Oleh Sayyid Muhammad Alawi Al-Maliki |
Ringkasan
Tidak perlu
diragukan bahwa Rasulullah saw memiliki kedudukan, martabat dan kehormatan yang
agung di sisi Allah swt. Sekarang tunjukkan, mana dalil syar’iy dan ‘aqly yang
melarang seseorang bertawassul dengan perantaraan beliau? Lebih-lebih banyak
dalil yang menetapkan kebolehan bertawassul baik selama beliau hidup di dunia
maupun di akhirat nanti.
Sewaktu bertawassul, kita sebenarnya tidak memohon
kepada selain Allah swt dan tidak berdoa kecuali hanya kepada-Nya. Kita berdoa
kepada-Nya dengan perantaraan apa saja yang Dia cintai, apapun bentuknya.
Terkadang kita berdoa tawassul dengan perantaraan amal shalih kita, karena Dia
tentu mencintai amal tersebut. Terkadang bertawassul dengan seseorang dari
sekalian makhluk yang dicintai Allah swt, sebagaimana yang dijelaskan didalam
hadis tentang tawassulnya Nabi Adam, hadis tentang Fathimah binti Asad, dan
hadisnya Usman bin Hunaif. Terkadang kita bertawassul dengan perantaraan Al-Asmaul
Husna, sebagaimana yang pernah dipraktekkan Rasulullah saw didalam salah
satu doanya:
أَسْأَلُكَ بِأَنَّكَ أَنْتَ اللَّـهَ ….
“Aku memohon kepada-Mu dengan perantaraan bahwa Engkaulah
Allah ….”
Atau dengan perantaraan Sifat dan Af’al Allah,
seperti yang dipraktekkan beliau saw dalam doanya:
أَعُوْذُ بِرِضَاكَ مِنْ سَخَطِكَ وَ بِمُعَافَتِكَ مِنْ عُقُوْبَتِكَ …
“Aku berlindung kepada-Mu dari kebencian-Mu dengan
perantaraan ridha-Mu, dan dari siksa-Mu dengan perantaraan sifat Pemaaf-Mu”.
Dan
ini pun tidak terbatas pada lingkup persoalan yang sempit sebagaimana yang
dituduhkan oleh mereka yang sinis terhadap praktek tawassul.
Rahasia di balik itu semua adalah, apa saja yang
dicintai Allah swt, maka bertawassul dengannya adalah sah-sah saja. Begitu pula setiap orang yang dicintai Allah
swt, baik ia seorang Nabi, wali, maupun kaum shalihin pada umumnya, jelas
diperbolehkan bertawassul dengan mereka bagi setiap orang yang memiliki fitrah
yang selamat. Dan ini tidak bertentangan dengan dalil Nash dan akal
waras. Bahkan akal dan nash-nash tersebut saling bantu membantu dan saling
melengkapi didalam memperbolehkan praktek bertawassul, dengan catatan harus
disertai suatu keyakinan bahwa yang dituju dan dimintai permohonannya adalah
hanya Allah swt, dan bukan minta bantuan baik kepada para Nabi, auliya’, orang
yang masih hidup, maupun yang sudah mati.
Allah swt
berfirman :
قُلْ كُلٌّ مِنْ عِنْدِ اللَّهِ فَمَالِ
هَؤُلَاءِ الْقَوْمِ لَا يَكَادُونَ يَفْقَهُونَ حَدِيثًا(78)
“Katakanlah:
‘Semuanya (datang) dari sisi Allah swt’ . Maka, mengapa orang-orang (munafik)
itu hampir-hampir tidak memahami pembicaraan (nasehat,pelajaran) sedikitpun?”
(QS An-Nisa’,[4] : 78)
Jika
bertawassul kepada Allah swt dengan perantaraan amal-amal shaleh saja
diperbolehkan, apalagi dengan perantaraan Rasulullah saw, tentu lebih
diperbolehkan. Karena beliau saw adalah makhluk Allah swt yang paling utama, sementara amal-amal shaleh
adalah bagian dari makhluk Allah swt tersebut. Selain itu, Allah swt sangat
mencintai beliau daripada amal shaleh dan selainnya.
Yang jelas,
Rasulullah saw memiliki kedudukan yang tinggi di sisi Allah swt, sementara orang yang bertawassul itu telah bertawassul
dengan perantaraan beliau saw adalah disebabkan oleh kedudukan beliau yang
terhormat dan sangat dekat kepada Allah swt. Siapa saja yang mengingkari Posisi
atayu kedudukan beliau yang terhormat ini, berarti ia tergolong kafir,
sebagaimana penjelasan kami di muka.
Selanjutnya, praktek tawassul menunjukkan kebesaran dan
keagungan Dzat Tuhan yang dimintai pertolongan, serta menunjukkan bukti
betapa besarnya kecintaan orang yang bertawassul kepada Allah swt. Oleh karena
itu, berdoa dengan cara bertawassul dengan Rasulullah saw hanyalah menunjukkan
keagungan dan kemuliaan beliau di sisi Allah swt.
Tawassul dengan
amal shaleh telah disepakati
kebolehannya oleh para ulama. Kenapa kita tidak mengatakan bahwa orang yang
bertawassul dengan para Nabi, Rasul, atau kaum shalihin sama artinya dengan
bertawassul dengan perantaraan amal-amal shaleh mereka yang dicintai Allah swt
itu? Padahal sudah dijelaskan oleh hadis mengenai ketiga orang yang terjebak
didalam gua, sehingga persoalan tawassul semacam ini seharusnya disepakati
kebolehannya?
Dan tidak dapat dipungkiri lagi, bahwa orang
yang bertawassul dengan para kaum shalihin tersebut sebenarnya hanyalah
bertawassul dengan mereka disebabkan kedudukan mereka sebagai orang-orang yang
ahli beramah shaleh. Maka persoalannya adalah kembali kepada Amal Shaleh yang
disepakati kebolehannya untuk bertawassul dengannya. Dengan kata lain, bertawassul dengan kaum
shalihin pada dasarnya bertawassul dengan amal shaleh itu sendiri. Sebagaimana
hal ini telah kami jelaskan di muka.
Tanggapan atas kekeliruan pandangan orang bodoh
Banyak hadis Nabi dan atsar sahabat yang
menetapkan diperbolehkan tawassul . Jika dikatakan bahwa tawassul hanya
dilakukan khusus pada waktu Rasulullah saw masih hidup, maka pengkhususan
tersebut, menurut kami, tidaklah berdasar dan tidak ada dalil tertentu yang
mendukungnya. Tawassul boleh saja dilakukan kapan saja, meskipun sesudah
Rasulullah saw wafat atau hidup di alam barzah, karena Roh tidak
mengenal mati dan yang mengenal mati adalah Jasad-nya. Ruh, meskipun
ditinggalkan jasad-nya, ia masih bisa merasakan, merespon dan
mengetahui.
Madzhab Ahlussunnah wal jamaah berpendapat bahwa
orang yang sudah wafat sebenarnya itu masih bisa mendengar, melihat, merespon
dan merasakan. Ia masih bisa mengambil manfaat dari amal shalehnya, dapat
merasakan kegembiraan, serta dapat merasakan susah sakit akibat amal
jeleknya.Keadaan semacam ini berlaku untuk semua orang, tanpa kecuali.
Kenyataan ini terlihat pada saat usai perang Badar, Rasulullah saw
memanggil arwah para tokoh kafir quraisy yang tewas di medan perang: “Hai
“Utbah…!. Hai Syaibah …! Hai Rabi’ah…!” Dan
seterusnya. Para sahabat bertanya,: “Bagaimana mungkin engkau bisa memanggil
mereka yang sudah tewas, padahal mereka sudah menjadi bangkai?”. Beliau saw
bersabda, “Sesungguhnya kalian tidak lebih mendengar daripada mereka. Hanya
saja mereka tidak mampu menjawab”.
Arwah semua orang yang wafat saja mampu mendengar, apalagi Ruh makhluk
yang paling utama, mulia dan terhormat Rasulullah saw. Meskipun sudah wafat,
beliau tentu lebih sempurna perasaannya, pemahamannya dan kesensitifannya. Hal
ini secara tegas dijelaskan oleh banyak Hadis Nabi. Di antara hadis tersebut
menjelaskan bahwa Rasulullah saw mendengar pembicaraan dan menjawab shalat-salam
dari umatnya, serta memohonkan ampunan atas perbuatan jelek dan memuji kepada
Allah swt atas perbuatan dari umatnya.
Nilai manusia, pada hakekatnya, hanyalah terletak pada
kemampuan merasa, memahami dan merespon, bukan pada terletak pada hidup dan
mati-nya. Karena itu, kita sering menyaksikan orang-orang yang tidak
memiliki perasaan, pemahaman, pengertian, insting dan respon disebabkan mereka
tidak berguna, lalu mereka digolongkan tidak obahnya seperti orang yang mati,
yakni mati di saat hidupnya. Semoga Allah swt senantiasa melindungi kita. Amin.
Di antara mereka yang tergolong Mati di saat
hidupnya, -- dalam pengertian bahwa mereka sebenarnya masih hidup, akan
tetapi karena mereka tidak bermanfaat, dan tidak mau mempergunakan perasaan,
pikiran dan hatinya, maka tak obahnya mereka seperti orang yang mati – adalah
mereka yang menganggap bahwa Ruh Rasulullah saw tidak mampu mendengar dan
melihat kita, serta tidak mampu mendoakan kita yang masih hidup di dunia.
Kecerobohan dan kebodohan apalagi yang jelek daripada anggapan mereka tersebut?
Padahal banyak sekali hadis Nabi dan atsar sahabat yang saling mendukung,
memperkuat dan menyatakan bahwa mayit itu masih mampu mendengarkan, melihat,
merasakan dan mengetahui keadaan orang yang masih hidup, baik mayit tersebut
muslim maupun kafir.
Ibnul Qayyim, didalam kitabnya Ar-Ruh,
mengatakan: “Ulama salaf sepakat atas keadaan mayit tersebut. Dan
atsar-atsar dari mereka yang menjelaskan keadaan ini mutawatir”.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah pernah ditanya seseorang
mengenai persoalan ini, kemudian ia mengeluarkan fatwa yang memperkuat
kebenaran persoalan ini. (Al-Fatawa, jilid 24; hal. 331 dan 362).
Bila keadaan
mayit tersebut berlaku bagi manusia pada umumnya, lalu bagaimana dengan keadaan
yang menyangkut seluruh umat Islam,
khususnya kaum shalihin, dan terutama lagi Nabi Muhammad saw ?
Persoalan ini akan kami jelaskan didalam pembahasan
secara khusus dan rinci didalam buku ini, dengan tema : “Kehidupan di alam
barzah merupakan kehidupan yang hakiki” dan “Kehidupan Khas Rasulullah saw di
alam barzah”.
Daftar Para Ulama Yang Mempraktekkan Tawassul
Berikut ini
adalah daftar para tokoh ulama besar dan para ahli hadis yang mempraktekkan dan
memperbolehkan tawassul :
1. Al-Imam al-Hafizh Abu Abdillah al-Hakim, dalam
kitabnya Al-Mustadrak ‘ala ash-Shahihain menyebutkan hadis yang
dinilainya shahih tentang tawassulnya Nabi Adam dengan perantaraan
Rasulullah saw.
2. Imam al-Hafizh Abu Bakar al-Baihaqy, didalam kitabnya
Dalailun Nubuwwah, menuturkan
tawassulnya Nabi Adam dan selainnya.
3. Imam al-Hafizh Jalaluddin as-Suyuthy, didalam
kitabnya Al-Khashaishul Kubra, menuturkan hadis tawassulnya Nabi Adam.
4. Imam
al-Hafizh Abul Faraj ibn al-Jauzy, didalam kitabnya Al-Wafa, juga
demikian.
5. Imam al-Hafizh al-Qadhy ‘Iyadh, didalam kitabnya Asy-Syifa’
fit Ta’rif Bihuquq al-Musthafa SAW, menuturkan dalam bab “Ziarah” dan
bab “Fadhlun Nabiy saw”, yang sebagian besar isinya membahas tentang
persoalan tawassul.
6. Imam asy-Syaikh Nuruddin al-Qary, yang terkenal
dengan julukan Mulla ‘Ali Qary, didalam komentarnya terhadap kitab Asy-Syifa’.
7. Al-‘Allamah Ahmad Syihabuddin, didalam komentarnya
terhadap kitab Asy-Syifa’ dengan judul Nasimur-Riyadh.
8. Imam al-Hafizh al-Qasthalany, didalam kitabnya Al-Mawahib
al-Laduniyyah, membicarakan persoalan tawassul pada bagian pertama
kitabnya.
9. Al-‘Allamah asy-Syaikh Muhammad Abdul Baqy
Az-Zarqany, didalam komentarnya terhadap kitab Al-Mawahib al-Laduniyyah, pada
juz 1; hal. 44.
10, Imam Syaikhul Islam Abu Zakariya Yahya an-Nawawy,
didalam kitabnya Al-Idhah, pada bab keenam, hal. 498.
11. Al-‘Allamah Ibnu Hajar al-Haitamy, didalam kitab hasyiyah-nya
atas kitab Al-Idhah halaman 499. Dia menulis sebuah Risalah yang
secara khusus membahas tentang persoalan tawassul dengan judul Al-Jauharul
Muanzh-zham.
12. Al-Hafizh
Syihabuddin Muhammad bin Muhammad bin al-Jauzy ad-Dimasqy, didalam
kitabnya ‘Iddatul Hashnil Hashin, pada bab “Keutamaan doa”.
13. Al-‘Allamah al-Imam Muhammad ‘Aly asy-Syaukany,
didalam kitabnya Tuhfatudz-Dzakirin pada halaman 161.
14. Al-‘Allamah al-Imam al-Muhaddits ‘Ali bin Abdulkafi
as-Subky, didalam kitabnya Syifaus Saqam fi Ziyaratil Khairil Anam.
15. Al-Hafizh ‘Imaduddin Ibn Katsir, didalam kitab
Tafsirnya terhadap ayat 64 QS An-Nisa’. Beliau menuturkan kisah Al-‘Utba bersama
seorang A’rabi yang datang menziarahi makam Rasulullah saw dengan maksud
memohon syafaatnya. Juga menuturkan
tentang tawassulnya Nabi Adam dengan Rasulullah saw didalam kitabnya Al-Bidayah
wan-Nihayah, dan tidak menilainya sebagai hadis maudhu’ (pada juz 1;
hal. 180), serta menuturkan “Sandi” tentara Islam “Ya Muhammadaah” (pada
juz 6; hal. 324)
16. Al-Imam al-Hafizh Ibnu Hajar menuturkan kisah
seorang lelaki yang menziarahi makam Rasulullah saw dan bertawassul dengannya
di dalam kitabnya Fathul Bary, juz 2; hal. 495. Sanadnya shahih.
17. Al-Imam al-Muhaddits Abu Abdillah al-Qurthuby
menafsirkan ayat 64 QS An-Nisa’, didalam kitabnya Tafsir Al-Qurthuby, juz
5; hal. 265.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar