Oleh Sayyaid Muhammad Alawi Al-Maliki |
Beristighatsah Kepada Rasulullah SAW
Disebutkan dalam
sebuah hadis yang diriwayatkan oleh at-Thabrani didalam kitabnya, Majma’
al-Kabir, bahwa pada masa hidup Rasulullah saw, ada seorang munafik yang
suka mengganggu dan menyakiti kaum muslimin. Abu Bakar bilang, “Mari kita
minta bantuan kepada Rasulullah saw dari gangguan orang munafik itu”. Setelah
hal itu diadukan, lalu beliau bersabda :
إنّـه لا يستـغاث بـي, و
إنّـما يستـغاث باللـه
“Sesungguhnya hal ini tidak boleh dimintakan bantuannya
kepadaku, tetapi hanya dapat dimintakan bantuannya kepada Allah swt".
Hadis di atas
mereka jadikan sebagai alasan untuk menolak beristighatsah (meminta
bantuan) kepada Rasulullah saw. Pada prinsipnya, alasan mereka ini salah alamat
dan tidak sesuai dengan sasaran pembicaraannya.
Kalau kita berpegangan pada makna tekstualnya (zhahir
lafazh), memang hadis tersebut melarang beristighatsah kepada
Rasulullah saw secara mutlak. Jika demikian, hal ini berarti sangat
kontradiktif dengan perilaku para sahabat yang meminta bantuan kepada beliau
saw. Seperti mereka meminta bantuan
kepada beliau, meminta hujan kepada Allah swt dengan perantaraan beliau, dan
minta didoakan beliau. Sementara beliau saw sendiri mengabulkan permintaan
mereka dengan senang hati.
Atas kenyataan
ini diharapkan, sewaktu menakwilkan atau menafsirkan suatu hadis haruslah
mengkaitkannya dengan hadis-hadis lain pada umumnya, sehingga dihasilkan suatu
pemahaman yang obyektif, menyeluruh dan tepat sasaran, serta tidak bertentangan
dengan nash-nash hadis yang lain.
Menurut pemahaman
kami, hadis di atas mengokohkan dan menetapkan hakikat Tauhid pada inti
akidah, yaitu bahwa yang berhak memberikan bantuan dan pertolongan adalah hanya
Allah swt semata. Sementara makhluk adalah berstatus sebagai Wasithah
(perantara) dalam persoalan ini. Atau dengan hadis di atas, Rasulullah saw
bermaksud memberikan suatu pengajaran kepada umat islam, agar mereka tidak
meminta bantuan dan pertolongan kepada orang lain mengenai sesuatu yang diluar
kemampuannya, seperti meminta dimasukkan ke surga, diselamatkan dari siksa
neraka, diberi hidayah dan hal-hal lain yang diluar kemampuan manusia.
Hadis di atas tidak menunjukkan suatu
pemahaman agar meminta bantuan dan pertolongan hanya kepada orang yang masih
hidup saja, bukan kepada orang yang mati. Bahkan secara tekstual hadis tersebut
melarang untuk selamanya meminta bantuan dan pertolongan kepada selain Allah
swt, baik kepada orang yang masih hidup maupun yang sudah mati. Akan tetapi,
makna tekstual semacam ini bukanlah
makna sesungghuhnya yang dimaksudkan oleh hadis tersebut.
Sesepuh Islam
Ibnu Taimiyah didalam kitabnya, Al-Fatawa, memberikan suatu
petunjuk atas makna hadis di atas. Bahwa terkadang didalam firman Allah swt dan
hadis Rasulullah saw itu ada suatu ungkapan atau perkataan yang memiliki makna
yang sudah benar dan jelas. Akan tetapi sebagian orang memahaminya dengan
pemahaman yang tidak dikehendaki oleh Allah swt dan Rsul-Nya. Pemahaman semacam
ini tertolak.
Misalnya sebuah
hadis yang diriwayatkan oleh At-Thabrani didalam kitabnya, Mu’jam al-Kabir, baha
pada jaman Rasulullah saw ada seorang munafik yang mengganggu dan menyakiti kaum
muslimin, lalu Abu Bakar mengatakan: “Marilah kita meminta bantuan kepada
Rasulullah saw dari gangguan orang munafik ini”. Maka beliau saw bersabda,
“Sesungguhnya hal ini tidak boleh dimintakan bantuannya kepadaku. Akan
tetapi hanya boleh dimintakan bantuannya kepada Allah swt”
Dengan sabdanya itu Rasulullah saw menghendaki
makna yang kedua, yakni dilarang meminta bantuan kepada beliau sesuatu yang
tidak mampu beliau lakukan kecuali Allah swt. Jika pemahamannya tidak seperti
itu, maka tidak mungkin para sahabat meminta kepada beliau agar mendoakan
mereka, atau meminta diturunkannya hujan melalui perantaraan beliau,
sebagaimana yang disebutkan didalam hadis riwayat Bukhari dari Ibnu Umar, bahwa
ia berkata: “Barangkali Anda masih ingat sebuah syair yang disenandungkan
oleh seorang A’rabi yang isinya meminta diturunkan hujan melalui perantaraan
Rasulullah saw. Saya melihat ke arah wajah beliau yang didongakkan ke atas
sambil meminta hujan kepada Allah swt. Beliau tidak menurunkan pandangannya ke
bawah sampai hujan itu benar-benar diturunkan”.
Ungkapan Sanjungan Yang Menjadi Sebab Pengkafiran
Ada beberapa
ungkapan kata sanjungan dan pujian kepada Rasulullah saw yang menjadi obyek perdebatan
di kalangan mereka, lalu sebagian mereka melontarkan tuduhan Kafir kepada
orang yang mengucapkannya. Seperti kata sanjungan berikut ini :
“Tiada tempat
berlindung bagi kami selain Rasulullah saw”
“Tiada yang
dapat diharapkan selain Rasulullah saw”
“Sesungguhnya
kami berlindung kepada Rasulullah saw”
“Kepada
Rasulullah saw-lah diadukan semua kesulitan”
“Jika engkau
(Ya Rasulullah) menolak, siapa lagi tempat kami meminta!”
Maksud mereka
mengucapkan sanjungan di atas tiada lain adalah “Tiada tempat berlindung,
tiada yang dapat kami harapkan, dan tiada tempat mengadukan problem hidup,
kepada sekalian manusia, selain kepada Rasulullah saw. Disebabkan kemuliaan
beliau di sisi Allah swt, kami berharap agar beliau sudi menghadap dan meminta
sesuatu kepada Allah swt. Jika beliau menolaknya, kepada siapa lagi kami
meminta?”
Meskipun demikian,
kami tidak mempergunakan ungkapan sanjungan di atas didalam bertawassul dan
berdoa. Kami pun juga tidak mengajak dan menganjurkan orang-orang untuk
melakukan cara sanjungan seperti itu. Hal ini dimaksudkan untuk menghindari
kesalahpahaman dan keraguan akibat ungkapan kata sanjungan yang mengundang
perselisihan itu. Lalu kami gunakan ungkapan kata yang secara lahir tidak
mengundang keraguan dan perselisihan.
Hanya saja yang
kami sayangkan adalah tuduhan kafir, sesat, syirik dan sejenisnya yang
dilontarkan mereka kepada orang yang mengucapkan kata sanjungan di atas.
Menurut pandangan kami, tuduhan mereka tersebut merupakan tindakan semberono,
tergesa-gesa dan sama sekali tidak terpuji serta tidak ada gunanya. Disebabkan
orang yang dituduh kafir, sesat dan syirik tersebut adalah termasuk orang yang
masih memegangi Tauhid, masih ber-Syahadat bahwa tiada tuhan selain Allah
swt dan Muhammad adalah utusan Allah, masih melakukan shalat, serta masih
membenarkan semua Rukun-rukun agama. Mereka meyakini Allah
sebagai Tuhan, Muhammad sebagai Nabi dan Rasul Allah, dan Islam sebagai
agamanya. Dengan demikian, ia tetap berada dalam lingkaran kaum muslimin dan ia tetap berhak mendapatkan
perlindungan Islam, baik hartanya, jiwanya maupun kehormatannya. Sebagaimana
hadis yang diriwayatkan dari Anas bin Malik ra, bahwa Rasulullah saw bersabda,
“Barangsiapa yang melakukan shalat seperti yang kita kerjakan, masih
memegangi agama Islam, dan berkiblat (ke Ka’bah) seperti yang kita lakukan,
serta memakan sembelihan kita, maka ia adalah seorang muslim yang berhak
mendapatkan “Dzimmah” (jaminan perlindungan) Allah swt dan Rasul-Nya. Karena
itu, kalian tidak boleh mengganggu apa yang menjadi “Dzimmah”-nya itu”. (HR
Bukhari).
Dari sini maka
yang menjadi kewajiban bagi kita adalah : Jika kita menemukan atau mendengarkan
ungkapan kata dari kaum muslimin yang nampaknya mengarah kepada suatu pemahaman
yang menyimpang dari konsep Tauhid, maka kita wajib menafsirkannya
sebagai ungkapan kata “Majaz Aqli”. Maka tidak ada jalan dan alasan
untuk menuduhnya Kafir. Karena ungkapan kata “Majaz Aqli” semacam
itu juga banyak digunakan didalam ayat Al-Qur’an dan Hadis Nabi. Dengan
demikian, jika kita menyaksikan suatu ungkapan kata yang diucapkan oleh orang
yang men-Tauhid-kan Allah swt yang nampaknya bertentangan dengan akidah,
maka harus kita pandang sebagai ungkapan “Majaz Aqli”. Karena Akidah
mereka yang sebenarnya adalah mengakui dan meyakini Allah swt sebagai Dzat
Yang Menciptakan semua makhluk beserta perbuatannya; tiada seorang pun, yang
mampu memberi bekas, pengaruh, atau ikut campur dalam proses “penciptaan” tersebut
selain Allah swt semata, baik orang itu masih hidup maupun yang sudah mati.
Itulah akidah dan
keyakinan orang yang berpegangan pada prinsip ajaran Tauhid yang benar. Orang yang menyimpang dari akidah Tauhid
ini berarti ia jatuh kedalam kesyirikan. Dan secara mutlak dapat dikategorikan telah keluar dari agama
Islam dan kelompok kaum muslimin, bagi setiap orang yang berkeyakinan bahwa
sesuatu selain Allah swt memiliki kemampuan mutlak tak terbatas dalam berbuat
dan bertindak, termasuk dalam memberikan rizki, hidup dan mati. Karena
perbuatan dan tindakan yang demikian itu hanya Hak dan Milik Allah
swt. Dan ungkapan kata yang meragukan yang telah keluar dari mulut orang yang
bersyahadat, haruslah ditafsirkan sebagai ungkapan kata memohon syafaat,
bantuan atau pertolongan kepada Allah swt dengan jalan “wasilah”. Adapun
maksud yang sebenarnya yang ia tuju adalah Allah swt. Maka tidak tergolong kaum
muslim-mukmin, orang yang berkeyakinan bahwa sesuatu yang dijadikan “wasilah”,
“wasithah”, atau “perantara” itulah yang sebenarnya yang kuasa dan
mampu secara mandiri melakukan dan tidak melakukan, mengabulkan dan tidak
mengabulkan, tanpa menoleh sedikit pun kepada Kemahakuasaan Allah swt.
Paling sedikit, keyakinan semacam itu mendekati kesyirikan.
Kami senantiasa
memohon perlindungan kepada Allah swt dari usaha melontarkan tuduhan Kafir,
Musyrik, Bid’ah, atau Sesat, kepada orang islam yang jelas-jelas masih
memegangi dua kalimat syahadat, baik tuduhan itu disebabkan kebodohan
dan kesalahannya maupun benar-benar ada unsur kesengajaan.
Kami memandang,
jika mereka salah dalam mengutarakan kata-kata, seperti meminta ampunan, surga,
syafaat, dan kesuksesan hidup kepada Rasulullah saw secara langsung, maka hal
itu tidak akan merusak Akidah atau Ketauhidan mereka, karena
maksud yang sebenarnya di balik tindakan mereka itu, pada hakekatnya, adalah
memohon syafaat dan bantuan kepada Allah swt dengan cara menjadikan Rasulullah
saw sebagai “wasilah” atau “wasithah” mereka, yang jika kita
terjemahkan maka akan berbunyi: “Ya Rasulullah saw ! Memohonlah kepada
Allah swt dosa-dosa kami diampuni-Nya..; agar Dia melimpahkan rahmat-Nya kepada
kami”, atau berbunyi : “Ya Rasulullah saw! Kami bertawassul kepada Allah
swt dengan perantaraanmu, agar Dia mengabulkan hajat keperluanku…; agar Dia
menghilangkan kesusahanku…; agar Dia merealisir cita-citaku…”
Kenyataannya para sahabat memang
melakukan demikian, seperti mengadukan kepada Rasulullah saw problem
kemiskinan, bertumpuk-tumpuknya hutang, sakit, tertimpa balak dan lain-lain
sebagaimana yang kami jelaskan di muka. Dan beliau tidak pernah menolak
permintaan mereka, bahkan menanggapinya dengan senang hati, disertai suatu
keyakinan bahwa beliau tidak merasa melakukannya sendiri secara mutlak tanpa
keikutsertaan kekuasaan dan izin Allah swt .
Oleh karenanya, Anda akan menyaksikan ucapan
dan tindakan Rasulullah saw yang antara satu dengan lainnya nampak
kontradiktif. Hal ini beliau maksudkan untuk menghindarkan mereka dari
perbuatan syirik, dan sebagai peringatan kepada umatnya dalam bentuk yang
beragam sesuai dengan situasi-kondisi mereka yang dinasehati. Misalnya, (1).
pada suatu kesempatan, beliau mengatakan bahwa dirinya adalah “Sayyidu
waladi Adam” (pemuka manusia keturunan Adam) dan pada kesempatan lain
beliau menyatakan larangan untuk men-Sayyid-kannya (mengangkat atau
menyanjung sebagai “Sayyid” atau pemuka atau tuan), karena “Sayyid”
yang sesungguhnya adalah Allah swt. (2).
Pada suatu kesempatan para sahabat
meminta bantuan atau bertawassul dengan beliau saw, lalu beliau mengajarkan
suatu doa untuk bertawassul. Namun pada kesempatan yang berbeda beliau
mengatakan: “Sesungguhnya istighatsah (minta bantuan/pertolongan) itu
ditujukan kepada Allah swt dan bukan kepada aku”. (3). Pada suatu waktu
para sahabat meminta bantuan dan pertolongan (penyembuhan dan lainnya) kepada
beliau, dan beliau mengabulkan permintaan mereka, bahkan beliau menyodorkan dua
pilihan, apakah mereka bersikap sabar atas musibah, cobaan atau sakit yang
menimpanya sehingga ia akan mendapatkan balasan akan dimasukkan Allah swt ke
surga, ataukah cobaan dan balak tersebut ingin dihilangkan segera? Sebagaimana
pilihan yang pernah disodorkan kepada seorang lelaki yang buta, atau kepada
sahabat Qatadah ra yang bola matanya keluar menggantung di atas pipinya. Namun
pada waktu yang berbeda beliau mengatakan, “Bila Anda meminta, mintalah
(secara langsung) kepada Allah swt dan bila minta tolong, mintalah tolong
kepada Allah swt”. (4). Pada suatu
kesempatan beliau mengatakan, “Barangsiapa yang membantu menghilangkan
kesusahan orang Islam, maka Allah swt akan menghilangkan kesusahannya…”. Namun
pada kesempatan yang berbeda beliau mengatakan, “Tiada yang mampu
mendatangkan berbagai kebaikan, melainkan Allah swt”.
Dengan uraian di
atas maka akan semakin jelas bagi Anda, bahwa Akidah yang kami miliki Alhamdulillah
lebih jernih dan bersih. Kita selaku hamba Allah swt pada dasarnya tidak
mampu melakukan aktifitas apa saja sendirian secara mutlak, lepas
dari bantuan, kehendak dan izin Allah swt, sekalipun derajat dan status kita
setingkat dengan Rasulullah saw. Hanya Allah swt lah yang pada hakekatnya mampu memberikan kemanfaatan dan menolak
madharat, serta mengabulkan semua doa dan memberikan pertolongan-Nya.
Kalau ada seseorang yang meminta
bantuan dan pertolongan kepada Rasulullah saw, sesungguhnya didalam hatinya ia
arahkan permintaannya itu kepada Allah swt. Dan terhadap orang ini, beliau saw
tidak pernah menolak dan mentakan : “Anda jangan meminta sesuatu
kepadaku…atau jangan mengadukan problem hidupmu kepadaku… Akan tetapi
tujukanlah permintaanmu dan pengaduanmu itu kepada Allah swt. Mintalah secara
langsung kepada-Nya, karena pintu-pintu-Nya selalu terbuka…Dia Maha Dekat lagi
Maha Mengabulkan doa. Dia tidak membutuhkan bantuan kepada siapa pun. Dan tiada
tabir atau hijab yang menghalangi antara Dia dan makhluk-Nya”.
Kesimpulan
Tidak dapat
dihukumi Kafir orang yang beristighatsah (meminta
bantuan/pertolongan) kepada sesama makhluk, selama tidak disertai suatu
keyakinan bahwa makhluk tersebut memiliki kemapuan mutlak dan menciptakan dan mengadakan
(perbuatannya). Tidak ada bedanya apakah makhluk itu masih hidup maupun sudah
mati. Jika berkeyakinan sebaliknya, yakni bahwa makhluk (manusia, jin,
malaikat, dan lain-lain) tersebut memiliki kekuasaan atau kemampuan mutlak
didalam menentukan, menciptakan dan mengadakan perbuatannya, maka kafirlah ia,
sebagaimana I’tiqad kaum Mu’tazilah yang menganggap bahwa manusia
memiliki kehendak dan kemampuan bebas dalam menentukan, menciptakan atau
mengadakan perbuatannya. Namun jika berkeyakinanb bahwa Usaha atau Ikhtiyar
yang dilakukan manusia itu sekedar sebagai “Sebab” atau “Perantara”
terjadinya suatu perbuatan, sementara Pencipta perbuatan manusia
yang hakiki adalah Allah swt, maka ia tidak-lah kafir.
Anda tahu bahwa
kesimpulan dari keyakinan orang yang beriman terhadap orang-orang yang sudah
wafat adalah bahwa mereka itu sama
keadaannya dengan orang yang hidup di dunia. Mereka tidak memiliki kemampuan
mutlak dalam menciptakan da mengadakan perbuatannya sama seperti kemutlakan
yang dimiliki Allah swt. Sangat tidak masuk akal jika ada yang mengatakan bahwa
mereka yang sudah mati itu merupakan Roh-roh yang memiliki kehendak dan
kemampuan bebas, sama seperti kemutlakan Tuhan, daripada orang yang masih hidup
di dunia.
Jika ada
pernyataan dan perbuatan yang secara lahiriyah menyimpang dari prinsip-prinsip
akidah yang lurus, maka harus dipahami sebagai ungkapan “Majaz Aqli” serta harus ditafsirkan bahwa
semua perbuatan makhluk, baik yang hidup maupun yang sudah mati, adalah masih
dalam batas-batas sebagai “Sebab” atau “Perantara”, bukan sebagai
“Penyebab Utama” (Causa Prima). Itulah keyakinan seorang mukmin yang
benar dalam memandang semua perbuatan makhluk. Kesalahan dan ketidakbenaran
yang terlihat pada “Kulit” atau perbuatan lahir tidak otomatis
menyebabkannya menjadi “Kafir” dan “Musyrik”.
Ukuran kekafiran dan kesyirikan seseorang
adalah terletak pada kesalahan Akidah atau keyakinan didalam hati, bukan
kesalahan ucapan dan perbuatan lahir.
Puncak persoalan Istighatsah
pada orang yang sudah wafat,
tak ubahnya seperti seseorang yang beristighatsah
(meminta bantuan/pertolongan)
kepada orang yang lumpuh, dan ia tidak
tahu bahwa dirinya lumpuh. Kemudian orang yang tidak lumpuh bilang, “Sesungguhnya
tindakan meminta bantuan kepada orang yang lumpuh adalah syirik”. Sebenarnya keadaan orang yang lumpuh itu bukan
berarti tidak dapat memberikan bantuan, dia tidak bisa memberikan bantuan dalam
satu segi, namun dalam segi yang lain boleh jadi ia dapat memberikan
bantuannya, misalnya bantuan doa. Dalam persoalan “Istighatsah” ini, keadaan orang yang lumpuh tidak jauh berbeda dengan keadaan orang
yang mati, yakni bahwa bantuan yang bisa mereka berikan adalah dalam bentuk “Doa”.
Didalam sebuah hadis Nabi dituturkan: “Sesungguhnya keadaan amal perbuatanmu
diceritakan oleh orang mati yang baru saja menghuni alam barzah (alam kubur)
kepada para arwah keluargamu yang sudah lama mati. Jika amalmu itu mereka ketahui
baik, mereka merasa gembira dan jika diketahui jelek, mereka berdoa: “Ya Allah! Janganlah
Engkau mematikan dia terlebih dahulu sebelum
Engkau tunjukkan ia ke jalan yang benar, sebagaimana petunjuk yang telah Engkau
berikan kepada kami”.
Hadis di atas dituturkan kembali oleh Imam Ahmad bin Hambal, yang
memiliki beberapa jalur Sanad
yang saling kuat menguatkan.
(Lihat kitab Al-Fath
ar-Rabbany : Tartib al-Musnad, juz 7; hal. 89 dan kitab Syarh
ash-Shudur , karya imam As-Suyuthy).
Ibn al-Mubarak mengetengahkan suatu riwayat yang Sanad-nya sampai kepada Abu Ayyub : “Amal perbuatan
orang-orang yang masih hidup di dunia akan diperlihatkan atau diceritakan
kepada Arwah orang-orang yang sudah wafat. Jika mereka melihatnya baik, mereka
merasa senang. Dan jika mereka melihatnya jelek, mereka akan berdoa: “Ya Allah!
Kembalikan kami ke dunia untuk menemui mereka”. (Lihat kitab Ar-Ruh, karya Ibnul Qayyim al-Jauzy).