_____________________________________________
Penulis : Prof. DR. Sayyid Muhammad Alawi Abbas Al-Maliki
Perdebatan tetap berlangsung di kalangan para ulama
mengenai kenyataan dan kebenaran yang menyangkut persoalan Aqidah Islamiyah
yang sebenarnya tidak diwajibkan Allah swt kepada kita untuk diperdebatkan.
Kami memandang bahwa pembahasan dan perdebatan tersebut justru menghilangkan
kredibilitas, keagungan dan keluhuran hakekat kebenaran agama yang bersifat
dogmatik tersebut. Misalnya perdebatan mengenai masalah melihatnya Rasulullah
saw kepada Dzat Allah swt. Bagaimana peristiwa
itu bisa terjadi sehingga menimbulkan perselisihan pendapat yang
berkepanjangan ?! Di antara mereka ada yang berpendapat bahwa Rasulullah saw
melihat Allah swt adalah dengan Hati Nuraninya, bukan melihat-Nya dengan
mata telanjang. Yang lain berpendapat, beliau saw memang benar-benar
melihat-Nya dengan mata kepala. Masing-masing kelompok menyertakan argumentasi,
dalil dan segala upaya mereka dalam mempertahankan pendapatnya. Apa yang mereka
lakukan itu sebenarnya adalah sekedar sandiwara, tanpa guna, sia-sia dan
tidak ada manfaat sedikit pun yang mereka peroleh. Bahkan lebih besar bahayanya
daripada kemanfaatannya, jika hal itu didengar oleh orang-orang awam.
Karena hati mereka akan semakin
ragu-ragu terhadap kebenaran akidah yang terkandung didalamnya.
Kami memandang bahwa persoalan tersebut adalah termasuk
persoalan yang bersifat dogmatik, suatu kebenaran agama yang tidap perlu
diperdebatkan lagi. Kita yakin bahwa Rasulullah saw benar-benar telah melihat
Tuhannya tanpa perlu memperdebatkan tentang bagaimana caranya dan dalam kondisi
seperti apa. Hal ini disebabkan oleh keterbatsan akal pikiran manusia untuk
menguak hakekat kebenaran yang sesungguhnya hanya Allah swt dan Rasulullah saw
saja yang lebih mengetahui.
Di antara beberapa persoalan akidah yang bersifat
dogmatik, yang memiliki kebenaran mutlak dan tidak perlu diperdebatkan lagi
adalah sebagai berikut :
1. Allah Berdialog dengan Nabi Musa as
Allah swt befirman :
وَكَلَّمَ اللَّهُ مُوسَى تَكْلِيمًا(164)
“Dan Allah telah berbicara kepada Nabi Musa secara langsung” (QS An-Nisa’,[4] : 164)
Yang menjadi sumber
perselisihan pendapat di kalangan para ulama adalah mengenai hakekat “kalam” (pembicaraan) Allah swt itu
sendiri. Di antara mereka ada yang berpendapat bahwa yang dimaksud dengan “Kalam” adalah Firman Allah
swt itu sendiri, atau Dia benar-benar berbicara
sendiri secara langsung. Yang lain berpendapat, bahwa “Kalam”-Nya itu berbentuk huruf dan suara. Kami berkeyakinan bahwa
masing-masing pendapat tersebut dikemukakan dalam rangka mencari hakekat “Tanzih” (transendensi, kesucian)
bagi Allah swt dan jauh dari syirik dalam berbagai bentuknya.
Persoalan “Kalam” merupakan suatu kenyataan
yang pasti, tetap dan bersifat dogmatik. Tidak ada jalan untuk mengingkarinya.
Karena dilihat dari satu sisi, mengingkarinya tidak otomatis menghilangkan kesempurnaan Allah swt, dan dari sisi yang
lain, bahwa sifat-sifat Allah swt yang disebutkan didalam Al-Qur’an harus
diimani keberadaannya, disebabkan tiada seorang pun yang mampu mengenal hakekat
Allah swt dengan sebenarnya melainkan Dia sendiri.
Orang-orang yang mencoba
memandang dan membahas “Kalam” Allah swt sekedar sebagai usaha menetapkan
keberadaan kebenaran “Kalam-Nya” kepada Nabi Musa as. Tidak
sampai pada usaha untuk menyelami secara mendalam tentang bagaimana peroses
kejadian dan bentuknya. Tujuan akhir dari penjelajahannya itu adalah untuk
menetapkan bahwa Allah swt benar-benar memiliki sifat “Kalam”, sehingga kita dapat mengatakan: “Ini adalah Kalam Allah, dan bahwa Allah swt
adalah Dzat yang Berfirman”.
Kalau sudah tercapai
demikian, sekarang marilah kita tinggalkan penyelaman dan penelitian secara
mendalam tentang bagaimana keberadaan “Kalam” Allah itu, apakah ia bersifat
“Kalam Nafsi” (berfirman secara pribadi), ataukah “Kalam Ghairu
Nafsi” (Berfirman bukan secara
pribadi). Apakah “Kalam”-Nya itu berupa huruf dan suara, ataukah
bukan. Karena hal itu belum pernah dibahas oleh Rasulullah saw itu sendiri.
Oleh karena itu, kenapa masih ada saja orang yang membahas sesuatu masalah yang
belum pernah dibahas Rasulullah saw, atau bahkan membahas sesuatu yang
didiamkan oleh beliau saw. Apakah hal ini tidak berarti membuat-buat tambahan
terhadap apa yang dibawa oleh Rasulullah saw ? Bukankah ini berarti Bid’ah yang
paling jelek ? Subhanaka hadza buhtanun ‘azhim, “Maha Suci Engkau – Ya Allah
-, ini benar-benar kebohongan besar”.
2. Kemampuan Rasulullah Melihat dari Arah
Belakang
Perdebatan panjang terjadi di kalangan para ulama mengenai hakekat
kebenaran Hadis Nabi yang berbunyi :
إِنّيْ اَرَاكُمْ مِنْ خَلْفِيْ كَمَا اَرَاكُمْ مِنْ اَمَامِيْ
“Sesungguhnya aku mampu melihatmu dari arah belakangku,
sebagaimana aku melihatmu dari arah depanku”.
Segolongan ulama berpendapat: “Sesungguhnya Allah swt
menjadikan Nabi Muhammad saw sepasang mata dari arah belakangnya”. Ada yang
mengatakan bahwa Allah swt menjadikan kedua belah mata Rasulullah saw yang ada
di depan memiliki kekuatan “tembus pandang” ke arah belakangnya.
Sementara segolongan yang lain berpendapat : “Sesungguhnya Allah swt menjadikan
apa saja yang ada di belakang Rasulullah saw seakan-akan berada di depan
pandangannya, sehingga hal tersebut dapat dilihat beliau dengan jelas”. Semua pendapat tersebut justru menurunan “Nilai”
keluhuran hakiki yang terkandung didalamnya.
Kemampuan Rasulullah saw melihat sesuatu obyek dari arah
depan dan belakangnya merupakan hakekat kebenaran yang tidak dapat diingkari,
karena hal itu beliau ceritakan sendiri dalam hadis shahihnya. Namun kita tidak
perlu memperdebatannya lebih jauh sampai pada persoalan bagaimana proses dan
bentuknya. Kita sebaiknya meyakini kejadian itu sebagai suatu kemukjizatan,
sehingga hukum “kausalitas” atau sebab akibat tidak berlaku untuk hal ini.
Kita meyakini sepenuh hati bahwa kejadian semacam itu menunjukkan Kemahakuasaan
Allah swt melalui perilaku Rasulullah saw.
3. Malaikat Jibril Menjelma Menjadi Seorang Lelaki
Para ulama berselisih faham mengenai kebenaran malaikat
Jibril yang mampu merubah bentuk aslinya menjadi seorang lelaki sewaktu ia
menyampaikan wahyu. Ada yang berpendapat bahwa pada saat itu Allah swt
menghilangkan kelebihan-kelebihan yang dimiliki seorang malaikat, yakni
kelebihan “tidak mampu dilihat manusia, namun mampu melihat manusia”.
Ada yang berpendapat lain, bahwa Allah swt menggabungkan sebagian wujud dan
bentuk jasad Jibril dengan wujud dan bentuk jasad manusia, sehingga ia (Jibril)
menjadi mengecil.
Kami berpandangan bahwa masing-masing pendapat tersebut
bisa dikatakan sia-sia, tidak ada faedahnya, bahkan melecehkan dirinya
sendiri. Kita selaku pengikut Ahlussunnah
wal Jamaah beri’tiqad, bahwa Allah swt Berkuasa melakukan apa saja sesuai
dengan Kehendak-Nya, termasuk dalam persoalan penjelmaan malaikat Jibril tersebut.
Kejadian di atas memang benar-benar terjadi secara nyata
dan dapat disaksikan dengan mata kepala. Sebagian besar para sahabat
benar-benar menyaksikan malaikat Jibril menjelmakan dirinya menjadi seorang
lelaki yang berwajah bersih dan ganteng. Kita tidak perlu susah-susah membahas
dan memperdebatkan tentang tetek bengek proses penjelmaan tersebut. Kita hanya
dituntut untuk mempercayai dan meyakini secara apa adanya, bahwa peristiwa
tersebut merupakan suatu kenyataan yang benar-benar terjadi. Kita tidak
dituntut untuk memperdebatkan, membahasnya secara mendalam dan menentangnya,
apalagi mengingkarinya.
_____________________________________
*). Sumber : diterjemahkan dari kitab "", karya DR. Sayyud Muhammad Alawi Abbas Al-Maliki
Tidak ada komentar:
Posting Komentar