Tampilkan postingan dengan label salaf. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label salaf. Tampilkan semua postingan

Selasa, 14 Mei 2013

PYPD - 11. Pemahaman tentang Pengertian Bid'ah





Ada sekelompok orang yang tidak diketahui asal usulnya telah menyatakan diri sebagai kelompok pengikut Salafus Shalih. Mereka lalu mengajak orang lain untuk kembali kepada ajaran salaf disertai dengan serangan-serangan yang dungu, fanatisme buta, berakal tumpul dan berdada sempit. Mereka menyerang apa saja yang dianggapnya “baru”, dan mengingkari semua “kreasi” yang bermanfaat dengan tuduhan Bad’ah, sementara semua Bid’ah adalah sesat, katanya.  Mereka mengatakan demikian itu tanpa disertai pemilahan terlebih dahulu terhadap berbagai macam pengertian  Bid’ah . Padahal ruh Islam meniscayakan adanya pemilahan dan pembedaan berbagai macam pengertian Bid’ah tersebut.

Menurut kami (Sayyid Muhammad Alawi Abbas Al-Maliky Al-Hasany), Bid’ah itu ada yang dikategorikan Bid’ah Hasanah (bid’ah yang baik) dan ada yang Bid’ah Sayyi-ah (bid’ah yang jelek). Pembagian   Bid’ah semacam ini didasarkan oleh pertimbangan akal yang sehat dan pandangan yang jernih. Juga dikuatkan dengan pendapat para Ulama Ushul dari generasi Salafus Shalih, seperti imam Al-‘Izzuddin Abdussalam, imam An-Nawawi, imam As-Suyuthi, imam Jalaluddin al-Mahalli dan imam Ibnu Hajar al-Asqalani. 

Sebagian hadis-hadis Nabi memang perlu ditafsirkan dan dikaitkan dengan sebagian hadis-hadis Nabi yang lain. Tentu saja hal ini memerlukan analisa yang utuh dan menyeluruh, serta diperlukan adanya interpretasi berdasarkan ruh syariat  dan pemahaman yang disepakati oleh para pakar dan ulama yang ahli di bidangnya. Atas dasar pandangan ini, kami telah menemukan sebagian besar hadis nabawi yang memerlukan interpretasi teresebut, yang dapat diterima oleh akal sehat, wawasan luas dan pikiran cerdas, disertai dengan analisa yang tajam dan sesuai dengan lubuk hati nurani, yang diambil dari lautan syariat yang dalam, sesuai dengan batasan-batasan yang ditetapkan oleh qaidah syar'iyyah, serta sesuai dengan makna kandungan nash-nash Al-Qur’an dan Hadis Nabi.
Misalnya hadis Nabi yang berbunyi :

كُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ
Artinya: “Setiap Bid’ah adalah sesat”.

Hadis tersebut harus ditafsirkan bahwa yang dimaksud dengan istilah Bid’ah dalam hadis di atas adalah “Bid’ah Sayyi-ah” (Bid’ah yang buruk) yang telah keluar dari prinsip-prinsip ajaran Islam.

Pembatasan makna seperti di atas juga terjadi pada hadis-hadis Nabi yang lain, seperti : 

لاَ صَلاَةَ لِجَارِ الْمَسْجِدِ اِلاَّ فِى الْمَسْجِدِ
Artinya: “Tiada shalat bagi penduduk yang tinggal di sekitar masjid, kecuali dilakukan di masjid

Ditafsirkan : “Tidak sempurna shalat bagi penduduk yang tinggal di sekitar masjid, kecuali dilakukan di masjid”. 

لاَ صَلاَةَ بِحَضْرَةِ الطَّـعَامِ
Dapat ditafsirkan : “Tidak sempurna shalat seseorang disebabkan tersajinya makanan”.

لاَ يُؤْمِنُ اَحَدُكُمْ حَتَّى يُحِبَّ  لاَخِيْهِ مَا يُحِبُّ لِنَفْسِهِ
Dapat ditafsirkan : “Tidak sempurna iman seseorang di antara kalian, sehingga ia mencintai saudaranya seperti ia mencintai dirinya sendiri”.

Demikian pula hadis-hadis yang lain seperti, “Tidak masuk surga tukang fitnah”; “Tidak masuk surga orang yang memutus tali persaudaraan…”;  “Tidak masuk surga orang yang durhaka kepada kedua orang tuanya”.  Para ulama memberikan tafsiran, bahwa yang dimaksud dengan ungkapan “Tidak masuk surga” adalah Tidak masuk surga sejak pertama kali, atau tidak akan masuk surga jika seseorang kedapatan telah melakukan hal-hal tersebut (memfitnah, memutus tali persaudaraan, durhakan pada kedua orang tua, dll).

Ingat bahwa yang dimaksud dengan “mengadakan-adakan sesuatu baru” sebagai tambahan dalam syari’at yang sangat dicela oleh agama adalah “sesuatu baru” yang berkaitan dengan persoalan Agama dan diharapkan menjadi bagian tak terpisahkan.
Maulidur Rasul & Sholawatan  tidaklah bid'ah
Ringkas kata, para ulama tidak mengartikan hadis-hadis tersebut secara harfiah atau tekstual semata, akan tetapi mereka menggunakan berbagai ragam interpretasi dan penakwilan. Mereka juga melakukan penakwilan terhadap hadis yang menjelaskan persoalan Bid’ah. Menurut mereka, berdasarkan keumuman lafazh Bid’ah dan mengaitkannya dengan perilaku sahabat Nabi saw, maka mengarah pada suatu pemahaman bahwa yang dimaksud dengan istilah “Bid’ah” adalah “Bid’ah Sayyiah” (bid’ah yang buruk) yang tidak ditemukan asal usulnya dalam syariat Islam.

Dalam sebuah hadis dikatakan, “Barangsiapa yang berprilaku baik, maka ia akan diberi pahala disebabkan prilaku baiknya itu, dan ia akan diberi pahala lagi disebabkan karena ada orang lain yang meniru prilaku baiknya itu sampai hari kiamat”.

Hadis yang lain menjelaskan, “Kalian harus berpegang pada sunnahku dan sunnahnya (prilakunya) para sahabat Khulafaurrasyidin”.

Umar bin Khatthab pernah menyatakan tentang status shalat Tarawih, Sebaik-baik bid’ah adalah (shalat Tarawih) yang aku lakukan ini”.  

Tawassul




Oleh KH Ali Ma’shum

PENGERTIAN
Kata Tawassul  berasal dari bahasa Arab “التوسل” artinya memakai perantara. Jadi Doa dengan cara tawassul adalah memohon kepada Allah  dengan perantaraan sesuatu. Sedangkan  sesuatu yang dipakai perantara itu disebut dengan Wasilah.

RAHASIA DAN LATAR BELAKANG TAWASSUL
Syaikh Abu Saif Al-Hammamiy, salah seorang Ulama Al-Azhar, menyatakan bahwa terdapat sekelompok orang yang mengatakan bahwa tawassul itu hukumnya musyrik (membawa kekafiran), dan karenanya maka orang yang bertawassul dengan Nabi dan para wali Allah telah menjadi halal darahnya.
Lebih lanjut Abu Saif Al-Hammamiy mengatakan bahwa orang yang bertawassul itu sama sekali tidak beri’tiqad, bahkan terlintas dalam hatinya bahwa Nabi dan para Wali yang ditawassuli itu tempat tujuan akhir  memohon, melainkan mereka yakin bahwa hanya Allah belaka yang mengabulkan permohonan. Demikianlah sesungguhnya keyakinan yang ada dalam benak hati orang-orang yang tawassul. Siapa saja, kapan saja, dan dimana saja.
Jika kita mau membaca diri sendiri, maka akan mengetahui bahwa diri kita ini penuh dosa, maksiat, dan kelaliman. Dan ini semua mengakibatkan terhalangnya pengabulan pengabdian kita. Dan karena doa itu termasuk pengabdian (ibadah), maka doapun akan tidak terkabulkan karena Allah berfirman :
...... إِنَّمَا يَتَقَبَّلُ اللَّهُ مِنَ الْمُتَّقِيْنَ
“ …… sesungguhnya Allah hanya menerima (pengabdian) dari orang-orang yang bertakwa”. (QS. Al- Maidah : 27)
Oleh Karena itu, maka selayaknya jika dalam mengajukan suatu permohonan perlu memakai perantara orang-orang yang dekat kepada Allah, yaitu para Nabi, Waliyullah, Ulama, dan Orang-orang yang Sholih. Sebab merekalah orang-orang yang paling berhak memperoleh kenikmatan dari Allah dan permohonannya selalu dikabulkan.
Dengan begitu, maka Tawassul itu sesungguhnya adalah salah satu cara yang lebih etis/sopan serta luwes dalam mengajukan suatu permohonan kepada Allah, Zat yang Maha Suci dan Maha Agung.
Allah adalah Maha Pengasih, Maha Penyayang, dan Maha Mengabulkan permohonan. Sedangkan manusia sebagai makhluk sudah pasti mempunyai aturan, sopan santun dan tata krama sendiri dalam upaya mendapatkan kemurahan tersebut. Memanglah kesopanan dan tata krama hanya dilakukan oleh orang yang mau sopan, tahu adab dan tidak sombong.
Dalam kenyataannya hampir seluruh anugerah Allah yang dicurahkan kepada makhlukNya itu pasti dengan perantaraan sesuatu. Obat menjadi perantara datangnya kesembuhan. Ulama / guru menjadi wasilah datangnya ilmu. Orang kaya menjadi wasilah datangnya rezeki Allah. Dan lain-lain. Semua itu sebagai wasilah. Sedangkan sumber pertama adalah Allah. Demikian pula dalam masalah doa, anugerah Allah yang wujudnya keterkabulan itu datangnya dengan wasilah para Nabi, Ulama dan Sholihin.

BENTUK TAWASSUL.
Tawassul itu bentuknya ada 2 ( dua ) macam :
1. Tawassul dengan orang lain. Tawassul bentuk ini ada 2 ( dua ) macam, yaitu ;
a). Meminta tolong kepada orang lain agar orang itu     memohonkan     sesuatu yang kita kehendaki kepada Allah. Hal ini telah terjadi pada zaman Nabi Muhammad SAW. Sebagaimana dinyatakan dalam ayat :
“ ……Dan kalaulah mereka telah berbuat lalim atas diri mereka, lalu datang kepadamu (Muhammad) untuk memohon ampunan kepada Allah, dan Rasulpun memohonkan ampun buat mereka, niscaya akan mereka dapati Allah Maha Penerima taubat dan Maha Penyayang “. (QS. An-Nisa : 64 )
Ayat ini dengan jelas mengajarkan kita untuk bertawassul. Dalam hal ini meminta tolong kepada Rasul agar beliau memohonkan ampun buat kita kepada Allah.
b.) Memohon kepada Allah dengan perantara / tawassul keagungan derajat  orang lain di sisi Allah. Misalnya membaca Shalawat Badar ; adalah memohonkan rahmat Nabi dengan perantaraan keagungan sahabat pahlawan Badar (Bi ahli Badri Ya Allah). Dalam suatu Hadits Nabi mengajarkan kepada seseorang yang buta dan ingin memohon agar sembuh dari butanya. Doa tersebut adalah memakai tawassul,  yaitu :
اَلّلهُمَّ إِنِّي أَسْأَلُكَ وَأَتَوَجَّهُ إِلَيْكَ بِنَبِيِّكَ مُحَمَّدٍ نَبِيِّ الرَّحْمَةِ، يَامحَمَّدُ إِنِّي تَوَجَّهْتُ بِكَ إِلَى رَبِّى فِى حَجَتِي هَدِهِ لِتَقْضِيَ، اَلّلهُمَّ فَشَفِّعْهُ فِيَّ. ( رواه الترمذى وغيره)

Ya Allah sesungguhnya aku memohon kepadaMu dan menghadap kepadaMu dengan perantaraan NabiMu, Muhammad Nabi Rahmah, Ya Muhammad sesungguhnya aku menghadap kepada Tuhanku dengan perantaraan engkau dalam hajatku ini agar engkau penuhi, Ya Allah Syafa’atkanlah dia buatku “. ( Riwayat At-Turmudzi, An-Nasa’i, Baihaqi, dan Thabarani).
Setelah selesai berdoa, maka sembuhlah penyakitnya dan bisa melihat seperti sedia kala. Demikian ajaran Nabi untuk tawassul.

2.    Tawassul dengan amal kebaikani. Hal ini berdasarkan sebuah hadits riwayat Bukhari dan Muslim. Haditsnya terlalu panjang untuk kita kutip di sini. Inti ceritanya sebagai berikut : “ Ada tiga ( 3 ) orang tertidur di dalam gua. Gua tersebut lalu pintunya tertutup. Dengan Tawassul amal kebaikan orang bertiga tersebut, ternyata dalam waktu singkat doanya terkabul dan pintu gua pun terbuka. ( Hadts ini termaktub juga dalam kitab syarah Hadits Dalilul Falihin Juz I, hal. 71 – 77 )

PRAKTEK PELAKSANAAN TAWASSUL
Pada dasarnya tawassul itu dilaksanakan dalam rangka mencari / menempuh jalan untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT. Sebagaimana firmanNya :
يَا أَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوْا اتَّقُوْا اللَّهَ وَابْتَغُوْا  إِلَيْهِ الْوَسِيْلَةَ ....
Wahai orang-orang yang beriman bertakwalah kamu kepada Allah dan carilah wasilah ( = jalan untuk mendekatkan ) kepada Allah …..”. ( QS. Al Maidah : 35 )
Ayat ini memerintahkan agar kita bertakwa dan mencari wasilah kepadaNya.

Dalam sejarah perjalanan Islam, tawassul selalu dilakukan oleh para Ulama, bahkan oleh Nabi dan sahabat beliau.
1. Rasulullah pernah tawassul dengan hak Sa-iliin (pemohon kepada Allah) dan hak perjalanan beliau sendiri. Yaitu beliau berdoa :
 اَلّلهُمَّ إِنِّي أَسْأَلُكَ بِحَقِّ السَّا ئِلِيْنَ لَكَ أَسْأَلُكَ بِحَقِّ مَمْشَايَ هَذَا إِلَيْكَ (رواه أحمد وغيره)       
Ya Allah kami memohon kepadaMu dengan tawassul pada hak para pemohon kepadaMu dan hak perjalanan kami ini…..”. (HR. Ahmad, Baihaqi, Thabrani ).
Beliau mendoakan pada jenazah Ummu Fathimah dan tawassul dengan para Nabi sebelum beliau :
إِغْفِرْ ِلأُمَّ فَاِطمَةِ بِنْتِ أَسَدٍ وَوَسِّعْ عَلَيْهَا مَدْخَلَهَا بِحَقِّ نَبِيِّكَ وَاْلأِ نْبِيَاءِ اّلَذِيْنَ مِنْ قَبْلِي ( رواه الطبراني وصححه إبن حبّان)
Ampunilah (dosa) Ummu Fathimah binti Asad dan luaskanlah tempatnya, dengan tawassul pada Nabi-Mu dan para Nabi sebelum aku “. ( Riwayat Ath-Thabrani, dan dinyatakan Shahih oleh Ibnu Hibban dan Al-Hakim, dari Anas bin Malik )
2.  Sahabat Umar pernah tawassul dengan Sayidina Abbas. Sebagaimana diriwayatkan oleh Bukhari :

إِنَّ عُمَرَاْبنَ الْخَطَّاب كَانَ إِذَا قحَطْوَا إِسْتَسْقَى بِاْلعَبَّاسِ بن عبدِ المُطَّلِب، فَقَالَ :اَلّلهُمَّ كُناَّ نَتَوَسَّلُ إِلَيْكَ بِنَبِيِّنَا وإنَا نَتَوَسَّلُ إِلَيْكَ بِعَمِّ بِنَبِيِّنَا فَاسْقِنَا – فَيَسْقَوْنَ. (رواه البخاري) 
Sesungguhnya Umar bin Khathab bila terjadi kemarau panjang memohon hujan dengan tawassul pada Saiyidina Abbas bin Abdul Mutholib dan doanya : Ya Allah, kami memohon kepadaMu dengan tawassul pada Nabi kami maka turunkanlah hujan dan tawassul dengan paman Nabi kami maka, turunkanlah hujan. Maka hujanpun turun dengan deras “. (HR. Bukhari ).
3.   Imam Syafi’i suka berziarah ke makam Imam Hanafi dan tawassul dengannya.
4.    Imam Hambali berziarah ke makam Imam Syafi’i  dan tawassul dengannya.
5.   Imam Abu Hasan Asy-Syazili menganjurkan agar tawassul dengan Imam Al-Ghozali bila  mempunyai hajat.
6.   Syaikh Al-Bakri bin Muhammad Syatha’ –penyusun kitab ‘I’anatuth thalibin- bertawassul dengan Rasulullah.
7.    Imam Abdul Rauf Al-Manawi, pengarang Faidhul Qadir kitab syarah hadts Al-Jamiush Shaghir, bertawassul dengan Rasulullah.
8.   Syaikh Tharabulusi, pengarang kitab Tauhid Al-Husunul Hamidiyah, bertawassul dengan Zat Allah, sifat Allah, dan Asma Allah serta Ruhaniyyah Rasulullah.
9.   Para Ulama dan Kyai di Indonesia semuanya hampir ahli ziarah kubur dan bertawassul dengan Rasulullah, waliyullah, dan para Ulama yang telah meninggal dunia.
10. Shalawat Badar yang biasa di baca oleh kaum Muslimin Indonesia adalah merupakan tawassul dengan para Syuhada’ Badar (Bi Ahlil Badri Ya Allah).

Melihat data tersebut, jika benar bahwa tawassul itu hukumnya musyrik sebagaimana yang didakwahkan oleh sekelompok orang, maka berarti Rasulullah, para sahabat, dan para Ulama tersebut semuanya masuk neraka. Sebab musyrik itu merupakan dosa besar yang tidak bisa diampuni. Lalu, siapa gerangan yang akan masuk sorga?. Adakah surga yang seluas langit dan bumi itu hanya disediakan untuk beberapa gelintir manusia yang memusyrikkan tawassul ?

TAWASSUL DENGAN ORANG MATI
Melihat uraian di atas, maka diketahui bahwa tawassul dapat dilakukan dengan orang-orang yang dekat pada Allah, baik yang masih hidup maupun yang sudah meninggal dunia.
Apabila berwasilah itu dengan Rasulullah, maka ada sebuah Hadits yang menyatakan bahwa para Nabi itu masih tetap hidup setelah dikubur, bahkan melakukan shalat. Bunyi Haditsnya :
اْلأَ نْبِيَاءُ أَحْيَاءٌ فِى قُبُوْرِهِمْ يُصَلُّوْنَ (رواه البيهقى)

“ Para Nabi adalah masih tetap hidup di kubur mereka dan melakukan shalat “. (Riwayat Al-Baihaqi)
Apabila berwasilah itu dengan para Ulama dan Shalihin, maka dinyatakan suatu ayat bahwa mereka tetap hidup setelah matinya dan mendapat kenikmatan dari Allah :
وَلاَ تَحْسَبَنَّ الَّذِيْنَ قُتِلُوْا فِي سَبِيْلِ اللَّهِ أَمْوَاتًا,  بَلْ أَحْيَاءٌ عِنْدَ رَبِّهِمْ يُرْزَقُوْنَ  
Dan janganlah kamu mengira bahwa orang-orang yang mati di jalan Allah itu mati, melainkan mereka hidup di sisi Tuhannya dengan memperoleh rezeki “.
(QS. Ali Imran : 169 )
Ayat ini menyatakan bahwa orang mati di jalan Allah, atau orang mati dalam keadaan Shalih pada hakekatnya tetap hidup. Sudah barang tentu hidupnya bukan di alam dunia lagi tetapi di alam Barzah. Mereka mendapat kenikmatan dan keutamaan di sana termasuk keutamaan mereka adalah mampu digunakan sebagai wasilah
Disamping itu, Mazhab empat telah sepakat memperbolehkan tawassul dengan orang-orang Sholih, baik yang masih hidup maupun yang sudah meninggal dunia. Bahkan menganjurkan untuk melakukannya. Ulama Salaf dan Khalaf dari Ahlilmadzhab empat,  Madzahibil Arba’ah mensunnahkan bagi penziarah ke makam Nabi agar memohon syafa’at dan tawassul dengan Nabi. sebagai berikut :
يَارَسُوْلَ اللهِ إِنِّي قَدْ جِئْتَكَ مُسْتَغْفِرًامِنْ ذَنْبِى مُتَشَفِّعًا بِكَ إِلَى رَبِّى
Ya Rasulullah sesungguhnya aku datang menghadap engkau seraya memohon syafa’atmu guna memohon ampun kepada Tuhanku dari dosaku”.