Tampilkan postingan dengan label nabi Muhammad. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label nabi Muhammad. Tampilkan semua postingan

Jumat, 19 Juli 2013

PYPD - 32. PARA NABI ADALAH MANUSIA YANG MEMILIKI SIFAT KEISTIMEWAAN *)



Oleh Sayyid Muhammad Alawi Al-Maliki



Sebagian orang beranggapan bahwa para Nabi, dalam setiap keadaannya, adalah sama derajatnya dengan semua manusia pada umumnya. Anggapan tersebut sekaligus mencerminkan kebodohan dan kesalahan mereka. Meskipun para Nabi, bila dipandang dari segi hakekat asal usul kemanusiaannya, adalah sama dengan manusia pada umumnya, akan tetapi mereka memiliki banyak perbedaan dalam hal sifat dan kepribadiannya. Jika tidak demikian, lalu apa keistimewaan mereka? Bagaimana mungkin mereka berhasil dipilih Allah swt sebagai utusan-Nya?

Berikut ini kami akan menjelaskan sebagian sifat-sifat mereka di dunia dan kekhususan mereka di alam barzah, sebagaimana yang telah disinggung oleh beberapa nash Al-Qur’an dan Hadis Nabi.


PARA NABI ADALAH PEMIMPIN MANUSIA

Para Nabi adalah  sosok manusia suci yang dipilih Allah swt dari sekalian hamba-Nya. Allah swt memuliakan mereka dengan Nubuwwah ( membawa missi kenabian), Hikmah (kebijaksanaan), diberi kekuatan pikiran dan ketepatan pandangan. Allah swt memilih mereka sebagai Perantara antara Dia dan makhluk-Nya. Mereka diberi tugas menyampaikan perintah-perintah Allah swt, kabar gembira dan peringatan kepada manusia. Mereka memberi tuntunan hidup dan petunjuk hidup kepada umat manusia agar dapat hidup bahagia di dunia dan di akhirat. Hikmah Allah swt memilih mereka dari jenis manusia adalah agar manusia dapat berkumpul bersama-sama dengan mereka, mengambil pelajaran, mengikuti jejak perjalanan hidup dan akhlak mereka. Dengan kata lain, kemanusiaan para Nabi merupakan suatu kemukjizatan bagi mereka, dalam pengertian bahwa mereka berasal dari jenis manusia yang diberi keistimewaan-keistimewaan yang tidak dimiliki oleh seorang pun di antara manusia pada umumnya.

Dari uraian di atas dapat disimpulkan, bahwa menganggap para Nabi adalah sama seperti manusia pada umumnya yang tak memiliki perbedaan dan keistimewaan tertentu, merupakan anggapan Kaum Jahiliyah yang musyrik. Sebagaimana pandangan yang dikemukakan oleh kaum Nabi Nuh kepada dirinya :

فَقَالَ الْمَلَأُ الَّذِينَ كَفَرُوا مِنْ قَوْمِهِ مَا نَرَاكَ إِلَّا بَشَرًا مِثْلَنَا وَمَا نَرَاكَ اتَّبَعَكَ إِلَّا الَّذِينَ هُمْ أَرَاذِلُنَا بَادِيَ الرَّأْيِ وَمَا نَرَى لَكُمْ عَلَيْنَا مِنْ فَضْلٍ بَلْ نَظُنُّكُمْ كَاذِبِينَ(27)

Maka berkatalah pemimpin-pemimpin yang kafir dari kaumnya: "Kami tidak melihat kamu, melainkan (sebagai) seorang manusia (biasa) seperti kami, dan kami tidak melihat orang-orang yang mengikuti kamu melainkan orang-orang yang hina dina di antara kami yang lekas percaya saja, dan kami tidak melihat kamu memiliki sesuatu kelebihan apapun atas kami, bahkan kami yakin bahwa kamu adalah orang-orang yang dusta". (QS Hud,[11] : 27)

Pandangan Bani Israil kepada pribadi Nabi Musa dan Nabi Isa :

فَقَالُوا أَنُؤْمِنُ لِبَشَرَيْنِ مِثْلِنَا وَقَوْمُهُمَا لَنَا عَابِدُونَ(47)
Dan mereka berkata: "Apakah (patut) kita percaya kepada dua orang manusia seperti kita (juga), padahal kaum mereka (Bani Israil) adalah orang-orang yang menghambakan diri kepada kita?" (QS Al-Mukiminun,[23] : 47)

Demikian pula pandangan kaum Tsamud kepada Nabi Shaleh (QS Asy-Syu’ara’’[26] : 154); pandangan penduduk Aikah kepada Nabi Syu’aib as (QS Asy-Syu’ara’,[26] : 186); dan kaum musyrikin Arab kepada Nabi Muhammad saw :

وَقَالُوا مَالِ هَذَا الرَّسُولِ يَأْكُلُ الطَّعَامَ وَيَمْشِي فِي الْأَسْوَاقِ لَوْلَا أُنْزِلَ إِلَيْهِ مَلَكٌ فَيَكُونَ مَعَهُ نَذِيرًا(7)
Dan mereka berkata: "Mengapa rasul ini memakan makanan dan berjalan di pasar-pasar? Mengapa tidak diturunkan kepadanya seorang malaikat agar malaikat itu memberikan peringatan bersama-sama dengan dia?,” (QS Al-FurqaN: 7)



SIFAT PARA NABI DAN KEKHUSUSAN NABI MUHAMMAD SAW.

Meskipun para Nabi dipilih dari jenis manusia dan melakukan aktifitas sebagaimana layaknya manusia pada umumnya seperti makan, minum, sehat, sakit, menikahi wanita, berjalan di pasar-pasar dan memiliki ciri-ciri khas kemanusiaan seperti tua, lemah dan mati, akan tetapi mereka juga memiliki beberapa sifat khas dan istimewa melebih manusia pada umumnya. Di antaranya :
1.   Shiddiq (benar, jujur, tak pernah berbohong)
2.   Amanah (dapat dipercaya, tak pernah berkhianat)
3.   Tabligh (menyampaikan wahyu)
4.   Fathanah (cerdas, pandai, cendekia)
5.   Terhindar dari cacat dan ‘aib yang menyebabkannya dijauhi umatnya
6.   ‘Ishmah (terpelihara dari salah dan dosa)


Berikutnya kami akan menjelaskan beberapa sifat-sifat khas dan istimewa yang ada pada diri Rasulullah saw yang membedakannya dengan manusia pada umumnya:

a.   Kemampuan melihat dari arah belakang sebagaimana yang dilakukannya dari arah depan. Imam Bukhary dan Muslim mengetengahkan hadis dari Abu Hurairah ra. Dia menuturkan bahwa Rasulullah saw bersabda : “Apakah kalian melihat kiblatku (arahku menghadap) di sini? Demi Allah! Rukukmu dan sujudmu tidak lepas dari penglihatanku. Aku dapat melihat kalian dari belakang punggungku”.
Imam Muslim mengetengahkan hadis dari Anas bin Malik ra, bahwa Rasulullah saw bersabda : “Aku adalah imammu. Karena itu kamu jangan mendahului rukukku dan sujudku. Aku dapat melihat kamu dari arah depanku dan belakangku”.
Imam Abdurrazzaq, Al-Hakim dan Abu Na’im mengetengahkan hadis dari Abu Hurairah ra, bahwa Rasulullah saw bersabda : “Sesungguhnya aku benar-benar dapat melihat apa saja yang ada di belakangku, sebagaimana aku dapat melihat apa saja yang ada di depanku”.

b.   Melihat sesuatu yang tak mampu kita lihat dan mendengar sesuatu yang tak mampu kita dengar. Hadis dari Abu Dzar al-Ghiffary menuturkan bahwa Rasulullah saw bersabda : “Sungguh aku melihat sesuatu yang tidak mampu Anda lihat dan mendengar sesuatu yang tidak mampu Anda dengar. Langit sudah pernah aku jelajahi dan ia memang berhak dilintasi. Demi Allah yang jiwaku berada didalam kekuasaan-Nya! Tiada tempat selebar empat jari melainkan ada malaikat yang meletakkan keningnya untuk bersujud kepada Allah swt. Demi Allah! Sekiranya Anda mengetahui apa yang sedang aku ketahui saat ini, tentu Anda akan sedikit tertawa dan banyak menangis, serta tidak akan merasakan kelezatan kaum wanita di tempat tidur Anda. Anda tentu akan pergi ke bukit-bukit yang tinggi (beruzlah mengasingkan diri) untuk mendekatkan diri kepada Allah swt”. Abu Dzar setelah mendengar sabda beliau saw tadi berkata, “Alangkah senangnya seandainya aku menjadi sebatang pohon yang besar dan menjulang tinggi”. (HR Imam Ahmad, At-Tirmidzy dan Ibnu Majah).

c.   Ketiak Rasulullah saw. Imam Bukhary dan Muslim mengetengahkan hadis dari Anas bin Malik ra, ia berkata : “Aku melihat Rasulullah saw mengangkat kedua tangannya ke atas pada saat berdoa, sampai kedua ketiaknya terlihat”.
Ibnu Sa’ad mengetengahkan hadis dari Jabir ra, bahwa ia pernah mengatakan: “Rasulullah saw sewaktu sujud terlihat  kedua ketiaknya yang berwarna keputih-putihan”.
Al-Muhibb at-Thabary  mengatakan: “Di antara kekhususan Rasulullah saw adalah bahwa ketiak semua manusia pada umumnya berbeda-beda warnanya, kecuali ketiak beliau saw yang berwarna keputih-putihan”. Al-Qurthuby juga menuturkan demikian. Dan perlu ditambahkan, bahwa ketiak Rasulullah saw tidak berbulu.

d.   Tidak pernah menguap.  Imam Bukhary didalam buku Tarikh-nya dan Ibnu Syaibah dalam Mushnaf-nya, serta Ibnu Sa’ad mengetengahkan hadis dari Yazid bin Al-Ashamm. Ia bercerita bahwa Rasulullah saw tidak pernah menguap sama sekali.
Ibnu Syaibah mentakhrij hadis dari Maslamah bin Abdulmalik bin Marwan, katanya: “Rasulullah saw tidak pernah menguap sama sekali”.

e.   Keringat Rasulullah saw. Imam Muslim mengetengahkan hadis dari Anas bin Malik ra, bahwa dia menuturkan : “Rasulullah saw datang berkunjung ke rumah kami. Beliau tidur siang dan berkeringat. Ibuku, Ummu Sulaim, datang dengan membawa sebuah wadah semacam botol untuk menadahi tetesan keringat beliau. Kemudian beliau terbangun dan bersabda: “Hai Ummu Sulaim! Apa yang sedang Anda lakukan!”. “Keringat Engkau ini akan aku jadikan sebagai minyak wangi yang sangat harum baunya”, jawab ibuku”.

f.   Tinggi badan Rasulullah saw. Ibnu Khaitsamah didalam buku Tarikh-nya, Al-Baihaqy dan Ibnu ‘Asakir mengetengahkan hadis dari Aisyah ra, bahwa dia menuturkan : “Rasulullah saw tidak terlalu tinggi dan juga tidak terlalu pendek. Beliau nampak berperawakan sedang jika berjalan sendirian. Jika berjalan bersama dua orang yang terbilang tinggi, beliau saw nampak lebih tinggi darinya. Namun jika keduanya berpisah, perawakan beliau saw sedang”.
Ibnu Saba’ menjelaskan kekhususan-kehususan beliau saw tersebut dengan tambahan, bahwa bila beliau saw sedang duduk di tengah-tengah majlis, pundak beliau nampak lebih tinggi dari semua orang yang hadir.

g.   Bayangan tubuh Rasulullah saw. Al-Hakim dan At-Tirmidzy mentakhrij hadis dari Dzakran, bahwa Rasulullah saw tidak meninggalkan bekas bayangan tubuhnya sewaktu beliau terkena sinar matahari dan bulan.
Ibnu Saba’ menuturkan bahwa di antara kekhususan beliau saw adalah bayangan tubuhnya tidak jatuh ke atas tanah, karena beliau adalah “Nur” itu sendiri. Jika berjalan di bawah terik matahari dan sinar rembulan, tidak terlihat bayangan tubuh beliau di atas tanah. Sebagian ulama mengatakan, bahwa hal ini disebabkan beliau senantiasa berdoa : أللـهمّ اجـعـلـني نوراً  , (“Ya Allah! Jadikanlah diriku cahaya”).
Al-Qadhy ‘Iyadh dalam kitab Asy-Syifa’ dan Al-‘Ashafy didalam kitab Maulid-nya menuturkan, bahwa di antara kekhususan beliau saw adalah bahwa lalat tak pernah singgah di tubuhnya. Perlu ditambahkan bahwa kutu-kutu pun tidak berani menyakiti dan menyengat tubuh beliau saw.

h.   Darah Rasulullah saw. Al-Bazar, At-Thabrany, Al-Hakim dan Al-Baihaqy mengetengahkan hadis dari Abdullah bin Zubair ra, bahwa ia mendatangi Rasulullah saw yang sedang berbekam/bercantuk (mengeluarkan darah kotor). Beliau saw bersabda: “Hai Abdullah ! Pergi dan buanglah darah ini ke tempat yang sepi, sekiranya di situ tidak ada seorang pun yang melihatmu”. Setelah darah itu ia bawa ke luar, ia tidak segera membuang darah itu, tetapi malah ia minum. Kemudian ia kembali ke hadapan beliau saw. Beliau saw bersabda: “Hai Abdullah! Apa yang Anda lakukan?”. Darah itu sudah aku bawa ke tempat yang sepi dan tidak ada seorang pun yang melihatku”, jawab Abdullah. Beliau saw bilang: “Pasti Anda minum!”. “Benar, aku meminumnya, Ya Rasulullah saw!”, jawabnya. Kemudian Rasulullah saw bersabda : “Celakalah orang-orang disebabkan perbuatan Anda tadi, dan celakalah Anda  dari perbuatan mereka itu, oleh karena mereka memandang bahwa dengan meminum darahku itu mereka menjadi kuat”.

i.   Tidurnya Rasulullah saw. Imam Bukhary dan Muslim mengetengahkan hadis dari ‘Aisyah ra, katanya: “Ya Rasulullah! Apakah engkau tidur sebelum shalat witir?”Hai ‘Aisyah! Kedua mataku memang tidur, tetapi mata hatiku tiak pernah tidur”, jawab beliau saw. 

j.   Hubungan sebadan Rasulullah saw. Imam Bukhary menuturkan hadis dari jalan Qatadah ra, dari Anas bin Malik ra, ia berkata : “Beliau saw pernah menggilir para isterinya yang berjumlah sebelas orang itu dalam satu waktu sehari semalam” Qatadah ra bertanya: “Seberapa besar keperkasaannya?”. Anas bin Malik ra  menjawab Sebesar keperkasaan tiga puluh orang”.

k.   Rasulullah saw tidak pernah ihtilam. At-Thabrany mengetengahkan hadis dari jalur  Ikrimah ra, dari Anas bin Malik ra dan Ibnu Abbas ra. Sementara Ad-Dainury dalam kitabnya, Al-Mujalasah, mengetengahkannya dari jalan Mujahid, dari Ibnu Abbas ra, bahwa ia bercerita : “Rasulullah saw sama sekali tidak pernah Ihtilam (keluar air sperma akibat bermimpi). Karena Ihtilam adalah akibat gangguan syetan”.  
 
l.    Air kencing Rasulullah saw. Al-Hasan  bin Sufyan dalam kitabnya, Al-Musnad, serta Al-Hakim, Abu Ya’la, Ad-Daruquthny dan Abu Na’im mengetengahkan hadis dari Ummu Aiman ra, ia berkata : “Rasulullah saw bangun dari tidurnya di tengah malam, lalu menuju ke tempat tembikar di sudut rumah, lalu membuang air seninya didalamnya. Tak lama kemudian aku pun bangun dari tidurku dalam keadaan sangat haus, terus aku mencari air minum, maka aku minum saja air yang ada di tembikar tersebut. Setelah datang waktu pagi, aku bercerita kepada beliau saw tentang apa yang aku lakukan semalam. Beliau saw langsung tertawa sambil bersabda, “Sungguh, perutmu setelah hari ini selamanya tidak akan pernah sakit”.

Abdurrazzaq menuturkan sebuah riwayat dari Ibnu Juraij, ia mengatakan bahwa Rasulullah saw pernah kencing didalam sebuah gelas dari logam, lalu beliau letakkan gelas itu di bawah kolong tempat tidurnya, terus keluar rumah. Setelah masuk kembali untuk mengambil gelas, tiba-tiba gelas itu sudah tidak ada di tempat semula. Beliau saw kemudian bertanya kepada  seorang wanita pelawan Ummu Habibah, yang lebih dikenal dengan nama “Barkah”, pelayan Ummu Habibah, yang baru saja datang bersamanya dari negeri Habasyah : “Di mana gelas yang berisi air seniku yang aku letakkan di bawah kolong tempat tidurku ini?”. Barkah menyahut: “Sudah aku minum, tadi!”. Kemudian beliau saw bersabda: “Kamu akan sehat, wahai Ummu Yunus!”. Ummu Yunus adalah nama panggilan dari Barkah. Kenyataannya, Barkah tidak pernah sakit sampai akhir hayatnya.

Di antara para ulama ada yang menyusun Nazhaman yang berisi sejumlah kekhususan sifat Rasulullah saw yang membedakannya dengan sifat manusia pada umumnya :

Nabi kita Muhammad SAW memiliki sepuluh sifat khas
1.   Beliau tidak pernah mengalami Ihtilam sama sekali dan tidak berbayang
2.   Bumi menelan apa yang keluar darinya
3.   Lalat pun enggan mendekati beliau
4.   Kedua matanya tidur, namun mata hatinya tidak
5.   Mampu melihat yang di belakang seperti yang di muka
6.   Beliau tak pernah menguap
7.   Sejak lahir sudah berkhitan
8.  Hewan-hewan yang ditunggangi sama mengenalnya, Tidak lari, malah semakin mendekat
9.   Sewaktu duduk, pundaknya nampak lebih tinggi dari yang lain
10. Allah bershalawat kepadanya di waktu pagi dan petang.

Kekhasan sifat Rasulullah saw sebenarnya sangat banyak dan tidak terbatas pada sepuluh sifat seperti di atas. Hadis-hadis yang meriwayatkan tentang sifat-sifat khas beliau saw ada yang bernilai shahih sanadnya, ada yang tidak shahih, dan ada yang masih diperselisihkan, sehingga menjadi persoalan khilafiyah di kalangan ulama.

Kajian para ulama di jaman dahulu tentang kekhasan sifat beliau saw adalah sekitar persoalan benar dan salahnya, sah dan batalnya, bukan pada persoalan kufur dan tidaknya. Kekhasan sifat beliau saw yang kami kutip di atas juga ada yang berdasarkan riwayat yang sanadnya shahih dan ada yang tidak shahih, ada yang pantas diterima dan ada yang tidak. Apa yang kami uraikan di atas adalah agar dijadikan sebagai dalil tentang betapa tolerannya para Muhadditsin (ulama/pakar hadis) sewaktu menukilnya. Maksud kajian mereka bukan diarahkan untuk mencari shahih atau tidaknya suatu riwayat, akan tetapi lebih dititikberatkan untuk direnungkan isi kandungannya.

 

   

========================================

*) Sumber : Diambil dari salah satu bagian dari kitab :
Judul Asli
: مفـاهـيم يجب أن تـصحح
Penulis
: Prof. DR. Sayyid Muhammad Alawi Al-Maliki
Alih Bahasa
: Achmad Suchaimi
Judul Terjemahan
: Pemahaman Yang Perlu Diluruskan (PYPD)

Minggu, 09 Juni 2013

PYPD - 17. Bertawassul Dengan Rasulullah SAW Sebelum Lahir ke Dunia



Oleh: Prof. DR.Sayyid Muhammad Alawi Al-Maliki


Nabi Adam as pernah bertawassul dengan perantaraan Rasulullah saw sebelum beliau terlahir ke dunia. Berdasarkan hadis yang diketengahkan oleh  Al-Hakim dalam kitabnya Al-Mustadrak : “Telah bercerita kepada kami Abu Sa’id Amer bin Muhammad bin Manshur, seorang yang adil. Bercerita kepada kami Abul Hasan Muhammad bin Ishaq bin Ibrahim al-Hanzhali. Bercerita kepada kami Abul Haris Abdullah bin Muslim al-Fihri. Bercerita kepada kami Ismail bin Maslamah. Bercerita kepada kami Abdurrahman bin Zaid bin Aslam. Dari bapaknya, dari kakeknya, dari Umar bin Khatthab ra, bahwa Rasulullah saw bersabda : “Sewaktu Nabi Adam melakukan kesalahan, lalu beliau berdoa : “Ya Rabb ! Aku memohon kepada-Mu dengan perantaraan Muhammad, agar Engkau memaafkanku”. Allah swt berfirman kepadanya: “Hai Adam ! Bagaimana Anda tahu nama Muhammad, sementara Aku belum menciptakannya ke dunia ?”. Adam menjawab: “Ya Rabb ! Sewaktu Engkau menciptakan aku dengan Tangan-Mu sendiri dan Engkau tiupkan sebagian ruh-Mu kedalam tubuhku, saat itu aku mengangkat wajahku ke ‘Arasy, lalu aku melihat bahwa di antara tiang-tiang penyangga ‘Arasy itu tertulis kalimat  La ilaha Illallah, Muhammadur Rasulullah (Tiada Tuhan selain Allah. Muhammad adalah utusan Allah), sehingga aku menjadi tahu bahwa Engkau tidak akan menyandarkan seorang makhluk kepada Asma’-Mu melainkan ia tentu seseorang yang paling Engkau cintai”. Allah swt berfirman : “Anda benar, hai Adam ! Sesungguhnya dia (Muhammad) adalah orang yang paling Aku cintai. Karena itu, berdoalah kepadaku dengan perantaraan hak dia, tentu Aku akan memaafkan dosa-dosa Anda. Sekiranya bukan karena Muhammad, tentu Aku tidak akan menciptakan Anda”. (HR Al-Hakim dalam kitab Al-Mustadrak, juz 2; hal.615. Beliau menilainya Shahih).
Al-Hafizh As-Suyuthy meriwayatkan hadis di atas dalam kitab Al-Khashaishun Nabawiyyah dan menilainya sebagai hadis shahih. Al-Qasthalany, Al-Zarqany dalam kitab Al-Mawahib al-Laduniyyah (juz 1; hal. 62) dan As-Subky dalam kitab Syifa-us Saqam, ketiga imam hadis tersebut menilainya sebagai hadis shahih. Sementara Al-Hafizh al-Haitsamy mengatakan : “Imam At-Thabrany meriwayatkan hadis tersdebut dalam kitab Al-Ausath, dan didalamnya ada rawy-rawy yang tidak aku kenal” (Majma’ al-Zawaid,  juz 8; hal. 253)
Teks hadis lainnya bersumber dari Ibnu Abbas ra : “Sekiranya bukan karena Muhammad, tentu Aku tidak menciptakan Adam, surga dan neraka”. Hadis ini diriwayatkan Al-Hakim dalam kitab Al-Mustadrak (juz 2 ; hal. 615), dengan diberi komentar : “Hadis ini sanadnya shahih”.
Hadis tersebut juga dinilai shahih oleh Syaikhul Islam Al-Baqilany dalam kitabnya Al-Fatawy. Syaikh Ibnu al-Jauzy mengutip hadis tersebut pada awal tulisannya dalam kitab Al-Wafa. Demikian pula Ibnu Katsir mengutip hadis tersebut dalam kitab Al-Bidayah juz 1; hal. 180.
Sebagian Ulama ada yang memperselisihkan kebasahan hadis di atas. Setelah membicaraan derajat hadis tersebut, mereka lalu menolaknya dan menempatkannya sebagai hadis maudhu’ (hadis palsu). Seperti Al-Dzahaby dan ulama lainnya. Sebagian mereka menilainya sebagai hadis dha’if (hadis lemah), dan sebagian lagi menilainya sebagai hadis munkar.
 Dari keterangan di atas maka tahulah kita bahwa mereka sangat berbeda dalam menilai derajat hadis tawassulnya Nabi Adam tersebut. Atas kenyataan itu, maka persoalannya sekrang adalah berkisar pada masalah penetapan (itsbat), penolakan, penerimaan dan pembekuan atau penundaan pembahasan terhadap hadis tersebut, disebabkan perselisihan mereka terletak pada menentukan derajat sebuah hadis. Perselisihan mereka terbatas pada pandangan mereka dari sudut sanad dan ketetapan hadis. Sementara dari sudut isi kandungannya, marilah kita tengok bagaimana komentar Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah 

  
1. Bukti kebenaran hadis tentang tawassulnya Nabi Adam

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengemukakan dua buah hadis sebagai bukti dan argumentasi tentang kebenaran adanya hadis tawassulnya Nabi Adam sebagaimana yang dikemukakan di atas :
Bukti Pertama : Abul Faraj bin al-Jauzy meriwayatkan hadis yang sanadnya sampai kepada Maisarah ra. Ia pernah bertanya kepada Rasulullah saw, “Sejak kapan engkau menjadi Nabi ?”. Beliau saw menjawab: Setelah Allah swt menciptakan bumi, Dia lalu menuju penciptaan langit dan membentangkannya menjadi tujuh lapis, kemudian menciptakan ‘arasy seraya menuliskan kalimat : La ilaha illallah. Muhammadur Rasulullah, Khatamun Nabiyyin (Tiada Tuhan selain Allah. Muhammad adalah utusan Allah, Penutup para Nabi) diatas tiang penyanggahnya. Selanjutnya Allah swt menciptakan sorga, tempat tinggal Nabi Adam dan Hawa’, lalu menuliskan namaku di atas pintu-pintunya, dedaunan, kubah-kubahnya tenda-tenda dan bangunan-bangunan di sorga. Sementara itu Nabi Adam masih berwujud antara ruh dan jasad. Sewaktu Allah swt menghidupkannya, lalu beliau melihat ke arah ‘arsy dan dilihatnya  namaku terpamppang di sana, kemudian Allah swt memberi tahu kepadanya bahwa nama Muhammad adalah  pemimpin anak keturunannya. Tatkala syetan berhasil menjerumuskan atau menipu Nabi Adam dan Hawa’, mereka berdua kemudian bertaubat dan memohon bantuan syafa’at kepada Allah swt dengan perantaraan namaku”.
Bukti Kedua : Abu Na’im al-Hafizh dalam kitab Dalailun Nubuwwah menyebutkan sebuah hadis dari jalur syaikh Abul Faraj: Telah bercerita kepada kami Sulaiman bin Ahmad; bercerita kepada kami Ahmad bin Rasyid; bercerita kepada kami Ahmad bin Sa’id al-Fihry; bercerita kepada kami Abdullah bin Isma’il al-Madany, dari Abdurrahman bin Zaid bin Aslam, dari ayahnya, dari sahabat Umar bin Khatthab ra, bahwa Rasulullah saw bersabda, “Sewaktu Nabi Adam as melakukan kesalahan, ia mengangkat kepalanya ke atas seraya berdoa: ‘Ya Rabb ! Berkat kebenaran Muhammad, ampunilah dosa-dosaku’. Kemudian Allah swt berfirman kepadanya :‘ Apa dan siapa Muhammad itu ?’. Beliau jawab : ‘Ya Rabb ! Sewaktu Engkau menyempurnakan penciptaan atas diriku, aku angkat kepalaku ke arah arasy-Mu, tidak tahunya di sana tertulis kalimat La ilaha illallah, Muhammadur Rasulullah, sehingga aku menjadi tahu bahwa dia adalah makhluk-Mu yang  paling mulia, disebabkan Engkau telah menyandingkan namanya dengan Nama-Mu’. Allah swt berfirman : ‘Benar, katamu ! Sekarang Aku ampuni dosa-dosamu. Memang dia adalah Nabi terakhir dari anak keturunanmu. Seandinya bukan karena dia, tentu Aku tidak akan menciptakanmu”.
Hadis di atas memperkuat hadis sebelumnya. Kedua hadis di atas adalah seperti tafsir terhadap hadis-hadis shahih. (Dikutip dari kitab Al-Fatawa, juz 2; hal.150 karya Ibnu Taimiyah).
Kami berpendapat, penjelasan tersebut menunjukkan bahwa hadis tawassul sebagaimana di atas, menurut Ibnu Taimiyah, pantas dijadikan sebagai dalil, argumentasi dan I’tibar. Karena hadis maudhu’  atau bathil tidak dapat dijadikan sebagai argumentasi menurut pendapat muhadditsin (para pakar di bidang ilmu hadis). Dengan demikian, Anda sekarang telah mengetahui bahwa Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah saja mau mengambil hadis tawassul tersebut sebagai argumentasi dan dijadikan sebagai penafsir atau penjelas terhadap hadis-hadis shahih lainnya.
Koreksi Ibnu Taimiyah mengenai pemahaman terhadap khushusiyyah Rasulullah saw . Dalam kitab Al-Fatawa, juz 11; hal. 96 beliau mengatakan, “Nabi Muhammad adalah pemuka para seluruh anak keturunan Nabi Adam. Dia seorang makhluk yang paling utama dan  mulia. Dari kekhususan Rasulullah saw tersebut, ada orang yang mengatakan bahwa Sesungguhnya Allah swt menciptakan alam semesta ini adalah karena Muhammad. Atau dengan kata lain : Seandainya bukan karena Muhammad, tentu Allah swt tidak akan menciptakan arasy, kursy, langit, bumi, matahari dan bulan. Akan tetapi  ini bukanlah sebuah hadis dari Rasulullah saw, baik shahih ataupun dha’if. Tidak seorang ahli hadis pun yang pernah meriwayatkannya. Tidak diketahui dari sahabat siapa. Bahkan tidak diketahui, siapa yang mengucapkannya pertama kali. Mungkin ini merupakan penafsiran terhadap firman Allah swt :
أَلَمْ تَرَوْا أَنَّ اللَّهَ سَخَّرَ لَكُمْ مَا فِي السَّمَوَاتِ وَمَا فِي الْأَرْض ِأَلَمْ تَرَوْا أَنَّ اللَّهَ سَخَّرَ لَكُمْ مَا فِي السَّمَوَاتِ وَمَا فِي الْأَرْضِ
“Tidakkah kamu perhatikan sesungguhnya Allah telah menundukkan untuk (kepentingan) mu apa yang di langit dan apa yang di bumi”  (QS Luqman,[31] : 20)
اللَّهُ الَّذِي خَلَقَ السَّمَوَاتِ وَالْأَرْضَ وَأَنْزَلَ مِنَ السَّمَاءِ مَاءً فَأَخْرَجَ بِهِ مِنَ الثَّمَرَاتِ رِزْقًا لَكُمْ وَسَخَّرَ لَكُمُ الْفُلْكَ لِتَجْرِيَ فِي الْبَحْرِ بِأَمْرِهِ وَسَخَّرَ لَكُمُ الْأَنْهَارَ(32)وَسَخَّرَ لَكُمُ الشَّمْسَ وَالْقَمَرَ دَائِبَيْنِ وَسَخَّرَ لَكُمُ اللَّيْلَ وَالنَّهَارَ(33)وَءَاتَاكُمْ مِنْ كُلِّ مَا سَأَلْتُمُوهُ وَإِنْ تَعُدُّوا نِعْمَةَ اللَّهِ لَا تُحْصُوهَا إِنَّ الْإِنْسَانَ لَظَلُومٌ كَفَّارٌ(34)
 Allah-lah yang telah menciptakan langit dan bumi dan menurunkan air hujan dari langit, kemudian Dia mengeluarkan dengan air hujan itu berbagai buah-buahan menjadi rezki untukmu, dan Dia telah menundukkan bahtera bagimu supaya bahtera itu berlayar di lautan dengan kehendak-Nya, dan Dia telah menundukkan (pula) bagimu sungai-sungai. Dan Dia telah menundukkan (pula) bagimu matahari dan bulan yang terus menerus beredar (dalam orbitnya); dan telah menundukkan bagimu malam dan siang. Dan Dia telah menundukkan (pula) bagimu matahari dan bulan yang terus menerus beredar (dalam orbitnya); dan telah menundukkan bagimu malam dan siang. Dan Dia telah memberikan kepadamu (keperluanmu) dari segala apa yang kamu mohonkan kepadanya. Dan jika kamu menghitung ni`mat Allah, tidaklah dapat kamu menghinggakannya. Sesungguhnya manusia itu, sangat zalim dan sangat mengingkari (ni`mat Allah).” (QS Ibrahim, [14] : 32-34)
Juga penafsiran terhadap ayat-ayat Al Qur’an yang sejenis yang menjelaskan bahwa Allah swt menciptakan seluruh makhluk-Nya adalah untuk keperluan anak keturunan Adam. Dan kita tahu bahwa Allah swt  melakukan yang demikian itu tentu ada hikmah lain yang besar, selain untuk kepentingan anak Adam. Bahkan hikmah lain tersebut justru lebih besar lagi. Namun secara khusus Allah swt menjelaskan kepada anak Adam sesuatu hikmah dan manfaat yang terkandung didalamnya, serta suatu nikmat yang dianugerahkan kepada mereka.
Jika ada yang mengatakan bahwa Allah swt berbuat begini dan begitu untuk ini dan itu, maka ini bukan berarti bahwa hal itu tidak terkandung suatu hikmah untuk yang lain. Demikian pula perkataan orang bahwa seandainya tidak karena ini dan itu, tentu Allah swt tidak akan menciptakan ini dan itu, adalah bukan berarti tiadanya tujuan dan hikmah lain yang lebih besar. Akan tetapi, Allah swt tetapi makna yang dikehendaki dari perkataan di atas adalah bahwa jika manusia yang paling saleh dari seluruh keturunan Adam adalah Muhammad, dan penciptaannya merupakan tujuan dan hikmah terbesar bila dibanding dengan penciptaan makhluk lainnya, maka berarti bahwa kesempurnaan penciptaan Allah swt dan puncak keutamaannya hanya tercapai dengan penciptaan Muhammad saw. Demikianlah yang diuraikan Ibnu Taimiyah dalam kitabnya Al-Fatawa.
 Analisis dan hasil kajian Ibnu Taimiyah yang dilupakan para pengikutnya:  Uraian selanjutnya merupakan hasil kajian beliau yang raib dari pengetahuan para pendukungnya yang menjelaskan tentang bukti-bukti kebenaran tawassulnya Nabi Adam, yakni bukti ketiga dan keempat, selain dua bukti di atas. Juga mengenai Khushushiyyah (keistimewaan dan kekhususan) yang dimiliki Rasulullah saw. Dalam persoalan ini Ibnu Taimiyah berkomentar, “Sesungguhnya pembicaraan ini ada segi-segi kebenarannya”.  
 Bukti Ketiga : Ibnu Mundzir didalam buku tafsirnya meriwayatkan hadis dari Muhammad bin Ali bin Husain bin Ali ra : “Sewaktu Nabi Adam melakukan kesalahan, ia benar-benar susah, kecewa dan menyesal. Datanglah malaikat Jibril kepadanya seraya berkata, “Hai Adam! Maukah Anda saya tunjukkan pintu taubatmu, sehingga Allah swt akan menerima taubatmu ?”. Nabi Adam menjawab, “Tentu saja aku mau, wahai Jibril !”. Malaikat Jibril berkata, “Bangkitlah dan carilah tempat untuk mermunajat kepada Tuhanmu. Muliakanlah Dia, karena tidak ada yang lebih Dia sukai kecuali ungkapan puji-pujian”. Beliau bertanya, “Bagaimana caranya, wahai Jibril!”. Jawab Jibril, “Bacalah doa dzikir ini
لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيْكَ لَهُ, لَهُ الْمُلْكُ وَ لَهُ الْحَمْدُ يُحْيِ وَ يُمِيْتُ وَ هُوَ حَيُّ لَا يَمُوْتُ, بِيَدِهِ الْخَيْرُ كُلُّهُ, وَ هُوَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيْرٌ.
Tiada tuhan selain Allah, Yang Maha Esa, tiada sekutu bagi-Nya. Bagi-Nya kerajaan dan bagi-Nya segala puji. Dialah Yang Menghidupkan dan mematikan. Dia Maha Hidup, tidak   akan mati. Dalam genggaman Kekuasaan-Nya lah seluruh kebaikan. Dan Dia Maha Kuasa atas segala sesuatu
Setelah itu, Anda akui semua kesalahanmu. Kemudian diteruskan membaca doa :
سُبْحَانَكَ اللَّهُمَّ وَ بِحَمْدِكَ, لَا اِلَهَ إِلاَّ اَنْتَ, رَبِّ إِنِّي ظَلَمْتُ نَفْسِي وَ عَمِلْتُ السُّوْءَ, فَاغْفِرْ لِي , إِنَّهُ لَا يَغْفِرُ الذُّنُوْبَ إِلَّا اَنْتَ. اَللَّهُمَّ إِنِّي أَسْأَلُكَ بِـجَاهِ مُحَمَّدٍ عَبْدِكَ وَ كَرَامَتِهِ عَلَيْكَ, أَنْ تَغْفِرَ لِي خَطِيْئَتِي.
Maha Suci Engkau, Ya Allah dan dengan segala puji bagi-Mu. Tiada tuhan selain Engkau. Ya Rabb ! Sesungguhnya aku telah menzalimi diriku sendiri dan telah melakukan kejelekan. Karena itu, ampunilah aku. Karena tiada yang mampu memgampuni dosa-dosa kecuali Engkau. Ya Allah ! Sesungguhnya aku memohon kepada-Mu dengan perantaraan kehormatan Muhammad, hamba-Mu, dan berkat kemuliaannya di sisi-Mu, kiranya Engkau berkenan memaafkan segala kesalahanku”.
 Selanjutnya Nabi Adam melaksanakan apa yang diperintahkan malaikat Jibril tersebut. Kemudian Allah swt berfirman kepadanya, “Hai Adam! Siapa yang mengajarimu ?”. Beliau menjelaskan, “Ya Rabb! Sewaktu Engkau meniupkan ruh kedalam jasadku, lalu aku menjadi hidup sebagaimana manusia pada umumnya. Aku mampu melihat, mendengar dan berfikir. Saat itu aku melihat ke atas tiang-tiang penyanggah arasy dan di sana tertulis : 
بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ. لَا إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيْكَ لَهُ. مُحَمَّدٌ رَسُوْلُ اللَّهِ
Dengan menyebut Asma Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Tiada tuhan selain Allah, Yang Maha Esa lagi tiada sekutu bagi-Nya. Muhammad utusan Allah”.
Sementara tidak terlihat nama seorang malaikat Muqarrabin pun yang disandingkan dengan Nama-Mu, dan juga tiada nama salah seorang Nabi dan Rasul selain nama Muhammad, sehingga tahulah aku sekarang, bahwa dia merupakan makhluk-Mu yang termulia” Selanjutnya Allah swt berfirman kepadanya, “Kamu benar! Taubatmu sekarang Aku terima dan dosa-dosamu Aku maafkan”. (Ad-Durrul Mantsur, karya As-Suyuthy, juz 1; hal. 146).
Muhammad bin Ali bin al-Husain adalah ayahnya Ja’far al-Baqir. Beliau salah seorang tabi’in yang sangat “tsiqah” (dapat dipercaya) dan menjadi pemimpin mereka. Enam Imam ahli hadis meriwayatkan hadis darinya. Cerita di atas juga diriwayatkan dari Ja’far bin Sa’id ra, Ibnu Umar ra, dan sahabat-sahabat lainnya.
Bukti Keempat : Abu Bakar al-Ajiri menjelaskan tentang tawassulnya Nabi Adam as didalam kitab Asy-Syari’ah : ”Bercerita kepada kami Harun bin Yusuf at-Tajir; bercerita kepada kami Abu Marwan al-Usmany; bercerita kepada kami Abu Usman al-Khalil, dari Andurrahman bin Abi al-Zanad, dari ayahnya, bahwa ia berkata tentang kalimat-kalimat doa yang menyebabkan Allah swt menerima taubatnya Nabi Adam as. Doa yang beliau baca adalah : “Allahumma inni as-aluka bihaqqi Muhammadin ‘alaika …” Allah swt berfirman kepada Nabi Adam, “Apa yang Anda ketahui tentang nama Muhammad?”. Beliau menjawab, “Ya Rabb ! Sewaktu aku mengangkat kepalaku ke atas, aku melihat sebuah tulisan di atas arasy-Mu yang berbunyi La ilaha illallah. Muhammadur Rasulullah. Sehingga tahulah aku sekarang, bahwa Muhammad adalah makhluk-Mu yang paling mulia”.
Atsar di atas bila dikombinasikan dan dihubungkan dengan hadisnya Abdurrahman bin Zaid akan semakin memperkuat kebenaran tawassul-nya Nabi Adam as kepada Allah swt dengan perantaraan “Nama” Nabi Muhammad saw.


2. Surga Terlarang  Bagi Para Nabi Sebelum Dimasuki Nabi Muhammad
 
Ini merupakan contoh penghormatan Allah swt kepada diri Nabi Muhammad saw, sebagaimana yang pernah dijelaskan didalam sebuah hadis Nabi dari Umar bin Khatthab ra. Rasulullah saw bersabda, “Surga diharamkan atas sekalian para Nabi sampai aku memasukinya terlebih dahulu dan diharamkan pula atas semua umat manusia sampai ummatku memasukinya terlebih dahulu.” (HR At-Thabrany dalam kitab Al Ausath). Al-Haitamy berkomentar bahwa sanadnya hasan. (Majma’ al-Zawaid juz 10; hal. 69).


3. Hubungan alam semesta dengan nama Nabi Muhammad.
Di antara wujud penghormatan dan pemuliaan Allah swt kepada Nabi Muhammad saw adalah tersebarnya nama Nabi Muhammad saw di surga. Ka’ab al-Akhbar mengatakan, “Sesungguhnya Allah swt menurunkan tongkat sebanyak jumlah para Nabi dan Rasul kepada Nabi Adam as. Kemudian beliau mendatangi putranya, Syits, seraya berkata : ‘Hai anakku! Engkau adalah penggantiku setelah aku wafat. Ambillah tongkat ini dengan penuh ketakwaan dan ikatan agama yang kuat. Setiiap kamu berdzikir menyebut nama Allah, sebut pula nama Muhammad untuk mengiringi Nama-Nya. Karena aku pernah melihat namanya tertulis di atas tiang-tiang penyanggah ‘arasy sewaktu aku masih berwujud antara ruh dan jasad. Aku menjelajahi semua sudut langit, tidak ada satu tempat pun melainkan di atasnya tertulis nama Muhammad. Tuhanku menempatkanku di sorga, dan akun tidak melihat satu pun istana, gedung, dan kamar-kamarnya melainkan tertulis di atasnya namanya. Sunguh aku melihat namanya tertulis di atas bagian dada para bidadari, di atas daun pohon “thuba” (khuldi), daun pintu “Sidratul Muntaha”, sudut-sudut tirai penutup “hijab”, dan di antara mata para malaikat. Oleh karenanya, perbanyaklah menyebut nama Muhammad, sebab para malaikat selalu menyebut namanya setiap saat’. (Al-Mawahib al-Laduniyyah, juz 1; hal. 186). Az-Zarqani memberikan komentarnya, “Atsar tersebut diriwayatkan oleh Ibnu Asakir”.
Ibnu Taimiyah menyebutkan khabar yang serupa dengan atsar di atas, yang menjelaskan bahwa Allah swt  menuliskan nama Nabi Muhammad di atas arasy, juga di atas pintu-pintu, kubah dan dedaunan sorga. Selain itu, masih banyak lagi atsar lainnya yang sesuai dan memperkuat kedudukan hadis-hadis tawassul di atas.
Ibnu al-Jauzy meriwayatkan dari Maisarah ra,  pernah ditanyakan kepada Rasulullah saw  : “Ya Rasulullah !  Sejak kapan Anda menjadi Nabi ?” “Sejak Allah swt menciptakan bumi. Dia lalu menuju ke langit dan membentangkannya menjadi tujuh lapis, kemudian Dia menciptakan ‘arasy dan menuliskan kalimat Muhammadurrasulullah, Khatamul Ambiya’ di atas tiang penyanggahnya. Dia menciptakan sorga tempat tinggal Nabi Adam dan Hawa’, lalu menuliskan namaku di atas pintu-pintu, dedaunan, istana, gedung dan kamar-kamarnya. Saat itu Nabi Adam dalam keadaan berupa antara ruh dan jasad. Sewaktu Allah swt menghidupkannya, ia melihat ke arah ‘arasy dan dilihatnya namaku. Kemudian Allah swt memberitahukannya bahwa Muhammad adalah adalah pemimpin anak-anak keturunannya. Setelah Iblis menipu dan menggelincirkan Nabi Adam dan Hawa’, keduanya lalu bertaubat dengan perantaraan menyebut namaku”. (Al-Fatawa, karya Ibnu Taimiyah, juz 2; hal. 150)
Berdasarkan hadis-hadis mengenai tawassulnya Nabi Adam melalui perantaraan menyebut nama Nabi Muhammad saw tersebut dapatlah diambil suatu pemahaman : inti dari sahnya tawassul antara lain adalah bahwa orang yang dijadikan sarana tawassul haruslah orang yang memiliki kedudukan yang terpuji, terhormat lagi berderajat tinggi di hadapan Allah swt , seperti para Nabi dan Rasul, khususnya Nabi Muhammad saw, ulama, auliya dan kaum shalihin lainnya. Baik mereka itu masih hidup maupun sesudah wafatnya.
Berdasarkan uraian di atas dapatlah diambil suatu pemahaman bahwa pendapat yang menyatakan : “Tawassul dengan perantaraan seseorang tidak sah kecuali semasa masih hidupnya di dunia” adalah pendapat orang yang menurutkan hawa nafsu dan tidak memperoleh hidayah Allah swt.

4. Kesimpulan Derajat Hadis Tawassul.
 Pada prinsipnya, hadis tawassulnya Nabi Adam di atas berderajat shahih  disertai dengan pembuktian dan argumentasi yang kuat, serta sering dinukil oleh kebanyakan ulama terkenal, para imam hadis, para hafizh (penghafal hadis) dan pakar hadis yang tidak perlu diragukan lagi reputasi, status dan keahliannya di bidang hadis. Bahkan mereka adalah orang-orang yang jujur lagi terpercaya dalam memelihara dan mengemban sunnah nabawiyyah, seperti Al-Hakim, as-Suyuthi, as-Subky dan al-Bulqiny.
Al-Baihaqy menukil hadis tawassul tersebut didalam kitabnya yang dinilai tidak pernah memuat hadis palsu, yang dikomentari oleh Adz-Dzahaby : “Ambillah kitab Al-Baihaqy, karena seluruh isinya merupakan petunjuk dan cahaya” . Demikianlah yang tertera didalam kitab Al-Mawahib al-Laduniyyah dan kitab-kitab lainnya.
Sementara itu, Ibnu Katsir menukil hadis tersebut didalam kitab Al-Bidayah  yang oleh Ibnu Taimiyah dijadikannya sebagai saksi atau penguat didalam kitabnya Al-Fatawa.
Di antara para ulama adalah yang berselisih pendapat tentang status hadis ini, lalu ditolaknya, dan sebagian yang lain menerimanya. Hal ini lumrah dan tidak aneh, karena sebagian hadis Nabi memang tidak lepas dari adanya perbedaan pendapat, bahkan malah lebih besar dan hebat, serta kritikannya lebih tajam daripada terhadap hadis tawassul ini. Oleh sebab itu, lahirlah karya-karya besar berupa kitab-kitab yang memuat istidlal, komentar, rujukan dan lainnya.
Namun yang perlu kita ingat adalah bahwa kitab-kitab tersebut tidak ditemukan adanya kalimat atau kata-kata yang menjurus kepada tuduhan “syirik”, “kufur”, “sesat”, “bid’ah”, dan “murtad”, hanya disebabkan perbedaan pendapat dalam menentukan status derajat suatu hadis, termasuk terhadap hadis tawassulnya Nabi Adam.


5. Tawassulnya orang Yahudi dengan Nabi akhir zaman
 
Allah swt berfirman :
وَلَمَّا جَاءَهُمْ كِتَابٌ مِنْ عِنْدِ اللَّهِ مُصَدِّقٌ لِمَا مَعَهُمْ وَكَانُوا مِنْ قَبْلُ يَسْتَفْتِحُونَ عَلَى الَّذِينَ كَفَرُوا فَلَمَّا جَاءَهُمْ مَا عَرَفُوا كَفَرُوا بِهِ فَلَعْنَةُ اللَّهِ  عَلَى الْكَافِرِينَ(89)
Dan setelah datang kepada mereka Al-Qur’an dari Allah yang membenarkan apa yang ada pada mereka, padahal sebelumnya mereka biasa memohon (kedatangan Nabi saw) untuk mendapatkan kemenangan atas orang-orang kafir, maka setelah datang kepada mereka apa yang telah mereka ketahui, mereka ingkar kepadanya. Maka laknat Allah-lah atas orang-orang yang ingkar itu”. (QS Al-Baqarah,2 : 89)
Al-Qurthuby menafsirkan potongan ayat : “Dan setelah datang kepada mereka”, maksudnya adalah orang-orang Yahudi. “Sebuah kitab”, maksudnya adalah Al-Qur’an. “Dari  Allah yang membenarkan apa yang ada pada mereka”, maksudnya dari Allah yang membenarkan kitab Taurat dan Injil yang membenarkan kabar kepada mereka tentang akan datangnya seorang Nabi akhir jaman, yakni Nabi Muhammad saw, “padahal mereka sebelumnya biasa memohon (kedatangan Nabi tersebut) untuk mendapatkan kemenangan ….”
Ibnu Abbas rs mengatakan, “Orang Yahudi Khaibar pernah memerangi orang kafir Ghathafan. Setelah berperang dengan mereka, kaum Yahudi kalah dan lari, lalu berdoa :
إِنَّا نَسْأَلُكَ بِحَقِّ النَّبِيِّ الْأُمِّيِّ الَّذِي وَعَدْتَنَا أَنْ تُخْرِجَهُ فِيْ أَخِرِ الزَّمَانِ أَنْ تَنْصُرَنَا عَلَيْهِمْ
“Ya Allah, Aku memohon kepada-Mu dengan perantaraan kebenaran seorang Nabi yang ummy (buta huruf) yang pernah Engkau janjikan kepada kami untuk dimunculkan pada akhir jaman. Kiranya Engkau menolong kami untuk mengalahkan mereka…”
Ibnu Abbas mengatakan lagi, bahwa kaum Yahudi ketika bertemu dengan kaum kafir Ghathafan, mereka berdoa seperti bacaan di atas, sehingga musuhnya lari berantakan. Namun setelah Nabi yang mereka idam-idamkan tersebut, yakni Nabi Muhammad saw,  benar-benar diutus, mereka mengingkari kenabian beliau saw. Karena itu, maka turunlah ayat :
   وَكَانُوا مِنْ قَبْلُ يَسْتَفْتِحُونَ عَلَى الَّذِينَ كَفَرُوا
… padahal sebelumnya mereka biasa memohon (kedatangan Nabi) untuk mendapatkan kemenangan atas orang-orang kafir…” (QS Al-Baqarah,[2]: 89)

dan seterusnya sampai akhir ayat. (Tafsir Al-Qurthuby, juz 2; hal: 26-27).



_____________________________________________________________
Sumber : diterjemahkan dari kitab "مفاهيم يجب ان تصحح".