Tampilkan postingan dengan label aqidah Aswaja. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label aqidah Aswaja. Tampilkan semua postingan

Minggu, 21 Juli 2013

PYPD - 43. KAJIAN HADIS NABI TENTANG WISATA RELIGI "ZIARAH KUBUR"




 
Oleh Sayyid Muhammad Alawi Al-Maliki



Banyak sekali orang yang salah dalam memahami hadis Nabi :

لَا تُـشَدُّ الرِّحَالُ إِلَى الْـقـبْرِ إِلاّ إِلَى ثَلَاثَـةِ مَسَاجِدَ  : الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ وَ مَسْجِدِيْ هَـذَا وَ الْمَسْجِدِ اْلأَقْصَى

Janganlah bepergian jauh melainkan pergi menuju ketiga masjid, yakni Masjidil Haram, Masjidku ini, dan Masjidil Aqsha”.

Mereka menjadikan hadis tersebut sebagai alasan untuk mengingkari dan menolak keras setiap bepergian jauh dengan tujuan berziarah ke makam Rasulullah saw. Mereka beranggapan bahwa perjalanan jauh semacam itu merupakan perjalanan maksiat. Alasan tersebut sama sekali tidak benar, karena didasarkan atas landasan pemahaman yang tidak benar dan logika yang salah.

Sabda Rasulullah saw : لا تـشدّ الرحال إلاّ إلى ثلاثـة مساجد  (“Janganlah bepergian jauh melainkan pergi ke tiga masjid”) menggunakan Uslub atau struktur dan gaya bahasa yang dikenal dengan  "الإسـتـثناء"    ("Al-Istitsna’", Pengecualian). Struktur bahasa semacam ini memerlukan adanya : "الـمستـثـنى"  ("Al-Mus-tatsna", yang dikecualikan) dan "الـمستـثـنى منـه"  ("Al-Mus-tatsna Min-hu", dikecualikan darinya) . "Mus-tatsna" adalah kata atau lafazh yang terletak setelah lafazh  "إلاّ"  ("Illa", kecuali, melainkan). Sementara “Mus-tatsna min-hu” adalah kata yang terletak sebelum kata "إلاّ" . Baik “Mus-tatsna” maupun “Mus-tatsna min-hu”  itu terkadang bersifat "Wujud" (Ada secara lafzhiyah)  dan terkadang  bersifat "Taqdir" (Dikira-kirakan adanya. Secara lafzhiyah tidak ada, namun secara maknawiyah Ada). Pembahasan dari segi tata bahasa ini telah dibicarakan secara luas dan mendalam didalam kitab-kitab “Nahwu".
 Kalau kita perhatikan teks hadis di atas, kita akan menyimpulkan bahwa hadis itu secara jelas menyebutkan “Mus-tatsna”-nya, yakni kata " إلى ثلاثـة مسـاجد” (pergi ke tiga masjid) yang terletak setelah kata "إِلاَّ"   (melainkan). Dengan demikian “Mus-tatsna”-nya bersifat “Wujud” (ada, nampak dan dapat kita baca). Hanya saja “Mus-tatsna Min-hu”-nya, yang terletak sebelum kata "إِلاّ"  , tidak disebutkan. Dengan demikian “Mus-tatsna min-hu”-nya  bersifat “Taqdir” (diperkirakan wujudnya, secara lafzhiyah tidak tertulis, namun secara maknawiyah diperkirakan adanya).

Seandainya jika “Mus-tatsna Min-hu”-nya berupa kata : "إِلَى الْـقَـبْرِ”  (ke kuburan), maka hadis di atas akan berbunyi :

لَا تُـشَدُّ الرِّحَالُ إِلَى الْـقـبْرِ إِلاّ إِلَى ثَلَاثَـةِ مَسَاجِدَ  . . .

Janganlah bepergian ke kuburan melainkan pergi menuju ketiga masjid, …"

Dengan demikian, maka tidak ada kesesuaian hubungan pembicaraan antara “kuburan” dan “masjid”. Padahal yang namanya “Mus-tatsna” adalah merupakan bagian dari “Mus-tatsna Min-hu” . Hati para ulama terasa tidak tenang dan bahkan tidak terima jika pembicaraan ini dikaitkan dengan sabda Rasulullah saw. Para ulama tidak akan mengatakan, bahwa “Mus-tatsna Min-hu”-nya adalah berupa kata “menuju ke kuburan” disebabkan kata itu tidak layak berkedudukan sebagai “Mus-tatsna min-hu”. Bukankah antara “Mus-tatsna” dan “Mus-tatsna min-hu” itu harus sejenis?! Sementara kata “masjid” dan kata “kuburan” adalah tidak sejenis.

Atau seandainya jika “Mus-tatsna Min-hu”-nya berupa kata “tempat” (dalam pengertian yang sangat luas, bisa diartikan tempat perdagangan; tempat mencari ilmu seperti sekolah, pondok dan sejenisnya; tempat untuk melakukan kebaikan apa saja), maka pengertian hadis di atas  adalah : “Janganlah bepergian jauh menuju ke tempat (pasar, sekolah, pondok, majlis pengajian dan tempat kebaikan lainnya) … melainka pergi menuju tiga masjid, yakni …”. Ini pun juga merupakan pemahaman yang salah dan menyimpang.

Ringkas kata, hadis di atas menyebutkan “Mus-tatsna”-nya (kata : ke tiga masjid), akan tetapi tidak menyebutkan “Mus-tatsna min-hu”-nya, atau ia bersifat Taqdir (dikira-kirakan keberadaannya) yang menurut para ahli Nahwu (Tatabahasa Arab) ia tidak lepas dari salah satu di antara tiga segi / pengertian, yaitu bahwa “Mus-tatsna min-hu”-nya diperkirakan berupa kata :

Pertama : kata “Kuburan”, sehingga hadis tersebut akan memiliki pengertian : “Janganlah bepergian jauh ke kuburan, melainkan pergi menuju tiga masjid  yakni Masjidil Haram, Masjidku ini (Masjid Nabawy) dan Masjidil Aqsha”.  Perkiraan kata kuburan ini didasarkan atas pendapat segelintir orang yang memperalat hadis tersebut sebagai dalil untuk menolak, mengingkari dan melarang bepergian jauh dalam rangka berziarah kubur. Ini merupakan perkiraan orang-orang yang bodoh dan sekaligus menunjukkan ketidaktahuan mereka terhadap gaya bahasa arab. Bahkan orang yang tidak mengerti ilmu Nahwu dan gaya bahasa arab secara mendalam pun sebenarnya akan menolak pemahaman seperti itu. Pemahaman seperti itu tidak layak dinisbatkan dan dialamatkan sebagai sabda Rasulullah saw, bahkan mustahil beliau berbicara dengan Uslub atau gaya bahasa seperti itu.

Kedua :  Kata “Tempat” pada umumnya. Ini pun kurang benar dan tidak masuk akal, sehingga hadis di atas akan memiliki pengertian : “Janganlah bepergian jauh ke tempat perdagangan (pasar, mall, supermarket, dll); ke tempat mencari ilmu (sekolah, pondok, majlis taklim, seminar dll); ke tempat tertentu untuk melakukan kebaikan (seperti mengikuti rapat, ke kantor, kerja bakti, dll), kecuali pergi ke tiga masjid, yakni Masjidil Haram, Masjidku ini (Masjid Nabawy) dan Masjidil Aqsha”. Dan kenyataannya, tidak ada seorang pun yang berpendapat seperti itu.

Ketiga : berupa kata “Masjid”, sehingga pemahaman hadis di atas akan berbunyi : “Janganlah bepergian jauh menuju ke suatu Masjid melainkan menuju tiga masjid, yakni Masjidil Haram, Masjidku ini (Masjid Nabawy) dan Masjidil Aqsha”. Dengan pemahaman seperti ini maka kita akan menemukan kesesuaian dan keserasian makna dari suatu susunan kalimat, serta sesuai dengan gaya bahasa arab yang fashih.

Alhamdulillah. Kami menemukan beberapa Hadis Nabi lain yang dapat dijadikan sebagai “petunjuk” untuk mencari kata yang tepat bagi “Mus-tatsna min-hu” yang tidak disebutkan atau dibuang didalam hadis di muka. Di antaranya adalah :

1.   Hadis yang diketengahkan oleh Imam Ahmad bin Hambal, dari jalan Syahr bin Hausyab, bahwa dia berkata : “Aku mendengar Abu Sa’id, lalu aku tuturkan kepadanya mengenai shalat di atas bukit, kemudian dia mengemukakan sabda Rasulullah saw : ‘Tidak selayaknya seseorang bepergian jauh bertujuan sekedar mendatangi suatu masjid untuk melakukan shalat didalamnya, selain pergi ke Masjidil Haram, Masjidil Aqsha, dan Masjidku ini”.
Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-Asqalany mengatakan, bahwa hadis tersebut sudah tersebar luas di kalangan kaum muslimin dan dinilai Hasan (bagus), meskipun ada sedikit kelemahan. (Fathul Bary juz 3, hal. 65).

2. Hadis yang bersumber dari Aisyah ra, bahwa Rasulullah saw bersabda : “Aku adalah Khatamul anbiya’ (Penutup para Nabi), dan Masjidku ini adalah penutup masjid para Nabi. Masjid yang paling berhak diziarai dan dikunjungi dalam bepergian jauh adalah Masjidil Haram dan Masjidku ini (Masjid Nabawy di Madinah). Shalat di Masjidku ini lebih utama daripada seribu kali shalat di masjid-masjid selainnya, kecuali shalat di Masjidil Haram”.
Sabda Rasulullah saw di atas menjelaskan, bahwa semua masjid, kecuali tiga masjid (Masjidil Haram, Masjid Nabawi dan Masjidil Aqsha), yang tersebar di seluruh dunia ini memiliki nilai keutamaan yang relatif sama dan keutamaannya itu tidak saling melebihi antara satu dengan lainnya. Oleh karena itu, tidak ada gunanya bersusah payah melakukan berpegian jauh mendatangi salah satu masjid tersebut, kecuali mendatangi tiga masjid di atas. Karena ketiga Masjid tersebut memiliki nilai kautamaan lebih.

Sementara mengenai kuburan atau makam, adalah tidak masuk dalam pembicaraan hadis dari Aisyah ra di atas. Dengan demikian, menyisipkan kata “kuburan” kedalam pemahaman hadisnya Aisyah di atas adalah sama artinya dengan melakukan “kebohongan” terhadap diri Rasulullah saw.

Mengenai persoalan “Berziarah kubur”, khususnya menziarahi kuburan Rasulullah saw di Madinah, merupakan salah satu perbuatan yang diperintahkan agama. Bahkan sebagian besar para ulama telah membahasnya didalam kitab-kitab “Manasik Haji” , bahwa menziarahi makam Rasulullah saw adalah sunnah hukumnya. Pendapat ini didukung oleh hadis-hadis yang cukup banyak, di antaranya:

1). Hadis yang bersumber dari riwayat Ibnu Umar, bahwa Rasulullah saw bersabda : “Barangsiapa yang menziarahi makamku, maka aku akan berkewajiban memberinya syafaat”. (HR Al-Bazzar yang dikutip  oleh Ibnu Taimiyah dan dinilainya dha’if. Namun dia tidak menghukuminya sebagai hadis maudhu’ (hadis palsu atau karangan seeorang) dan bohong. (Al-Fatawa, juz 27, hal. 30).

2). Hadis dari Ibnu Umar, bahwa Rasulullah saw bersabda : “Barangsiapa yang datang mengunjungiku, dan dia tidak mengetahui maksud tujuannya selain niat menziarahiku, maka aku wajid memberikan syafaat kepadanya pada hari kiamat nanti”. (HR At-Thabrany yang disebutkan didalam kitabnya, Al-Ausath al-Kabir).
Didalam hadis di atas ada salah seorang perawi yang bernama  Maslamah bin Salim yang dinilai dha’if (“Majma’ az-Zawaid” juz 4, hal. 2). Sementara Al-Hafizh Al-‘Iraqy mengatakan, bahwa Ibnu as-Subky menilai hadis tersebut sebagai hadis shahih. (“Al-Mughny” juz 1, hal. 265).

3). Hadis dari Ibnu Umar lagi, bahwa Rasulullah saw bersabda : “Barangsiapa yang selesai menunaikan ibadah haji lalu pergi menziarahi makamku sepeninggalku nanti, maka ia bagaikan mengunjungiku sewaktu hidupku”. (HR At-Thabrany didalam kitab “Al-Kabir” dan kitab “Al-Ausath”. Didalamnya terdapat seorang Rawy bernama Hafazh bin Abu Dawud al-Qary yang dinilai Tsiqah oleh Imam Ahmad bin Hambal, namun dipandang dha’if oleh sebagian imam hadis yang lain.)

4). Hadis bersumber dari Ibnu Umar lagi, bahwa Rasulullah saw bersabda : “Barangsiapa yang menziarahi makamku setelah wafatku, maka dia bagaikan mengunjungiku sewaktu hidupku” (HR At-Thabrany didalam kitab “Ash-Shaghir” dan kitab “Al-Ausath”.).

Kesimpulannya. Hadis-hadis Nabi yang menjelaskan diperintahkannya berziarah kubur ke makam beliau saw di atas memiliki jalur sanad yang beragam. Sebagian hadis memperkuat sebagian yang lain, sebagaimana yang dikutip oleh Al-Manawy dari al-Hafizh Adz-Dzahaby didalam buku “Faidh al-Qadir” juz 6 pada halaman 140.  Sebagian ulama ada yang menilainya sebagai hadis-hadis shahih dan dinukil keshahihannya oleh para imam hadis yang terkenal, para penghafal hadis yang dapat dipercaya, seperti Imam As-Subky, Ibnu Sakan, Al-‘Iraqy, Al-Qadhy ‘Iyadh (didalam bukunya “Asy-Syifa), Mulla Aly Qariy, dan Al-Khafajy. (Lihat buku Nasim ar-Riyadh, juz 3, halaman 511).

Selain di atas, keempat Imam madzhab empat (Maliki, Hanafi, Syafi’i dan Hambali) dan para ulama besar lainnya berpendapat  tentang disyariatkannya menziarahi makam Rasulullah saw, sebagaimana yang dijelaskan didalam beberapa kitab Fiqih mereka yang Mu’tamad (dapat dipercaya dan layak dijadikan sebagai ‘pegangan’ atau sumber bacaan). Pendapat mereka ini sebenarnya sudah cukup dijadikan alasan tentang diperintahkannya menziarahi makam Rasulullah saw, sekaligus sebagai dalil untuk menerima hadis-hadis tentang ziarah kubur di atas. Meskipun hadis tersebut bernilai dha’if, akan tetapi hadis itu akan menjadi kuat disebabkan telah diamalkan oleh orang banyak dan didukung dengan Fatwa para Fuqaha’, sesuai dengan yang dijelaskan oleh  Kaidah-kaidah para ahli ushul fiqh dan hadis.



==============================================

*) Sumber : Diambil dari salah satu bagian dari kitab :
Judul Asli
: مفـاهـيم يجب أن تـصحح
Penulis
: Prof. DR. Sayyid Muhammad Alawi Al-Maliki
Alih Bahasa
: Achmad Suchaimi
Judul Terjemahan
: Pemahaman Yang Perlu Diluruskan (PYPD)

Sabtu, 20 Juli 2013

PYPD - 41. KEHIDUPAN KHAS ROSULULLAH SAW DI ALAM BARZAKH *)




Oleh Sayyid Muhammad Alawi Al-Maliki

Kehidupan Barzakhiyah Nabi Muhammad saw lebih sempurna dan agung daripada selainnya. Beliau saw memberitahukan sendiri perihal keadaannya yang akan dialaminya di alam barzah sepeninggalnya. Di antaranya adalah masih bersambungnya hubungan antara beliau saw dengan umatnya, mengetahui keadaan umatnya, mengetahui dan mengawasi amal perbuatan mereka, mampu mendengarkan pembicaraan  mereka, serta dapat mengembalikan ucapan Shalawat dan Salam kepada mereka yang mengucapkannya.


RASULULLAH SAW MENGEMBALIKAN UCAPAN SHALAWAT-SALAM  UMATNYA

Banyak hadis yang menjelaskan persoalan ini, di antaranya adalah :

a. Hadis dari Abdullah bin Mas’ud ra, bahwa Rasulullah saw bersabda : “Sesungguhnya Allah swt memiliki malaikat yang berkelana keliling dunia. Mereka menyampaikan kepadaku setiap ucapan Shalawat dan Salam dari umatku”.
Al-Mundziry mengatakan bahwa hadis di atas diriwayatkan oleh an-Nasaiy dan Ibnu Hibban didalam “Shahih”-nya. Demikianlah yang dinukil didalam kitab “At-Targhib wat Tarhib juz 2, hal. 498.
Hadis di atas juga diriwayatkan oleh Isma’il al-Qadhy dan lain-lain, dari jalan yang berbeda-beda, dengan sanad Shahih, dan tidak dapat dipungkiri bahwa hadis ini berujung pada Sufyan Ats-Tsaury dari Abdullah bin as-Saib, dari Zadan, dari Abdullah bin Mas’ud ra.

b. Hadis dari Ibnu Mas’ud, bahwa Rasulullah saw bersabda : “Hidupku lebih baik bagimu, dimana kamu dapat berbicara secara langsung denganku. Dan matiku pun baik bagimu, dimana amal-amal perbuatanmu diperlihatkan Allah kepadaku, sehingga jika aku lihat baik, maka aku memuji syukur kepada-Nya dan jika aku lihat buruk, maka aku akan memohonkan ampunan kepada-Nya untukmu”.
Al-Hafizh al-‘Iraqy didalam bukunya, Al-Janaiz min Tharhit Tatsrib fi Syarh at-Taqrib (juz 3, hal. 297), mengatakan bahwa Sanadnya Jayyid (baik). Al-Haitsamy didalam bukunya, Majma’ az-Zawaid (juz 9, hal. 24) mengatakan bahwa hadis tersebut diriwayatkan oleh Al-Bazzar dan para perawinya adalah perawi hadis shahih. As-Suyuthy menilai hadis tersebut shahih sanadnya didalam bukunya, Al-Mu’jizat wal Khashaish. Demikian pula Ibnu Hajar Al-Asqalany, az-Zarqany dan Asy-Syihab al-Khafajy didalam buku Syarh asy-Syifa, juz 1, hal. 102.

c. Hadis dari ‘Ammar bin Yasir ra, bahwa Rasulullah saw bersabda : “Sesungguhnya Allah swt menugaskan kepada para malaikat-Nya untuk selalu berada di atas makamku. Kepadanya diserahkan daftar nama seluruh makhluk. Tidak seorang pun di antara mereka yang membaca shalawat-salam kepadaku hingga hari kiamat nanti, melainkan malaikat itu menyampaikan shalawat-salam orang itu kepadaku, lengkap dengan namanya dan nama ayahnya : ‘Si Fulan bin Fulan telah menyampaikan shalawata kepadamu, Hai Muhammad!’”. (HR Al-Bazzar)
 Sementara teks hadis yang diketengahkan Ibnu Hibban berbunyi : “Sesungguhnya Allah swt menugaskan malaikat dan disodorkan kepadanya daftar nama para makhluk. Ia berdiri di atas makamku setelah wafatku nanti. Tiada seorang pun di antara mereka yang bershalawat kepadaku, melainkan malaikat itu akan menyampaikannya kepadaku: ‘Hai Muhammad! Si Fulan bin Fulan telah bershalawat kepadamu’. Maka Allah swt pun akan membalas bacaan shalawatnya tersebut sepuluh kali lipat dari setiap bacaannya”.
Imam At-Thabrany juga meriwayatkan hadis dengan teks yang sama didalam kitab Al-Kabir, sebagaimana yang disebutkan didalam kitab At-Targhib wat Tarhib juz 2, hal. 500.

d. Dari Amr bin al-Haris, dari Sa’id bin Abi Hilal, dari Zaid bin Aiman, dari ‘Ubadah bin Nasiyyi, dari Abud-Darda’ ra, bahwa Rasulullah saw bersabda : “Perbanyaklah olehmu bershalawat kepadaku pada hari jum’at, karena bacaan itu akan disaksikan oleh para malaikat. Sesungguhnya seseorang tidak akan bershalawat kepadaku melainkan bacaan itu akan dihaturkan mereka kepadaku sampai orang itu selesai membacanya”. Abud-Darda’ ra bertanya: “Dan juga setelah engkau wafat?”. Beliau saw jawab : “Benar, juga setelah aku wafat. Sesungguhnya Allah swt mengharamkan tanah merusakkan jasad para Nabi. Karena para Nabi, pada hakekatnya, adalah masih hidup (di alam barzakh) dan masih menerima rizki- kenikmatan” (HR Ibnu Majah didalam kitab Sunnah-nya. Dan didalam kitab Az-Zawaid dijelaskan bahwa hadis ini shahih).

e. Hadis dari Abu Hurairah ra, bahwa Rasulullah saw bersabda : “Tiada seorang pun yang mengucapkan salam kepadaku, melainkan Allah swt akan mengembalikan Ruhku pada jasadku, sehingga aku dapat mengembalikan salam kepadanya”. (HR Abu Dawud didalam kitab At-Targhib wat-Tarhib juz 2, hal. 499 dan Saikhul Islam Ibnu Taimiyah menjelaskan bahwa hadis ini shahih atas syarat Imam Muslim).


RASULULLAH SAW MENANGGAPI PANGGILAN UMATNYA

Rasulullah saw menanggapi setiap orang yang memanggilnya dengan ucapan : “Ya Muhammad!”, berdasarkan hadis dari Abu Hurairah ra, bahwa Rasulullah saw bersabda : “Sungguh, jika ada orang yang berdiri di atas makamku lalu memanggilku ‘Hai Muhammad!…’ , tentu aku akan menjawabnya”.

Hadis di atas diketengahkan oleh Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-Asqalany didalam bukunya, Al-Mathalib al-‘Aliyah juz 4, hal. 23, di bawah judul : “Kehidupan Rasulullah saw didalam Kubur”.



KIRIM SALAM KEPADA RASULULLAH SAW 

Riwayat dari Yazid al-Mahdy, bahwa ia berkisah: “Setelah aku showan menghadap khalifah Umar bin Abdul Aziz, ia berkata kepadaku : ‘Sebenarnya aku membutuhkan bantuanmu’. ‘Bagaimana mungkin engkau membutuhkan bantuanku?’ jawabku. Dia mengatakan : ‘Saya berharap kepadamu, jika kamu nanti datang ke kota Madinah dan menziarahi makam Rasulullah saw, maka sampaikanlah  Salamku kepada beliau saw”.

 Hatim bin Wardan juga menceritakan : “Khalifah Umar bin Abdul ‘Aziz Kirim salam kepada Rasulullah saw melalui orang-orang yang yang bepergian dari Syam ke Madinah, agar mereka menyampaikan dan mengucapkan salamnya itu di hadapan makam Rasulullah saw”. Demikianlah yang dihaturkan kembali oleh Al-Qadhy ‘Iyadh didalam kitab Asy-Syifa’  juz 2, hal. 83, pada bab Az-Ziyarah .

Al-Khafajy dan Mulla ‘Aly Qary menuturkan didalam kitab Syarh asy-Syifa, bahwa kisah di atas diriwayatkan oleh Ibnu Abid-Dunya dan Al-Baihaqy didalam kitab Asy-Syu’ab. Al-Khafajy berkomentar : “Di antara kebiasaan kaum salaf adalah mereka selalu mengirimkan “Salam” kepada Rasulullah saw (melalui orang yang bepergian ke Madinah). Ibnu Umar, Abu Bakar dan Umar bin Khatthab ra juga melakukan yang demikian itu. “Salam” yang disampaikan mereka tersebut akan sampai kepada beliau saw, meskipun mereka sampaikan dari ujung dunia, akan tetapi yang lebih utama adalah disampaikan secara langsung (bukan melalui kiriman), karena hal ini berarti ada keutamaan melakukan dialog dan audiensi dengan beliau saw, dan beliau saw sendiri yang akan menjawab ucapan salamnya  itu”. (Nasim ar-Riyadh, karya Al-Khafajy, juz 3, hal. 516. Al-Fairuzzabady juga menuturkannya didalam kitab Ash-Shalah wal Basyar pada halaman 153).



SUARA SALAM DAN ADZAN TERDENGAR DARI DALAM MAKAM RASULULLAH SAW

Al-Imam al-Hafizh Abu Muhammad Abdullah ad-Darimy menjelaskan didalam kitabnya, As-Sunnah : “Bercerita kepada kami Marwan bin Muhammad bin Sa’id bin Abdul Aziz : “Pada waktu terjadinya musim panas, tidak terdengar suara adzan di masjid Madinah selama dalam tiga waktu shalat. Sa’id bin al-Musayyab terpaksa tidak shalat jamaah, namun ia tidak hengkang dari masjid Nabawy. Dia tidak mengetahui apakah waktu shalat sudah masuk atau belum, melainkan ada suara ‘menggeremeng’ yang datang dari arah dalam makam Rasulullah saw”.

Riwayat ini juga dinukil oleh Imam Najmuddin al-Fairuzzabady didalam kitab Shalah wal Basyar (halaman 154). Ibrahim bin Syaiban berkata, “Setelah selesau mengerjakan haji, aku menyempatkan diri berziarah ke Madinah dan menziarahi makam Rasulullah saw. Pada saat aku mengucapkan Salam kepada beliau saw, tiba-tiba aku mendengar suara dari balik kamar makam beliau saw : Wa ‘alaikum Salam”.


DUKUNGAN IBNU TAIMIYAH

Ibnu Taimiyah menuturkan beberapa peristiwa yang berkaitan dengan kehidupan Barzakhiyah ini sehubungan dengan usaha menjadikan kuburan sebagai masjid (tempat peribadatan) atau berhala sesembahan, kemudian dia mengatakan : “Tidak masuk dalam pembahasan ini (menjadikan kuburan sebagai masjid atau berhala sesembahan) kisah yang menjelaskan tentang suatu kaum mendengar balsan Salam dari arah dalam makam Rasulullah saw atau dari dalam beberapa makam kaum shalihin. Sesungguhnya Sa’id bin al-Musayyab pernah mendengar suara Adzan dari arah dalam  makam beliau saw pada beberapa malam di musim panas. Demikian pula kejadian-kejadian aneh semisalnya”. (Iqtidhaus-Shirathil Mustaqim, halaman 373).

Pada kesempatan yang lain Ibnu Taimiyah mengatakan, “Demikian pula cerita tentang kekeramatan dan kejadian-kejadian aneh (Khawariqul ‘adah) yang ditemui di beberapa makam para Nabi dan kaum shalihin seperti turunnya Nur (cahaya) dan malaikat di atas makam mereka; menjauhnya syetan dan hewan-hewan dari makam tersebut; semburan api keluar dari dalam makam mereka atau makam-makam sekitarnya; syafaat mereka kepada penghuni kubur sekitarnya; disukainya penguburan di sebelah makam mereka; turunnya ketenangan dan ketentraman hati sewaktu berada di samping makam mereka; serta turunnya adzab (balak, siksa) kepada orang yang meremehkan atau memandang suatu makam. Kejadian-kejadian tersebut Haq, benar-benar pernah terjadi. Semoga kita tidak termasuk orang-orang yang terkena adzab seperti itu. Demikian pula kekeramatan, penghormatan dan rahmat Allah swt yang ada didalam makam para Nabi dan kaum halihin, serta kehormatan dan kemuliaan Arwah mereka di sisi Allah swt melebihi apa yang dibayangkan oleh sebagian besar orang. Hanya saja bukan pada tempatnya kami menguraikan secara panjang lebar dan terinci contoh-contoh kekeramtan tersebut didalam buku ini”. (Iqtidhaus Shirathil Mustaqim, halaman 374).

==============================================

*) Sumber : Diambil dari salah satu bagian dari kitab :
Judul Asli
: مفـاهـيم يجب أن تـصحح
Penulis
: Prof. DR. Sayyid Muhammad Alawi Al-Maliki
Alih Bahasa
: Achmad Suchaimi
Judul Terjemahan
: Pemahaman Yang Perlu Diluruskan (PYPD)