Sayyid Muhammad Alawi Al-Maliki |
1. Tawassul dengan petilasan/barang peninggalan
Rasulullah saw
Tidak perlu diragukan bahwa para sahabat Nabi banyak
yang bertabarruk dengan petilasan dan bekas-bekas peninggalan Rasulullah
saw. Tabarruk merupakan suatu istilah yang hanya memiliki satu makna
atau pengertian, yakni bertawassul kepada Allah swt dengan perantaraan
barang-barang bekas peninggalan Rasulullah saw. Hal ini disebabkan bahwa
Tawassul dapat diterapkan pada banyak segi atau cara, bukan pada satu segi atau
satu cara saja. Dengan kata lain bahwa salah satu diantara berbagai cara
bertawassul adalah dilakukan dengan cara bertabarruk.
Apakah Anda
telah melihat bahwa para sahabat itu bertawassul dengan benda peninggalan
Rasulullah saw , dan bukan bertawassul dengan diri pribadi beliau ?
Apakah sah bertawassul dengan hal-hal yang bersifat “furu’”
(cabang), dan bukan dengan hal-hal yang bersifat “ushul” (prinsip,
pokok) ?
Apakah sah
bertawassul dengan benda-benda bekas peninggalan Rasulullah saw, yang pada
kenyataannya benda-benda tersebut tidak memiliki suatu kemuliaan dan keagungan
melainkan lebih disebabkan oleh kelebihan dan kewibawaan pemiliknya, yakni Nabi
Muhammad saw ? Sehingga tidak sedikit
ada orang yang mengatakan bahwa bertawassul dengan benda-benda bekas
peninggalan tersebut adalah tidak sah. Sub-hanaka, hadza buhtanun ‘azhim.
Nash-nash
Al-Qur’an dan hadis Nabawi yang berkaitan dengan persoalan ini sangat banyak.
Di sini kami hanya memprioritaskan alasan yang penting dan terkenal saja. Di
antaranya:
Amirul
Mukminin Umar bin Khatthab ra sangat berkeinginan untuk dimakamkan di samping
makam Rasulullah saw beberapa saat menjelang wafatnya. Karenanya, ia mengutus
putranya, Abdullah bin Umar, untuk menemui dan meminta ijin kepada ‘Aisyah ra,
kiranya ia memperkenankan ayahnya dikubur di samping makam Rasulullah saw.
Ternyata ‘Aisyah ra sendiri juga menginginkan dirinya dikibur di situ,
sebagaimana jawabannya terhadap permintaan Umar yang disampaikan oleh putranya
: “Aku sendiri juga menginginkan dikubur disitu. Aku tentu lebih
mengutamakan diriku sendiri”. Abdullah bin Umar lantas pergi dan
menceritakan hal itu kepada ayahnya. Umar bin Khatthab ra berkata, “Alhamdulillah.
Tiada sesuatu yang lebih penting bagiku
selain keinginanku untuk dikubur di samping makam Rasulullah saw”.
Cerita secara rinci dijelaskan didalam kitab Shahih Bukhary.
Yang
menjadi permasalahan di sini adalah, apa sebenarnya makna di balik keinginan
yang begitu besar pada diri Umar dan ‘Aisyah ?Kenapa penguburan di samping
Rasulullah saw dipandang lebih penting dan lebih disukai Umar ? Tiada penafsiran lain dari kejadian ini selain
usaha tawassul kepada Allah swt dengan perantaraan Rasulullah saw
setelah wafatnya untuk mendapatkan keberkahan dari kedekatan makamnya dengan
makam beliau saw.
2. Ummu Sulaim ra diceritakan pernah memotong mulut geriba (kantong air
dari kulit kambing) yang digunakan sebagai wadah air minum Rasulullah saw .
Anas ra mengatakan bahwa perbuatan yang
demikian itu dilakukan ibunya di hadapannya sendiri.
3. Banyak di antara para sahabat Nabi yang saling berebutan untuk
mengambil rambut beliau saw yang jatuh sewaktu bercukur.
4. Asma’ binti Abu Bakar ra menyimpan, memelihara dan menjaga baju jubah
Rasulullah saw . Ia berkata, “Kami mencucinya dan sisa air cuciannya dipakai untuk
obat bagi orang yang sakit”.
5. Demikian pula benda bekas peninggalan Rasulullah saw yang berupa
cincin. Setelah beliau saw wafat, cincin itu disimpan oleh Abu Bakar ra, lalu
Umar ra, lalu Usman ra. Kemudian cincin itu jatuh kedalam sumur sewaktu dalam
pemeliharaan Usman ra.
Masing-masing hadis di atas sangat kuat dan shahih, sebagaimana
hal ini akan kami jelaskan di belakang sewaktu menjelaskan persoalan Tabarruk.
Yang menjadi permasalahan di sini adalah, untuk apa dan sebab apa para
sahabat sangat antusias memelihara benda-benda peninggalan Rasulullah saw
seperti geriba yang terkena sentuhan mulut beliau, rambut, keringat, baju
jubah, cincin, tempat shalat dan lain-lain? Apa tujuan mereka melakukan ini
semua? Apakah hanya sekedar sebagai barang kenangan, ataukah untuk keperluan
koleksi musium? Kalau tujuannya adalah untuk kenang-kenangan, kenapa
mereka sangat antusias dan sangat besar perhatiannya pada benda tersebut untuk
dijadikan sebagai sarana atau perantara tawassul didalam berdoa, bertawassul
dan bertawajjuh kepada Allah swt sewaktu mengalami kesulitan, musibah,
tertimpa penyakit dan balak? Namun jika
tujuannya untuk koleksi musium, lalu di mana musiumnya dan dari mana datangnya
pemikiran bid’ah semacam ini? Sub-hanaka hadza buhtanun ‘azhim.
Ringkas kata,
bertabarruk dengan benda-benda bekas peninggalan Rasulullah saw merupakan suatu
usaha tawassul kepada Allah swt dalam berdoa. Bukan bertujuan untuk meminta
keberkahan dari benda yang bersangkutan. Karena hanya Allah swt semata yang
sebenarnya mampu dan berkuasa memberikan keberkahan tersebut dan hanya Dia yang
berhak mengabulkan permohonan hamba-hamba-Nya. Sedangkan semua benda-benda
peninggalan tersebut hanyalah sebagai makhluk yang berada didalam
kekuasaan-Nya, tiada satu pun yang mampu mengurusi, mengatur dan menguasai sesuatu untuk dirinya sendiri, apalagi untuk
menolong orang lain, kecuali atas izin Allah swt.
2. Tawassul dengan benda peninggalan para Nabi
Allah swt
berfirman didalam surat Al-Baqarah [2] : 248
وَقَالَ لَهُمْ نَبِيُّهُمْ إِنَّ ءَايَةَ
مُلْكِهِ أَنْ يَأْتِيَكُمُ التَّابُوتُ فِيهِ سَكِينَةٌ مِنْ رَبِّكُمْ
وَبَقِيَّةٌ مِمَّا تَرَكَ ءَالُ مُوسَى وَءَالُ هَارُونَ تَحْمِلُهُ
الْمَلَائِكَةُ إِنَّ فِي ذَلِكَ لَآيَةً لَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِينَ(248)
“Dan Nabi mereka (Nabi Samuel) berkata kepada mereka
(Bani Israil): ‘Sesungguhnya tanda ia (Thalut) akan menjadi seorang Raja ialah
kembalinya Tabut kepadamu, didalamnya terdapat ketenangan dari Tuhanmu
dan sebagai bekas peninggalan keluarga Nabi Musa dan keluarga Nabi Harun. Tabut
itu dibawa oleh malaikat. Sesungguhnya pada yang demikian terdapat tanda
bagimu, jika kamu orang yang beriman”.
Al-Hafizh Ibnu Katsir menuturkan didalam buku At-Tarikh
: “Ibnu Jarir menceritakan tentang sejarah Tabut, bahwa tabut yang
tersimpan di dalam Qubah zaman ini selalu dibawa kaum Bani Israil setiap kali
memerangi musuh-musuhnya. Mereka mendapatkan kemenengan dari Allah swt karena keberkahan Tabut, dan karena adanya
ketenangan dan benda bekas peninggalan Nabi Musa dan Harun yang tersimpan
didalamnya. Sewaktu mereka berperang melawan penduduk Ghazwah dan Asqalan,
mereka kalah, lalu tabut mereka berhasil dirampas dan jatuh ke tangan musuh.
Ibnu Katsir mengatakan, bahwa berkat adanya tabut itu.
Mereka selalu menang dalam setiap pertempurannya. Tabut tersebut berisi baskom
(bak cuci tangan)yang terbuat dari emas. Konon didalam baskom itulah hati para
Nabi (dari kalangan bani Isaril) dibersihkan. (Buku Al-Bidayah, juz 2;
hal. 8)
Ibnu Katsir pada kesempatan lain menjelaskan didalam Tafsir-nya,
bahwa Tabut tersebut berisi tongkatnya Nabi Musa dan Nabi Harun, dua
lembar lempengan yang berisi kitab Taurat, serta baju Nabi Harun. Di antara
para ulama ada yang mengatakan bahwa isi Tabut adalah berupa
tongkat dan dua sandal. (Tafsir Ibnu Katsir, juz 1; hal. 313)
Imam
al-Qurthuby mengatakan bahwa Tabut merupakan urusan Allah swt. Pada
mulanya Tabut itu diturunkan kepada Nabi Adam as, lalu diwariskan kepada
anak keturunannya sampai ke tangan Nabi Ya’qub as, kemudian diwariskan lagi
kepada anak keturunannya, yakni Bani Israil. Selama dalam penguasaan Bani
Israil, mereka berhasil mengalahkan musuh-musuhnya, sampai pada suatu hari
mereka bermaksiat dan menentang syariat para Nabi-nya, lalu Allah swt mencabut
nikmat dari mereka sehingga mereka kalah berperang sewaktu melawan bangsa
Amaliqah, yang menyebabkan Tabut dirampas musuh dari tangan mereka. (Tafsir
Al-Qurthuby, juz 3; hal. 247)
Pada hakekatnya
cerita ini tiada lain merupakan contoh bertawassul dengan benda-benda
peninggalan para Nabi. Karena mereka memanfaatkan Tabut dalam setiap
pertempurannya, tiada lain tujuannya, adalah sebagai sarana bertawassul kepada
Allah swt agar mendapatkan kemenangan.
Dan Allah swt pun meridhai apa yang mereka lakukan, disertai bukti
dengan dikembalikannya Tabut tersebut kepada mereka setelah puluhan
tahun dirampas musuh, sekaligus dijadikan sebagai tanda pengesahan atau
pelantikan Thalut sebagai “raja” mereka. Ternyata perbuatan dan perilaku mereka
itu tidak diingkari Allah swt.
3. Tawassul Rasulullah saw dengan Hak-nya para
Nabi dan kaum Shalihin
Didalam buku Manaqib Fathimah binti Asad (Biografi
Fathimah bin Asad, Ibunda sayyidina Ali ra) diceritakan, bahwa pada saat
Fathimah binti Asad wafat, Rasulullah saw menggali dan mengambili tanah calon
makam dengan tangannya sendiri. Selesai itu beliau merebahkan diri didalamnya,
lalu membaca doa :
الله الّذي يحيي و يميت, و هو حيُّ لا يموت. إغفر لامّي, فاطمة بنت أسد, و
لقّنها حجّها و وسّع عليه مدخلها, بحقّ نبيّك و الانبياء الّذين من قبلي. فاءنّك
أرحم الرّاحمين.
“Allah-lah Yang menghidupkan dan yang mematikan.
Dia Maha Hidup yang tidak pernah mati. Ampunilah, Ya Allah, dosa-dosa ibuku,
Fathimah binti Asad. Ajarilah ia dan tuntunlah hujjahnya (alasan dan jawaban
dari pertanyaan malaikat kubur), luaskanlah ruang kuburnya, dengan perantaraan Hak-nya
Nabi-Mu dan para Nabi yang datang sebelumku, karena Engkaulah sebaik-baik Dzat
Yang Maha Pengasih dari sekalian yang pengasih”.
Selanjutnya beliau saw menshalati jenazahnya, kemudian
memasukkannya kedalam liang lahad dengan dibantu oleh Abbas dan Abu Bakar ra.
(HR at-Thabrany dalam kitab Al-Kabir dan Al-Ausath. Salah seorang
perawi yang bernama Rauh bin Shalih dinilai Tsiqah oleh Ibnu Hibban dan
al-Hakim. Namun ada seorang perawi yang dinilainya lemah, akan tetapi para perawi
lainnya adalah para perawi hadis-hadis shahih. Demikianlah yang tersebut
didalam buku Majma’ al-Zawaid, juz 9; hal. 257).
Beberapa ulama hadis berselisih faham tentang perawi
yang bernama Rauh bin Shalih. Akan tetapi Ibnu Hibban menilainya Tsiqah,
sedangkan Al-Hakim menilainya Tsiqah Makmun. Dan keduanya menilai
hadis di atas shahih. Demikian pula al-Haitsamy dalam kitab Majma’
al-Zawaid menyatakan bahwa para perawi hadis di atas adalah para
perawi hadis shahih. Juga Ibnu Abdilbarr pernah meriwayatkannya dari
jalan Ibnu Abbas ra. Ibnu Abi Syaibah meriwayatkannya dari jalan sahabat Jabir
ra. Demikian juga ad-Dailamy dan Abu Na’im. Hadis tersebut diriwayatkan
berdasarkan sumber dan jalan yang beragam, yang saling kuat menguatkan
kebenaran isinya.
4. Tawassulnya Rasulullah saw dengan Hak-nya
orang yang memohon
Hadis dari Abu Sa’id al-Hudhry menyatakan bahwa
Rasulullah saw pernah bersabda, “Barangsiapa yang keluar dari rumahnya untuk
melakukan shalat, lalu ia berdoa:
أَللَّهُمَّ إِنِّي أَسْأَلُكَ بِحَقِّ السَّائِلِيْنَ عَلَيْكَ, وَ بِحَقِّ
مَمْشَايَ هَذَا, فَإِنِّي لَمْ أَخْرُجْ أَشَرًّا وَ لَا بَطَرًا وَ لَا رِيَاءً
وَ لَا سُمْعَةً, خَرَجْتُ اتِّقَاءَ سَخَطِكَ وَ ابْتِغَاءَ مَرْضَاتِكَ, فَأَسْأَلُكَ
أَنْ تُعِيْذَنِي مِنَ النَّارِ وَ أَنْ تَغْفِرَ لِي ذُنُوْبِي, إِنَّهُ لَا يَغْفِرُ
الذُّنُوْبَ إِلَّا أَنْتَ
“Ya Allah, aku memohon kepada-Mu dengan perantaraan hak-nya
orang-orang yang meminta (berdoa) kepada-Mu, dan dengan perantaraan hak-nya
perjalananku ini. Aku keluar tidak karena untuk kesombongan, pembangkangan,
pamer dan mencari ketenaran (popularitas). Aku keluar dari rumah adalah karena
takut terhadap kebencian-Mu dan karena mencari ridha-Mu. Karena itu, aku
memohon kepada-Mu, kiranya Engkau berkenan melindungiku dari siksa api neraka
dan mengampuni dosa-dosaku. Karena tiada yang dapat mengampuni dosa-dosa
tersebut selain Engkau”.
Dengan bacaan doa tersebut, maka Allah swt sendiri yang
akan menerima doanya dan 70000 (tujuh puluh ribu) malaikat akan memohonkan
ampunan untuknya”
Al-Mundziry dalam kitab At-Targhib wat Tarhib juz
3, pada halaman 19 menyatakan, bahwa hadis di atas diriwayatkan oleh Ibnu Majah
disertai dengan catatan mengenai isnad-nya. Sementara al-Hafizh Abul
Hasan menilainya sebagai hadis hasan.
Al-Hafizh Ibnu Hajar didalam kitab Nataij al-Afkar, juz
1; hal. 272 menyatakan, “Hadis ini hasan yang ditakhrij oleh imam Ahmad
bin Hambal dan Ibnu Huzaimah dalam kitab At-Tauhid, dan juga oleh Abu
Na’im dan as-Sinny.
Al-‘Iraqy dalam kitab Takhrij Ahadits al-Ihya’,
juz 1; hal. 323, menilai hadis di atas sebagai hadis hasan.
Al-Hafizh Al-Bushiry dalam kitab Zawaid Ibnu Majah
al-musamma bi-Misbah az-Zujajah, juz 1; hal. 98, mengatakan: “Ibnu Huzaimah
meriwayatkannya dalam kitab Shahih-nya.
Al-Hafizh Syarafuddin ad-Dimyathy dalam kitab Al-Muttajir
ar-Rabih pada halaman 471 berkomentar bahwa isnadnya hasan. Insya Allah.
Sementara itu, Al-‘Allamah al-Muhaqqiq al-Muhaddits
as-Sayyid Ali bin Yahya al-‘Alawy dalam kitab Risalah-nya yang indah
yang berjudul Hidayatul Mutakhabbithin menuturkan bahwa al-Hafizh Abdul
Ghany al-Maqdisy mengklasifikasikan hadis tersebut kedalam hadis hasan dan
telah disetujui oleh Ibnu Abi Hatim.
Dengan ulasan tentang status hadis di atas maka semakin
jelaslah bahwa hadis di atas dapat diklasifikasikan sebagai hadis shahih dan
hadis hasan oleh sejumlah pakar dan ulama hadis, seperti Ibnu Huzaimah,
al-Mundziry dan gurunya Abul Hasan, al-‘Iraqy, al-Bushiry (bukan Al-Bushiry
penyusun kitab Al-Burdah), Ibnu Hajar, Syarafuddin ad-Dimyathy, Abdul
Ghany al-Maqdisy dan Ibnu Abu Hatim.
Apakah masih ada keraguan dalam pikiran Anda setelah
mendengar pendapat para pakar dan ulama yang ahli di bidang hadis di atas?
Rasionalkah menolak dan meninggalkan hasil penilaian para pakar hadis yang
cukup masyhur dan sangat bertakwa tersebut, lalu lebih berpihak kepada pendapat
para pakar hadis “Gadungan” yang biasa suka memaksakan kehendak dan
bersikap kekanak-kanakan dalam menilai dan membuat interpretasi terhadap isi
kandungan hadis di atas?
Allah swt
berfirman :
أَتَسْتَبْدِلُونَ الَّذِي
هُوَ أَدْنَى بِالَّذِي هُوَ خَيْرٌ
“Maukah kamu mengambil sesuatu yang rendah sebagai pengganti
sesuatu yang lebih baik” (QS Al-Baqarah[2] : 61)
فَإِنَّهَا لَا تَعْمَى الْأَبْصَارُ وَلَكِنْ تَعْمَى الْقُلُوبُ الَّتِي
فِي الصُّدُورِ(46)
“Karena sesungguhnya bukanlah mata itu yang buta, akan tetapi
yang buta adalah hati yang ada didalam dada” (QS Al-Hajj[22] : 46)
5. Tawassul dengan makam Rasulullah saw
Imam al-Hafizh ad-Darimy dalam kitab As-Sunan ,
pada bab “Betapa Allah swt memuliakan Rasulullah saw setelah wafatnya”,
mengatakan : “Pernah bercerita kepada kami Abu an-Nu’many … dan seterusnya
sampai pada Abul Jauza’ Aus bin Abdullah, ia berkata: “Penduduk Madinah pernah
tertimpa paceklik disebabkan lamanya tidak turun hujan. Mereka mengadukan hal
itu kepada Ummul Mukminin ‘Aisyah ra, lalu beliau menyarankan
mereka: “Pandanglah kuburan Rasulullah saw, kemudian bukalah atapnya
sehingga antara kuburan beliau saw dan langit tidak terhalang apa-apa”.
Mereka melakukan saran Aisyah teresebut, dan turunlah hujan tidak lama
kemudian, sehingga rumput-rumput yang mengering tumbuh dengan suburnya dan
unta-unta pun menjadi gemuk, bahkan kulitnya sampai pecah-pecah karena
kelewatan gemuk. Oleh karenanya, tahun teresebut lebih dikenal dengan sebutan ‘Amul
Fatqi (tahun pecah-pecah)”. (Kitab As-Sunan ad-Darimy, juz 1; hal.
43)
Hadis di atas menjelaskan tentang praktek bertawassul
dengan perantaraan makam atau kuburan Rasulullah saw. Dalam hal ini, makam
beliau saw bukan dipandang dari sudut
sebagai kuburan semata, akan tetapi lebih dipandang sebagai tempat
bersemayamnya jasad seorang makhluk yang termulia sepanjang masa dan kekasih
Tuhan Pencipta alam. Karena kedudukan beliau saw yang mulia itulah yang
menyebabkan makam atau kuburan beliau saw ikut menjadi mulia dan patut
mendapatkan kehormatan.
Posisi Aisyah
di mata sejumlah ulama. Sejumlah Ulama berkomentar, bahwa atsar yang
menjelaskan tawassul dengan kuburan Rasulullah saw di atas berstatus Mauquf (tertahan)
pada diri ‘Aisyah ra selaku seorang sahabat. Sementara tindakan dan perilaku
sahabat Nabi tidak dapat dijadikan sebagai hujjah (argumentasi).
Perlu kami tanggapi di sini, meskipun komentar sejumlah
ulama tersebut merupakan suatu pandangan mereka terhadap pribadi ‘Aisyah ra,
akan tetapi beliau adalah seorang sahabat yang cukup banyak mengkoleksi hadis
dan sangat luas wawasan keilmuannya. Beliau melakukan tawassul tersebut di
hadapan para sahabat di kota Madinah. Kisah ini cukup sebagai argumentasi bahwa
Ummul Mukminin Aisyah ra benar-benar telah mengetahui bahwa Rasulullah
saw, setelah wafatnya. Adalah orang yang sangat pengasih, penyayang dan masih
memberi syafaat (bantuan) kepada umatnya. Siapa saja yang menziarahi makam
beliau saw dan memohon syafaatnya, beliau akan mengabulkannya, sebagaimana
terkabulnya permohonan yang dilakukan oleh Aisyah di atas. Tindakan Aisyah ini
tidak dapat dikategorikan sebagai tindakan yang mendekati kesyirikan atau
bagian dari bentuk perbuatan kesyirikan seperti yang diributkan mereka yang
suka menuduh kafir dan sesat. Karena Aisyah ra beserta orang-orang yang
menyaksikan tindakan tawassulnya itu jangan dikira bodoh terhadap apa
yang disebut perbuatan syirik.
Kisah berikut
ini sekaligus sebagai bantahan dan sanggahan terhadap persangkaan mereka yang
tidak pantas diungkapkan di atas. Kisah ini secara ringkas menceritakan bahwa
Rasulullah saw sangat peduli kepada umatnya, meskipun setelah beliau wafat.
‘Aisyah ra pernah bercerita, “Aku masuk kedalam kamar di rumahku yang
didalamnya terkubur jenazah Rasulullah saw dan ayahku. Aku biasa meletakkan
bajuku di situ, toh didalamnya hanya ada jenazah suami dan ayahku sendiri.
Namun setelah Umar bin Khatthab ra dikubur di samping makam keduanya, demi
Allah, aku tidak pernah lagi memasuki kamarku tersebut, karena aku sangat malu
kepada Umar”. (Diriwayatkan oleh imam Ahmad bin Hambal)
Al-Hafizh al-Haitsamy mengatakan, “Para perawinya adalah
perawi hadis shahih”. (Majma’ az-Zawaid, juz 8; hal. 26).
Al-Hakim meriwayatkan atasr tersebut didalam kitab Al-Mustadrak dan
menilainya shahih atas syarat asy-Syaikhany. Imam Adz-Dzahaby tidak
menyangkalnya sedikit pun. (Juz 4; hal. 7)
‘Aisyah ra
tidak akan melakukan yang demikian itu secara batil. Bahkan beliau mengetahui
secara persis bahwa Rasulullah saw beserta kedua sahabat dekatnya itu mengetahui
tentang siapa saja yang berada atau hadir di samping makam mereka.
Rasulullah saw
pernah bersabda kepada sahabat Mu’adz bin Jabal ra, sewaktu beliau mengutusnya
ke Yaman, “Semoga Anda nanti berkenan mampir ke makamku dan masjidku”
(HR Ahmad dan at-Thabrany). Para rawi
dari kedua jalur hadis tersebut adalah tsiqah,
kecuali Yazid yang tidak mendengar secara langsung cerita dari Mu’adz.
Demikianlah penjelasan yang tersebut didalam kitab Majma’ az-Zawaid, juz
10; hal. 55.
Setelah Rasulullah saw wafat, Mu’adz benar-benar
mendatangi dan mampir ke makam beliau saw sambil menangis. Peristiwa ini sempat
disaksikan oleh Umar bin Khatthab ra, kemudian terjadilah dialog di antara
kedua sahabat tersebut, sebagaimana yang diceritakan oleh Zaid bin Aslam dari ayahnya,
ia bercerita: “Umar keluar menuju ke Masjid Nabawi, lalu berjumpa dengan Mu’adz
yang terlebih dahulu sudah berada di samping makam Rasulullah saw sambil
menangis. Umar ra bertanya, “Apa yang menyebabkan kamu menangis?”. “Hadis yang
aku dengan Rasulullah saw yang intinya menjelaskan bahwa Riya’ (pamer)
meskipun sedikit adalah syirik”, jawabnya. Al-Hakim menilainya shahih dan
tidak ditemukan cacat didalamnya. Adz-Dzahaby menyetujuinya. (Al-Mustadrak,
juz 1; hal. 4)
Al-Mundziry didalam kitab At-Targhib wat-Tarhib (juz
1; hal. 32) berkomentar, bahwa hadis tersebut diriwayatkan oleh Ibnu
Majah, al-Baihaqy, dan Al-Hakim yang menilainya sebagai hadis shahih dan
tiada cacat didalamnya.
Tawassul dengan makam Rasulullah saw di masa
pemerintahan Umar ra. Al-Hafizh Abu Bakar al-Baihaqy mengatakan bahwa Abu Nasr
bin Qatadah pernah memberitahukan kepadanya, dan seterusnya sampai rawi Abu
Shalih, dari Malik ra, ia bercerita : “Masyarakat tertimpa masa paceklik akibat
kemarau panjang pada masa kekhalifahan Umar bin Khatthab ra. Suatu hari,
datanglah seorang lelaki menziarahi makam Rasulullah saw seraya mengadu, “Ya
Rasulullah ! Mohonkanlah hujan kepada Allah swt untuk umatmu yang sekarang
sedang dilanda musim paceklik!”. Setelah itu, lelaki tersebut tertidur dan di
tengah tidurnya ia bermimpi bertemu dengan beliau saw. Beliau bersabda
kepadanya, “Datangilah Umar. Sampaikan salamku kepadanya, dan beritahukan
kepada masyarakat, bahwa hujan akan segera diturunkan Allah swt kepada mereka.
Kemudian katakan kepada Umar, agar ia menyediakan kantong-kantong penampung air
hujan”. Setelah bangun dari tidurnya, lelaki tersebut segera mendatangi Umar
untuk menceritakan peristiwa yang baru ia alami didalam mimpinya dan
menyampaikan salam beliau kepadanya, beserta pesan-pesan beliau. Umar bin
Khatthab ra berkaya, “Ya Allah ! Aku bukan berarti malas, melainkan semata-mata
karena kelalaianku atasnya”. (Isnad-nya shahih. Demikianlah yang
dituturkan oleh Ibnu Katsir didalam kitab Al-Bidayah, juz 1; hal.
91. Peristiwa ini tepatnya terjadi pada tahun 18 hijry).
Ibnu Abi Syaibah meriwayatkan suatu kisah dengan sanad
shahih, yang dia terima dari Abu Mu’awiyah, dari Al-A’masy, dari Abu
Shalih, dari Malik ad-Dar, seorang bendaharawan di masa khalifah Umar, ia
berkata: “Orang-orang tertimpa musim paceklik disebabkan musim kemarau yang
sangat panjang di masa kekhalifahan Umar
bin Khatthab ra. Suatu hari, datanglah seorang lelaki menziarahi makam
Rasulullah saw seraya berkata, “Ya Rasulullah ! mohonkanlah hujan kepada Allah
swt untuk umatmu, karena mereka sekarang dilanda kehancuran (paceklik, krisis
pangan)”. Selanjutnya beliau saw menemui lelaki tersebut didalam mimpinya
seraya bersabda, “Datanglah pada Umar… dan seterusnya…”.
Saif didalam kitab
Al-Futuh meriwayatrkan, bahwa seorang lelaki yang bermimpi
bertemu dengan Rasulullah saw tersebut adalah bernamaBilal bin al-Harits
al-Muzany, seorang sahabat Nabi. Ibnu Hajar mengatakan, “Sanadnya shahih”. (Lihat
kitab Shahih al-Bukhary pada bab “Al-Istisqa’”, dan kitab Fathul Bary, juz 2 ; hal. 415)
Para iamam dan pakar hadis telah meriwayatkan dan
membahas hadis ini didalam kitab-kitab mereka. Tidak seorang pun di antara
mereka yang menyatakan, bahwa lelaki yang bertawassul tersebut telah melakukan
kekufuran dan kesesatan. Tidak seorang pun di antara mereka yang meragukan dan
mempertanyakan keabsahan matan hadis tersebut. Ibnu Hajar al-Asqalany
menuturkan hadis ini seraya mengatakan, “sanadnya shahih”. Padahal ia
adalah seorang ulama yang sangat luas dan dalam keilmuannya. Seorang yang
keutamaan dan kepakarannya di bidang hadis ini tidak perlu diragukan.
Ringkasnya, semua ulama tahu dan kenal, siapa Ibnu Hajar al-Asqalany yang
sebenarnya!
6. Tawassul dengan Rasulullah saw sewaktu perang Yamamah
Al-Hafizh Ibnu Katsir menuturkan, bahwa slogan dan sandi
tentara kaum muslimin sewaktu terjadinya perang Yamamah adalah “Ya
Muhammadaah !” (Duhai Muhammad). Ibnu Katsir mengatakan, “Khalid bin
Walid ra memimpin pasukan muslim. Ia berjalan menuju ke suatu bukit tempat
Musailamah al-Kadz-dzab (Panglima kaum murtad dan seoang Nabi palsu)
bersembunyi. Pada akhirnya di tempat itulah Musailamah berhasil dibunuh. Selanjutnya, dia berdiri di antara dua
kelompok pasukan, yakni pasukan muslim dan murtad, sambil mengajak pasukan
musuh untuk perang tanding satu lawan satu, seraya bersumbar: “Saya adalah anak
Amir dan Zaid”. Kemudian ia berteriak keras dengan mengucapkan slogan : “Ya
Muhammadaah !”. (Kitab Al-Bidayah wan-Nihayah, juz 6; hal. 324)
7. Tawassul dengan Rasulullah saw sewaktu sakit dan
kesulitan
Kesaksian dari
al-Haitsam bin Khanas, “Kami berada di samping Abdullah bin Umar yang sedang
mengalami kejang kaki. Seseorang berkata kepadanya, “Sebutlah nama orang yang
paling Anda cintai!”. Dia menyebut: “Ya Muhammad”. Tiba-tiba ia mengencangkan
kakinya, lalu sakitnya hilang, seakan-akan ia tidak pernah merasakan sakit
seperti itu.
Riwayat dari Al-Mujahid: “Kaki seorang lelaki
kejang-kejang dan di samping ada Ibnu Abbas ra. Kemudian Ibnu Abbas berkata
kepadanya, “Sebutllah nama orang yang paling Anda cintai!”. Lelaki tersebut
lalu mengucapkan: “Ya Muhammad !”. Seketika itu sakitnya hilang”. Penjelasan
ini dituturkan oleh Ibnu Taimiyah dalam kitab Al-Kalimut-Thayyib pada
fasal ke-47, halaman 165.
Uraian di atas merupakan contoh bertawassul dengan
Rasulullah saw dalam bentuk Panggilan, yakni memanggil orang yang paling
ia cintai.
8. Bertawassul dengan selain Rasulullah saw
Hadis dari Utbah bin Ghazwan menjelaskan bahwa
Rasulullah saw pernah bersabda, “Apabila salah seorang diantara kalian
kehilangan sesuatu atau membutuhkan bantuan, sementara ia berada di suatu
daerah sunyi yang tidak ada seorang pun di sana, hendaklah ia berkata:
عِبَادَ اللهِ, أَعِيْنُوْانِي
“Wahai hamba Allah ! Tolonglah aku”
Karena Allah swt memiliki makhluk selain manusia yang
tidak mampu kita lihat”. Hal ini
sering dilakukan orang, dan cukup mujarab. (HR At-Thabrany. Para rawinya tsiqah,
kecuali Yazid bin Ali yang selama hidupnya tidak pernah berjumpah dengan
Utbah, sehingga ia dinilai dha’if atau lemah).
Dari Ibnu Abbas ra, bahwa Rasulullah saw bersabda, “Sesungguhnya
Allah swt memiliki sejumlah malaikat yang di muka bumi ini, selain malaikat Hafazhah,
yang bertugas mencatat dedaunan yang gugur dari pohonnya. Jika diantara kalian
tersesat di tengah padang belantara (atau mungkin di alas, hutan dan daerah
sepi lainnya), hendaklah berseru : “ A’iinuunii, Yaa ‘ibaadallaah !,
[Tolonglah kami, wahai hamba Allah]” (HR At-Thabrany. Para perawinya Tsiqah).
Hadis dari Ibnu Mas’ud ra menjelaskan bahwa Rasulullah
saw bersabda, “Jika hewan piaraan seorang di antara kalian terlepas atau
hilang di daerah yang sunyi (hutan, padang, dll), hendaklah berseru :” Wahai
hamba Allah, cegahlah ia”. Karena Allah swt memiliki makhluk (selain manusia)
di muka bumi yang akan mencegah larinya hewan tersebut”.(HR Abu Ya’la. Sementara
at-Thabrany menambahkan, “maka ia (makhluk Allah swt , malaikat) akan
mencegah hewan tersebut).
Didalam hadis di atas, salah seorang perawinya yang
bernama Ma’ruf bin Hissan dinilai dha’if. (Lihat kitab Majma’
Az-Zawaid wa manba’ al-Fawaid, tulisan al-Hafizh Nuruddin Ali bin Abu Bakar
al-Haitsamy, pada juz 10, halaman 132).
Uraian di atas merupakan contoh tawassul dalam bentuk Panggilan
atau Seruan kepada seseorang atau sesuatu selain Rasulullah saw.
Rasulullah saw
didalam salah satu sabdanya pernah membaca doa sehabis shalat sunnah dua rekaat
fajar :
أَللَّهُمَّ رَبَّ جِبْرِيْلَ وَ إِسْرَافِيْلَ وَ مِيْكَائِيْلَ وَ مُحَمَّدٍ
صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ, أَعُوْذُ بِكَ مِنَ النَّارِ
“Ya Allah ! Tuhannya malaikat Jibril, Israfil, Mikail dan
Nabi Muhammad saw, Aku berlindung kepada-Mu dari siksa api neraka”.
Imam an-Nawawy dalam kitabnya Al-Adzkar menyatakan,
bahwa hadis ini diriwayatkan oleh Ibnus-Sinny. Al-Hafizh, setelah mengkritisi
derajat hadis ini, iam lalu menilainya sebagai hadis Hasan. (Kitab Syarah
al-Adzkar, oleh Ibnu ‘Alan, juz 2; hal. 139)
Doa Rasulullah
saw di atas jika diuraikan dalam bentuk doa tawassul melalui perantaraan
mereka, seakan-akan beliau berdoa :
أَللَّهُمَّ إِنِّيْ أَسْأَلُكَ وَ أَتَوَسَّلُ إِلَيْكَ بِجِبْرِيْلَ وَ
إِسْرَافِيْلَ وَ مِيْكَائِيْلَ وَ مُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ …
“Ya Allah ! Aku memohon kepada Engkau dan beretawassul kepada
Engkau dengan perantaraan malaikat Jibril, Israfil, Mikail dan Nabi Muhammad
saw …”
9. Tawassul Umar bin Khatthab dengan Abbas bin Abdul
Muthalib
Imam al-Bukhary menuturkan sebuah hadis didalam kitab Shahih-nya,
dari Anas bin Malik ra, bahwa Umar bin Khatthab ra. Sewaktu terjadi musim
paceklik, ia memohon hujan kepada Allah swt dengan perantaraan paman Rasulullah
saw, Abbas bin Abdulmuthalib :
أَللَّهُمَّ إنَّا كُنَّا نَتَوَسَّلُ إِلَيْكَ بِنَبِيِّنَا فَتُسْقِيَنَا,
وَ إِنَّا نَتَوَسَّلُ إِلَيْكَ بِعَمِّ نَبِيِّنَا فَاسْقِنَا
“Ya Allah ! Sesungguhnya kami pernah bertawassul kepada-Mu
dengan perantaraan Nabi kami, lalu Engkau turunkan hujan kepada kami. Dan
sekarang kami bertawassul dengan paman Nabi kami, maka turunkanlah hujan kepad
kami”
Az-Zubair bin Bakar menuturkan kisah seperti di atas
didalam kitab Al-Ansab dari jalur yang lain, yang isinya lebih luas dan
lengkap dari kisah di atas. Ringkasan ceritanya seperti di bawah ini :
Ibnu Umar menceritakan bahwa ayahnya, Umar bin Khatthab
ra, memohon hujan kepada Allah swt dengan perantaraan Abbas bin Abdulmuthalib
pada tahun Debu. Dinamakan tahun debu, karena saat itu penuh
dengan debu-debu yang bertertabangan di sana-sini akibat lama tidak turun
hujan. Umar bin Khatthab Rasulullah saw berkhutbah di hadapan rakyat, “Wahai
rakyatku semua ! Sesungguhnya Rasulullah saw memandang Abbas ra seperti
memandangnya seorang bocah cilik kepada ayahnya. Oleh karena itu,
tirulah apa yang beliau perbuat kepada Abbas ra. Jadikanlah ia sebagai wasilah
(perantara) Anda untuk mendekatkan diri kepada Allah swt. Wahai Abbas !
Engkau berdoalah untuk kami …”.
Di
antara doa yang dibaca oleh Abbas ra berbunyi: “Ya Allah! Tiada balak yang akan
diturunkan melainkan disebabkan adanya dosa. Dan tiada dosa yang terhapus
melainkan dengan taubat. Masyarakatku telah menghadap kepada-Mu dengan
perantaraanku, disebabkan posisiku sebagai paman Nabi-Mu. Inilah tangan-tangan yang penuh dengan lumuran dosa kami tengadahkan kepada-Mu dan kami sekarang
bangkit bergerak untuk bertaubat kepada-Mu. Karenanya, turunkanlah hujan, Ya
Allah, dan terimalah doa kami berkat kemuliaan Nabi-Mu…”
Sesaat setelah itu, langit yang tadinya cerah berubah menjadi
mendung yang datang bergulung-gulung laksana gunung. Kemudian turunlah hujan,
sehingga tanah-tanah menjadi subur dan masyarakat hidup dengan cukup pangan.
Masyarakat sama datang menemui Abbas ra sambil membawakan sesuatu apa saja yang
mereka punya, sebagai tanda terima kasih kepadanya seraya berkata, “Semoga
barang ini menyenangkan engkau, wahai orang yang menyebabkan turunnya hujan di
dua kota haram, Makkah dan Madinah”.
Umar bin Khatthab ra berkomentar, “Demi Allah! Ini
merupakan Wasilah kepada Allah, dan dengan perantaraan kedudukan yang
dimiliki Abbas (selaku paman Rasulullah saw)”. Sementara itu, Abbas bin
Utbah anak lelaki saudaranya memuji Abbas bin Abdul Muthalib dalam sebuah
syiirny, “Berkat pamanku, Allah swt menurunkan hujan di negeri Hijaz dan
kepada penduduknya. Saat menjelang isyak, Umar memohon turunnya hujan dengan
perantaraan-nya (Abbas)”.
Sebenarnya
Umar-lah yang berhak memimpin rakyatnya didalam berdoa untuk memohon turunnya
hujan. Akan tetapi Umar tidak mau mempergunakan kesempatan ini. Dia lebih
mengedepankan Abbas bin Abdul Muthalib untuk memimpin doa, sebagai wujud rasa
hormatnya kepada Rasulullah saw, memuliakan keluarga beliau saw, atau dia
mendahulukan paman beliau saw dengan mengalahkan dirinya dalam bertawassul.
Umar bin Khatthab ra mendorong rakyatnya agar menjadikan
Abbas ra sebagai “wasilah” (perantara) dalam berdoa kepada Allah swt.
Dalam hal ini, Abbas dipandangnya berkedudukan sebagai “pengganti” Rasulullah
saw yang selama hidupnya beliau selalu memimpin doa memohon hujan untuk para
sahabat di musholla (tempat shalat)
Lafazh doa yang dibacakan Umar : “Ya Allah! Kami
bertawassul kepada Engkau dengan perantaraan Nabi kami, lalu Engkau turunkan
hujan kepada kami. Sekarang, kami bertawassul kepada-Mu dengan perantaraan paman
Nabi kami, maka turunkanlah hujan kepada kami”, jika diterjemahkan dan dipahami secara
mendalam, seakan-akan berbunyi : “Ya Allah! Kami bertawassul kepada-Mu
dengan perantaraan keluarnya Rasulullah saw bersama-sama dengan para sahabat
menuju ke tempat shalat, juga dengan perantaraan doa dan shalat istisqa’-nya
untuk mereka. Akan tetapi, kini kami kesulitan untuk melakukan hal itu, karena
Rasulullah saw telah wafat. Oleh karenanya, kami ajukan salah seorang yang
menjadi ahli baitnya, yakni Abbas, dengan harapan agar doa kami lebih
dikabulkan”.
Abbas ra ketika berdoa, dia bertawassul dengan
perantaraan Rasulullah saw, sebagaimana yang tercermin didalam doanya: “Ya
Allah! Masyarakatku telah menghadap kepada-Mu dengan perantaraanku, karena
posisiku sebagai paman Nabi-Mu. … Untuk itu, turunkanlah hujan, Ya Allah, dan
kabulkanlah doa kami berkat kemuliaan Nabi-Mu”.
Orang yang berpendapat bahwa dari ucapan Umar tersebut
menunjukkan bolehnya bertawassul hanya dengan perantaraan Abbas dan tidak boleh
bertawassul dengan Rasulullah saw, dengan alasan bahwa Abbas masih hidup,
sementara Rasulullah saw sudah wafat, maka pendapat dan pemahamannya tersebut
benar-benar telah mati, dikalahkan oleh angan-angan khayalnya, dan ini berarti
bahwa ia telah menonjolkan sikap fanatik yang berlebihan. Hal ini disebabkan
bahwa Umar bertawassul dengan perantaraan Abbas tersebut tiada lain adalah
dikarenakan kedekatannya (Abbas) dengan Rasulullah saw. Sebagaimana hal ini
nampak tergambar dalam ucapannya: “Kini, kami bertawassul kepada-Mu dengan perantaraan paman Nabi-Mu, maka
turunkanlah hujan kepada kami…”. Dengan demikian berarti bahwa Umar telah
bertawassul dengan perantaraan Nabi Muhammad saw dengan cara yang terbaik.
Jauh sekali dari kebenaran, orang yang melontarkan tuduhan musyrik kepada
kaum muslimin yang melakukan tawassul semacam di atas(sebagaimana yang pernah
dilakukan oleh Umar), sementara di sisi lain, ia sendiri justru membolehkan
bertawassul kepada orang yang masih hidup. Jika memang benar bahwa Tawassul itu
suatu perbuatan syirik, tentu tawassul tersebut secara mutlak tidak
boleh dilakukan, baik dengan orang yang masih hidup maupun yang sudah mati.
Bukankan Anda tahu, bahwa suatu keyakinan Rububiyyah
yang mentolerir untuk memberikan suatu peribadatan kepada selain Allah swt,
baik itu kepada Nabi, Malaikat, maupun kepada wali, merupakan
suatu bentuk kesyirikan dan kekufuran! Di mana hal ini tidak boleh dilakukan di
sini, baik selama Anda hidup di dunia maupun di akhirat.
Apakah Anda pernah mendengar orang yang mengatakan, bahwa
I’tikad rububiyyah atau keyakinan memberikan sifat-sufat ketuhanan kepada
sesuatu selain Allah swt itu boleh jika sesuatu masih hidup. Namun jika
sesuatu itu sudah mati, maka I’tikad seperti itu merupakan kesyirikan ?
Padahal Anda sudah tahu bahwa menjadikan sesuatu atau
orang yang memiliki kedudukan terhormat di sisi Allah swt, (seperti para Nabi,
ulama, auliya’, dan lain-lain) menjadi “wasilah” (Perantara) didalam
berdoa kepada Allah swt tidaklah dapat dikatakan sebagai suatu bentuk
peribadatan (penyembahan) kepada si “Perantara” tersebut. Kecuali
jika disertai suatu keyakinan bahwa si “perantra” tersebut adalah “tuhan”
atau dianggap sebagai “tuhan” selain Allah, sebagaimana keyakinan
kaum kafir quraisy Makkah, di mana mereka menjadikan berhala-berhalanya sebagai
“tuhan”. Jika tidak memiliki I’tikad atau keyakinan seperti itu didalam
melakukan tawassul dengan Nabi saw, para auliya’, ulama dan lain-lain, bahkan
berkeyakinan bahwa Allah swt telah memerintahkan untuk menjadikan mereka
sebagai “wasilah” atau perantara didalam tawassulnya, maka tindakan yang
demikian ini sama artinya dengan melakukan suatu “Peribadatan” kepada
Dzat yang memberi perintah tersebut, yakni Allah swt.
10. Kisah Al-Utba
Al-Hafizh syaikh Imaduddin ibnu Katsir mengatakan, bahwa
sekelompok ulama, di antaranya adalah syaikh Abu Manshur ash-Shabbagh dalam
kitabnya Asy-Syamil, menuturkan kisah tentang Al-Utba yang sangat
terkenal tersebut
Al-Utba pernah bercerita, “Aku duduk di makam Rasulullah
saw. Maka datanglah seorang A’raby (orang arab pedusunan/badui). Ia
mengucapkan salam, “Assalamu ‘alaikum, Ya Rasulullah ! Aku pernah mendengar
firman Allah :
وَلَوْ أَنَّهُمْ إِذْ
ظَلَمُوا أَنْفُسَهُمْ جَاءُوكَ فَاسْتَغْفَرُوا اللَّهَ وَاسْتَغْفَرَ لَهُمُ
الرَّسُولُ لَوَجَدُوا اللَّهَ تَوَّابًا رَحِيمًا(64)
“Sesungguhnya jikalau mereka menganiaya dirinya telah datang
kepadamu, lalu memohon ampun kepada Allah, dan Rasul pun (Muhammad) memohonkan
ampunan untuk mereka, tentulah mereka mendapati Allah Maha Penerima taubat lagi
Maha Penyayang”. (QS An-Nisa’ [4] : 64)
Kini
aku benar-benar telah datang kepadamu – wahai Rasulullah – sambil memohon
ampunan kepada Allah swt atas dosa-dosaku, dan memohon syafaat kepada Tuhanku
dengan perantaraan engkau”.
”Kemudian A’raby tersebut menembangkan bait-bait
puisinya yang isinya adalah menyanjung dan memuji kemuliaan Rasulullah saw.
Setelah a’raby tersebut pergi, aku tiba-tiba mengantuk terus tertidur, dan
didalam tidurku itu aku bermimpi bertemu dengan Rasulullah saw. Beliau saw bersabda kepadaku, “Susullah
segera a’raby tadi dan beritahukanlah kepadanya bahwa Allah swt benar-benar
telah mengampuni dosa-dosanya”.
Demikianlah
cerita Al-Utba yang juga dinukil oleh imam An-Nawawi didalam kitab Al-Idhah,
pada bab keenam, halaman 498. Juga diceritakan kembali oleh al-Hafizh
Imaduddin Ibnu Katsir didalam kitab Tafsir-nya sewaktu menafsirkan ayat
64 surat An-Nisa’.
Syaikh Aby Muhammad bin Qudamah menuturkannya didalam
kitab Al-Mughny juz 3; hal. 556, kemudian disalin oleh syaikh Abul Faraj
Ibnu Qudamah didalam kitab Syarhul Kabir pada juz 3; hal. 495, yang juga
disalin oleh syaikh Manshur bin Yunus al-Bahuty dalam kitab Kasy-syaful Qana’
pada juz 5; hal. 30, yang merupakan salah satu kitab yang paling terkenal
di kalangan madzhab Hambali.
Jagonya para mufassir, Al-Imam Al-Qurthuby, menuturkan
kisah yang serupa didalam kitab tafsirnya Al-Jami’, dengan teks yang
agak berbeda dengan kisah di atas, sebagai
berikut: “Abu Shadiq meriwayatkannya dari Ali, katanya: “ Seorang
A’raby pernah menemui kami setelah kami menguburkan jenazah Rasulullah saw
selang tiga hari. Ia merebahkan tubuhnya di atas makam beliau saw sambil
menaburkan tanah ke atas kepalanya, seraya berkata: “Wahai Rasulullah! Kami
sudah mendengar sabda-sabdamu. Engkau mengerti firman-Firman Allah swt dan kami
pun mengerti firman-Nya tersebut darimu. Di antara firman-Nya itu berbunyi:
وَ لَوْ أَنَّهُمْ إِذْ ظَلَمُوْا أَنْفُسَهُمْ …
Sementara itu aku benar-benar telah menganiaya diriku
sendiri. Sekarang aku telah datang kepadamu, agar engkau memohonkan ampunan
kepada Allah swt atas dosa-dosaku”. Kemudian
terdengarlah suara dari dalam makam beliau saw: “Sesungguhnya Allah swt
benar-benar telah memaafkan dosa-dosamu”. (Tafsir Al-Qurthuby, juz
5; hal. 265)
Itulah kisah Al-Utba yang sering dinukil oleh para ulama
didalam berbagai kitab-kitab mereka. Baik kisah tersebut apakah dinukil secara
salah ataukah secara benar dari sudut sanad, yang mana hal ini selalu
menjadi pegangan para ahli hadis dalam menetapkan status suatu khabar. Yang
menjadi persoalan kita adalah, apakah mereka menukil suatu riwayat yang
membawa kepada kekufuran dan kesesatan? Atau apakah mereka menukil suatu
riwayat yang mengundang seseorang untuk menuhankan berhala dan menyembah
kuburan?
Jika memang benar demikian, lalu di mana status ke-Tsiqah-an
mereka dan kitab-kitab hadis mereka? Sub-hanaka hadza buhtanun ‘azhim, Maha
Suci Engkau, Ya Allah. Ini benar-benar kebohongan yang besar.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar