Oleh : Prof. DR. Sayyid Muhammad Alawi Al-Maliki
Kisah seorang lelaki yang buta
Hadis Usman bin Hunaif ra menerangkan kesaksiannya,
bahwa pada suatu hari telah datang kepada Rasulullah saw seorang lelaki yang
mengeluhkan hilangnya penglihatannya (buta), “Ya Rasulullah, aku tidak
memiliki seorang penuntun jalanku, sehingga aku mengalami kesulitan”. Beliau
saw berkata, “ Pergilah dan ambillah air wudhu, lalu shalatlah sunnah
dua rekaat, kemudian membaca doa :
أَللَّهُمَّ إِنِّي أَسْأَلُكَ وَ أَتَوَجَّهُ إِلَيْكَ بِـنَبِيِّكَ مُحَمَّدٍ
صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ, نَبِيِّ الرَّحْمَةِ. يَا مُحَمَّدُ ! إِنِّي أَتَوَجَّهُ
بِكَ إِلَى رَبِّكَ, فَيُجْلِيَ لِيْ بَصَرِيْ حَاجَتيِ . أَللَّهُمَّ شَفِّعْهُ فِيَّ
وَ شَفِّعْنِيْ فِيْ نَفْسِيْ
“Ya Allah, aku memohon dan bertawajjuh (menghadap) kepada-Mu
dengan perantaraan Nabi-Mu, Nabi Muhammad saw, seorang Nabi pembawa rahmat. Ya
Muhammad ! Aku bertawajjuh melalui perantaraanmu kepada Tuhanmu, agar Dia
menjadikan penglihatanku bisa melihat kembali. Ya Allah, terimalah permohonan
syafaatnya untukku dan terimalah permohonan syafaatku untuk diriku”.
Usman bin Hunaif ra melanjutkan ceritanya, “Demi
Allah. Tidak lama kemudian, lelaki tersebut mendatangi Rasulullah saw dalam
keadaan seakan-akan tidak buta”.
Al-Hakim menilai hadis di atas shahih isnadnya.
Akan tetapi imam al-Bukhari dan Muslim tidak mentakhrijnya. Adz-Dzahaby juga
menilai hadis ini shahih, sementara at-Turmudzi menilianya hasan
shahih lagi gharib. Hadis ini juga diriwayatkan oleh Abu Ja’far,
yang bukan bergelar Al-Khathamy, pada bagian akhir kitab As-Sunan dalam
bab doa-doa.
Perlu kami luruskan, bahwa yang benar Abu Ja’far
bergelar Al-Khathamy al-Madany, sebagaimana yang dijelaskan didalam
riwayat at-Thabrany, al-Hakim dan al-Baihaqy. At-Thabrany menambahkan didalam
kitab Al-Mu’jam ash-Shaghir , bahwa nama asli Abu Ja’far adalah Umair
bin Yazid, seorang yang tsiqah.
Para sahabat tidak sekedar bertawassul kepada Rasulullah
saw semasa hidupnya, bahkan mereka melakukannya setelah wafatnya. At-Thabrany
meriwayatkan hadis di atas setelah sebelumnya diawali dengan sebuah kisah
tentang seorang lelaki yang berkali -kali
datang menemui khalifah Usman bin Affan untuk mengadukan suatu hajat
keperluannya. Karena sesuautu hal, khalifah tidak menanggapi dan tidak
memperhatikannya. Lelaki itu lalu menemui Usman bin Hunaif untuk mengadukan
persoalannya dan diperintahkan kepadanya, “Ambillah air wudhu, berwudhulah,
lalu shalatlah sunnah dua rekaat, kemudia bacalah doa :
أَللَّهُمَّ إِنِّي أَسْأَلُكَ وَ أَتَوَجَّهُ إِلَيْكَ بِـنَبِيِّنَا مُحَمَّدٍ
صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ, نَبِيِّ الرَّحْمَةِ. يَا مُحَمَّدُ ! إِنِّي أَتَوَجَّهُ
بِكَ إِلَى رَبِّكَ فَيُقْضِيَ حَاجَتيِ .....
“Ya Allah, aku memohon dan bertawajjuh kepada-Mu dengan
perantaraan Nabi kami, Nabi Muhammad saw, Nabi pembawa rahmat. Hai Muhammad !
Sesungguhnya aku bertawajjuh kepada
Tuhanmu melalui perantaraanmu, kiranya Dia mengabulkan hajat keperluanku …”
Kemudian sebutkan apa yang menjadi hajat keperluanmu”. Demikianlah
kata Usman bin Hunaif menyarankan kepada lelaki tersebut.
Lelaki tersebut lalu menemui khalifah. Sesampainya di
istana, ia diantar oleh penjaga untuk menemui khalifah dan ia diterima dengan
penuh penghormatan. Khalifah Usman bin Affan mempersilahkannya untuk
mengemukakan hajatnya, “Ada perlu apa Anda datang menemuiku?”. Dia lalu
mengemukakan semua permintaannya, dan dikabulkan oleh khalifah seraya
menambahkan, “Jika Anda memiliki hajat keperluan lagi, yang sekiranya aku
bisa membantumu, datanglah menemuiku”.
Lelaki itu selanjutnya keluar dari istani dan langsung
mendatangi Usman bin Hunaif, lalu berkata: “Semoga Allah swt membalas
kebaikanmu. Sebelum ini, khalifah tidak pernah mengubris dan memperdulikan
hajatku. Menoleh pun tidak. Sampai kamu membicarakan persoalanku kepada
beliau”.
Usman bin Hunaif mengelak, “Demi Allah, aku tidak
berbicara dengan khalifah. Hanya saja aku pernah menyaksikan sendiri bahwa
Rasulullah saw pernah didatangi seorang lelaki buta yang mengaduan kebutaannya,
lalu beliau saw bersabda, ‘Apakah kamu bersabar atas kebudataan yang menimpamu
?’ .Orang itu menjawab: ‘Iya,
saya bersabar, wahai Rasulullah. Namun aku tidak memiliki seorang penuntun
jalanku sehingga aku benar-benar mengalami kesulitan’. Kemudian beliau saw memerintahkannya
agar berwudhu, diteruskan shalat sunnah dua rekaat dan berdoa (seperti doa di
atas). Demi Allah, tidak lama kemudian, lelaki tersebut datang menemui beliau
saw kembali dalam keadaan seakan-akan tidak pernah tertimpa kebutaan sama
sekali”.
Al-Mundziry berkomentar, “Hadis tersebut diriwayatkan
oleh at-Thabrany dan dinilainya sebagai hadis shahih”. Demikianlah yang
dijelaskan didalam kitab At-Targhib, juz 1; hal. 440 dan kitab Majma’
al-Zawaid, juz 2; hal. 279.
Menurut pandangan Ibnu Taimiyah, imam at-Tirmidzi pernah
berkata, bahwa hadis ini diriwayatkan oleh Syu’bah dari Abu Ja’far yang
memiliki nama asli Umair bin Yazid, seorang yang Tsiqah.
Dengan penjelasan ini maka semakin jelaslah bahwa hadis
tawassul di atas dinilai shahih
oloh at-Thabrany dan
al-Hafizh Ibnu Abdillah al-Maqdisy, kemudian dinukil oleh al-Hafizh
al-Mundziry, Hasanuddin al-Haitsamy dan Syaikhul Islam Ibnu Taimiah.
Kesimpulan : Usman bin Hunaif ra yang meriwayatkan hadis di atas mengungkapkan
kesaksiannya sendiri terhadap dua orang yang berdoa kepada Allah swt dengan
cara tawassul melalui perantaraan Rasulullah saw. Orang yang pertama bertawassul
melalui beliau saw sewaktu beliau masih hidup. Sedangkan orang yang kedua
bertawassul dengan beliau setelah wafatnya. Tepatnya terjadi pada masa
kekhalifahan Usman bin Affan. Ternyata doa kedua orang tersebut dikabulkan
Allah.
Praktek Tawassul lain dan
penegasan Ibnu Taimiyah
Ibnu Abdiddunya menceritakan
didalam kitabnya Mujabud-dua’ : Telah bercerita kepada kami Abu Hasyim, dari Katsir bin Muhammad bin
Katsir bin Rifaah, dia mengatakan bahwa seseorang telah mendatangi Abdul Malik
bin Sa’id binAbjar untuk memeriksakan kesehatannya. Orang itu bilang, “Didalam lambungmu terdapat penyakit yang tidak dapat
disembuhkan?”. “Penyakit apa itu?”, kata Abdul
Malik. “Yaitu penyakit Dubailah, sejenis penyakit bisul dan borok
(kanker). Biasanya penyakit ini sering mematikan si pasien”, jawabnya, sambil
mengalihkan pembicaraannya pada persoalan lain. Karena panik dan perasannya
tidak karuan, lalu Abdul Malik berdoa :
اَللَّهُ, اَللَّهُ, اَللَّهُ, رَبِّي لَا أُشْرِكُ بِهِ شَيْئًا. أَللَّـهُمَّ
إِنِّي أَتَوَجَّهُ إِلَيْكَ بِنَبِيِّكَ مُحَمَّدٍ نَبِيِّ الرَّحْمَةِ. يَا مُحَمَّدُ,
إِنِّي أَتَوَجَّهُ بِكَ إِلَى رَبِّكَ وَ رَبِّي
يَرْحَمُنِي مِمَّا بِيْ.
“Allah, Allah, Allah ! Wahai Tuahanku. Aku tidak
mensyirikkan-Nya dengan sesuatu yang lain. Ya Allah, aku bertawajjuh kepada-Mu
dengan perantaraan Muhammad, Nabi pembawa rahmat. Ya Muhammad, aku bertawajjuh
dengan perantaraanmu kepada Tuhanku, semoga Dia memberi rahmat kepadaku dan
menyembuhkan penyakit yang sedang aku derita ini”.
Tidak lama kemudian, lelaki itu memeriksa lagi perut
Abdul Malik, lalu berkomentar, “Sekarang penyakitnya sudah hilang, dan tidak
ada lagi penyakit didalam perutmu”.
Ibnu Taimiyah didalam bukunya Qa’idah Jalilah, hal.
94, menyatakan : “Saya
tegaskan bahwa doa semacam ini dan doa-doa sejenisnya benar-benar telah
dipraktekkan oleh orang-orang salaf jaman dahulu”.
Ibnu Taimiyah menyatakan
demikian itu tentu ada maksud dan tujuan tertentu. Namun yang penting bagi kita
adalah penegasannya bahwa para ulama dan orang-orang salaf jaman dahulu
mempraktekkan doa
tawassul untuk tujuan-tujuan
pengobatan. Itulah pendapatnya yang terpenting. Bagi kita, ada yang lebih
penting dari itu semua, yakni menetapkan hadis tawassul di atas sebagai
argumentasi tentang diperbolehkannya bertawassul,
sesuai dengan apa yang kita kehendaki di sini.
Usaha Keras Para Penentang
Tawassul
Di antara mereka ada yang
mengkritik dan bersuara keras tentang hadis tawassulnya Nabi Adam, hadis Usman
bin Hunaif dan hadis tawassul lainnya. Mereka berusaha sekuat tenaga menolaknya
dengan berbagai cara, antara lain melalui diskusi, seminar, berteriak-teriak,
atau dialog dengan tema sekitar persoalan tawassul. Semua yang mereka lakukan
itu akan sia-sia dan tidak ada manfaatnya. Karena setiap kali mereka berusaha
keras menolaknya, saat itu pula mereka berhadapan dengan para ulama besar yang
nota bene adalah para panutannya, dimana semua ucapan dan pendapat para ulama
tersebut jelas jauh lebih bermutu dan rasional, menunjukkan keluasan ilmunya
dan ketajaman analisisnya, lebih dalam pemahamannya dan lebih bersinar, serta
lebih taqwa dan ikhlas daripada ucapan dan pendapat mereka yang menjadi
pengikutnya.
Di antara para ulama yang
menjadi idola dan panutan mereka adalah 1) imam Ahmad bin Hanbal yang
jelas-jelas memperbolehkan praktek tawassul, dimana pendapat-pendapatnya banyak
dinukil oleh Ibnu Taimiyah dan syaikh ‘Izzuddin bin Abdussalam; 2) Ibnu Taimiyah, juga memperbolehkan praktek
tawassul. Bahkan didalam kitabnya Fatawa, beliau menjelaskan bahwa tawassul merupakan persoalan furu’ (cabang) dan bukan ushul (prinsip); 3) syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab, seorang
pendiri dan peletak dasar faham Wahhabiyah
yang berkembang dan bahkan menjadi faham atau
madzhab resmi pemerintah Kerajaan Arab Saudi sampai saat ini, secara tegas
mengingkari orang yang mencaci maki disertai pengkufuran terhadap setiap orang
yang berpendapat tentang bolehnya bertawassul.
Syaikh al-‘Allamah
al-Muhaddits Abdullah al-Ghamary menyususn sebuah kitab Risalah (karangan tipis dan ringkas)
yang secara khusus membicarakan tentang hadis-hadis yang membicarakan persoalan
tawassul, yang diberi judul Mishbah
al-Zujajah fi shalatil Hajat . Didalam kitab tersebut
diuraikan antara lain mengenai doa tawassul yang sesuai dalam rangka pengobatan, kecukupan
hidup dan kekayaan. Semoga Allah swt membalasnya dengan sebaik-baik balasan.
Bertawassul dengan
Rasulullah saw pada hari Kiamat
Bertawassul dengan
perantaraan Rasulullah saw pada hari kiamat tidak perlu diperpanjanglebarkan
pembahasannya, karena hadis-hadis mengenai syafaat sudah sampai pada puncak kemutawatirannya. Semuanya merupakan nash-nash
yang sharih (jelas) yang menceritakan bahwa pada saat seluruh umat manusia
dirundung kesusahan, kegelisahan dan kesulitan yang luar biasa didalam
penantiannya yang cukup panjang untuk mencari keselamatan diri, mereka meminta
bantuan syafaat kepada para Nabi. Mulai dari meminta syafaat kepada Nabi Adam as, Nabi
Nuh, Nabi Ibrahim, Nabi Musa, kemudian kepada Nabi Isa. Mereka para Nabi
tersebut justru menyarankan umat manusia agar memohon syafaat kepada Nabi
Muhammad saw dan beliau pun lalu meluluskan permohonan mereka. Beliau saw
bersabda, “Aku-lah pemilik syafaat.
Aku-lah pemiliknya”. Kemudian beliau terus
menerus bersujud di hadapan Allah swt, sampai terdengar suara-Nya: “Angkatlah kepalamu! Mohonlah syafaat, tentu akan Aku
beri syafaat”.
Ini semua merupakan konsensus atau kesepakatan
para Nabi dan Rasul serta seluruh kaum mukminin, dan merupakan ketentuan dari
Allah swt Tuhan Pencipta alam, bahwa memohon pertolongan (istighatsah) sewaktu menghadapi
kesulitan dan kesusahan dengan cara bertawassul melalui perantaraan pimpinan Muqarrabin (orang yang sangat dekat
hubungannya dengan Allah swt ), yakni Nabi Muhammad saw , merupakan pembuka
jalan kesulitan dan tercapainya ridha Tuhan Pencipta alam, Allah swt.
_______________________________________________
Sumber : diterjemahkan dari kitab "مفاهيم يجب ان تصحح".
Tidak ada komentar:
Posting Komentar