SIKAP KERAJAAN ARAB SAUDI TERHADAP BENDA PENINGGALAN
SEJARAH
Semoga
Allah swt tetap memberikan taufiq dan anugerah-Nya kepada Pemerintahan kami
(Kerajaan Arab Saudi) yang sangat peduli dan mencurahkan perhatiannya terhadap
benda-benda purbakala atau bekas peninggalan sejarah masa lalu, sebagai wujud
usahanya dalam menjaga kelestarian warisan sejarah kebudayaan dunia Islam.
Untuk kepentingan ini, Pemerintah mendirikan sebuah Kantor Urusan
Peninggalan Sejarah yang secara khusus menangani persoalan bekas
peninggalan sejarah dan kepurbakalaan
berdasarkan Undang-undang khusus yang mengacu pada Surat Keputusan
Kerajaan Nomor : M/26, tertanggal : 23/2/1398 H.
Kemudian
dibentukkan sebuah Majlis atau Dewan dengan nama Al-Majlis
al-A’la lil Atsar (Majlis Tinggi Urusan Peninggalan Sejarah) yang secara
khusus menangani hal-hal yang berkaitan dengan peninggalan sejarah dan
kepurbakalaan berdasarkan Keputusan Dewan Menteri Nomor : 235, tanggal :
21/2/1398 H, yang diketuai oleh Direktorat Kementerian Pendidikan, dengan
anggota terdiri dari Direktorat Kementeri Dalam Negeri, Direktorat Kementerian
Keuangan, Kementerian Wakaf dan Haji, serta Kementerian Penerangan dan
Peninggalan Sejarah.
Di
antara maksud dan tujuan dibentuknya Majlis tersebut, sebagaimana yang
dirumuskan didalam didalam Perundang-undangan, adalah mengkolekasi dan
pengumpulan secara besar-besaran benda purbakala berdasarkan informasi yang
tersedia demi terjaminnya kelestarian situs sejarah/kepurbakalaan sampai pada
tujuan akhir yang diharapkan.
KELESTARIAN
PENINGGALAN SEJARAH
Substansi
pasal 6 dari Perundang-undangan tersebut berisi uraian tentang pengambilalihan
dan penguasaan situs atau daerah yang terdapat bekas-bekas peninggalan
sejarah-kepurbakalaan, bekerjasama dengan instansi-instansi lain di seluruh
negeri sesuai dengan kekhasan urusan masing-masing; melestarikan benda-benda
peninggalan sejarah dan lokasi-lokasi yang memiliki nilai historis, seperti
menguasai benda-benda peninggalan sejarah, bangunan-bangunan yang memiliki
nilai historis, lokasi monumental, dan peninggalan sejarah lainnya yang oleh
Pemerintah dipandang memiliki nilai historis dan artistik yang tinggi, yang
perlu dilindungi, diteliti dan dipublikasikan sesuai dengan ketentuan hukum
yang ditetapkan perundang-undangan ini.
MASJID DAN
TEMPAT PERIBADATAN : PENINGGALAN SEJARAH YANG PENTING
Substansi
pasal 7 berisi ketentuan tentang peninggalan sejarah yang bersifat permanen dan
yang dapat dipindahkan :
1. Benda-benda
peninggalan sejarah yang bersifat permanen adalah benda yang menempel di bumi
seperti goa alam; goa buatan yang secara khusus dibuat untuk perlindungan arau
hunian manusia purba; prasasti atau
bebatuan yang berisi lukisan manusia, hewan, tulisan kitab-kitab kuno
dan lukisan-lukisan lainnya. Demikian pula puing-puing bekas reruntuhan
bangunan kota kuno, perkakas rumah tangga dan instalasi lainnya yang terkubur
didalam bumi; bangunan-bangunan kuno yang memiliki nilai historis yang dibangun
untuk tujuan-tujuan yang beragam, seperti bangunan masjid, tempat peribadatan
non muslim, istana dan kraton kerajaan jaman dahulu, rumah sakit, benteng
pertahanan, gelanggang, pemandian umum, makam-makam kuno, bendungan/dam, dan
puing-puing reruntuhan lainnya, serta hal-hal yang berkairtan dengannya seperti
pintu, jendela, tiang penyanggah
bangunan, tangga, balkon, atap, pagar, mahkota dan sejenisnya.
2. Benda-benda
peninggalan sejarah yang dapat dipindahkan adalah benda-benda yang sengaja
diciptakan manusia yang pada tabiatnya terpisah dengan bumi, atau terpisah
dengan bangunan-bangunan bersejarah, atau sesuatu yang mungkin dapat
dipindahkan tempatnya, seperti patung, arca, pahatan, serta barang produksi
apapun bahannya, tujuan pembuatannya dan fungsinya.
BILIK
MAKAM RASULULLAH SAW, MASJID NABAWI DAN AL-QUBBATUL HADHRA’
Sebagian
provokator memiliki rencana dan usulan pemikiran untuk memindahkan atau
menggeser letak makam Rasulullah saw agar keluar dari bangunan Masjid Nabawi.
Sewaktu almarhum Raja Khalid bin Abdul
Aziz mendengar ide tersebut, dia benar-benar marah, bahkan hal ini memancing
pro dan kotra di kalangan kaum muslimin, serta mendorong munculnya fanatisme
keagamaan mereka demi mempertahankan bilik makam tersebut agar tetap menyatu
dengan bangunan Masjid Nabawi serta berusaha keras untuk merintangi maksud dan
tujuan tersembunyi dari pengusulnya.
Semoga
Allah swt memberkati para Raja penggantinya, yakni Raja Fahd bin Abdul Azizi. Semoga
Allah swt menolong agama Islam, melindungi tempat-tempat bersejarah,
peninggalan purbakala, tempat-tempat peribadatan dan negara ini. Amin.
Para
provokator tersebut mendasarkan usulannya pada fatwa Syaikh Muhammad bin Abdul
Wahhab yang intinya agar bilik makam Rasulullah saw dikeluarkan dari bangunan
Masjid Nabawi. Namun perlu diketahui, bahwa syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab
sendiri menolak dan mengingkari penyandaran tersebut, sebagaimana yang dia
nyatakan didalam sebuah makalah yang dibacakannya di hadapan para peserta
kongres:
“Penyandaran
persoalan keagamaan yang dialamatkan kepadaku berikut ini merupakan suatu
kebohongan yang sangat keji. Bahwa aku dituduh meninggalkan kitab-kitab para
imam madzhab; aku tituduh mengatakan bahwa kaum muslimin sejak enam ratus tahun
yang lalu tidak berada di atas ajaran agama yang benar; aku dikatakan mereka
telah mempropagandakan diri untuk berijtihad secara mandiri; aku dituduh
menolak taqlid dan keluar darinya; aku dikatakan pernah mengatakan bahwa
perbedaan pendapat di kalangan para ulama adalah laknat dan dibenci Allah swt;
aku dituduh telah mengkafirkan orang
yang bertawassul dengan kaum shalihin jaman dahulu, seperti para sahabat,
tabiin, auliya’ dan para Nabi; aku dituduh mengkafirkan Al-Busyiry karena ucapannya
‘Ya Akramal Khalqi’ (Wahai makhluk termulia, yakni Nabi Muhammad saw);
aku dikatakan pernah mengatakan, ‘Sekiranya aku mampu menghnacurkan bilik
makam Rasulullah saw, tentu aku sudah menghancurkannya. Sekiranya aku mampu
menghancurkan Ka’bah, tentu akan aku hancurkan talang emas lalu aku ganti
dengan talang dari kayu’; aku dituduh melarang orang menziarahi makam
Rasulullah saw, makam kedua orang tua dan makam-makam lainnya; aku dituduh
mengkafirkan orang yang bersumpah dengan Nama selain Allah swt. Perlu
kami tegaskan, bahwa keduabelas tuduhan
keji di atas hanya aku tanggapi dengan satu jawaban : “Subhanaka, hadza
buhtanun ‘azhim, Maha Suci Engkau, Ya Allah, ini benar-benar kebohongan
yang besar.” (Dikutip dari Surat-surat Pribadi syaikh
Muhammad bin Abdulwahhab, edisi khusus, pada halaman 63.
Dan dituturkan juga didalam buku Ad-Durarus-Saniyyah juz 1, halaman 52).
Al-Qubbatul
Hadhra’.
Sebagian orang mengkaitkan usaha penghancuran Al-Qubbatul Hadhra’, yakni
kubah hijau di atas Masjid Nabawi, dengan Fatwa syaikh Muhammad bin Abdul
Wahhab. Akan tetapi, sekalilagi dia menangkis dan menolak dengan keras
pengkaitan tersebut didalam beberapa makalah, risalah dan suratnya.
Surat
syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab yang ditujukan kepada Al-Qashim antara lain
berisi penolakannya terhadap berbagai persoalan rawan dan menyimpang yang
dialamatkan kepadanya, sebagaimana yang disebutkan di muka dengan beberapa
tambahan, yaitu bahwa dia dituduh pernah : 1) mengkafirkan Ibnu al-Faridh dan
Ibnu ‘Araby; 2) mengatakan bahwa Al-Qubbatul
Hadhra’ perlu dihancurkan; 3)
membakar kitab Dalailul Khairat dan kitab Raudhur-Riyahin lalu
diganti dengan judul Raudhus-Syayathin. Terhadap tuduhan-tuduhan mereka
tersebut, hanya dia jawab dengan satu kalimat : “Subhanaka, hadza buhtanun
‘azhim, Maha Suci Engkau. Ya Allah, ini benar-benar kebohongan yang
besar”. (Baca buku Kumpulan Karangan Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab,
volume 5, surat pertama dari kumpulan surat-surat pribadinya, halaman 12.
Keterangan tersebut juga disebutkan didalam kitab Ad-Durarus-Saniyyah
juz 1 pada halaman 28).
Suratnya
yang lain pernah dia kirimkan kepada masyarakat di Irak, yang dialamatkan
kepada syaikh As-Suwaidy, salah seorang ulama di Irak, sebagai tanggapannya
terhadap beberapa pertanyaan seputar tuduhan sebagian orang kepadanya. Isi
surat tersebut antara lain, bahwa Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab menepis
tuduhan pernah melakukan sesuatu, padahal dia belum pernah melakukannya,
kemudian dia tanggapi sebagai kebohongan dan fitnah yang tidak ada buktinya :
“Semuanya itu adalah sekedar desas-desus dan rekasa bohong yang semestinya
tidak pantas dilontarkan oleh orang yang berakal sehat. Misalnya aku dituduh
pernah mengkafirkan kaum muslimin yang tidak mengikuti ajakanku dan bahwa
pernikahan mereka batal. Aku heran, bagaimana mungkin persoalan seperti itu
masuk kedalam pikiran orang yang berakal sehat?! Apakah desas-desus dan
rekayasa bohong tersebut diucapkan orang Islam ataukah Kafir, orang berilmu
ataukah bodoh?. Demikian pula tuduhan mereka bahwa aku pernah mengatakan, ‘Sekiranya
aku mamp[u menghancurkan Al-Qubbatul Hadhra’ (Kubah Hijau) di masjid Rasulullah
saw, tentu aku hancurkan’. Mengenai kasus kitab Dalailul Khairat, memang
ada penyebabnya, yaitu bahwa aku memandang jelek setiap orang yang beranggapan
bahwa membaca kitab Dalailul Khairat itu lebih mulia dan penting
daripada membaca kitab suci Al-Qur’an. Mengenai tuduhan mereka tentang perintah pembakaran
terhadap kitab Dalailul Khairat dan larangan bershalawat kepada
Rasulullah saw dengan shighat dan lafazh yang bermacam-macam adalah suatu
kebohongan”. (Majmu’ al-Mu-allafat, Kumpulan karangan syaikh Muhammad
bin Abdul Wahhab, volume 5, pada bagian surat-surat pribadi, halaman 37).
==============================================
*)
Sumber : Diambil dari salah satu bagian dari kitab :
|
|
Judul
Asli
|
:
مفـاهـيم يجب أن تـصحح
|
Penulis
|
:
Prof. DR. Sayyid Muhammad Alawi Al-Maliki
|
Alih
Bahasa
|
:
Achmad Suchaimi
|
Judul
Terjemahan
|
:
Pemahaman Yang Perlu Diluruskan (PYPD)
|