Oleh: Prof. DR.Sayyid Muhammad Alawi Al-Maliki
Nabi Adam as pernah bertawassul dengan perantaraan
Rasulullah saw sebelum beliau terlahir ke dunia. Berdasarkan hadis yang
diketengahkan oleh Al-Hakim dalam
kitabnya Al-Mustadrak : “Telah bercerita kepada kami Abu Sa’id Amer bin
Muhammad bin Manshur, seorang yang adil. Bercerita kepada kami Abul Hasan
Muhammad bin Ishaq bin Ibrahim al-Hanzhali. Bercerita kepada kami Abul Haris
Abdullah bin Muslim al-Fihri. Bercerita kepada kami Ismail bin Maslamah.
Bercerita kepada kami Abdurrahman bin Zaid bin Aslam. Dari bapaknya, dari
kakeknya, dari Umar bin Khatthab ra, bahwa Rasulullah saw bersabda : “Sewaktu
Nabi Adam melakukan kesalahan, lalu beliau berdoa : “Ya Rabb ! Aku memohon
kepada-Mu dengan perantaraan Muhammad, agar Engkau memaafkanku”. Allah swt
berfirman kepadanya: “Hai Adam ! Bagaimana Anda tahu nama Muhammad, sementara
Aku belum menciptakannya ke dunia ?”. Adam menjawab: “Ya Rabb ! Sewaktu Engkau
menciptakan aku dengan Tangan-Mu sendiri dan Engkau tiupkan sebagian ruh-Mu
kedalam tubuhku, saat itu aku mengangkat wajahku ke ‘Arasy, lalu aku melihat
bahwa di antara tiang-tiang penyangga ‘Arasy itu tertulis kalimat La ilaha Illallah, Muhammadur Rasulullah (Tiada
Tuhan selain Allah. Muhammad adalah utusan Allah), sehingga aku menjadi tahu
bahwa Engkau tidak akan menyandarkan seorang makhluk kepada Asma’-Mu melainkan
ia tentu seseorang yang paling Engkau cintai”. Allah swt berfirman : “Anda
benar, hai Adam ! Sesungguhnya dia (Muhammad) adalah orang yang paling Aku
cintai. Karena itu, berdoalah kepadaku dengan perantaraan hak dia, tentu Aku
akan memaafkan dosa-dosa Anda. Sekiranya bukan karena Muhammad, tentu Aku tidak
akan menciptakan Anda”. (HR Al-Hakim dalam kitab Al-Mustadrak, juz
2; hal.615. Beliau menilainya Shahih).
Al-Hafizh As-Suyuthy meriwayatkan hadis di atas dalam
kitab Al-Khashaishun Nabawiyyah dan menilainya sebagai hadis shahih.
Al-Qasthalany, Al-Zarqany dalam kitab Al-Mawahib al-Laduniyyah (juz 1;
hal. 62) dan As-Subky dalam kitab Syifa-us Saqam, ketiga imam hadis
tersebut menilainya sebagai hadis shahih. Sementara Al-Hafizh
al-Haitsamy mengatakan : “Imam At-Thabrany meriwayatkan hadis tersdebut dalam
kitab Al-Ausath, dan didalamnya ada rawy-rawy yang tidak
aku kenal” (Majma’ al-Zawaid, juz
8; hal. 253)
Teks hadis lainnya bersumber dari Ibnu Abbas ra : “Sekiranya
bukan karena Muhammad, tentu Aku tidak menciptakan Adam, surga dan neraka”.
Hadis ini diriwayatkan Al-Hakim dalam kitab Al-Mustadrak (juz 2 ; hal. 615),
dengan diberi komentar : “Hadis ini sanadnya shahih”.
Hadis tersebut juga dinilai shahih oleh Syaikhul
Islam Al-Baqilany dalam kitabnya Al-Fatawy. Syaikh Ibnu al-Jauzy
mengutip hadis tersebut pada awal tulisannya dalam kitab Al-Wafa. Demikian pula
Ibnu Katsir mengutip hadis tersebut dalam kitab Al-Bidayah juz 1; hal.
180.
Sebagian Ulama ada yang memperselisihkan kebasahan hadis
di atas. Setelah membicaraan derajat hadis tersebut, mereka lalu menolaknya dan
menempatkannya sebagai hadis maudhu’ (hadis palsu). Seperti Al-Dzahaby
dan ulama lainnya. Sebagian mereka menilainya sebagai hadis dha’if (hadis
lemah), dan sebagian lagi menilainya sebagai hadis munkar.
Dari keterangan
di atas maka tahulah kita bahwa mereka sangat berbeda dalam menilai derajat
hadis tawassulnya Nabi Adam tersebut. Atas kenyataan itu, maka persoalannya
sekrang adalah berkisar pada masalah penetapan (itsbat), penolakan,
penerimaan dan pembekuan atau penundaan pembahasan terhadap hadis tersebut,
disebabkan perselisihan mereka terletak pada menentukan derajat sebuah hadis.
Perselisihan mereka terbatas pada pandangan mereka dari sudut sanad dan ketetapan
hadis. Sementara dari sudut isi kandungannya, marilah kita
tengok bagaimana komentar Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah
1. Bukti
kebenaran hadis tentang tawassulnya Nabi Adam
Syaikhul Islam
Ibnu Taimiyah mengemukakan dua buah hadis sebagai bukti dan argumentasi tentang
kebenaran adanya hadis tawassulnya Nabi Adam sebagaimana yang dikemukakan di
atas :
Bukti Pertama : Abul Faraj bin al-Jauzy
meriwayatkan hadis yang sanadnya sampai kepada Maisarah ra. Ia pernah bertanya
kepada Rasulullah saw, “Sejak kapan engkau menjadi Nabi ?”. Beliau saw menjawab:
“Setelah Allah swt menciptakan bumi, Dia lalu menuju penciptaan langit
dan membentangkannya menjadi tujuh lapis, kemudian menciptakan ‘arasy seraya
menuliskan kalimat : La ilaha illallah. Muhammadur Rasulullah, Khatamun
Nabiyyin (Tiada Tuhan selain Allah. Muhammad adalah utusan Allah, Penutup
para Nabi) diatas tiang penyanggahnya. Selanjutnya Allah swt menciptakan sorga,
tempat tinggal Nabi Adam dan Hawa’, lalu menuliskan namaku di atas
pintu-pintunya, dedaunan, kubah-kubahnya tenda-tenda dan bangunan-bangunan di
sorga. Sementara itu Nabi Adam masih berwujud antara ruh dan jasad. Sewaktu
Allah swt menghidupkannya, lalu beliau melihat ke arah ‘arsy dan
dilihatnya namaku terpamppang di sana,
kemudian Allah swt memberi tahu kepadanya bahwa nama Muhammad adalah pemimpin anak keturunannya. Tatkala syetan
berhasil menjerumuskan atau menipu Nabi Adam dan Hawa’, mereka berdua kemudian
bertaubat dan memohon bantuan syafa’at kepada Allah swt dengan perantaraan
namaku”.
Bukti Kedua : Abu Na’im al-Hafizh dalam kitab Dalailun
Nubuwwah menyebutkan sebuah hadis dari jalur syaikh Abul Faraj: Telah
bercerita kepada kami Sulaiman bin Ahmad; bercerita kepada kami Ahmad bin
Rasyid; bercerita kepada kami Ahmad bin Sa’id al-Fihry; bercerita kepada kami
Abdullah bin Isma’il al-Madany, dari Abdurrahman bin Zaid bin Aslam, dari
ayahnya, dari sahabat Umar bin Khatthab ra, bahwa Rasulullah saw bersabda, “Sewaktu
Nabi Adam as melakukan kesalahan, ia mengangkat kepalanya ke atas seraya
berdoa: ‘Ya Rabb ! Berkat kebenaran Muhammad, ampunilah dosa-dosaku’. Kemudian
Allah swt berfirman kepadanya :‘ Apa dan siapa Muhammad itu ?’. Beliau jawab :
‘Ya Rabb ! Sewaktu Engkau menyempurnakan penciptaan atas diriku, aku angkat
kepalaku ke arah arasy-Mu, tidak tahunya di sana tertulis kalimat La ilaha
illallah, Muhammadur Rasulullah, sehingga aku menjadi tahu bahwa dia adalah
makhluk-Mu yang paling mulia, disebabkan
Engkau telah menyandingkan namanya dengan Nama-Mu’. Allah swt berfirman :
‘Benar, katamu ! Sekarang Aku ampuni dosa-dosamu. Memang dia adalah Nabi
terakhir dari anak keturunanmu. Seandinya bukan karena dia, tentu Aku tidak
akan menciptakanmu”.
Hadis di atas memperkuat hadis sebelumnya. Kedua hadis
di atas adalah seperti tafsir terhadap hadis-hadis shahih. (Dikutip dari
kitab Al-Fatawa, juz 2; hal.150 karya Ibnu Taimiyah).
Kami berpendapat, penjelasan tersebut menunjukkan bahwa
hadis tawassul sebagaimana di atas, menurut Ibnu Taimiyah, pantas dijadikan
sebagai dalil, argumentasi dan I’tibar. Karena hadis maudhu’ atau bathil tidak dapat dijadikan
sebagai argumentasi menurut pendapat muhadditsin (para pakar di bidang
ilmu hadis). Dengan demikian, Anda sekarang telah mengetahui bahwa Syaikhul
Islam Ibnu Taimiyah saja mau mengambil hadis tawassul tersebut sebagai
argumentasi dan dijadikan sebagai penafsir atau penjelas terhadap
hadis-hadis shahih lainnya.
Koreksi Ibnu Taimiyah mengenai pemahaman terhadap khushusiyyah
Rasulullah saw . Dalam kitab
Al-Fatawa, juz 11; hal. 96 beliau mengatakan, “Nabi Muhammad adalah pemuka para
seluruh anak keturunan Nabi Adam. Dia seorang makhluk yang paling utama
dan mulia. Dari kekhususan Rasulullah
saw tersebut, ada orang yang mengatakan bahwa Sesungguhnya Allah swt
menciptakan alam semesta ini adalah karena Muhammad. Atau dengan kata lain :
Seandainya bukan karena Muhammad, tentu Allah swt tidak akan menciptakan arasy,
kursy, langit, bumi, matahari dan bulan. Akan tetapi ini bukanlah sebuah hadis dari Rasulullah
saw, baik shahih ataupun dha’if. Tidak seorang ahli hadis pun yang pernah
meriwayatkannya. Tidak diketahui dari sahabat siapa. Bahkan tidak diketahui,
siapa yang mengucapkannya pertama kali. Mungkin ini merupakan penafsiran
terhadap firman Allah swt :
أَلَمْ تَرَوْا أَنَّ اللَّهَ سَخَّرَ لَكُمْ مَا فِي السَّمَوَاتِ وَمَا
فِي الْأَرْض ِأَلَمْ تَرَوْا أَنَّ اللَّهَ سَخَّرَ لَكُمْ مَا فِي السَّمَوَاتِ
وَمَا فِي الْأَرْضِ
“Tidakkah kamu perhatikan sesungguhnya Allah telah
menundukkan untuk (kepentingan) mu apa yang di langit dan apa yang di bumi” (QS Luqman,[31] : 20)
اللَّهُ الَّذِي خَلَقَ السَّمَوَاتِ وَالْأَرْضَ وَأَنْزَلَ مِنَ
السَّمَاءِ مَاءً فَأَخْرَجَ بِهِ مِنَ الثَّمَرَاتِ رِزْقًا لَكُمْ وَسَخَّرَ
لَكُمُ الْفُلْكَ لِتَجْرِيَ فِي الْبَحْرِ بِأَمْرِهِ وَسَخَّرَ لَكُمُ
الْأَنْهَارَ(32)وَسَخَّرَ لَكُمُ الشَّمْسَ وَالْقَمَرَ
دَائِبَيْنِ وَسَخَّرَ لَكُمُ اللَّيْلَ وَالنَّهَارَ(33)وَءَاتَاكُمْ مِنْ كُلِّ مَا سَأَلْتُمُوهُ وَإِنْ
تَعُدُّوا نِعْمَةَ اللَّهِ لَا تُحْصُوهَا إِنَّ الْإِنْسَانَ لَظَلُومٌ
كَفَّارٌ(34)
“Allah-lah
yang telah menciptakan langit dan bumi dan menurunkan air hujan dari langit, kemudian
Dia mengeluarkan dengan air hujan itu berbagai buah-buahan menjadi rezki
untukmu, dan Dia telah menundukkan bahtera bagimu supaya bahtera itu berlayar
di lautan dengan kehendak-Nya, dan Dia telah menundukkan (pula) bagimu
sungai-sungai. Dan Dia telah menundukkan (pula) bagimu matahari dan bulan yang
terus menerus beredar (dalam orbitnya); dan telah menundukkan bagimu malam dan
siang. Dan Dia telah menundukkan (pula) bagimu matahari dan bulan yang terus
menerus beredar (dalam orbitnya); dan telah menundukkan bagimu malam dan siang.
Dan Dia telah memberikan kepadamu (keperluanmu) dari segala apa yang kamu
mohonkan kepadanya. Dan jika kamu menghitung ni`mat Allah, tidaklah dapat kamu
menghinggakannya. Sesungguhnya manusia itu, sangat zalim dan sangat mengingkari
(ni`mat Allah).” (QS Ibrahim, [14] : 32-34)
Juga penafsiran
terhadap ayat-ayat Al Qur’an yang sejenis yang menjelaskan bahwa Allah swt
menciptakan seluruh makhluk-Nya adalah untuk keperluan anak keturunan Adam. Dan
kita tahu bahwa Allah swt melakukan yang
demikian itu tentu ada hikmah lain yang besar, selain untuk kepentingan anak
Adam. Bahkan hikmah lain tersebut justru lebih besar lagi. Namun secara khusus
Allah swt menjelaskan kepada anak Adam sesuatu hikmah dan manfaat yang
terkandung didalamnya, serta suatu nikmat yang dianugerahkan kepada mereka.
Jika ada yang mengatakan
bahwa Allah swt berbuat begini dan begitu untuk ini dan itu, maka ini bukan
berarti bahwa hal itu tidak terkandung suatu hikmah untuk yang lain. Demikian
pula perkataan orang bahwa seandainya tidak karena ini dan itu, tentu Allah swt
tidak akan menciptakan ini dan itu, adalah bukan berarti tiadanya tujuan dan hikmah lain yang lebih besar. Akan tetapi, Allah swt tetapi makna yang
dikehendaki dari perkataan di atas adalah bahwa jika manusia yang paling saleh
dari seluruh keturunan Adam adalah Muhammad, dan penciptaannya merupakan tujuan
dan hikmah terbesar bila dibanding dengan penciptaan makhluk lainnya, maka
berarti bahwa kesempurnaan penciptaan Allah swt dan puncak keutamaannya hanya
tercapai dengan penciptaan Muhammad saw. Demikianlah yang diuraikan Ibnu
Taimiyah dalam kitabnya Al-Fatawa.
Analisis dan hasil kajian Ibnu Taimiyah yang dilupakan para pengikutnya: Uraian selanjutnya merupakan hasil kajian beliau yang raib dari
pengetahuan para pendukungnya yang menjelaskan tentang bukti-bukti kebenaran
tawassulnya Nabi Adam, yakni bukti ketiga dan keempat, selain dua bukti di
atas. Juga mengenai Khushushiyyah (keistimewaan dan kekhususan) yang dimiliki
Rasulullah saw. Dalam persoalan ini Ibnu Taimiyah berkomentar, “Sesungguhnya
pembicaraan ini ada segi-segi kebenarannya”.
Bukti Ketiga : Ibnu Mundzir didalam buku tafsirnya meriwayatkan hadis dari Muhammad
bin Ali bin Husain bin Ali ra : “Sewaktu Nabi Adam melakukan kesalahan, ia
benar-benar susah, kecewa dan menyesal. Datanglah malaikat Jibril kepadanya
seraya berkata, “Hai Adam!
Maukah Anda saya tunjukkan pintu taubatmu, sehingga Allah swt akan menerima
taubatmu ?”. Nabi Adam menjawab, “Tentu saja aku mau, wahai Jibril !”. Malaikat Jibril berkata, “Bangkitlah
dan carilah tempat untuk mermunajat kepada Tuhanmu. Muliakanlah Dia, karena
tidak ada yang lebih Dia sukai kecuali ungkapan puji-pujian”. Beliau bertanya, “Bagaimana
caranya, wahai Jibril!”. Jawab Jibril, “Bacalah doa dzikir ini :
لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيْكَ لَهُ, لَهُ الْمُلْكُ وَ
لَهُ الْحَمْدُ يُحْيِ وَ يُمِيْتُ وَ هُوَ حَيُّ لَا يَمُوْتُ, بِيَدِهِ الْخَيْرُ
كُلُّهُ, وَ هُوَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيْرٌ.
“Tiada tuhan selain Allah, Yang Maha Esa, tiada sekutu
bagi-Nya. Bagi-Nya kerajaan dan bagi-Nya segala puji. Dialah Yang Menghidupkan
dan mematikan. Dia Maha Hidup, tidak
akan mati. Dalam genggaman Kekuasaan-Nya lah seluruh kebaikan. Dan Dia
Maha Kuasa atas segala sesuatu”
Setelah itu, Anda akui semua kesalahanmu. Kemudian
diteruskan membaca doa :
سُبْحَانَكَ اللَّهُمَّ وَ بِحَمْدِكَ, لَا اِلَهَ إِلاَّ اَنْتَ, رَبِّ إِنِّي
ظَلَمْتُ نَفْسِي وَ عَمِلْتُ السُّوْءَ, فَاغْفِرْ لِي , إِنَّهُ لَا يَغْفِرُ
الذُّنُوْبَ إِلَّا اَنْتَ. اَللَّهُمَّ إِنِّي أَسْأَلُكَ بِـجَاهِ مُحَمَّدٍ عَبْدِكَ
وَ كَرَامَتِهِ عَلَيْكَ, أَنْ تَغْفِرَ لِي خَطِيْئَتِي.
“Maha Suci Engkau, Ya Allah dan dengan segala puji bagi-Mu.
Tiada tuhan selain Engkau. Ya Rabb ! Sesungguhnya aku telah menzalimi diriku
sendiri dan telah melakukan kejelekan. Karena itu, ampunilah aku. Karena tiada
yang mampu memgampuni dosa-dosa kecuali Engkau. Ya Allah ! Sesungguhnya aku
memohon kepada-Mu dengan perantaraan kehormatan Muhammad, hamba-Mu, dan berkat
kemuliaannya di sisi-Mu, kiranya Engkau berkenan memaafkan segala kesalahanku”.
Selanjutnya Nabi
Adam melaksanakan apa yang diperintahkan malaikat Jibril tersebut. Kemudian
Allah swt berfirman kepadanya, “Hai Adam! Siapa yang mengajarimu ?”. Beliau
menjelaskan, “Ya Rabb! Sewaktu Engkau meniupkan ruh kedalam jasadku, lalu
aku menjadi hidup sebagaimana manusia pada umumnya. Aku mampu melihat,
mendengar dan berfikir. Saat itu aku melihat ke atas tiang-tiang penyanggah
arasy dan di sana tertulis :
بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ. لَا إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَحْدَهُ
لَا شَرِيْكَ لَهُ. مُحَمَّدٌ رَسُوْلُ اللَّهِ
“Dengan menyebut Asma Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha
Penyayang. Tiada tuhan selain Allah, Yang Maha Esa lagi tiada sekutu bagi-Nya.
Muhammad utusan Allah”.
Sementara tidak terlihat nama seorang malaikat
Muqarrabin pun yang disandingkan dengan Nama-Mu, dan juga tiada nama salah
seorang Nabi dan Rasul selain nama Muhammad, sehingga tahulah aku sekarang,
bahwa dia merupakan makhluk-Mu yang termulia” Selanjutnya Allah swt
berfirman kepadanya, “Kamu benar! Taubatmu sekarang Aku terima dan
dosa-dosamu Aku maafkan”. (Ad-Durrul Mantsur, karya As-Suyuthy, juz
1; hal. 146).
Muhammad bin Ali bin al-Husain adalah ayahnya Ja’far
al-Baqir. Beliau salah seorang tabi’in yang sangat “tsiqah” (dapat
dipercaya) dan menjadi pemimpin mereka. Enam Imam ahli hadis meriwayatkan hadis
darinya. Cerita di atas juga diriwayatkan dari Ja’far bin Sa’id ra, Ibnu Umar
ra, dan sahabat-sahabat lainnya.
Bukti Keempat
: Abu Bakar al-Ajiri menjelaskan tentang tawassulnya Nabi Adam as didalam kitab
Asy-Syari’ah : ”Bercerita kepada kami Harun bin Yusuf at-Tajir;
bercerita kepada kami Abu Marwan al-Usmany; bercerita kepada kami Abu Usman
al-Khalil, dari Andurrahman bin Abi al-Zanad, dari ayahnya, bahwa ia berkata
tentang kalimat-kalimat doa yang menyebabkan Allah swt menerima taubatnya Nabi
Adam as. Doa yang beliau baca adalah : “Allahumma inni as-aluka bihaqqi
Muhammadin ‘alaika …” Allah swt berfirman kepada Nabi Adam, “Apa yang
Anda ketahui tentang nama Muhammad?”.
Beliau menjawab, “Ya Rabb !
Sewaktu aku mengangkat kepalaku ke atas, aku melihat sebuah tulisan di
atas arasy-Mu yang berbunyi La ilaha illallah. Muhammadur
Rasulullah. Sehingga tahulah aku sekarang, bahwa Muhammad adalah makhluk-Mu
yang paling mulia”.
Atsar di atas bila dikombinasikan dan dihubungkan dengan
hadisnya Abdurrahman bin Zaid akan semakin memperkuat kebenaran tawassul-nya
Nabi Adam as kepada Allah swt dengan perantaraan “Nama” Nabi Muhammad
saw.
2. Surga Terlarang Bagi Para Nabi Sebelum Dimasuki Nabi Muhammad
Ini merupakan contoh
penghormatan Allah swt kepada diri Nabi Muhammad saw, sebagaimana yang pernah
dijelaskan didalam sebuah hadis Nabi dari Umar bin Khatthab ra. Rasulullah saw
bersabda, “Surga diharamkan atas
sekalian para Nabi sampai aku memasukinya terlebih dahulu dan diharamkan pula
atas semua umat manusia sampai ummatku memasukinya terlebih dahulu.” (HR At-Thabrany dalam kitab Al Ausath). Al-Haitamy berkomentar
bahwa sanadnya hasan. (Majma’ al-Zawaid juz 10; hal. 69).
3. Hubungan alam semesta
dengan nama Nabi Muhammad.
Di antara wujud penghormatan
dan pemuliaan Allah swt kepada Nabi Muhammad saw adalah tersebarnya nama Nabi
Muhammad saw di surga. Ka’ab al-Akhbar mengatakan, “Sesungguhnya Allah swt
menurunkan tongkat sebanyak jumlah para Nabi dan Rasul kepada Nabi Adam as.
Kemudian beliau mendatangi putranya, Syits, seraya berkata : ‘Hai
anakku! Engkau adalah penggantiku setelah aku wafat. Ambillah tongkat ini
dengan penuh ketakwaan dan ikatan agama yang kuat. Setiiap kamu berdzikir menyebut
nama Allah, sebut pula nama Muhammad untuk mengiringi Nama-Nya. Karena aku
pernah melihat namanya tertulis di atas tiang-tiang penyanggah ‘arasy sewaktu
aku masih berwujud antara ruh dan jasad. Aku menjelajahi semua sudut langit,
tidak ada satu tempat pun melainkan di atasnya tertulis nama Muhammad. Tuhanku
menempatkanku di sorga, dan akun tidak melihat satu pun istana, gedung, dan
kamar-kamarnya melainkan tertulis di atasnya namanya. Sunguh aku melihat
namanya tertulis di atas bagian dada para bidadari, di atas daun pohon “thuba”
(khuldi), daun pintu “Sidratul Muntaha”, sudut-sudut tirai penutup “hijab”, dan
di antara mata para malaikat. Oleh karenanya, perbanyaklah menyebut nama
Muhammad, sebab para malaikat selalu menyebut namanya setiap saat’. (Al-Mawahib
al-Laduniyyah, juz 1; hal. 186). Az-Zarqani
memberikan komentarnya, “Atsar tersebut diriwayatkan oleh Ibnu Asakir”.
Ibnu Taimiyah menyebutkan khabar yang serupa dengan atsar di atas, yang menjelaskan
bahwa Allah swt menuliskan nama Nabi
Muhammad di atas arasy, juga di atas pintu-pintu, kubah dan dedaunan sorga.
Selain itu, masih banyak lagi atsar lainnya yang sesuai dan memperkuat kedudukan hadis-hadis tawassul di atas.
Ibnu al-Jauzy meriwayatkan
dari Maisarah ra, pernah ditanyakan
kepada Rasulullah saw : “Ya Rasulullah
! Sejak kapan Anda menjadi Nabi ?”
“Sejak Allah swt menciptakan bumi. Dia lalu menuju ke langit dan
membentangkannya menjadi tujuh lapis, kemudian Dia menciptakan ‘arasy dan
menuliskan kalimat Muhammadurrasulullah,
Khatamul Ambiya’ di atas tiang penyanggahnya.
Dia menciptakan sorga tempat tinggal Nabi Adam dan Hawa’, lalu menuliskan
namaku di atas pintu-pintu, dedaunan, istana, gedung dan kamar-kamarnya. Saat
itu Nabi Adam dalam keadaan berupa antara ruh dan jasad. Sewaktu Allah swt
menghidupkannya, ia melihat ke arah ‘arasy dan dilihatnya namaku. Kemudian
Allah swt memberitahukannya bahwa Muhammad adalah adalah pemimpin anak-anak
keturunannya. Setelah Iblis menipu dan menggelincirkan Nabi Adam dan Hawa’,
keduanya lalu bertaubat dengan perantaraan menyebut namaku”. (Al-Fatawa, karya Ibnu Taimiyah, juz 2;
hal. 150)
Berdasarkan hadis-hadis
mengenai tawassulnya Nabi Adam melalui perantaraan menyebut nama Nabi Muhammad
saw tersebut dapatlah diambil suatu pemahaman : inti dari sahnya tawassul
antara lain adalah bahwa orang yang dijadikan sarana tawassul haruslah orang
yang memiliki kedudukan yang terpuji, terhormat lagi berderajat tinggi di
hadapan Allah swt , seperti para Nabi dan Rasul, khususnya Nabi Muhammad saw,
ulama, auliya dan kaum shalihin lainnya. Baik mereka itu masih hidup maupun
sesudah wafatnya.
Berdasarkan uraian di atas
dapatlah diambil suatu pemahaman bahwa pendapat yang menyatakan : “Tawassul dengan perantaraan seseorang tidak sah kecuali
semasa masih hidupnya di dunia” adalah pendapat orang yang
menurutkan hawa nafsu dan tidak memperoleh hidayah Allah swt.
4. Kesimpulan Derajat Hadis
Tawassul.
Pada prinsipnya, hadis
tawassulnya Nabi Adam di atas berderajat shahih disertai dengan pembuktian dan argumentasi yang kuat, serta sering
dinukil oleh kebanyakan ulama terkenal, para imam hadis, para hafizh (penghafal hadis) dan pakar
hadis yang tidak perlu diragukan lagi reputasi, status dan keahliannya di
bidang hadis. Bahkan mereka adalah orang-orang yang jujur lagi terpercaya dalam
memelihara dan mengemban sunnah nabawiyyah, seperti Al-Hakim, as-Suyuthi, as-Subky dan al-Bulqiny.
Al-Baihaqy menukil hadis
tawassul tersebut didalam kitabnya yang dinilai tidak pernah memuat hadis
palsu, yang dikomentari oleh Adz-Dzahaby : “Ambillah kitab Al-Baihaqy, karena seluruh isinya merupakan petunjuk dan
cahaya” . Demikianlah yang tertera
didalam kitab Al-Mawahib
al-Laduniyyah dan kitab-kitab lainnya.
Sementara itu, Ibnu Katsir
menukil hadis tersebut didalam kitab Al-Bidayah yang oleh Ibnu Taimiyah
dijadikannya sebagai saksi atau penguat didalam kitabnya Al-Fatawa.
Di antara para ulama adalah yang
berselisih pendapat tentang status hadis ini, lalu ditolaknya, dan sebagian
yang lain menerimanya. Hal ini lumrah dan tidak aneh, karena sebagian hadis
Nabi memang tidak lepas dari adanya perbedaan pendapat, bahkan malah lebih
besar dan hebat, serta kritikannya lebih tajam daripada terhadap hadis tawassul
ini. Oleh sebab itu, lahirlah karya-karya besar berupa kitab-kitab yang memuat istidlal, komentar, rujukan dan lainnya.
Namun yang perlu kita ingat
adalah bahwa kitab-kitab tersebut tidak ditemukan adanya kalimat atau kata-kata
yang menjurus kepada tuduhan “syirik”, “kufur”, “sesat”, “bid’ah”, dan
“murtad”, hanya disebabkan perbedaan pendapat dalam menentukan status derajat
suatu hadis, termasuk terhadap hadis tawassulnya Nabi Adam.
5. Tawassulnya
orang Yahudi dengan Nabi akhir zaman
Allah swt berfirman :
وَلَمَّا جَاءَهُمْ كِتَابٌ مِنْ عِنْدِ اللَّهِ مُصَدِّقٌ لِمَا مَعَهُمْ
وَكَانُوا مِنْ قَبْلُ يَسْتَفْتِحُونَ عَلَى الَّذِينَ كَفَرُوا فَلَمَّا
جَاءَهُمْ مَا عَرَفُوا كَفَرُوا بِهِ فَلَعْنَةُ اللَّهِ عَلَى الْكَافِرِينَ(89)
“Dan setelah datang kepada mereka Al-Qur’an dari Allah yang membenarkan
apa yang ada pada mereka, padahal sebelumnya mereka biasa memohon (kedatangan
Nabi saw) untuk mendapatkan kemenangan atas orang-orang kafir, maka setelah
datang kepada mereka apa yang telah mereka ketahui, mereka ingkar kepadanya.
Maka laknat Allah-lah atas orang-orang yang ingkar itu”. (QS Al-Baqarah,2 : 89)
Al-Qurthuby
menafsirkan potongan ayat : “Dan setelah
datang kepada mereka”, maksudnya adalah orang-orang Yahudi. “Sebuah kitab”, maksudnya adalah
Al-Qur’an. “Dari Allah yang membenarkan apa yang ada pada
mereka”, maksudnya dari Allah yang membenarkan kitab Taurat dan Injil yang
membenarkan kabar kepada mereka tentang akan datangnya seorang Nabi akhir
jaman, yakni Nabi Muhammad saw, “padahal
mereka sebelumnya biasa memohon (kedatangan Nabi tersebut) untuk mendapatkan
kemenangan ….”
Ibnu Abbas rs mengatakan, “Orang Yahudi Khaibar pernah memerangi orang kafir
Ghathafan. Setelah berperang dengan mereka, kaum Yahudi kalah dan lari, lalu
berdoa :
إِنَّا نَسْأَلُكَ بِحَقِّ النَّبِيِّ الْأُمِّيِّ الَّذِي وَعَدْتَنَا أَنْ
تُخْرِجَهُ فِيْ أَخِرِ الزَّمَانِ أَنْ تَنْصُرَنَا عَلَيْهِمْ
“Ya Allah, Aku memohon kepada-Mu
dengan perantaraan kebenaran seorang Nabi yang ummy (buta huruf) yang pernah
Engkau janjikan kepada kami untuk dimunculkan pada akhir jaman. Kiranya Engkau
menolong kami untuk mengalahkan mereka…”
Ibnu Abbas mengatakan lagi,
bahwa kaum Yahudi ketika bertemu dengan kaum kafir Ghathafan, mereka berdoa
seperti bacaan di atas, sehingga musuhnya lari berantakan. Namun setelah Nabi
yang mereka idam-idamkan tersebut, yakni Nabi Muhammad saw, benar-benar diutus, mereka mengingkari
kenabian beliau saw. Karena itu, maka turunlah ayat :
وَكَانُوا مِنْ قَبْلُ يَسْتَفْتِحُونَ عَلَى
الَّذِينَ كَفَرُوا
“… padahal sebelumnya mereka biasa memohon (kedatangan Nabi)
untuk mendapatkan kemenangan atas orang-orang kafir…” (QS Al-Baqarah,[2]:
89)
dan seterusnya sampai akhir ayat. (Tafsir
Al-Qurthuby, juz 2; hal: 26-27).
_____________________________________________________________
Sumber : diterjemahkan dari kitab "مفاهيم يجب ان تصحح".