Oleh: Prof. DR. Sayyid Muhammad Alawi Abbas Al-Maliki
1. Pengertian Tawassul
Sebagian besar orang salah faham terhadap pengertian Tawassul. Berikut ini kami akan menjelaskan pemahaman yang benar tentang pengertian Tawassul menurut cara pandang kami. Untuk itu perlu kami jelaskan terlebih dahulu tentang hakekat maknanya.
Pertama : Tawassul adalah salah satu cara dan metode dalam berdoa, serta salah satu pintu
dari beberapa pintu bertawajjuh
(menghadap) kehadirat Allah swt. Tujuan yang
paling pokok dan hakiki adalah Allah
swt, sedangkan “Mutawassal”
atau semua amal shaleh dan apa saja yang
dijadikan sebagai sarana tawassul, adalah semata-mata sebagai Wasithah atau Wasilah (Perantara, Pengantar atau
Mediator) dalam rangka taqarrub (mendekatkan diri) kepada Allah swt. Jika ada orang yang berkeyakinan
sebaliknya, yakni menjadikan “Mutawassal” (mediator) sebagai “Tujuan
pokok”, maka bukanlah dipandang sebagai bentuk “Wasilah” atau
Perantara, berarti ia benar-benar
telah melakukan kesyirikan.
Kedua : Orang yang bertawassul tidak melakukan tawassul kepada Allah swt
dengan menggunakan suatu Wasithah atau “Perantara” tersebut,
melainkan lebih disebabkan oleh kecintaannya atau “mahabbah”-nya kepadanya dan memiliki
keyakinan bahwa Allah swt mencintai “Perantara” tersebut. Kalau tidak demikian,
berarti ia adalah orang yang paling jauh dari dan sangat dibenci oelh Allah swt.
Ketiga : Sekiranya orang yang bertawassul tersebut berkeyakinan bahwa
“perantara” atau “wasithah” itulah yang sebenarnya dapat mendatangkan manfaat
dan menolak madharat, dan bukan Allah swt yang melakukannya, berarti ia
melakukan kesyirikan.
Keempat : Tawassul bukanlah suatu keharusan. Terkabulnya suatu doa tidak
tergantung kepada Tawassul tersebut. Tetapi tawassul semata-mata sekedar
sebagai suatu doa secara mutlak kepada Allah swt, sebagaimana firman-Nya :
وَإِذَا سَأَلَكَ عِبَادِي عَنِّي فَإِنِّي قَرِيبٌ أُجِيبُ دَعْوَةَ
الدَّاعِ إِذَا دَعَانِ فَلْيَسْتَجِيبُوا لِي وَلْيُؤْمِنُوا بِي لَعَلَّهُمْ يَرْشُدُونَ
“Dan
apabila hamba-Ku bertanya keadamu tentang Aku, maka (jawablah) bahwasanya Aku
adalah dekat. Aku mengabulkan orang yang berdoa apabila ia berdoa kepada-Ku.
Maka hendaklah mereka itu memenuhi segala perintah-Ku dan hendaklah mereka
beriman kepada-Ku, agar mereka selalu berada dalam kebenaran” (QS Al-Baqarah,[2] : 186)
قُلِ ادْعُوا اللَّهَ أَوِ ادْعُوا الرَّحْمَنَ أَيًّا مَا تَدْعُوا
فَلَهُ الْأَسْمَاءُ الْحُسْنَى
“Katakanlah : “Serulah Allah, atau serulah Ar-Rahman. Dengan nama apa saja
kamu seru, Dia mempunyai Al-Asmaul Husna”
(QS Al-Isra’,[17] : 110).
2. Bebarapa Model Tawassul Yang Disepakati
2. Bebarapa Model Tawassul Yang Disepakati
Tidak seorang muslim pun yang
berselisih faham tentang disyariatkannya Tawassul kepada Allah swt dengan
perantaraan “amal
shaleh”-nya. Orang yang melakukan
puasa, shalat, membaca Al Qur’an dan shadaqah, sesungguhnya ia telah bertawassul dengan puasanya, shalatnya,
bacaan Al Qur’annya dan shadaqahnya. Bahkan tawassul model ini lebih makbul
dalam kaitannya dengan berdoa memohon apa saja yang dikehendakinya. Dalam hal
ini tidak ada perselisihan faham sedikit pun.
Dasar hukum yang dapat
dijadikan pegangan adalah sebuah hadis Nabi yang menceritakan tentang tiga
orang yang terkurung didalam sebuah gua. Mereka berdoa dengan cara bertawassul melalui amal shalehnya agar dikeluarkan dari dalam gua tersebut. Salah satu di
antara mereka bertawassul dengan perantaraan amal shaleh andalannya, yakni
berbakti kepada kedua orang tuanya. Orang yang kedua bertawassul dengan amal
shaleh andalannya, yaitu berusaha menjauhkan diri dari perbuatan maksiat dan
tercela pada saat ia mampu melakukannya. Orang yang ketika bertawassul dengan
amal shaleh sifat amanah-nya, yakni kejujurannya dalam menjaga dan memelihara harta benda
“gaji” pegawainya, lalu ia kembalikannya secara sempurna. Kemudian Allah swt
mengabulkan permohonannya dan melenyapkan kesulitan yang sedang mereka alami.
Bentuk dan model tawassul semacam ini dijelaskan secara detail disertai dalil-dalilnya oleh
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam beberapa buku karangannya, terutama dalam
bukunya yang berjudul Qa’idatul
Jalilah Fittawassuli wal Wasilah .
3. Letak Perbedaan Pendapat
Perselisihan pendapat
terletak pada praktek
bertawassul dengan selain amal shalihnya
sendiri. Misalnya bertawassul dengan sesuatu benda dan pribadi seseorang
seperti dengan mengucapkan :
أَللَّـهُمَّ إِنِّيْ اَتَوَسَّلُ اِلَيْكَ بِنَبِيِّكَ مُحَمَّدٍ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ …
“Ya Allah, aku bertawassul kepada-Mu dengan perantaraan
Nabi-Mu Muhammad saw…”
atau mengucapkan :
أَللَّـهُمَّ إِنِّيْ اَتَوَسَّلُ اِلَيْكَ بِاَبِيْ بَكْرٍ … بِعُمَرَ
ابْنِ الْخَطَّابِ … بِعُثْمَانَ … بِعَلِيٍّ …
“Ya Allah, aku bertawassul kepada-Mu dengan perantaraan Abu
Bakar… dengan Umar bin Khatthab… dengan Usman … atau dengan Ali ….”
Tawassul model seperti diatas menurut sebagian orang
dilarang.
Menurut pandangan kami, perbedaan pendapat dalam
persoalan ini lebih bersifat formalitas, hanya pada bentuk lahiriah saja dan
bukan pada hal-hal yang bersifat essensial. Karena bertawassul dengan perantaraan
manusia atau benda-benda tertentu pada hakekatnya akan
berpulang pada tawassulnya seseorang pada amal shalihnya. Tentu saja model
tawassul seperti ini disepakati kebolehannya. Sekiranya para penentang yang
keras kepala tersebut memandang persoalan tawassul dengan mata hatinya, tentu
akan semakin jelas bagi mereka duduk persoalan yang sebenarnya dan problem
mengenai tawassul yang segera
terpecahkan, sehingga kita tidak akan mendengar lagi suara tuduhan kafir,
syirik atau sesat.
Perlu kami jelaskan, bagaimana orang yang bertawassul
dengan selain amal shalih (misalnya barang atau manusia), pada hakekatnya
adalah bertawassul dengan amal perbuatan yang berkaitan dengannya, yang nota
bene merupakan hasil dari usahanya sendiri. Sebenarnya orang yang bertawassul dengan perantaraan
pribadi seseorang, misalnya pribadi para auliya’, para Nabi, dan orang-orang
shalih lainnya, memiliki suatu keyakinan bahwa mereka itu semua adalah para
hamba kekasih Allah swt yang telah menghabiskan waktu hidupnya untuk berjihad
di jalan-Nya. Atau ia berkeyakinan bahwa Allah swt telah mencintai mereka,
sebagaimana yang disinggung didalam QS Al Maidah,[5] : 54, “Allah mencintai
mereka, dan mereka mecintai Allah”.
Jika Anda merenungkan persoalan Tawassul ini, Anda akan
berkesimpulan bahwa Tawassul merupakan wujud kecintaan orang yang
bertawassul kepada orang yang dijadikan “Wasilah” (perantara) dalam bertawassul kepada Allah swt. Orang yang
bertawassul tadi seakan-akan mengucapkan doa : “Ya Allah, aku mencintai si Fulan, dan aku yakin bahwa si Fulan tersebut
mencintai-Mu. Ia termasuk orang yang ikhlas beribadah dan berjihad di jalan-Mu.
Aku yakin bahwa Engkau mencintai dan ridha kepadanya. Oleh karena itu, aku
bertawassul kepada-Mu melalui perantaraan “kecintaanku kepadanya” dan melalui perantaraan “keyakinanku ini
kepadanya”. Kiranya Engkau mau mengabulkan permohonanku ini ….”
Hanya saja
sebagian besar orang yang bertawassul tersebut biasanya membacanya secara
singkat, dan tidak sampai seterinci seperti di atas. Akan tetapi mereka cukup
toleran dan bersikap bijak dalam menjelaskan persoalan tawassulnya kepada
saudaranya yang menentang, kurang memahami, atau bahkan tidak mengetahui
rahasia Tuhan yang tersembunyi di balik bumi dan langit, maupun yang
tersembunyi di balik dada setiap manusia.
Teks bacaan doa yang berbunyi : “Ya Allah, aku
bertawassul kepada-Mu dengan perantaran Nabi-Mu….” Adalah sama nilainya dengan mengucapkan teks doa : “Ya Allah, aku bertawassul kepada-Mu dengan
perantaraan amal shalihku yang berupa ‘kecintaanku kepada Nabi-Mu’ ….”. Kenapa demikian ? Karena orang yang
bertawassul dengan bacaan teks doa yang pertama pada hakekatnya merupakan wujud
kecintaannya dan keimanannya kepada Nabi Muhammad saw. Sekiranya ia tidak
mencintai dan tidak mengimani beliau saw, tentu ia tidak akan bertawassul
melalui perantaraan beliau tersebut. Demikian pula bertawassul dengan
perantaraan pribadi-pribadi selain Nabi Muhammad saw, seperti para auliya’,
ulama, dan kaum shalihin lainnya.
Dengan uraian di atas, maka
akan semakin jelas persoalannya, bahwa letak perbedaan pendapat di kalangan
ulama pada dasarnya hanya bersifat formal, terbatas pada permukaan atau
kulitnya, dan tidak sampai pada persoalan yang essensial dan prinsipil. Oleh
karena itu kami menghimbau agar persoalan tawassul ini tidak perlu
diperpanjanglebarkan perdebatannya. Apalagi hal ini sampai menjadi pemicu
perpecahan dan permusuhan antar sesama kaum muslimin, atau bahkan sampai keluar
kata-kata tuduhan “kafir”, “musyrik”, “sesat”, “bid’ah”, dan sejenisnya. Na’udzubillahi
min dzalik (Kami berlindung dari yang
demikian itu).
Sub-hanaka hadza buhtanun ‘azhim (Maha Suci Engkau, Ya Allah,
ini benar-benar kebohongan yang besar).
4. Dalil Tawassul Yang Perlu
Diketahui
Allah swt berfirman :
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَابْتَغُوا إِلَيْهِ
الْوَسِيلَةَ
“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan
carilah jalan yang mendekatkan diri kepada-Nya,” (QS Al Maidah[5] :
35)
Kata “Al-Wasilah” didalam ayat di atas bermakna : “Segala sesuatu yang dijadikan Allah swt sebagai sebab, sarana atau perantara dalam rangka mendekatkan diri kepada-Nya dan sebagai sesuatu yang menghubungkan tercapainya segala hajat kebutuhan”. Dengan kata lain, “Wasilah” haruslah memiliki nilai, kemuliaan dan kehormatan tersendiri di hadapan Allah..
Kata “Wasilah” didalam ayat di atas memiliki
pengertian yang umum, yakni meliputi tawassul dengan perantaraan “dzat” (pribadi-pribadi orang) yang yang memiliki
keutamaan di sisi Allah swt, seperti para Nabi, para Auliya’ dan kaum shalihin
lainnya, baik sewaktu mereka masih hidup maupun sesudah wafatnya. Juga meliputi
tawassul dengan perantaraan amal shalih sesuai dengan yang diperintahkan oleh
agama. Tentu saja bentuk tawassul yang kedua ini baru boleh dilakukan setelah
amal shalih tersebut dikerjakan.
Keumuman pengertian “wasilah”
ini juga ditemukan dalam beberapa hadis Nabi dan atsar. Setelah Anda memahami,
mendalami dan merenungkan isi kandungannya, maka Anda akan berkesimpulan bahwa
Rasulullah saw benar-benar telah menginformasikan berbagai model dan bentuk
tawassul melalui perantaraan beliau saw, baik sewaktu beliau “belum wujud” (belum lahir ke dunia), “sesudah wujud” (setelah lahir ke
dunia), “sesudah wafat” (hidup di alam barzah), maupun sesudah beliau dibangkitkan pada hari kiamat nanti
.
.
__________________________________________________________________
Sumber : diterjemahkan dari Kitab "مفاهيم يجب أن تصحح"