Oleh : Sayyid Muhammad Alawi Al-Maliki |
Segelintir orang
yang suka mengkafirkan orang yang bertawassul bependapat, bahwa meminta kepada
(Roh-roh) para Nabi dan kaum shalihin sesuatu permintaan yang mereka
tidak mampu melakukannya kecuali Allah swt merupakan perbuatan syirik.
Sikap yang
demikian itu menunjukkan ketidakpahaman mereka terhadap hal-hal yang dilakukan
oleh kaum muslimin, baik di masa lalu maupun sekarang. Sebenarnya kaum muslimin
hanya meminta agar para Nabi dan kaum shalihin itu dijadikian sebagai “Sebab”
Allah swt mengabulkan permintaan yang mereka kehendaki. Mereka berharap, agar
dengan perantaraan syafaat, doa dan kedekatan Arwah tersebut kepada
Allah swt segala permintaannya terkabul. Sebagaimana hal ini dijelaskan didalam
beberapa hadis shahih. Misalnya mengenai kasus orang buta yang minta
bantuan kepada Rasulullah saw agar sembuh, kemudian beliau mengabulkan
permintaannya dan beliau sembuhkan matanya dengan izin Allah swt. Beliau tidak
mengatakan kepada orang itu, “Dengan sikap ini, berarti Anda telah mensyirikkan
Allah swt. Karena Anda meminta kepadaku sesuatu (penyembuhan) yang sebenarnya
hanya mampu dilakukan oleh Allah swt”.
Demikian juga
para sahabat Nabi yang lain meminta bantuan kepada beliau saw sesuatu yang
diluar jangkauan manusia, seperti meminta disembuhkan dari penyakit kronis
tanpa obat; minta diturunkan hujan dari langit tanpa didahului arak-arakan
mendung; meminta agar makanan yang sedikit menjadi banyak; memancarkan air dari
jari-jari beliau, dan lain-lain. Kesemuanya itu merupakan perbuatan yang diluar
kemampuan manusia pada umumnya. Akan tetapi beliau saw justru menyanggupi
permintaan mereka dan tidak pernah mengatakan bahwa mereka itu musyrik, kafir
atau sesat.
Dengan demikian, apakah
orang yang beranggapan dan berpandangan bukan pada tempatnya itu lantas menjadi
orang yang paling mengetahui kondisi kesempurnaan dan kerusakan ketauhidan
seseorang, melebihi Rasulullah saw dan para sahabatnya? Ini benar-benar aneh
dan tidak pernah terbayangkan, sekalipun oleh orang yang paling bodoh, apalagi
oleh orang yang memiliki wawasan keilmuan yang luas dan dalam.
Al-Qur’an mengabadikan permintaan Nabi
Sulaiman as kepada para pembantunya dari kalngan jin dan manusia :
قَالَ يَاأَيُّهَا
الْمَلَأُ أَيُّكُمْ يَأْتِينِي بِعَرْشِهَا قَبْلَ أَنْ يَأْتُونِي مُسْلِمِينَ(38)
“Berkata Sulaiman: "Hai pembesar-pembesar,
siapakah di antara kamu sekalian yang sanggup membawa singgasananya kepadaku
sebelum mereka datang kepadaku sebagai orang-orang yang berserah diri". (QS
An-Naml,[27] : 38)
Ayat di atas
menjelaskan perihal permintaan Nabi Sulaiman as kepada para pembantunya
agar Istana Ratu Bilqis yang ada
di Yaman dipindahkan ke depan Istananya yang ada di Syam, dengan cara yang
cukup spektakuler, luar biasa dan luar biasa, untuk membuat ketakjuban didalam
hati Ratu Bilqis sehingga ia mudah diajak beriman kepada Allah swt .
Ifrid,
salah satu dari golongan jin berkata:
قَالَ عِفْريتٌ مِنَ
الْجِنِّ أَنَا ءَاتِيكَ بِهِ قَبْلَ أَنْ تَقُومَ مِنْ مَقَامِكَ وَإِنِّي
عَلَيْهِ لَقَوِيٌّ أَمِينٌ(39)
”Berkata `Ifrit (yang cerdik) dari golongan jin:
"Aku akan datang kepadamu dengan membawa singgasana itu kepadamu sebelum
kamu berdiri dari tempat dudukmu; sesungguhnya aku benar-benar kuat untuk
membawanya lagi dapat dipercaya". (QS An-Naml,[27] : 39)
Dia bersedia
mengusung istana tersebut didalam waktu yang singkat. Namun Nabi Sulaiman
menginginkan yang lebih cepat dari itu. Maka menghadaplah kepada beliau seorang
yang shaleh, shiddiqin, dan waliyullah dari golongan manusia yang
sangat menguasai isi kitab Taurat dan Zabur, seraya berkata :
قَالَ الَّذِي عِنْدَهُ
عِلْمٌ مِنَ الْكِتَابِ أَنَا ءَاتِيكَ بِهِ قَبْلَ أَنْ يَرْتَدَّ إِلَيْكَ
طَرْفُكَ
“Berkatalah seorang yang mempunyai ilmu dari Al
Kitab: "Aku akan membawa singgasana itu kepadamu sebelum matamu
berkedip". (QS An-Naml,[27] : 40)
Nabi Sulaiman
nampaknya setuju, lalu dipanggillah orang shaleh tersebut untuk melaksanakan
kesanggupannya, maka dalam waktu yang sangat singkat , yakni sebelum
mata Nabi Sulaiman berkedip sesudah memerintahkannya, Istana Ratu Bilqis sudah
berada di depan Istana beliau. Kemudian beliau berkomentar, sebagaimana yang
telah diabadikan didalam Al-Qur’an :
فَلَمَّا رَآهُ
مُسْتَقِرًّا عِنْدَهُ قَالَ هَذَا مِنْ فَضْلِ رَبِّي لِيَبْلُوَنِي ءَأَشْكُرُ
أَمْ أَكْفُرُ وَمَنْ شَكَرَ فَإِنَّمَا يَشْكُرُ لِنَفْسِهِ وَمَنْ كَفَرَ
فَإِنَّ رَبِّي غَنِيٌّ كَرِيمٌ
“Maka tatkala Sulaiman melihat singgasana itu
terletak di hadapannya, iapun berkata: "Ini termasuk kurnia Tuhanku untuk
mencoba aku apakah aku bersyukur atau mengingkari (akan ni`mat-Nya). Dan
barangsiapa yang bersyukur maka sesungguhnya dia bersyukur untuk (kebaikan)
dirinya sendiri dan barangsiapa yang ingkar, maka sesungguhnya Tuhanku Maha
Kaya lagi Maha Mulia". (QS An-Naml,[27] : 40)
Mendatangkan dan
memindahkan Istana dengan cara yang luar biasa ini merupakan pekerjaan diluar
kemampuan manusia pada umumnya, apalagi hanya dalam waktu sekejap mata.
Sebenarnya pekerjaan ini hanya mampu dilakukan oleh Allah swt. Namun Nabi
Sulaiman justru meminta bantuan kepada seorang shaleh yang kemudian
disanggupinya,” Aku akan membawa singgasana itu kepadamu sebelum matamu
berkedip”.
Apakah dengan
demikian lalu Nabi Sulaiman otomatis melakukan perbuatan Syirik ? Sekali-kali
tidak, baik Nabi Sulaiman maupun orang shaleh tersebut, keduanya tidak
melakukan kesyirikan. Penisbatan Perbuatan Allah swt pada dua hal di
atas, yakni permintaan Nabi Sulaiman kepada orang shaleh dan kesanggupan
orang shaleh mengabulkan permintaan Nabi Sulaiman untuk memindahkan Istana
Bilqis dengan cara yang luar biasa, adalah penisbatan yang bersifat “Majazi”,
bukan dalam pengertian yang sebenarnya (“Haqiqy”). Dengan kata lain,
yang mampu memindahkan Istana dalam waktu sekejap mata tersebut, pada hakekatnya,
adalah Allah swt, bukan orang shaleh itu. Dengan demikian, permintaan Nabi
Sulaiman kepada orang shaleh tersebut, pada hakekatnya, dapat diartikan sebagai
permohonannya kepada Allah swt dengan perantaraan orang shaleh itu.
Demikian pula
para sahabat yang memohon sesuatu kepada Rasulullah saw, hanyalah dapat
diartikan sebagai permohonan mereka kepada Allah swt dengan perantaraan beliau
saw. Lantara Allah-lah, pada hakekatnya, yang memiliki dan yang mampu
mengabulkan permintaan mereka. Dengan demikian, permintaan mereka yang berbunyi
: “Ya Rasulullah! Sembuhkanlah penyakitku!” atau “Ya Rasulullah! Tolonglah aku, agar
hutang-hutangku lunas!”, dapatlah diartikan dan ditafsirkan berbunyi : “Ya
Rasulullah! Mintalah bantuan dan syafaat kepada Allah swt, kiranya Dia
menyembuhkan penyakitku!”, atau berbunyi: “Ya Rasulullah! Berdoalah
kepada Allah swt untukku, agar hutang-hutangku lunas”.
Ringkas kata, para sahabat tidak
semata-mata meminta bantuan kepada Rasulullah saw , melainkan meminta didoakan dan
dimintakan syafaat kepada Allah swt, disebabkan beliau saw mereka pandang
sebagai orang yang memiliki derajat dan kedudukan yang mulia di sisi Allah swt.
Itulah keyakinan yang kami pegangi didalam
menafsirkan setiap ucapan dan perkataan kaum muslimin yang berisi permohonan
bantuan, pertolongan, syafaat dan sejenisnya, kepada sesama manusia. Ucapan
mereka lebih ditafsirkan sebagai ucapan yang bersifat “Majazi”, bukan “Haqiqi”,
sehingga dengan begitu, tidak dipandang sebagai ucapan yang
membahayakan akidah. Dan Al-Qur’an sendiri sering mempergunakan ungkapan yang
bersifat “Majazy”. Misalnya :
سُبْحَانَ الَّذِي خَلَقَ الْأَزْوَاجَ كُلَّهَا مِمَّا تُنْبِتُ الْأَرْضُ
وَمِنْ أَنْفُسِهِمْ وَمِمَّا لَا يَعْلَمُونَ(36)
“Maha Suci Tuhan yang telah menciptakan pasangan-pasangan
semuanya, baik dari apa yang ditumbuhkan oleh bumi dan dari diri mereka
maupun dari apa yang tidak mereka ketahui.” (QS Yasin,[36] : 36)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar