Tampilkan postingan dengan label salafus shalih. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label salafus shalih. Tampilkan semua postingan

Selasa, 14 Mei 2013

PYPD - 10. Waspadai Srigala Berbulu Domba



Srigala berbulu domba
Para propagandis, gerombolan "santri baru" Salafi-wahabi dan orang-orang yang kekanak-kanakan dalam mencari kebenaran sangat banyak jumlahnya. Sementara kebenaran yang mereka cari lepas dari tangan mereka dan tidak ada hubungannya dengannya sama sekali. Seorang penyair mengatakan, “Semua orang mengaku menjadi kekasih Laila. Namun Laila sendiri tidak pernah memperdulikan mereka”. Hal ini disebabkan karena mereka suka merekayasa, mengelabui suatu kebenaran dan membuat merah telinga orang yang mendengarnya. Karena itu, mereka lebih pantas dimasukkan kedalam kelompok “Pemakai Baju Palsu” atau "SRIGALA BERBULU DOMBA", sebagaimana yang digambarkan Rasulullah saw dalam salah satu sabdanya, “Orang yang pura-pura puas atau kenyang dengan apa yang belum ia peroleh, bagaikan seorang pemakai baju palsu”.

Kaum muslimin sering mendapatkan fitnahan, cobaan dan ujian dari mereka, disebabkan mereka selalu berusaha memperkeruh suasana, memecah belah persatuan umat dan mewariskan pertentangan atau permusuhan di antara sesama saudara muslim, atau antara anak dan bapaknya.
Dari pintu kedurhakaan, mereka masuk kedalam barisan umat Islam untuk ber-PURA-PURA membawa missi meluruskan pemahaman-pemahaman keislaman dan Seolah-olah menempuh cara atau metode salafus shalih. Sikap penuh“hikmah” (sikap bijaksana dalam berdakwah), nasehat yang baik, kelembutan dan kasih sayang, mereka ganti dengan sikap keras kepala, angkuh, su-ul adab (tidak bermoral) dan tidak mengenal sikap toleransi / tenggang rasa.

Kalau ini, babi berbulu domba
 Diantara mereka tersebut ada seseorang yang mengaitkan dirinya kedalam golongan kaum sufi. Padahal mereka jauh sama sekali dari hakekat dan inti ajaran tasawuf itu sendiri. Kemudian mereka berusaha merubah corak dan bentuk ajaran tasawuf. Mereka menodai kehormatan ajaran tasawuf, merusak jalan sejarahnya dan menyerangnya secara bertubi-tubi dan membabi-buta. Mereka mencaci para tokoh sufi,  para imam yang ‘Arif Billah, para syaikh, mursyid dan pendidik spiritual yang sejati.

Kita sebenarnya tidak mengenal dalam Kamus, bahwa Tasawuf adalah ajaran yang  penuh dengan  khurafat, kebatilan, dajjal dan kepalsuan. Kita tidak memandang Tasawwuf sebagai teori filsafat, hasil pemikiran asing, akidah syirik, ajaran pantheistik dan manunggaling kawula-gusti. Oleh karena itu, kami melepaskan diri dari semua pendapat dan tuduhan mereka. Kami memandang bahwa segala ajaran yang bertentangan dengan ajaran Al-Qur’an dan Hadis Nabawi, serta tidak menerima takwil (interpretasi/tafsir) adalah suatu kebohongan, atau barang selundupan yang dimasukkan oleh orang-orang (Salafi-Wahabi) yang lemah pikiran dan penuh dosa.

Sebaliknya, kita memandang Tasawwuf  sebagai Madrasah Ilmiah. Semua yang ada didalamnya, baik itu metode, sistem dan tata caranya, menggambarkan puncak tertinggi pemikiran Islam, serta  wajah peradaban dan idealisme kita yang paling sempurna. Tasawwuf menggambarkan kesempurnaan keimanan dan kesempurnaan dalam segi-segi kehidupan. Tasawwuf menggambarkan ketulusan dan kesucian dalam rangka mendekatkan diri kepada Tuhan. Tasawwuf adalah suatu kejujuran, amanah, menepati janji, mementingkan orang lain dan mengikis sifat egois, berani dalam mempertahankan kebenaran, dermawan, menolong yang lemah, membantu orang yang tertimpa kemalangan, bantu membantu dalam kebajikan dan ketakwaan, saling nasehat menasehati dalam rangka menegakkan kebenaran dan kesabaran, berlomba-lomba untuk melakukan kebajikan, dan semua perilaku yang tergambar dan terwujud dalam Akhlaqul Karimah.

Dengan perilaku dan akhlak yang harum lagi suci ini, maka tampillah pahlawan-pahlawan, para pemimpin dan para imam kaum muslimin pada generasi awal Islam. Sehingga nampak dengan jelas puncak kecemerlangan kepribadian Islam, kesempurnanan sifat, serta ketinggian dan kesucian karakter. Sebagaimana hal ini dilukiskan dalam sejarah kita tentang kemuliaan dan kebesaran Islam, kepemimpinan dan kegagungan Islam, semangat jihad dan kemenangannya, serta ketinggian peradaban Islam.

Dari sejarah ini pula, kita mengetahui dan memahami dengan seyakin-yakinnya bahwa kebangkitan umat Islam tidak akan tercipta melainkan selalu berdiri di atas Risalah-risalah spiritual Islam dan Inspirasi keimanan kaum muslimin. Kebangkitan tersebut juga tidak akan terjadi kecuali di atas fondasi Akhlaqul Karimah yang berakar dari Aqidah Islamiyah yang suci lagi bersih dari segala bentuk kesyirikan.



Sesungguhnya sifat, karakter, kepribadian, kejiwaan dan kekuatan spiritual merupakan modal suatu bangsa, modal utama membangun suatu bangsa dan mendorong mereka untuk meraih cita-cita yang tertinggi. Orang yang mengkaji sejarah perjalanan hidup kaum Salafus Shalih dan para pemimpin muslim yang arif bijaksana, tentu akan melihat bagaimana fondasi tersebut mampu menjadi penyebab langsung kebangkitan umat Islam yang sangat terkenal dalam sejarah itu. Bagi kaum muslimin, tidak sesuatu kekuatan yang mampu membangkitkan mereka selain keimanan dalam bentuknya paling tinggi, yakni keimanan yang hangat yang mampu membakar semangat, suatu keimanan yang hidup yang muncul dari rasa rindu dan cinta. Itulah keimanan yang tertancap dalam hati pemeluknya yang senantiasa menumbuhkan kehangatan dan semangat menuju kepada Allah swt. Itulah keimanan yang membuat kaum Salafus Sholih selalu hidup dalam Maqam Ihsan, di mana mereka selalu merasa seakan-akan menayaksikan Allah swt didalam segala sesuatu dan merasa bahwa Allah swt selalu mengawasi gerak-gerik mereka, bahkan mengawasi dalam setiap tarikan nafas dan denyut jantungnya. Bukan Ihsan dalam pengertian Hulul dan Ittihad (pantheistik, manunggaling kawula-gusti) serta Ilhad (atheistik, peniadaan Tuhan). Dan itulah keimanan yang mampu membangkitkan keadaran yang menyeluruh dalam kehidupan mereka. Suatu keimanan yang mampu memberikan kepekaan yang mendalam terhadap makna Ketuhanan yang berlaku di alam raya, yang hidup di bawah alam bawah sadar, yang mengetahui apa yang terlintas dalam hati, yang senantiasa mendengar bisikan terhalus lagi tersembunyi di dalam dada.




PYPD - 11. Pemahaman tentang Pengertian Bid'ah





Ada sekelompok orang yang tidak diketahui asal usulnya telah menyatakan diri sebagai kelompok pengikut Salafus Shalih. Mereka lalu mengajak orang lain untuk kembali kepada ajaran salaf disertai dengan serangan-serangan yang dungu, fanatisme buta, berakal tumpul dan berdada sempit. Mereka menyerang apa saja yang dianggapnya “baru”, dan mengingkari semua “kreasi” yang bermanfaat dengan tuduhan Bad’ah, sementara semua Bid’ah adalah sesat, katanya.  Mereka mengatakan demikian itu tanpa disertai pemilahan terlebih dahulu terhadap berbagai macam pengertian  Bid’ah . Padahal ruh Islam meniscayakan adanya pemilahan dan pembedaan berbagai macam pengertian Bid’ah tersebut.

Menurut kami (Sayyid Muhammad Alawi Abbas Al-Maliky Al-Hasany), Bid’ah itu ada yang dikategorikan Bid’ah Hasanah (bid’ah yang baik) dan ada yang Bid’ah Sayyi-ah (bid’ah yang jelek). Pembagian   Bid’ah semacam ini didasarkan oleh pertimbangan akal yang sehat dan pandangan yang jernih. Juga dikuatkan dengan pendapat para Ulama Ushul dari generasi Salafus Shalih, seperti imam Al-‘Izzuddin Abdussalam, imam An-Nawawi, imam As-Suyuthi, imam Jalaluddin al-Mahalli dan imam Ibnu Hajar al-Asqalani. 

Sebagian hadis-hadis Nabi memang perlu ditafsirkan dan dikaitkan dengan sebagian hadis-hadis Nabi yang lain. Tentu saja hal ini memerlukan analisa yang utuh dan menyeluruh, serta diperlukan adanya interpretasi berdasarkan ruh syariat  dan pemahaman yang disepakati oleh para pakar dan ulama yang ahli di bidangnya. Atas dasar pandangan ini, kami telah menemukan sebagian besar hadis nabawi yang memerlukan interpretasi teresebut, yang dapat diterima oleh akal sehat, wawasan luas dan pikiran cerdas, disertai dengan analisa yang tajam dan sesuai dengan lubuk hati nurani, yang diambil dari lautan syariat yang dalam, sesuai dengan batasan-batasan yang ditetapkan oleh qaidah syar'iyyah, serta sesuai dengan makna kandungan nash-nash Al-Qur’an dan Hadis Nabi.
Misalnya hadis Nabi yang berbunyi :

كُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ
Artinya: “Setiap Bid’ah adalah sesat”.

Hadis tersebut harus ditafsirkan bahwa yang dimaksud dengan istilah Bid’ah dalam hadis di atas adalah “Bid’ah Sayyi-ah” (Bid’ah yang buruk) yang telah keluar dari prinsip-prinsip ajaran Islam.

Pembatasan makna seperti di atas juga terjadi pada hadis-hadis Nabi yang lain, seperti : 

لاَ صَلاَةَ لِجَارِ الْمَسْجِدِ اِلاَّ فِى الْمَسْجِدِ
Artinya: “Tiada shalat bagi penduduk yang tinggal di sekitar masjid, kecuali dilakukan di masjid

Ditafsirkan : “Tidak sempurna shalat bagi penduduk yang tinggal di sekitar masjid, kecuali dilakukan di masjid”. 

لاَ صَلاَةَ بِحَضْرَةِ الطَّـعَامِ
Dapat ditafsirkan : “Tidak sempurna shalat seseorang disebabkan tersajinya makanan”.

لاَ يُؤْمِنُ اَحَدُكُمْ حَتَّى يُحِبَّ  لاَخِيْهِ مَا يُحِبُّ لِنَفْسِهِ
Dapat ditafsirkan : “Tidak sempurna iman seseorang di antara kalian, sehingga ia mencintai saudaranya seperti ia mencintai dirinya sendiri”.

Demikian pula hadis-hadis yang lain seperti, “Tidak masuk surga tukang fitnah”; “Tidak masuk surga orang yang memutus tali persaudaraan…”;  “Tidak masuk surga orang yang durhaka kepada kedua orang tuanya”.  Para ulama memberikan tafsiran, bahwa yang dimaksud dengan ungkapan “Tidak masuk surga” adalah Tidak masuk surga sejak pertama kali, atau tidak akan masuk surga jika seseorang kedapatan telah melakukan hal-hal tersebut (memfitnah, memutus tali persaudaraan, durhakan pada kedua orang tua, dll).

Ingat bahwa yang dimaksud dengan “mengadakan-adakan sesuatu baru” sebagai tambahan dalam syari’at yang sangat dicela oleh agama adalah “sesuatu baru” yang berkaitan dengan persoalan Agama dan diharapkan menjadi bagian tak terpisahkan.
Maulidur Rasul & Sholawatan  tidaklah bid'ah
Ringkas kata, para ulama tidak mengartikan hadis-hadis tersebut secara harfiah atau tekstual semata, akan tetapi mereka menggunakan berbagai ragam interpretasi dan penakwilan. Mereka juga melakukan penakwilan terhadap hadis yang menjelaskan persoalan Bid’ah. Menurut mereka, berdasarkan keumuman lafazh Bid’ah dan mengaitkannya dengan perilaku sahabat Nabi saw, maka mengarah pada suatu pemahaman bahwa yang dimaksud dengan istilah “Bid’ah” adalah “Bid’ah Sayyiah” (bid’ah yang buruk) yang tidak ditemukan asal usulnya dalam syariat Islam.

Dalam sebuah hadis dikatakan, “Barangsiapa yang berprilaku baik, maka ia akan diberi pahala disebabkan prilaku baiknya itu, dan ia akan diberi pahala lagi disebabkan karena ada orang lain yang meniru prilaku baiknya itu sampai hari kiamat”.

Hadis yang lain menjelaskan, “Kalian harus berpegang pada sunnahku dan sunnahnya (prilakunya) para sahabat Khulafaurrasyidin”.

Umar bin Khatthab pernah menyatakan tentang status shalat Tarawih, Sebaik-baik bid’ah adalah (shalat Tarawih) yang aku lakukan ini”.