Tampilkan postingan dengan label hadis nabi. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label hadis nabi. Tampilkan semua postingan

Minggu, 21 Juli 2013

PYPD - 43. KAJIAN HADIS NABI TENTANG WISATA RELIGI "ZIARAH KUBUR"




 
Oleh Sayyid Muhammad Alawi Al-Maliki



Banyak sekali orang yang salah dalam memahami hadis Nabi :

لَا تُـشَدُّ الرِّحَالُ إِلَى الْـقـبْرِ إِلاّ إِلَى ثَلَاثَـةِ مَسَاجِدَ  : الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ وَ مَسْجِدِيْ هَـذَا وَ الْمَسْجِدِ اْلأَقْصَى

Janganlah bepergian jauh melainkan pergi menuju ketiga masjid, yakni Masjidil Haram, Masjidku ini, dan Masjidil Aqsha”.

Mereka menjadikan hadis tersebut sebagai alasan untuk mengingkari dan menolak keras setiap bepergian jauh dengan tujuan berziarah ke makam Rasulullah saw. Mereka beranggapan bahwa perjalanan jauh semacam itu merupakan perjalanan maksiat. Alasan tersebut sama sekali tidak benar, karena didasarkan atas landasan pemahaman yang tidak benar dan logika yang salah.

Sabda Rasulullah saw : لا تـشدّ الرحال إلاّ إلى ثلاثـة مساجد  (“Janganlah bepergian jauh melainkan pergi ke tiga masjid”) menggunakan Uslub atau struktur dan gaya bahasa yang dikenal dengan  "الإسـتـثناء"    ("Al-Istitsna’", Pengecualian). Struktur bahasa semacam ini memerlukan adanya : "الـمستـثـنى"  ("Al-Mus-tatsna", yang dikecualikan) dan "الـمستـثـنى منـه"  ("Al-Mus-tatsna Min-hu", dikecualikan darinya) . "Mus-tatsna" adalah kata atau lafazh yang terletak setelah lafazh  "إلاّ"  ("Illa", kecuali, melainkan). Sementara “Mus-tatsna min-hu” adalah kata yang terletak sebelum kata "إلاّ" . Baik “Mus-tatsna” maupun “Mus-tatsna min-hu”  itu terkadang bersifat "Wujud" (Ada secara lafzhiyah)  dan terkadang  bersifat "Taqdir" (Dikira-kirakan adanya. Secara lafzhiyah tidak ada, namun secara maknawiyah Ada). Pembahasan dari segi tata bahasa ini telah dibicarakan secara luas dan mendalam didalam kitab-kitab “Nahwu".
 Kalau kita perhatikan teks hadis di atas, kita akan menyimpulkan bahwa hadis itu secara jelas menyebutkan “Mus-tatsna”-nya, yakni kata " إلى ثلاثـة مسـاجد” (pergi ke tiga masjid) yang terletak setelah kata "إِلاَّ"   (melainkan). Dengan demikian “Mus-tatsna”-nya bersifat “Wujud” (ada, nampak dan dapat kita baca). Hanya saja “Mus-tatsna Min-hu”-nya, yang terletak sebelum kata "إِلاّ"  , tidak disebutkan. Dengan demikian “Mus-tatsna min-hu”-nya  bersifat “Taqdir” (diperkirakan wujudnya, secara lafzhiyah tidak tertulis, namun secara maknawiyah diperkirakan adanya).

Seandainya jika “Mus-tatsna Min-hu”-nya berupa kata : "إِلَى الْـقَـبْرِ”  (ke kuburan), maka hadis di atas akan berbunyi :

لَا تُـشَدُّ الرِّحَالُ إِلَى الْـقـبْرِ إِلاّ إِلَى ثَلَاثَـةِ مَسَاجِدَ  . . .

Janganlah bepergian ke kuburan melainkan pergi menuju ketiga masjid, …"

Dengan demikian, maka tidak ada kesesuaian hubungan pembicaraan antara “kuburan” dan “masjid”. Padahal yang namanya “Mus-tatsna” adalah merupakan bagian dari “Mus-tatsna Min-hu” . Hati para ulama terasa tidak tenang dan bahkan tidak terima jika pembicaraan ini dikaitkan dengan sabda Rasulullah saw. Para ulama tidak akan mengatakan, bahwa “Mus-tatsna Min-hu”-nya adalah berupa kata “menuju ke kuburan” disebabkan kata itu tidak layak berkedudukan sebagai “Mus-tatsna min-hu”. Bukankah antara “Mus-tatsna” dan “Mus-tatsna min-hu” itu harus sejenis?! Sementara kata “masjid” dan kata “kuburan” adalah tidak sejenis.

Atau seandainya jika “Mus-tatsna Min-hu”-nya berupa kata “tempat” (dalam pengertian yang sangat luas, bisa diartikan tempat perdagangan; tempat mencari ilmu seperti sekolah, pondok dan sejenisnya; tempat untuk melakukan kebaikan apa saja), maka pengertian hadis di atas  adalah : “Janganlah bepergian jauh menuju ke tempat (pasar, sekolah, pondok, majlis pengajian dan tempat kebaikan lainnya) … melainka pergi menuju tiga masjid, yakni …”. Ini pun juga merupakan pemahaman yang salah dan menyimpang.

Ringkas kata, hadis di atas menyebutkan “Mus-tatsna”-nya (kata : ke tiga masjid), akan tetapi tidak menyebutkan “Mus-tatsna min-hu”-nya, atau ia bersifat Taqdir (dikira-kirakan keberadaannya) yang menurut para ahli Nahwu (Tatabahasa Arab) ia tidak lepas dari salah satu di antara tiga segi / pengertian, yaitu bahwa “Mus-tatsna min-hu”-nya diperkirakan berupa kata :

Pertama : kata “Kuburan”, sehingga hadis tersebut akan memiliki pengertian : “Janganlah bepergian jauh ke kuburan, melainkan pergi menuju tiga masjid  yakni Masjidil Haram, Masjidku ini (Masjid Nabawy) dan Masjidil Aqsha”.  Perkiraan kata kuburan ini didasarkan atas pendapat segelintir orang yang memperalat hadis tersebut sebagai dalil untuk menolak, mengingkari dan melarang bepergian jauh dalam rangka berziarah kubur. Ini merupakan perkiraan orang-orang yang bodoh dan sekaligus menunjukkan ketidaktahuan mereka terhadap gaya bahasa arab. Bahkan orang yang tidak mengerti ilmu Nahwu dan gaya bahasa arab secara mendalam pun sebenarnya akan menolak pemahaman seperti itu. Pemahaman seperti itu tidak layak dinisbatkan dan dialamatkan sebagai sabda Rasulullah saw, bahkan mustahil beliau berbicara dengan Uslub atau gaya bahasa seperti itu.

Kedua :  Kata “Tempat” pada umumnya. Ini pun kurang benar dan tidak masuk akal, sehingga hadis di atas akan memiliki pengertian : “Janganlah bepergian jauh ke tempat perdagangan (pasar, mall, supermarket, dll); ke tempat mencari ilmu (sekolah, pondok, majlis taklim, seminar dll); ke tempat tertentu untuk melakukan kebaikan (seperti mengikuti rapat, ke kantor, kerja bakti, dll), kecuali pergi ke tiga masjid, yakni Masjidil Haram, Masjidku ini (Masjid Nabawy) dan Masjidil Aqsha”. Dan kenyataannya, tidak ada seorang pun yang berpendapat seperti itu.

Ketiga : berupa kata “Masjid”, sehingga pemahaman hadis di atas akan berbunyi : “Janganlah bepergian jauh menuju ke suatu Masjid melainkan menuju tiga masjid, yakni Masjidil Haram, Masjidku ini (Masjid Nabawy) dan Masjidil Aqsha”. Dengan pemahaman seperti ini maka kita akan menemukan kesesuaian dan keserasian makna dari suatu susunan kalimat, serta sesuai dengan gaya bahasa arab yang fashih.

Alhamdulillah. Kami menemukan beberapa Hadis Nabi lain yang dapat dijadikan sebagai “petunjuk” untuk mencari kata yang tepat bagi “Mus-tatsna min-hu” yang tidak disebutkan atau dibuang didalam hadis di muka. Di antaranya adalah :

1.   Hadis yang diketengahkan oleh Imam Ahmad bin Hambal, dari jalan Syahr bin Hausyab, bahwa dia berkata : “Aku mendengar Abu Sa’id, lalu aku tuturkan kepadanya mengenai shalat di atas bukit, kemudian dia mengemukakan sabda Rasulullah saw : ‘Tidak selayaknya seseorang bepergian jauh bertujuan sekedar mendatangi suatu masjid untuk melakukan shalat didalamnya, selain pergi ke Masjidil Haram, Masjidil Aqsha, dan Masjidku ini”.
Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-Asqalany mengatakan, bahwa hadis tersebut sudah tersebar luas di kalangan kaum muslimin dan dinilai Hasan (bagus), meskipun ada sedikit kelemahan. (Fathul Bary juz 3, hal. 65).

2. Hadis yang bersumber dari Aisyah ra, bahwa Rasulullah saw bersabda : “Aku adalah Khatamul anbiya’ (Penutup para Nabi), dan Masjidku ini adalah penutup masjid para Nabi. Masjid yang paling berhak diziarai dan dikunjungi dalam bepergian jauh adalah Masjidil Haram dan Masjidku ini (Masjid Nabawy di Madinah). Shalat di Masjidku ini lebih utama daripada seribu kali shalat di masjid-masjid selainnya, kecuali shalat di Masjidil Haram”.
Sabda Rasulullah saw di atas menjelaskan, bahwa semua masjid, kecuali tiga masjid (Masjidil Haram, Masjid Nabawi dan Masjidil Aqsha), yang tersebar di seluruh dunia ini memiliki nilai keutamaan yang relatif sama dan keutamaannya itu tidak saling melebihi antara satu dengan lainnya. Oleh karena itu, tidak ada gunanya bersusah payah melakukan berpegian jauh mendatangi salah satu masjid tersebut, kecuali mendatangi tiga masjid di atas. Karena ketiga Masjid tersebut memiliki nilai kautamaan lebih.

Sementara mengenai kuburan atau makam, adalah tidak masuk dalam pembicaraan hadis dari Aisyah ra di atas. Dengan demikian, menyisipkan kata “kuburan” kedalam pemahaman hadisnya Aisyah di atas adalah sama artinya dengan melakukan “kebohongan” terhadap diri Rasulullah saw.

Mengenai persoalan “Berziarah kubur”, khususnya menziarahi kuburan Rasulullah saw di Madinah, merupakan salah satu perbuatan yang diperintahkan agama. Bahkan sebagian besar para ulama telah membahasnya didalam kitab-kitab “Manasik Haji” , bahwa menziarahi makam Rasulullah saw adalah sunnah hukumnya. Pendapat ini didukung oleh hadis-hadis yang cukup banyak, di antaranya:

1). Hadis yang bersumber dari riwayat Ibnu Umar, bahwa Rasulullah saw bersabda : “Barangsiapa yang menziarahi makamku, maka aku akan berkewajiban memberinya syafaat”. (HR Al-Bazzar yang dikutip  oleh Ibnu Taimiyah dan dinilainya dha’if. Namun dia tidak menghukuminya sebagai hadis maudhu’ (hadis palsu atau karangan seeorang) dan bohong. (Al-Fatawa, juz 27, hal. 30).

2). Hadis dari Ibnu Umar, bahwa Rasulullah saw bersabda : “Barangsiapa yang datang mengunjungiku, dan dia tidak mengetahui maksud tujuannya selain niat menziarahiku, maka aku wajid memberikan syafaat kepadanya pada hari kiamat nanti”. (HR At-Thabrany yang disebutkan didalam kitabnya, Al-Ausath al-Kabir).
Didalam hadis di atas ada salah seorang perawi yang bernama  Maslamah bin Salim yang dinilai dha’if (“Majma’ az-Zawaid” juz 4, hal. 2). Sementara Al-Hafizh Al-‘Iraqy mengatakan, bahwa Ibnu as-Subky menilai hadis tersebut sebagai hadis shahih. (“Al-Mughny” juz 1, hal. 265).

3). Hadis dari Ibnu Umar lagi, bahwa Rasulullah saw bersabda : “Barangsiapa yang selesai menunaikan ibadah haji lalu pergi menziarahi makamku sepeninggalku nanti, maka ia bagaikan mengunjungiku sewaktu hidupku”. (HR At-Thabrany didalam kitab “Al-Kabir” dan kitab “Al-Ausath”. Didalamnya terdapat seorang Rawy bernama Hafazh bin Abu Dawud al-Qary yang dinilai Tsiqah oleh Imam Ahmad bin Hambal, namun dipandang dha’if oleh sebagian imam hadis yang lain.)

4). Hadis bersumber dari Ibnu Umar lagi, bahwa Rasulullah saw bersabda : “Barangsiapa yang menziarahi makamku setelah wafatku, maka dia bagaikan mengunjungiku sewaktu hidupku” (HR At-Thabrany didalam kitab “Ash-Shaghir” dan kitab “Al-Ausath”.).

Kesimpulannya. Hadis-hadis Nabi yang menjelaskan diperintahkannya berziarah kubur ke makam beliau saw di atas memiliki jalur sanad yang beragam. Sebagian hadis memperkuat sebagian yang lain, sebagaimana yang dikutip oleh Al-Manawy dari al-Hafizh Adz-Dzahaby didalam buku “Faidh al-Qadir” juz 6 pada halaman 140.  Sebagian ulama ada yang menilainya sebagai hadis-hadis shahih dan dinukil keshahihannya oleh para imam hadis yang terkenal, para penghafal hadis yang dapat dipercaya, seperti Imam As-Subky, Ibnu Sakan, Al-‘Iraqy, Al-Qadhy ‘Iyadh (didalam bukunya “Asy-Syifa), Mulla Aly Qariy, dan Al-Khafajy. (Lihat buku Nasim ar-Riyadh, juz 3, halaman 511).

Selain di atas, keempat Imam madzhab empat (Maliki, Hanafi, Syafi’i dan Hambali) dan para ulama besar lainnya berpendapat  tentang disyariatkannya menziarahi makam Rasulullah saw, sebagaimana yang dijelaskan didalam beberapa kitab Fiqih mereka yang Mu’tamad (dapat dipercaya dan layak dijadikan sebagai ‘pegangan’ atau sumber bacaan). Pendapat mereka ini sebenarnya sudah cukup dijadikan alasan tentang diperintahkannya menziarahi makam Rasulullah saw, sekaligus sebagai dalil untuk menerima hadis-hadis tentang ziarah kubur di atas. Meskipun hadis tersebut bernilai dha’if, akan tetapi hadis itu akan menjadi kuat disebabkan telah diamalkan oleh orang banyak dan didukung dengan Fatwa para Fuqaha’, sesuai dengan yang dijelaskan oleh  Kaidah-kaidah para ahli ushul fiqh dan hadis.



==============================================

*) Sumber : Diambil dari salah satu bagian dari kitab :
Judul Asli
: مفـاهـيم يجب أن تـصحح
Penulis
: Prof. DR. Sayyid Muhammad Alawi Al-Maliki
Alih Bahasa
: Achmad Suchaimi
Judul Terjemahan
: Pemahaman Yang Perlu Diluruskan (PYPD)

Selasa, 14 Mei 2013

PYPD - 10. Waspadai Srigala Berbulu Domba



Srigala berbulu domba
Para propagandis, gerombolan "santri baru" Salafi-wahabi dan orang-orang yang kekanak-kanakan dalam mencari kebenaran sangat banyak jumlahnya. Sementara kebenaran yang mereka cari lepas dari tangan mereka dan tidak ada hubungannya dengannya sama sekali. Seorang penyair mengatakan, “Semua orang mengaku menjadi kekasih Laila. Namun Laila sendiri tidak pernah memperdulikan mereka”. Hal ini disebabkan karena mereka suka merekayasa, mengelabui suatu kebenaran dan membuat merah telinga orang yang mendengarnya. Karena itu, mereka lebih pantas dimasukkan kedalam kelompok “Pemakai Baju Palsu” atau "SRIGALA BERBULU DOMBA", sebagaimana yang digambarkan Rasulullah saw dalam salah satu sabdanya, “Orang yang pura-pura puas atau kenyang dengan apa yang belum ia peroleh, bagaikan seorang pemakai baju palsu”.

Kaum muslimin sering mendapatkan fitnahan, cobaan dan ujian dari mereka, disebabkan mereka selalu berusaha memperkeruh suasana, memecah belah persatuan umat dan mewariskan pertentangan atau permusuhan di antara sesama saudara muslim, atau antara anak dan bapaknya.
Dari pintu kedurhakaan, mereka masuk kedalam barisan umat Islam untuk ber-PURA-PURA membawa missi meluruskan pemahaman-pemahaman keislaman dan Seolah-olah menempuh cara atau metode salafus shalih. Sikap penuh“hikmah” (sikap bijaksana dalam berdakwah), nasehat yang baik, kelembutan dan kasih sayang, mereka ganti dengan sikap keras kepala, angkuh, su-ul adab (tidak bermoral) dan tidak mengenal sikap toleransi / tenggang rasa.

Kalau ini, babi berbulu domba
 Diantara mereka tersebut ada seseorang yang mengaitkan dirinya kedalam golongan kaum sufi. Padahal mereka jauh sama sekali dari hakekat dan inti ajaran tasawuf itu sendiri. Kemudian mereka berusaha merubah corak dan bentuk ajaran tasawuf. Mereka menodai kehormatan ajaran tasawuf, merusak jalan sejarahnya dan menyerangnya secara bertubi-tubi dan membabi-buta. Mereka mencaci para tokoh sufi,  para imam yang ‘Arif Billah, para syaikh, mursyid dan pendidik spiritual yang sejati.

Kita sebenarnya tidak mengenal dalam Kamus, bahwa Tasawuf adalah ajaran yang  penuh dengan  khurafat, kebatilan, dajjal dan kepalsuan. Kita tidak memandang Tasawwuf sebagai teori filsafat, hasil pemikiran asing, akidah syirik, ajaran pantheistik dan manunggaling kawula-gusti. Oleh karena itu, kami melepaskan diri dari semua pendapat dan tuduhan mereka. Kami memandang bahwa segala ajaran yang bertentangan dengan ajaran Al-Qur’an dan Hadis Nabawi, serta tidak menerima takwil (interpretasi/tafsir) adalah suatu kebohongan, atau barang selundupan yang dimasukkan oleh orang-orang (Salafi-Wahabi) yang lemah pikiran dan penuh dosa.

Sebaliknya, kita memandang Tasawwuf  sebagai Madrasah Ilmiah. Semua yang ada didalamnya, baik itu metode, sistem dan tata caranya, menggambarkan puncak tertinggi pemikiran Islam, serta  wajah peradaban dan idealisme kita yang paling sempurna. Tasawwuf menggambarkan kesempurnaan keimanan dan kesempurnaan dalam segi-segi kehidupan. Tasawwuf menggambarkan ketulusan dan kesucian dalam rangka mendekatkan diri kepada Tuhan. Tasawwuf adalah suatu kejujuran, amanah, menepati janji, mementingkan orang lain dan mengikis sifat egois, berani dalam mempertahankan kebenaran, dermawan, menolong yang lemah, membantu orang yang tertimpa kemalangan, bantu membantu dalam kebajikan dan ketakwaan, saling nasehat menasehati dalam rangka menegakkan kebenaran dan kesabaran, berlomba-lomba untuk melakukan kebajikan, dan semua perilaku yang tergambar dan terwujud dalam Akhlaqul Karimah.

Dengan perilaku dan akhlak yang harum lagi suci ini, maka tampillah pahlawan-pahlawan, para pemimpin dan para imam kaum muslimin pada generasi awal Islam. Sehingga nampak dengan jelas puncak kecemerlangan kepribadian Islam, kesempurnanan sifat, serta ketinggian dan kesucian karakter. Sebagaimana hal ini dilukiskan dalam sejarah kita tentang kemuliaan dan kebesaran Islam, kepemimpinan dan kegagungan Islam, semangat jihad dan kemenangannya, serta ketinggian peradaban Islam.

Dari sejarah ini pula, kita mengetahui dan memahami dengan seyakin-yakinnya bahwa kebangkitan umat Islam tidak akan tercipta melainkan selalu berdiri di atas Risalah-risalah spiritual Islam dan Inspirasi keimanan kaum muslimin. Kebangkitan tersebut juga tidak akan terjadi kecuali di atas fondasi Akhlaqul Karimah yang berakar dari Aqidah Islamiyah yang suci lagi bersih dari segala bentuk kesyirikan.



Sesungguhnya sifat, karakter, kepribadian, kejiwaan dan kekuatan spiritual merupakan modal suatu bangsa, modal utama membangun suatu bangsa dan mendorong mereka untuk meraih cita-cita yang tertinggi. Orang yang mengkaji sejarah perjalanan hidup kaum Salafus Shalih dan para pemimpin muslim yang arif bijaksana, tentu akan melihat bagaimana fondasi tersebut mampu menjadi penyebab langsung kebangkitan umat Islam yang sangat terkenal dalam sejarah itu. Bagi kaum muslimin, tidak sesuatu kekuatan yang mampu membangkitkan mereka selain keimanan dalam bentuknya paling tinggi, yakni keimanan yang hangat yang mampu membakar semangat, suatu keimanan yang hidup yang muncul dari rasa rindu dan cinta. Itulah keimanan yang tertancap dalam hati pemeluknya yang senantiasa menumbuhkan kehangatan dan semangat menuju kepada Allah swt. Itulah keimanan yang membuat kaum Salafus Sholih selalu hidup dalam Maqam Ihsan, di mana mereka selalu merasa seakan-akan menayaksikan Allah swt didalam segala sesuatu dan merasa bahwa Allah swt selalu mengawasi gerak-gerik mereka, bahkan mengawasi dalam setiap tarikan nafas dan denyut jantungnya. Bukan Ihsan dalam pengertian Hulul dan Ittihad (pantheistik, manunggaling kawula-gusti) serta Ilhad (atheistik, peniadaan Tuhan). Dan itulah keimanan yang mampu membangkitkan keadaran yang menyeluruh dalam kehidupan mereka. Suatu keimanan yang mampu memberikan kepekaan yang mendalam terhadap makna Ketuhanan yang berlaku di alam raya, yang hidup di bawah alam bawah sadar, yang mengetahui apa yang terlintas dalam hati, yang senantiasa mendengar bisikan terhalus lagi tersembunyi di dalam dada.