Oleh : Sayyid Muhammad Alawi Al-Maliki |
Perantara syirik (Wasithah Syirkiyyah)
Sebagian besar orang salah
dalam memahami “Perantara Kesyirikan”. Mereka melontarkan hukum dan anggapan
secara serampangan tanpa dipikirkan secara mendalam. Mereka beranggapan bahwa
setiap Wasithah (medium, perantara) merupakan salah satu bentuk perbuatan
syirik.Dan orang yang mempergunakan Wasithah atau perantara dengan berbagai
bentuk dan caranya dalam setiap aktifitas ibadah, doa dan lain-lainnya, berarti
ia musyrik dan keadaannya sama seperti orang-orang musyrik yang berkata :
مَا
نَعْبُدُهُمْ إِلَّا لِيُقَرِّبُونَا إِلَى اللَّهِ زُلْفَى
“Kami tidak
menyembah berhala-berhala melainkan supaya mereka mendekatkan kami kepada Allah
dengan sedekat-dekatnya” (QS Az-Zumar,[39]: 3).
Pandangan dan anggapam seperti di atas
perlu ditolak secara tegas. Apalagi ayat 3 QS Az-Zumar yang mereka jadikan
argumentasi adalah bukan pada tempatnya. Karena ayat tersebut secara tegas
menjelaskan pengingkaran terhadap prilaku kaum musyrikin yang menjadikan
berhala dan patung sebagai “tuhan-tuhan selain Allah swt”. Di samping
bahwa ayat tersebut mengingkari terhadap praktek-praktek kesyirikan yang mereka
lakukan dengan suatu keyakinan dan persangkaan bahwa penyembahan terhadap
patung dan berhala tersebut merupakan sarana mendekatkan diri kepada Allah swt
dengan sedekat-dekatnya. Jadi kekufuran dan kesyirikan mereka terletak pada dua
hal : Pertama, penyembahan
terhadap patung dan berhala. Kedua,
keyakinan mereka bahwa patung dan berhala tersebut dianggap sebagai tuhan-tuhan
selain Allah swt.
Perlu kami tegaskan, QS Az-Zumar ayat
3 di atas membuat kesaksian bahwa kaum musyrikin tidak bersungguh-sungguh dalam
berargumentasi mengenai alasan mereka menyembah patung dan berhala. Sekiranya
alasan mereka itu benar, jujur dan dapat dipercaya, tentu mereka dengan jantan
akan mengatakan, bahwa Allah swt adalah Dzat Yang Lebih Mulia dan Luhur
daripada patung dan berhala mereka. Konsekwensinya, mereka tidak akan menyembah
tuhan-tuhan selain Allah swt. Akan tetapi, kenyataannya tidak demikian.
Allah swt melarang kaum muslimin untuk
mencela patung dan berhala sesembahan kaum musyrikin didalam firman-Nya :
وَلَا
تَسُبُّوا الَّذِينَ يَدْعُونَ مِنْ دُونِ اللَّهِ فَيَسُبُّوا اللَّهَ عَدْوًا
بِغَيْرِ عِلْمٍ كَذَلِكَ زَيَّنَّا لِكُلِّ أُمَّةٍ عَمَلَهُمْ ثُمَّ إِلَى
رَبِّهِمْ مَرْجِعُهُمْ فَيُنَبِّئُهُمْ بِمَا كَانُوا يَعْمَلُونَ
“Dan janganlah kamu memaki sembahan-sembahan yang
mereka sembah selain Allah, karena mereka nanti akan memaki Allah dengan
melampaui batas tanpa pengetahuan. Demikianlah kami jadikan setiap umat
menganggap baik perkerjaan mereka. Kemudian kepada tuhan merekalah kembalinya
mereka, lalu Dia memberitakan kepada mereka apa yang dahulu mereka kerjakan”.
(QS Al-An’am,[6] : 108)
Abdurrazzaq,
Abdullah bin Humaid, Ibnu Jarir, Ibnu al-Mundzir, Ibnu Abi Hatim dan Abu
al-Syaikh meriwayatkan hadis dari Qatadah ra, katanya : “Konon kaum muslimin
memaki berhala sesembahan kaum musyrikin, lalu mereka balik memaki Allah
sebagai sesembahan kaum muslimin, sehingga Allah swt menurunkan ayat 108 surat
Al-An’am di atas”.
Demikianlah
Asbabun Nuzul ayat di atas. Ayat tersebut secara tegas menjelaskan
larangan terhadap kaum muslimin untuk mencaci dan melecehkan kekurangan dan
ketidaksempurnaan patung-berhala yang disembah kaum musyrikin. Karena dengan
cacian dan pelecehan tersebut, kaum musyrikin menjadi marah, lalu mereka balik
mencaci dan melecehkan Allah swt yang disembah kaum muslimin.
Sekiranya pernyataan kaum musyrikin yang menganggap
patung dan berhala sebagai sarana atau wasithah untuk mendekatkan diri
kepada Allah tersebut benar dan jujur, tentu mereka tidak akan berani mencaci
maki dan melecehkan Allah swt sebagai bentuk balasan terhadap kaum muslimin
yang mencaci dan melecehkan patung-berhala mereka. Dengan demikian dapat
disimpulkan, bahwa Allah swt didalam hati mereka lebih sedikit daripada
patung-berhala mereka. Padahal mereka mengakui bahwa Pencipta langit dan bumi
adalah Allah, sebagaimana yang dijelaskan didalam surat Luqman [31] : 25 :
وَلَئِنْ
سَأَلْتَهُمْ مَنْ خَلَقَ السَّمَوَاتِ وَالْأَرْضَ لَيَقُولُنَّ اللَّهُ قُلِ
الْحَمْدُ لِلَّهِ بَلْ أَكْثَرُهُمْ لَا يَعْلَمُونَ
“Dan sesungguhnya jika kamu tanyakan kepada mereka:
‘Siapakah yang menciptakan langit dan bumi?’. Tentu mereka akan menjawab:
‘Allah’. Katakanlah : ‘Segala puji bagi Allah’; tetapi kebanyakan mereka tidak
mengetahui”. (QS Luqman,[31] : 25)
Seandainya
jawaban mereka itu jujur (Bandingkan dengan ayat di atas) dan mereka
berkeyakinan bahwa Allah lah satu-satunya Pencipta alam semesta,
sementara patung-berhala mereka bukanlah pencipta alam disebabkan
ketidakmampuannya, tentu mereka akan menyembah Allah swt dan bukan pada patung-berhala
mereka. Atau, paling tidak, mereka menunjukkan sikap hormat kepada Allah swt di
atas penghormatannya kepada patung-berhala mereka. Namun pada kenyataannya,
mereka tidak berbuat demikian. Apakah sikap mereka tersebut dapat dikatakan konsisten
dan sesuai dengan kenyataan di lapangan, sementara mereka masih suka
mencaci dan melecehkan Allah swt ? Sejak semula sikap mereka memang tidak
pernah konsisten dan tidak dapat dipegangi.
Ayat
Al Qur’an yang ada di hadapan kita tidak semata-mata menunjukkan bahwa Allah
swt lebih sedikit di hati mereka dibandingkan dengan patung dan berhala mereka.
Bahkan ayat-ayat tersebut menjelaskan beberapa gambaran perumpamaan, di
antaranya :
وَجَعَلُوا
لِلَّهِ مِمَّا ذَرَأَ مِنَ الْحَرْثِ وَالْأَنْعَامِ نَصِيبًا فَقَالُوا هَذَا
لِلَّهِ بِزَعْمِهِمْ وَهَذَا لِشُرَكَائِنَا فَمَا كَانَ لِشُرَكَائِهِمْ فَلَا
يَصِلُ إِلَى اللَّهِ وَمَا كَانَ لِلَّهِ فَهُوَ يَصِلُ إِلَى شُرَكَائِهِمْ
سَاءَ مَا يَحْكُمُونَ
“Dan mereka
memperuntukkan bagi Allah satu bahagian dari tanaman dan ternak yang telah
diciptakan Allah, lalu mereka berkata sesuai dengan persangkaan mereka:
"Ini untuk Allah dan ini untuk berhala-berhala kami". Maka
saji-sajian yang diperuntukkan bagi berhala-berhala mereka tidak sampai kepada
Allah; dan saji-sajian yang diperuntukkan bagi Allah, maka sajian itu sampai
kepada berhala-berhala mereka. Amat buruklah ketetapan mereka itu.” (QS Al-An’am,[6] : 136)
Oleh karenanya, sekiranya Allah swt tidak lebih sedikit
di hati mereka daripada berhala mereka, tentu mereka tidak lebih condong kepada
berhala mereka daripada kepada Allah.
سَاءَ
مَا يَحْكُمُونَ
“Amat
buruklah ketetapan mereka itu.”
Dari sudut pandang ini, Abu Sufyan bin Harb, sebelum ia
masuk Islam, pernah mengatakan di dalam salah satu pertempuran melawan tentara Islam,
“Kalahkanlah Allah, wahai Hubal !”, seraya memanggil berhala kaum
Quraisy yang bernama Hubal, agar ia mengalahkan dan menundukkan Allah
swt. Ini merupakan gambaran sikap kaum musyrikin terhadap patung-berhala mereka
dan sikap terhadap Allah swt.
Persoalan ini perlu direnungkan dan diketahui secara
benar, karena ternyata masih banyak orang yang kurang memahami secara benar.
Mereka hanya memahaminya secara sempit. Apakah Anda tidak tahu, sewaktu Allah
swt memerintahkan kaum muslimin agar menghadapkan wajahnya ke Ka’bah dalam
setiap shalatnya, lalu mereka menghadapkan dan mengarahkan wajah dalam setiap
peribadatannya itu ke sana dan menjadikannya sebagai Kiblat. Hal ini
bukan berarti bahwa mereka menyembah Ka’bah.
Mencium Hajar Aswad merupakan salah satu bentuk
peribadatan kepada Allah swt, sesuai dengan tuntutan dan sunnah Rasulullah saw.
Jika kaum msulimin mencium Hajar Aswad dan menghadap ke arah Ka’bah ini
mereka niati menyembah kepada kedua benda tersebut, tentulah mereka
disebut musyrik, sama seperti kemusyrikan yang dilakukan oleh kaum kafir
quraisy penyembah berhala.
Ka’bah dan Hajar Aswad dalam persoalan ubudiyah
di sini berkedudukan sebagai Wasithah atau perantara seseorang dalam
melakukan peribadatan kepada Allah swt. Wasithah merupakan keniscayaan
dan bukan suatu bentuk kemusyrikan. Setiap orang islam yang melakukan ibadah
kepada Allah swt dengan melalui wasithah atau perantara tidak
otomatis menjadi musyrik. Jika mereka dikatakan musyrik, maka seluruh umat
manusia, tidak ketinggalan seluruh kaum muslimin, adalah musyrik semua, karena
semua problem kehidupan manusia tidak lepas dari adanya wasithah atau
perantara. Misalnya, Rasulullah saw menerima wahyu adalah melalui wasithah atau
perantara malaikat Jibril. Dengan kata lain, malaikat Jibril adalah
berkedudukan sebagai “perantara” bagi Rasulullah saw dalam menerima wahyu.
Rasulullah saw juga sebagai “Perantara agung” atau Wasithah
’uzhma bagi para sahabatnya. Mereka memohon pertolongan kepada beliau
sewaktu mengalami kesulitan. Mereka mengadukan problem hidupnya kepada beliau,
bertawassul kepada Allah melalui perantaraan beliau, dan memohon agar beliau
mendoakan kebaikan untuk mereka. Beliau saw sendiri setelah mendengar pengaduan
mereka tidak pernah mengatakan, “Kalian musyrik dan kafir, karena kalian
seharusnya tidak diperbolehkan mengadukan problem hidup kalian kepadaku
dan tidak boleh memohon bantuan doa
dariku. Sebaliknya, kalian harus berdoa langsung kepada Allah, karena Dia lebih
dekat kepada kalian daripada aku !”.
Sekali lagi, beliau saw tidak pernah mengatakan seperti itu. Bahkan
beliau mendiamkan dan tidak pernah melarang perilaku sahabat tersebut. Malah
beliau mengabulkan dan mendoakan sesuai dengan permintaan mereka, disertai
pemahaman bahwa mereka sudah mengetahui yang sebenarnya, bahwa yang mampu
memberikan dan menolak sesuatu, serta yang mampu menolak dan membentangkan
pemberian rizki, pada hakekatnya, adalah Allah swt, bukan selain-Nya.
Rasulullah saw bersabda :
إِنَّـمَا
اَنَـا قَـاسِمٌ وَ اللَّـهُ مُـعْـطٍ
“Sesungguhnya aku hanyalah yang membagi-bagikan.
Sedangkan Allah-lah yang memberi”.
Atas dasar itu jelaslah bahwa boleh mensifati siapa
saja, apapun kedudukannya : baik itu seorang Nabi, auliya-illah, kaum muslimin
pada umumnya, aupun yang lainnya. Misalnya dengan mengatakan bahwa dia adalah
orang yang mampu menghilangkan kesusahan hidup, mampu memecahkan problem
hidupnya, dan mampu mncukupi kebutuhan hidupnya. Apalagi sifat tersebut
diberikan kepada Rasulullah saw, seorang Nabi yang teragung dan seorang makhluk
yang paling utama, tentu saja hal itu secara mutlak diperbolehkan. Rasulullah saw pernah bersabda, “Barangsiapa
yang membantu melapangkan kesusahan orang mukmin dalam menghadapi persoalan
hidupnya di dunia, maka …”.
Beliau bersabda dalam sebuahhadis shahih: “Allah akan
menolong seorang hamba, selama ia mau memberikan pertolongan kepada temannya”.
Beliau bersabda, “Barangsiapa yang menolong orang
yang membutuhkan pertolongan, maka Allah akan mencatatkan 73 kebaikan untuknya”. (HR Abu Ya’la, Al-Bazzar, al-Baihaqi).
Dari beberapa hadis Nabi di
atas diperoleh suatu pemahaman, bahwa seorang muslim dapat berperan sebagai “perantara” atau wasitah dalam rangka membantu
melapangkan kesusahan, menolong dan memberi pakaian dan lain-lain, dengan
pemahaan bahwa yang secara hakiki dapat
melapangkan kesusahan, memenuhi kebutuhan hidup, memberi pertolongan dan
menolak bahaya adalah Allah swt. Dan hal ini menunjukkan tentang boleh-nya menisbatkan suatu “perbuatan” kepada seseorang.
Banyak sekali hadis nabawi
yang menjelaskan bahwa Allah swt menolak dan mencabut adzab siksaan dari muka bumi ini disebabkan
oleh adanya orang-orang yang mau beristighfar dan memakmurkan masjid-masjid.
Dan berkat mereka lah Allah swt memberi
rizki dan pertolongan-Nya, serta mengurungkan siksaan-Nya kepada penduduk bumi.
At-Thabary, dalam sebuah
kitabnya yang berjudul “Al-Kabir”, dan al-Baihaqy, dalam
kitab “Sunan”-nya, menuturkan sebuah hadis dari
Mani’al-Dailamy, bahwa Rasulullah saw bersabda, “Sekiranya tidak ada: 1) orang yang shalat, 2) bayi yang menyusu kepada ibunya, dan 3)
hewan-hewan yang masih bisa memakan rerumputan, tentulah Allah swt sudah
menimpakan azab kepada kalian. Dan berkat mereka pula, Allah benar-benar ridha
dan puas kepada kalian (alias Dia urung menimpakan azab-Nya)”.
Imam al-Bukhary meriwayatkan
hadis dari Sa’ad bin Abi Waqqash ra, bahwa Rasulullah saw bersabda, “Kalian mendapatkan
pertolongan dan rizki dari Allah adalah disebabkan oleh adanya orang-orang
lemah di antara kalian”.
At-Tirmidzi meriwayatkan
sebuah hadis dari Anas bin Malik, yang
dinilai shahih oleh al-Hakim, bahwa Rasulullah saw bersabda,
“Semoga engkau diberi rizki disebabkan dia”.
Hadis dari Ibnu Umar ra
menjelaskan, bahwa Rasulullah saw bersabda, “ Sesungguhnya Allah swt memiliki makhluk-makhluk yang
diciptakan-Nya untuk memenuhi hajat kebutuhan manusia, Orang-orang datang
meminta bantuan kepada makhluk tersebut dalam rangka memenuhi kebutuhannya.
Mereka itulah yang mengamankan dan
menyelamatkan manusia dari siksa Allah swt” (HR At-Thabrany dalam kitabnya Al-Kabir, dan Abu Na’im).
Hadis dari Jabir bin Abdullah
ra, bahwa Rasulullah saw bersabda, “Sesungguhnya Allah swt tentu akan berlaku baik kepada manusia disebabkan
oleh perlakuan baik seorang muslim yang shalih kepada anaknya, cucunya, anggota
keluarganya dan tetangga sekitarnya. Mereka senantiasa dalam perlindungan Allah
swt selama seorang muslim yang shalih tersebut tinggal di lingkungan mereka”. (HR Ibnu Jarir dalam kitab Tafsir-nya, juz 2; hal. 341. Dan ditakhrij oleh
An-Nasai).
Hadis dari Ibnu Umar ra,
bahwa Rasulullah saw bersabda , “Sesungguhnya Allah swt benar-benar akan menyingkirkan bala cobaan dari
seratus anggota keluar sekitarnya disebabkan oleh adanya seorang muslim yang
shalih”. Kemudian Ibnu Umar ra
membacakan ayat 251 surat Al-Baqarah, yang artinya: “Seandainya Allah swt tidak
menolak keganasan sebagian orang kepada sebagian yang lain, pasti rusaklah bumi
ini” (HR At-Thabrany).
Hadis dari Ubadah bin Shamit
ra, bahwa Rasulullah saw bersabda,”Wali Abdal pada umatku berjumlah tiga puluh orang. Berkat mereka lah
kalian diberi rizki, dituruni hujan dan diberi pertolongan”. Qatadah ra mengatakan, “Saya berharap kiranya
kebaikan datang dari mereka” (HR At-Thabrani).
Empat hadis terakhir di atas dituturkan oleh Al-Hafizh
Ibnu Katsir didalam kitab Tafsir-nya sewaktu ia menafsirkan QS Al-Baqarah,[2] : 251
وَلَوْلَا دَفْعُ اللَّهِ
النَّاسَ بَعْضَهُمْ بِبَعْضٍ لَفَسَدَتِ الْأَرْضُ
“Seandainya Allah tidak menolak (keganasan) sebahagian manusia
dengan sebahagian yang lain, pasti rusaklah bumi ini”
Hadis-hadis tersebut layak dijadikan sebagai
argumentasi, dan dari keseluruhan itu menjadikan khabar tersebut
bernilai shahih.
Hadis dari Anas bin Malik ra, bahwa Rasulullah saw
bersabda, “Bumi ini tidak terlepas dari empat puluh orang setara
dengan Khalilurrahman (Wali Allah). Berkat keberadaan mereka, kalian
diberi minum (diturunkan hujan) dan diberi pertolongan. Tidak mati seorang
diantara mereka melainkan Allah swt menggantikan posisinya dengan yang lain”.
(HR At-Thabrany dalam kitab Al-Ausath, dengan sanad Hasan. Juga
tertulis dalam kitab Majma’ al-Zawaid, juz 20; hal. 62).
Al-Wasithah
Al-Uzhma (Perantara Yang Agung)
Pada hari makhsyar yang merupakan hari Tauhid,
hari Iman dan hari diperlihatkannya ‘Arasy akan muncul seorang Perantara
Yang Agung, yakni Nabi Muhammad saw. Beliau adalah Pemilik Panji
yang terikat sangat kuat, Pemilik “Maqam Mahmud” (Kedudukan yang
terpuji), Pemilik telaga Kautsar, sebagaimana yang disebutkan didalam
Al-Qur’an, seorang Pemberi Syafaat yang tidak ditolak permintaannya dan
jaminan-jaminannya tidak sia-sia bagi orang yang dijanjikan. Pada hari itu,
semua manusia datang menemui beliau saw seraya meminta syafaatnya. Beliau
segera bersujud menghadap kehadirat Allah swt seraya terus memintakan syafaat
untuk mereka, sampai Dia mengabulkan permintaan beliau. Allah swt berfirman
kepada beliau, “Hai Muhammad ! Angkatlah kepalamu. Mintalah syafaat, tentu
engkau akan diberi. Dan mintalah apa saja, tentu semuanya akan Aku kabulkan”.