bernama Tsuwaibah al-Aslamiyah oleh
pemiliknya, yakni Abu Lahab, sehubungan dengan tersiarnya berita kelahiran Nabi
Muhammad saw.
Kisah
ini berawal dari peristiwa Abbas bin Abdulmuthalib bermimpi melihat Abu Lahab
(setelah wafatnya). Kemudian ditanyakan kepadanya tentang keadaan yang dialami
selama menghuni alam barzah. Abu Lahab menceritakan kondisinya: “Saya tidak
menemukan kebaikan sama sekali setelah wafatku ini, selain aku selalu diberi minuman
segar selama berada neraka ini, disebabkan tindakanku memerdekakan budakku,
Tsuwaibah, sebagai tanda kegembiraanku menyambut kelahiran Muhammad. Atas
tindakanku ini, Allah swt memberikan keringanan siksaan kepadaku setiap hari
senin”.
Perlu
kami tegaskan, bahwa Khabar ini diriwayatkan dan dinukil oleh sejumlah
Imam Hadis dan ahli sejarah semacam Abdurrazzaq ash-Shan’any, imam Al-Bukhary,
al-Hafizh Ibnu Hajar Al-Asqalany, Ibnu Katsir, Al-Baihaqy, Ibnu Hisyam,
As-Suhaily, Al-Baghawy, Ibnu ad-Diba’, Al-Asykar dan Al-‘Aminy.
Imam
Abdurrazzaq ash-Shan’any meriwayatkannya didalam kitab Al-Mushnaf (juz
7, halaman 478). Dan Al-Bukhary menuturkannya didalam kitab Shahih-nya
pada bagian Kitabun-Nikah, bab “Wa ummahatukumullaatii ardha’nakum…”,
dimana sanadnya sampai kepada Urwah bin Az-Zubair secara mursal. Sementara
Ibnu Hajar Al-Asqalany menuturkannya didalam kitab Fathul Bary, disertai
komentar bahwa Al-Isma’ily meriwayatkannya dari jalan Adz-Dzihly, dari Abil
Yaman.
Kemudian imam Abdurrazzaq meriwayatkannya dari
Ma’mar dan dia berkomentar, bahwa Khabar tersebut mengandung argumentasi
yang menunjukkan bahwa di akhirat nanti, orang kafir terkadang dapat mengambil
manfaat dari perbuatan baiknya selama hidup di dunia, akan tetapi pendapat ini
bertentangan dengan keterangan ayat 23 QS Al-Furqan,[25] :
وَقَدِمْنَا إِلَى مَا
عَمِلُوا مِنْ عَمَلٍ فَجَعَلْنَاهُ هَبَاءً مَنْثُورًا(23)
“Dan
Kami hadapi segala amal yang mereka kerjakan, lalu Kami jadikan amal itu
(bagaikan) debu yang berterbangan.” (QS Al-Furqan,[25] : 23).
Menurut
pendapat kami, Khabar di atas : pertama, dapat dinilai mursal,
yakni dimursalkan oleh Urwah bin az-Zubair dan tidak disebutkan siapa yang
mengatakannya. Sementara yang namanya “mimpi”, sebagaimana yang
dijelaskan didalam Khabar tersebut tidak dapat dijadikan sebagai hujjah.
Barangkali orang yang bermimpi tersebut (yakni Abbas bin Abdul Muthalib)
ketika itu belum masuk Islam, alias masih kafir. Dengan kata lain, keislamannya
itu jauh dari sesudah mimpinya, sehingga mimpinya tidak dapat dijadikan sebagai
hujjah. Kedua, Khabar di atas dapat diterima sebagai
hujjah. Dengan alasan mendasarkannya pada kisah Abu Thalib, bahwa ia
mendapatkan keringanan hukuman disebabkan usahanya selama hidupnya yang selalu
melindungi Rasulullah saw dari berbagai gangguan, hujatan, rencana jahat dan
rekayasa pembunuhan oleh kaum kafir Quraisy.
Imam
Al-Baihaqy mengatakan : “Ada nash hadis Nabi yang menjelaskan tentang lenyapnya
dan tidak dianggapnya amal kebaikan kaum kafir. Maksudnya, mereka tidak lepas
dari siksa api neraka dan tidak akan masuk ke surga. Namun begitu, bisa saja
mereka mendapatkan keringanan siksa”.
Sementara
‘Iyadh berpendapat, sudah menjadi ijmak di kalangan ulama, bahwa kaum kafir
tidak akan dapat mengambil manfaat dari semua amal kebaikan yang mereka lakukan
selama hidup di dunia. Mereka tidak akan mendapatkan keringanan siksaan,
meskipun sebagian di antara mereka ada siksaannya lebih keras daripada sebgian
yang lain.
Kami
tegaskan pula, bahwa pendapat ‘Iyadh di atas sebenarnya tidak menafikan
kemungkinan adanya keringanan siksaan sebagaimana yang dituturkan oleh
Al-Baihaqy. Karena semua nash tentang persoalan ini berkaitan dengan dosa-dosa
kaum kafir. Sementara dosa-dosa orang yang bukan kafir, yakni muslim yang
maksiat, apakah masih ada orang yang menolak pendapat tentang keringanan
siksaan yang akan diterima orang bukan kelompok kafir tersebut?
Al-Qurthuby berpendapat,
keringanan siksaan ini khusus bagi orang-orang yang bukan kelompok kaum kafir
dan bukan orang-orang yang ditunjuk oleh nash. Sedangkan Ibnu al-Munir didalam
kitab Hasyiyah-nya menyatakan, bahwa dalam masalah keringanan siksaan
tersebut ada dua ketentuan : Pertama, kaum kafir yang sampai wafatnya
tetap dalam kekafirannya mustahil akan mendapatkan keringanan siksaan
disebabkan oleh perbuatan taat atau amal kebaikannya di dunia. Karena syarat
diterimanya amal kebaikan adalah jika amal itu dilakukan dengan berlandaskan
keimanan yang benar dan dikerjakan dalam rangka beribadah kepada Allah swt.
Persyaratan inilah yang tidak dimiliki kaum kafir. Kedua, kaum kafir
mungkin saja menerima pemberian hadiah dari Allah disebabkan sebagian amal
kebaikannya.Namun hal ini tidak dapat dibayangkan dan tidak masuk akal.
Kalaupun ini benar, maka sikap Abu Lahab yang memerdekakan budaknya, Tsuwaibah
al-Aslamiyah, tidaklah dapat dikatakan sebagai amal shaleh yang dapat mendekatkan dirinya kepada
Allah swt.Boleh saja Allah swt memberikan anugerah-Nya kepada Abu Lahab
sekehendak-Nya, sebagaimana anugerah yang diberikan-Nya kepada Abu Thalib.
Perlu
juga kami tambahkan, bahwa terjadinya pemberian anugerah Allah swt tersebut
adalah sebagai wujud penghormatan-Nya kepada kaum kafir yang melakukan amal
kebajikan dan sejenisnya. Wallahu A’lam. (Baca kitab Fathul Bary, juz 9, pada
halaman 145).
Ibnu
Katsir meriwayatkan Khabar di muka didalam kitabnya, Al-Bidayah wan
Nihayah, kemudian memberikan komentar sehubungan dengan kisah pemerdekaan
budak Tsuwaibah Al-Aslamiyah oleh Abu Lahab : “Tsuwaibah memberitahukan kepada
Abu Lahab tentang lahirnya bayi Muhammad bin Abdullah, seorang anak dari
saudara lelakinya. Dia merasa sangat gembira mendengar kabar tersebut, lalu dia
memerdekakan budaknya itu.” (Hal ini jutga disebutkan didalam kitab As-Sirah
an-Nabawiyyah, juz 1 pada halaman 224, karya Ibnu Katsir).
Al-Hafizh
Abdurrahman bin ad-Diba’ asy-Syaibany, penulis kitab Taisirul Wushul, meriwayatkan
kisah di atas didalam buku Sirah-nya, lalu memberikan komentar : “Aku
tegaskan, bahwa keringanan siksaan bagi Abu Lahab adalah lebih disebabkan oleh
penghormatannya terhadap kelahiran Nabi Muhammad saw, sebagaimana keringanan
siksaan yang diberikan Allah swt kepada Abu Thalib. Keringanan tersebut bukan
disebabkan usahanya memerdekakan budak Tsuwaibah, karena Allah swt berfirman:
وَحَبِطَ مَا صَنَعُوا
فِيهَا وَبَاطِلٌ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ(16)
“…
dan lenyaplah di akhirat itu apa yang telah mereka usahakan di dunia dan
sia-sialah apa yang telah mereka kerjakan?” (QS Huud,[11] : 16)
(Baca kitab Hadaiqul Anwar fis-Sirah, juz
1, halaman 134).
Seperti
itulah “Ijmak” yang dikatakan oleh ‘Iyadh. Karena pada umumnya kaum
kafir tidak akan mendapatkan fasilitas keringanan siksaan atas sebagian yang
lain hanya disebabkan oleh amal perbuatan baiknya sewaktu hidup di dunia. Oleh
karena itu, Allah swt menyediakan neraka jahanna, sebagai tempat hunia kaum
kafir dan munafik.
Akan
tetapi “Ijmak” tersebut ditolak, karena adanya nash yang shahih. Dengan
demikian, suatu “Ijmak” dianggap tidak sah jika bertentangan
dengan nash, seperti yang diketengahkan didalam kitab Ash-Shahih, bahwa
Rasulullah saw pernah ditanya seorang sahabat : “Apakah engkau akan
memberikan syafaat kepada Abu Thalib disebabkan usahanya melindungi engkau dari
gangguan kaum kafir quraisy?”. Beliau saw bersabda : “Aku telah
menemukan dia dalam kepedihan siksa api neraka, kemudian aku keluarkan dia
(dari neraka yang terbawah) ke tempat permukaan neraka yang dangkal”. (Al-Hadis).
Yang
dapat disimpulkan dari hadis di atas adalah bahwa Abu Thalib dapat mengambil
manfaat dari usahanya melindungi Rasulullah saw dari gangguan kaum kafir
quraisy. Atas usahanya itu, Rasulullah saw lalu mengentaskannya dari kepedihan
siksaan di neraka yang terbawah untuk dipindahkan ke bagian neraka yang
dangkal, yakni bagian permukaannya.
Keringanan
siksaan yang diterima Abu Thalib tidak dapat dipungkiri kebenarannya. Hadis
Nabi di atas sekaligus menunjukkan bahwa ayat 16 surat Hud di muka adalah bagi
mereka yang tidak memiliki amal shaleh yang menyebabkannya mendapatkan
keringanan siksaan. Demikian pula seperti yang dijelaskan didalam “Ijmak”. Hadis
Nabi di atas menunjukkan suatu bukti bahwa Rasulullah saw, yang saat itu masih
hidup, dapat mengentaskan Abu Thalib (yang tidak sempat masuk Islam) dari
neraka yang terbawah menuju bagian permukaan neraka, dan juga akan memberikan
syafaat kepada orang-orang yang mencintai dan melindunginya.
Orang
yang berpendapat bahwa kabar berita yang bersumber dari mimpi tidak
dapat dijadikan sebagai hujjah atau hukum, menunjukkan bahwa dia sebenarnya
tidak dapat membedakan antara hukum syar’iyyah dan hukum lainnya.
Menurut
pandangan hukum syar’iyyah, apakah kabar yang bersumber dari mimpinya
Rasulullah saw itu boleh dibenarkan atau dapat diambil sebagai hukum, ataukah
tidak boleh, adalah masih diperselisihkan oleh para ulama. Namun menurut
pandangan selain hukum syar’iyyah , bahwa berpegangan pada kabar dari
mimpi (khususnya dalam persoalan ini) adalah diperbolehkan secara mutlak.
Para
imam Hadis membolehkan berpegangan pada kabar berasal dari mimpi seperti di
atas. Mereka menuturkan riwayat tentang kabar dari mimpinya kaum kafir
jahiliyah sebelum diutusnya Nabi Muhammad saw yang memberitahukan tentang akan
munculnya seorang Nabi Akhiz Zaman yang akan menghancurkan
faham politeisme (serba tuhan, ajaran syirik) dan mereka tidak akan mampu
mengalahkan Nabi itu.
Pendapat
yang mengatakan, bahwa mimpinya Abbas itu tidak dapat dijadikan sebagai hujjah
atau dalil untuk menetapkan suatu hukum dan bahkan pengkabarannya itu tidak
diterima, adalah pendapat yang bukan berasal dari para Imam Hadis dan lainnya.
Pendapat tersebut tiada lain kecuali sebagai bentuk intimidasi.
Demikian
pula pendapat yang mengatakan, bahwa Sesungguhnya orang yang bermimpi (Abbas)
lalu mengkabarkan mimpinya itu pada saat itu masih kafir, sementara orang kafir
tidak boleh didengarkan kesaksiannya, adalah satu pendapat yang tidak benar dan
sedikit pun tidak berdasarkan ilmu. Karena tidak seorang ulama pun yang
mengatakan bahwa mimpi termasuk salah satu alat persaksian secara
mutlak. Perisrtiwa mimpi hanyalah sekedar berita gembira dan bukan
selainnya. Untuk itu, tidak disyaratkan adanya keagamaan dan keimanan seseorang
dalam persoalan persaksian. Bahkan Allah swt sendiri menceritakan didalam
Al-Qur’an tentang kemukjizatan Nabi Yusuf yang mampu menakbirkan mimpinya
seorang Raja Mesir yang kafir dan tidak mengetahui ajaran agama samawi secara
mutlak. Bersamaan dengan itu, Allah swt menjadikan mimpi Raja kafir tersebut
sebagai satu dalil kebenaran tentang kenabian Nabi Yusuf. Seandainya keberadaan
mimpi itu tidak menunjukkan suatu ajaran atau hukum, tentu Allah swt
tidak akan menuturkan kisahnya didalam Al-Qur’an, apalagi mimpi itu dialami dan
diceritakan oleh Raja Mesir yang kafir. Dalam persoalan yang serupa, tidak
jarang kita menyaksikan para ulama menceritakan tentang beberapa orang kafir
yang melihat Allah swt didalam mimpinya, kemudian Dia memberikan peringatan,
nasehat dan teguran kepadanya.
Sungguh
mengherankan suatu ucapan seseorang yang menyatakan bahwa Abbas bin
Abdulmuthalib pada saat bermimpi tersebut adalah dalam keadaan kafir, sementara
kesaksian orang kafir tidak dapat dan tidak boleh didengar kesaksian dan
pengkabarannya. Pernyataan seperti itu menununjukkan ketidaktahuannya tentang
ilmu hadis. Didalam ilmu Musthalahul Hadis dirumuskan, bahwa para
sahabat dan selainnya (Tabiin, tabiu’ut-tabi’in) yang sewaktu kafirnya mereka
“memiliki” suatu Hadis Nabi,
kemudian diriwayatkannya setelah mereka masuk Islam, maka periwayatannya
itu boleh daiambil atau diterima, dan boleh mengamalkan hadis tersebut.
==============================================
*)
Sumber : Diambil dari salah satu bagian dari kitab :
|
|
Judul
Asli
|
:
مفـاهـيم يجب أن تـصحح
|
Penulis
|
:
Prof. DR. Sayyid Muhammad Alawi Al-Maliki
|
Alih
Bahasa
|
:
Achmad Suchaimi
|
Judul
Terjemahan
|
:
Pemahaman Yang Perlu Diluruskan (PYPD)
|