Tampilkan postingan dengan label ahlussunnah wal jamaah. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label ahlussunnah wal jamaah. Tampilkan semua postingan

Kamis, 18 Juli 2013

PYPD - 28. Pengagungan Terhadap Nabi SAW : Antara Peribadatan dan Sopan Santun


Oleh: Sayyid Muhammad Alawi Al-Maliki





Banyak orang yang salah paham terhadap hakekat pengagungan atau penghormatan di satu sisi, dan hakekat penyembahan atau pengkultusan di sisi lain. Mereka mencampuradukkan pemahaman terhadap kedua hakekat tersebut. Mereka beranggapan bahwa berbagai bentuk pengagungan, penghormatan, atau penyanjungan merupakan suatu bentuk pengkultusan, penyembahan atau peribadatan kepada orang yang diagungkan. Misalnya sikap berdiri untuk menghormat, mencium tangan, menghormati Rasulullah saw dengan panggilan “Sayyidina” (tuan, penghulu, pemimpin kami) atau “Maulana” (tuan kami), berdiri dengan sikap hormat  dan merunduk di depan makam beliau sewaktu menziarahinya, dan sikap-sikap penghormatan lainnya. Mereka berpandangan bahwa semuanya tadi merupakan sikap dan prilaku yang berlebih-lebihan yang dapat mengantarkan pelakunya kepada penyembahan atau pengkultusan kepada sesuatu selain Allah swt. Pandangan semacam itu, pada hakekatnya, merupakan cermin  kebodohan dan ketololan  yang tidak disukai Allah swt dan Rasul-Nya, serta bentuk pemaksaan diri yang tidak diharapan oleh Syariat Islam.
Nabi Adam as adalah manusia pertama, sekaligus hamba Allah yang shaleh pertama kali. Allah swt memerintahkan para malaaikat agar bersujud kepada sebagai wujud penghormatan disebabkan ilmu yang dimiliki beliau, sekaligus sebagai pengakuan mereka kepada beliau selaku makhluk pilihan Allah swt. Allah swt berfirman :

وَإِذْ قُلْنَا لِلْمَلَائِكَةِ اسْجُدُوا لِآدَمَ فَسَجَدُوا إِلَّا إِبْلِيسَ قَالَ ءَأَسْجُدُ لِمَنْ خَلَقْتَ طِينًا (61)   قَالَ أَرَأَيْتَكَ هَذَا الَّذِي كَرَّمْتَ عَلَيَّ
 “Dan (ingatlah), tatkala Kami berfirman kepada para malaikat: "Sujudlah kamu semua kepada Adam", lalu mereka sujud kecuali iblis. Dia berkata,"Apakah aku akan sujud kepada orang yang Engkau ciptakan dari tanah?". Dia (iblis) berkata: "Terangkanlah kepadaku inikah orangnya yang Engkau muliakan atas diriku? Sesungguhnya jika Engkau memberi tangguh kepadaku sampai hari kiamat, niscaya benar-benar akan aku sesatkan keturunannya, kecuali sebahagian kecil". (QS Al-Isra’,[17] : 61)

قَالَ أَنَا خَيْرٌ مِنْهُ خَلَقْتَنِي مِنْ نَارٍ وَخَلَقْتَهُ مِنْ طِينٍ
Iblis berkata: "Aku lebih baik daripadanya, karena Engkau ciptakan aku dari api, sedangkan dia Engkau ciptakan dari tanah". (QS Shaad,[38] : 76)
فَسَجَدَ الْمَلَائِكَةُ كُلُّهُمْ أَجْمَعُونَ(30)إِلَّا إِبْلِيسَ أَبَى أَنْ يَكُونَ مَعَ السَّاجِدِينَ
Maka bersujudlah para malaikat itu semuanya bersama-sama, kecuali iblis. Ia enggan ikut bersama-sama (malaikat) yang sujud itu.” (QS Al-Hijr,[15] : 30)

Para malaikat menghormati orang yang dimuliakan Allah swt. Sementara itu, Iblis merasa takabbur, sehingga ia enggan sujud menghormat kepada manusia Adam yang diciptakan dari tanah. Oleh karenanya, iblis adalah makhluk pertama yang mencoba mengukur kebenaran agama dengan pendapatnya, sebagaimana yang tercermin dalam ucapannya: “Aku lebih baik darinya”, disertai dengan suatu alasan bahwa dia diciptakan dari api, dan manusia Adam diciptakan dari tanah.
 Dengan kata lain, iblis memandang rendah manusia Adam yang dimuliakan Allah swt tersebut, lalu ia menolak perintah-Nya untuk bersujud hormat kepada Adam. Atas sikapnya ini, iblis merupakan makhluk pertama yang menyombongkan diri dan enggan menghormati manusia Adam yang telah dihormati Allah swt, sehingga dengan sendirinya dia menjauhkan diri dari rahmat-Nya. Pada hakekatnya, sikap takabburnya iblis tersebut sama artinya dengan takabbur kepada Allah swt selaku Pencipta manusia Adam. Sementara itu, sikap bersujud hormat kepada manusia Adam, pada hakekatnya, sama artinya dengan bersujud hormat kepada Allah swt, disebabkan bahwa bersujud tersebut adalah atas dasar perintah dari-Nya. Dengan kata lain, sikap bersujud kepada Adam dijadikan sebagai tolok ukur penghormatan dan pemuliaan mereka kepada Allah swt. Konon iblis adalah termasuk golongan makhluk yang bertauhid, namun sayang bahwa  ketauhidannya tidak membawa kemanfaatan dan kemaslahatan bagi dirinya. Na’udzu billahi min dzalik.
Tentang pengagungan kepada orang-orang shaleh, Allah swt mengetengahkan fenomena sujud-nya saudara-saudara Yusuf as kepadanya didalam firman-Nya :

وَرَفَعَ أَبَوَيْهِ عَلَى الْعَرْشِ وَخَرُّوا لَهُ سُجَّدًا
Dan ia menaikkan kedua ibu-bapaknya ke atas singgasana. Dan mereka (semuanya) merebahkan diri seraya sujud kepada Yusuf.” (QS Yusuf,[12] : 100)

Kata “Sujud” didalam ayat tersebut berarti penghormatan, pemuliaan dan pengagungan kepada Nabi Yusuf as. Para saudara Yusuf melakukan sujud hormat kepada beliau dengan cara merebahkan diri ke tanah, sebagaimana yang ditunjukkan oleh lafazh “wa khorru sujjadan (وَ خَــرُّا سُـجَّــداً )  Barangkali bentuk sujud semacam ini diperbolehkan menurut syari’at mereka. Atau sujud yang mereka lakukan adalah seperti sujudnya para malaikat kepada manusia Adam, sebagai wujud penghormatan kepadanya dan sekaligus sebagai bentuk ketaatan mereka terhadap perintah Allah swt. 
Mengenai pengagungan kepada Nabi Muhammad saw, Allah swt menjelaskan hak-hak beliau dalam beberapa firman-Nya :
إِنَّا أَرْسَلْنَاكَ شَاهِدًا وَمُبَشِّرًا وَنَذِيرًا(8)لِتُؤْمِنُوا بِاللَّهِ وَرَسُولِهِ وَتُعَزِّرُوهُ وَتُوَقِّرُوهُ وَتُسَبِّحُوهُ بُكْرَةً وَأَصِيلًا
 Sesungguhnya Kami mengutus kamu  (Muhammad) sebagai saksi, pembawa berita gembira dan pemberi peringatan, Sesungguhnya Kami mengutus kamu sebagai saksi, pembawa berita gembira dan pemberi peringatan,” (QS Al-Fath,[48] : 8-9)

يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا لَا تُقَدِّمُوا بَيْنَ يَدَيِ اللَّهِ وَرَسُولِهِ
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mendahului Allah dan Rasul-Nya” (QS Al-Hujurat,[49] : 1)

يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا لَا تَرْفَعُوا أَصْوَاتَكُمْ فَوْقَ صَوْتِ النَّبِيِّ وَلَا تَجْهَرُوا لَهُ بِالْقَوْلِ كَجَهْرِ بَعْضِكُمْ لِبَعْضٍ أَنْ تَحْبَطَ أَعْمَالُكُمْ وَأَنْتُمْ لَا تَشْعُرُونَ(2)إِنَّ الَّذِينَ يَغُضُّونَ أَصْوَاتَهُمْ عِنْدَ رَسُولِ اللَّهِ أُولَئِكَ الَّذِينَ امْتَحَنَ اللَّهُ قُلُوبَهُمْ لِلتَّقْوَى  لَهُمْ مَغْفِرَةٌ وَأَجْرٌ عَظِيمٌ
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu meninggikan suaramu lebih dari suara Nabi, dan janganlah kamu berkata kepadanya dengan suara keras sebagaimana kerasnya (suara) sebahagian kamu terhadap sebahagian yang lain, supaya tidak hapus (pahala) amalanmu sedangkan kamu tidak menyadari. Sesungguhnya orang-orang yang merendahkan suaranya di sisi Rasulullah mereka itulah orang-orang yang telah diuji hati mereka oleh Allah untuk bertakwa. Bagi mereka ampunan dan pahala yang besar.” (QS Al-Hujurat,[49] : 2-3)
لَا تَجْعَلُوا دُعَاءَ الرَّسُولِ بَيْنَكُمْ كَدُعَاءِ بَعْضِكُمْ بَعْضًا
Janganlah kamu jadikan panggilan Rasul di antara kamu seperti panggilan sebahagian kamu kepada sebahagian (yang lain).” (QS An-Nur,[24] : 63)

Selain di atas, Allah swt juga melarang  para sahabat menghadap kepada Rasulullah saw dengan ucapan yang tidak sopan dan mendahaului pembicaraan beliau. Sahal bin Abdullah ra berkata, “Jangan berbicara sebelum beliau saw berbicara, atau jangan berbicara mendahului beliau. Jika beliau sudah memulai berbicara, dengarkan pembicaraannya dengan tekun”. Katanya lagi, “Ayat di atas adalah sebagai larangan mendahului beliau saw dalam memutuskan suatu persoalan sebelum beliau memutuskannya dan larangan mengeluarkan fatwa, misalnya fatwa yang berkaitan dengan pembunuhan dan persoalan keagamaan lainnya, kecuali atas perintah beliau. Dan juga berisi larangan memberi nasehat, dakwah, amar makruf dan nahi munkar yang bertentangan dengan sunnah beliau”. 
Sedangkan akhir ayat 1 QS al-Hujurat: “ … dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui”, As-Sulamy menafsirkannya : “Takutlah kepada Allah swt dalam hal menyepelekan hak-hak-Nya, karena Dia Maha Mendengar terhadap semua ucapanmu dan Maha Melihat terhadap sepak terjangmu”. 
Selanjutnya, ayat di atas juga menjelaskan larangan Allah swt terhadap kaum muslimin, agar mereka tidak meninggikan suaranya melebihi suara Rasulullah saw dan tidak mengeraskan ucapannya sebagaimana yang biasa dilakukan sebagian orang kepada sebagian yang lain, seperti memanggil beliau dengan menyebut namanya. 

Abu Muhammad al-Makky berkata, “Jangan mendahului beliau saw dalam berbicara, atau berbicara kepada beliau secara salah. Jangan memanggil beliau seperti panggilan sebagian orang kepada sebagian yang lain. Akan tetapi bersikaplah kepada beliau dengan penuh penghormatan, pemuliaan dan rendah hati, serta memanggilnya dengan panggilan yang disukai beliau, seperti dengan panggilan : Ya Rasulullah, Ya Nabiyyallah…. Hal ini senada dengan firman Allah : “Janganlah kamu jadikan panggilan Rasul di antara kamu seperti panggilan sebahagian kamu kepada sebahagian yang lain” (QS An-Nur,[24] : 63).
Ulama lainnya menjelaskan, “Janganlah berbicara kepada Rasulullah saw kecuali dengan maksud untuk bertanya atau memohon penjelasan”.  Kemudian akhir ayat 2 QS al-Hujurat menjelaskan tentang ketakutan dan kekhawatiran mereka kepada Allah swt, dengan suatu harapan agar amal perbuatan mereka tidak terhapus pahalanya ketika itu.
QS Al-Hujurat,[49] : 1-3 di atas turun sewaktu sekelompok orang menghadap kepada beliau saw seraya memanggil, “Hai Muhammad ! Keluarlah kepada kami”, lalu Allah swt mencela ketololan dari kelakuan mereka tersebut dan menjelaskan bahwa sebagian besar mereka adalah tidak berakal, sebagaimana firman-Nya: 

إِنَّ الَّذِينَ يُنَادُونَكَ مِنْ وَرَاءِ الْحُجُرَاتِ أَكْثَرُهُمْ لَا يَعْقِلُونَ
“… Sesungguhnya orang yang memanggil kamu dari luar kamarmu, kebanyakan mereka tidak berakal” (QS Al-Hujurat : 4) 

Amr bin Ash ra berkata, “Tidak seorang pun yang aku cintai dan lebih aku hormati di depan mataku selain diri Rasulullah saw. Aku tidak mampu memenuhi mataku untuk memandang beliau disebabkan keagungannya.  Sekiranya aku ditanya dan diminta untuk menjelaskan tentang diri beliau, tentu aku tidak mampu untuk menjelaskannya dengan sempurna, karena aku tidak mampu memenuhi mataku untuk menatap beliau secara langsung”. (HR Muslim).
Imam at-Tirmidzi meriwayatkan hadis dari Anas bin Malik ra, bahwa Rasulullah saw pernah keluar menemui para sahabat muhajirin dan anshar. Mereka duduk bersama beliau. Di sana ada Abu Bakar dan Umar. Tidak seoang pun di antara mereka yang berani mengangkat kepalanya untuk sekedar menatap wajah beliau, selain Abu Bakar dan Umar. Kedua sahabat dekatnya tersebut  memandang  wajah beliau, dan beliau pun memandang kedua sahabatnya itu. Mereka berdua tersenyum kepadsa beliau, dan beliau pun tersenyum kepada mereka berdua.

Usamah bin Syuraik ra menceritakan, bahwa dirinya pernah datang sowan menemui Rasulullah saw. Para sahabat yang ada di sekeliling beliau sama anteng tak bergerak, seakan-akan di atas kepala mereka bertengger seekor burung. Bila beliau saw mulai berbicara, mereka diam seribu bahasa untuk mendengarkan pembicaraan beliau seraya menundukkan kepalanya, seakan-akan bertengger seekor burung di atas kepala mereka.

Urwah bin Mas’ud ra menceritakan pengalamannya, bahwa sewaktu diutus oleh suku Quraisy untuk menghadap kepada Rasulullah saw pada tahun qadhiyyah, dia melihat suatu pemandangan yang menakjubkan, betapa para sahabat sangat menghormati dan mengagungkan beliau. Setiap kali beliau wudhu, mereka saling berebutan mendapatkan air sisa wudhunya, seakan-akan mereka hendak bertarung untuk memperebutkan sesuatu. Beliau saw tidak meludah dan berdahak, melainkan mereka berebutan menyediakan telapak tangannya untuk menampung air ludah dan dahak beliau, lalu diusap-usapkan ke wajah dan sekujur tubuh mereka. Tidak sehelai pun rambut beliau yang jatuh, melainkan mereka saling berebutan untuk mengambilnya. Bila beliau saw mengeluarkan perintah, mereka sangat antusias untuk melaksanakannya. Bila beliau berbicara, mereka rendahkan suaranya, menundukkan kepalanya dan tidak berani menatap wajah beliau, karena rasa hormatnya kepada beliau. 
Setelah kembali kepada suku Quraisy, Urwah berkata kepada kaumnya, “Hai sekalian kaum Quraisy ! Aku pernah mendatangi Kisra Persia di keratonnya, pernah menemui Kaisar Romawi di istananya, bahkan pernah menghadap kepada Raja Najasyi (Negus) di istananya. Demi Allah, aku belum pernah melihat seorang  pun raja di tengah-tengah rakyatnya yang sepadan dengan Muhammad di tengah-tengah para sahabatnya”. Menurut riwayat yang lain, Urwah berkata kepada kaumnya, “Sesungguhnya aku sama sekali tidak pernah melihat seorang pun raja yang sangat dihormati dan disanjung-sanjung rakyatnya, melebihi Muhammad. Aku benar-benar menyaksikan suatu kaum (yakni kaum muslimin) yang tidak akan begitu saja menyerahkan pemimpinnya (yakni Nabi Muhammad saw) untuk selamanya”.
Imam at-Thabrani dan Ibnu Hibban dalam kitab “Shahih”-nya menuturkan sebuah hadis dari Usamah bin Syuraik ra, bahwa ia berkata: “Kami sedang duduk-duduk di samping Rasulullah saw seakan-akan di atas kepala kami bertengger seekor burung. Tidak seorang pun di antara kami yang berani  berbicara sewaktu sekelompok orang datang menemui beliau seraya berkata, “Siapa orangnya yang paling dicintai Allah swt ?”. Beliau menjawab, “Orang yang paling baik budi pekertinya”.  Demikianlah yang tertulis didalam kitab “At-Targhib” juz 4, halaman 187.
Al-Baihaqi mengetengahkan hadis dari Az-Zuhri, katanya: “Aku diberi tahu orang Anshar yang tidak tinggal di Tihamah, bahwa Rasulullah saw bila berwudhu, berdahak dan meludah, para sahabat berebut sisa air wudhu, dahak dan air ludahnya, lalu diusap-usapkan pada wajah dan kulit tubuh mereka. Beliau saw bersabda, “Kenapa kalian lakukan ini ?”. Mereka jawab, “Dengan perbuatan ini, kami ingin mendapatkan keberkahannya” Selanjutnya beliau saw bersabda, “Barangsiapa yang ingin dicintai Allah swt dan Rasul-Nya, hendaklah ia berkata jujur, menunaikan amanat dan tidak menyakiti tetangganya”.
Walhasil. Dalam pembahasan di sini, ada dua persoalan besar yang perlu mendapatkan perhatian khusus. Pertama: Wajibnya mentauhidkan ke-rububiyah-an Allah disertai I’tiqad bahwa Allah Maha Esa dalam Dzat, Sifat dan Af’al-Nya dari sekalian makhluk-Nya. Siapa saja yang beri’tiqad bahwa pada diri makhluk terdapat kesekutuan, keidentikan dan keserupaan dengan Dzat, Sifat dan Af’al Allah swt, maka ia benar-benar melakukan kesyirikan. Seperti I’tiqadnya kaum musyrikin jahiliyah yang menganggap bahwa dalam diri setiap berhala terdapat sifat-sifat uluhiyyah (“Ketuhanan”) dan menganggap bahwa berhala tersebut berhak menerima peribadatan.  Demikian pula orang yang mengurangi, menyepelekan dan merendahkan martabat Rasulullah saw, ia benar-benar telah melakukan kemaksiatan dan kekufuran. Kedua: Wajibnya menghormati dan mengagungkan Rasulullah saw, meninggikan derajat, status dan martabat beliau di atas sekalian makhluk.
Mengenai orang yang berlebih-lebihan dalam berbagai bentuk penghormatan dan pengagungan kepada diri Rasulullah saw, namun tidak sampai memberikan kepada beliau sifat-sifat uluhiyyah yang sebenarnya hanya pantas dimiliki Allah swt, maka tindakannya itu masih dalam batas-batas yang dibenarkan oleh agama dan tidak keluar dari garis risalah beliau saw. Jika pada diri kaum muslimin ditemukan suatu ucapan yang disandarkan atau dinisbatkan kepada sesuatu selain Allah swt, maka ucapan tersebut harus ditafsirkan sebagai ucapan “Majaz Aqli” yang juga sering digunakan didalam beberapa ayat Al-Qur’an dan hadis nabawi.


_________________________________________________




Sumber : Diambil dari salah satu bagian dari kitab :
Judul Asli
: مفـاهـيم يجب أن تـصحح
Penulis
: Prof. DR. Sayyid Muhammad Alawi Al-Maliki
Alih Bahasa
: Achmad Suchaimi
Judul Terjemahan
: Pemahaman Yang Perlu Diluruskan (PYPD)