Oleh Sayyid Muhammad Alawi Al-Maliki |
Para Nabi dan Rasul memiliki
keistimewaan dan kekhususan dalam kehidupan
di alam barzakh, yang tidak dimiliki oleh seluruh manusia pada umumnya
di alam yang sama. Meskipun sebagian manusia memiliki keistimewaan dan
kekhususan yang mirip dengan mereka.
KESEMPURNAAN KEHIDUPAN PARA
NABI DAN RASUL
Kehidupan barzakhiyah adalah
kehidupan yang hakiki, di mana para Arwah mampu mendengar, melihat, merasakan
dan saling mengenal antar sesama, baik dia seorang mukmin maupun kafir. Hak
untuk hidup, menerima rizki dan kenikmatan, serta kesempatan untuk memasuki
calon surganya bukanlah monopoli para syuhada’ saja, sebagaimana yang
disimpulkan dari beberapa hadis Nabi. Dan ini merupakan keyakinan dan akidah
yang dipegangi para Imam dan para ulama Ahlus Sunnah. Dari sini dapat
disimpulkan bahwa kehidupan para Nabi dan Rasul di alam barzah tentu lebih
mulia, lebih sempurna dan lebih agung daripada yang dialami oleh selain mereka.
Dalam kehidupan di alam dunia
ini, manusia memiliki tingkatan, derajat dan martabat yang berbeda. Di antara
mereka ada yang berada dalam tingkatan “mati dalam hidup”. Mereka memang
masih hidup, akan tetapi mereka bagaikan orang yang mati, disebabkan hidupnya tidak bermanfaat, baik untuk dirinya
sendiri maupun untuk yang lain. Allah swt menyinggung keadaan mereka tersebut
didalam firman-Nya :
لَهُمْ
قُلُوبٌ لَا يَفْقَهُونَ بِهَا وَلَهُمْ أَعْيُنٌ لَا يُبْصِرُونَ بِهَا وَلَهُمْ
ءَاذَانٌ لَا يَسْمَعُونَ بِهَا أُولَئِكَ كَالْأَنْعَامِ بَلْ هُمْ أَضَلُّ
أُولَئِكَ هُمُ الْغَافِلُونَ(179)
“…mereka mempunyai hati, tetapi tidak dipergunakannya
untuk memahami (ayat-ayat Allah) dan mereka mempunyai mata (tetapi) tidak
dipergunakannya untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah), dan mereka
mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakannya untuk mendengar (ayat-ayat
Allah). Mereka itu sebagai binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi.
Mereka itulah orang-orang yang lalai”. (QS Al-A’raf,[7] : 179)
Diantara mereka ada yang hidup
dalam suatu derajat seperti yang dilukiskan Allah swt dalam firman-Nya :
أَلَا
إِنَّ أَوْلِيَاءَ اللَّهِ لَا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلَا هُمْ يَحْزَنُونَ(62)
“Ingatlah, sesungguhnya wali-wali Allah itu, tidak ada
kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati.” (QS
Yunus,[10] : 62).
Di antara mereka lagi ada yang
hidup di dunia seperti yang digambarkan Allah swt dalam firman-Nya berikut ini
:
قَدْ
أَفْلَحَ الْمُؤْمِنُونَ(1). الَّذِينَ هُمْ فِي صَلَاتِهِمْ خَاشِعُونَ(2). وَالَّذِينَ هُمْ عَنِ اللَّغْوِ مُعْرِضُونَ(3). وَالَّذِينَ هُمْ لِلزَّكَاةِ فَاعِلُونَ(4). وَالَّذِينَ هُمْ لِفُرُوجِهِمْ حَافِظُونَ(5). إِلَّا عَلَى أَزْوَاجِهِمْ أوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُهُمْ
فَإِنَّهُمْ غَيْرُ مَلُومِينَ(6). فَمَنِ
ابْتَغَى وَرَاءَ ذَلِكَ فَأُولَئِكَ هُمُ الْعَادُونَ(7). وَالَّذِينَ هُمْ لِأَمَانَاتِهِمْ وَعَهْدِهِمْ رَاعُونَ(8). وَالَّذِينَ هُمْ عَلَى صَلَوَاتِهِمْ يُحَافِظُونَ(9). أُولَئِكَ هُمُ الْوَارِثُونَ (10). الَّذِينَ يَرِثُونَ الْفِرْدَوْسَ هُمْ فِيهَا خَالِدُونَ (11).
“Sesungguhnya
beruntunglah orang-orang yang beriman, (yaitu) orang-orang yang khusyu` dalam
shalatnya, dan orang-orang yang menjauhkan diri dari (perbuatan dan perkataan)
yang tiada berguna, dan orang-orang yang menunaikan zakat, dan orang-orang yang
menjaga kemaluannya, kecuali terhadap isteri-isteri mereka atau budak yang
mereka miliki; maka sesungguhnya mereka dalam hal ini tiada tercela.
Barangsiapa mencari yang di balik itu maka mereka itulah orang-orang yang
melampaui batas. Dan orang-orang yang memelihara amanat-amanat (yang
dipikulnya) dan janjinya, dan orang-orang yang memelihara sembahyangnya. Mereka
itulah orang-orang yang akan mewarisi, (ya`ni) yang akan mewarisi surga
Firdaus. Mereka kekal di dalamnya.” (QS Al-Mukminun,[23] : 1-11).
إِنَّهُمْ
كَانُوا قَبْلَ ذَلِكَ مُحْسِنِينَ(16). كَانُوا
قَلِيلًا مِنَ اللَّيْلِ مَا يَهْجَعُونَ(17). وَبِالْأَسْحَارِ هُمْ يَسْتَغْفِرُونَ(18)
“Sesungguhnya
mereka sebelum itu di dunia adalah orang-orang yang berbuat baik; Mereka
sedikit sekali tidur di waktu malam; Dan di akhir-akhir malam mereka memohon
ampun (kepada Allah).” (QS Adz-Dzariyat,[51] : 16-18)
Demikian pula didalam kehidupan
di alam barzakh, para arwah manusia hidup dalam tingkat, derajat dan martabat
yang berbeda, sebagaimana yang digambarkan Allah swt didalam firman-Nya :
وَمَنْ
كَانَ فِي هَذِهِ أَعْمَى فَهُوَ فِي الْآخِرَةِ أَعْمَى وَأَضَلُّ سَبِيلًا(72)
“Dan
barangsiapa yang buta (hatinya) di dunia ini, niscaya di akhirat (nanti) ia
akan lebih buta (pula) dan lebih tersesat dari jalan (yang benar).” (QS
Al-Isra’,[17] : 72).
Adapun para Nabi dan Rasul,
sebenarnya kehidupan mereka, rizki yang mereka terima, pengenalan mereka,
pendengaran mereka, pengetahuan dan perasaan mereka jelas jauh lebih sempurna,
lebih tinggi dan lebih mulia daripada selain mereka. Hal ini beralasan dengan
firman Allah swt yang menjelaskan tentang hak-hak yang diterima para syuhada’ :
وَلَا
تَحْسَبَنَّ الَّذِينَ قُتِلُوا فِي سَبِيلِ اللَّهِ أَمْوَاتًا بَلْ أَحْيَاءٌ
عِنْدَ رَبِّهِمْ يُرْزَقُونَ (169). فَرِحِينَ بِمَا ءَاتَاهُمُ اللَّهُ مِنْ فَضْلِهِ وَيَسْتَبْشِرُونَ
بِالَّذِينَ لَمْ يَلْحَقُوا بِهِمْ مِنْ خَلْفِهِمْ أَلَّا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ
وَلَا هُمْ يَحْزَنُونَ (170).
يَسْتَبْشِرُونَ بِنِعْمَةٍ مِنَ اللَّهِ وَفَضْلٍ وَأَنَّ اللَّهَ لَا يُضِيعُ
أَجْرَ الْمُؤْمِنِينَ (171). الَّذِينَ اسْتَجَابُوا لِلَّهِ وَالرَّسُولِ مِنْ بَعْدِ مَا أَصَابَهُمُ
الْقَرْحُ لِلَّذِينَ أَحْسَنُوا مِنْهُمْ وَاتَّقَوْا أَجْرٌ عَظِيمٌ (172)
“Janganlah
kamu mengira bahwa orang-orang yang gugur di jalan Allah itu mati; bahkan
mereka itu hidup di sisi Tuhannya dengan mendapat rezki. mereka dalam keadaan
gembira disebabkan karunia Allah yang diberikan-Nya kepada mereka, dan mereka
bergirang hati terhadap orang-orang yang masih tinggal di belakang yang belum
menyusul mereka, bahwa tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula)
mereka bersedih hati. Mereka bergirang hati dengan ni`mat dan karunia yang
besar dari Allah, dan bahwa Allah tidak menyia-nyiakan pahala orang-orang yang
beriman. (Yaitu) orang-orang yang menta`ati perintah Allah dan Rasul-Nya
sesudah mereka mendapat luka (dalam peperangan Uhud). Bagi orang-orang yang
berbuat kebaikan di antara mereka dan yang bertakwa ada pahala yang besar.” (QS
Ali Imran,[3] : 169-172)
Jika yang dinamakan “Hidup” adalah
tetapnya Ruh, sementara yang namanya Ruh tidak mengalami
kerusakan, baik ruh para syuhada’ maupun
selainnya. Dengan demikian, maka tidak benar jika pujian dan kemasyhuran
merupakan hak istimewa yang hanya dimonopoli oleh para Syuhada’.
Orang-orang selain mereka pun juga berhak mendapatkan hal yang serupa, karena
kedua golongan tersebut adalah sama-sama manusia yang berbentuk Ruh dan
sama-sama hidup di alam barzah, tentu saja kedunya akan mendapatkan hak yang
serupa. Pandangan seperti inilah yang benar, sebagaimana yang dikemukakan para
pakar semacam Ibnul Qayyim didalam bukunya, Ar-Ruh. Hanya saja, wujud
keistimewaan hak (dipuji dan terkenal) yang diperoleh para syuhada’ jelas lebih
banyak daripada yang diperoleh selainnya. Jika tidak dalam pengertian seperti
itu, maka sia-sialah penyebutan “Hidupnya para syuhada’” didalam ayat di
atas. Bahkan Allah swt sendiri melarang kita untuk mengatakan bahwa mereka
sudah mati :
وَلَا
تَقُولُوا لِمَنْ يُقْتَلُ فِي سَبِيلِ اللَّهِ أَمْوَاتٌ بَلْ أَحْيَاءٌ وَلَكِنْ
لَا تَشْعُرُونَ(154)
“Dan
janganlah kamu mengatakan terhadap orang-orang yang gugur di jalan Allah,
(bahwa mereka itu) mati; bahkan (sebenarnya) mereka itu hidup, tetapi kamu
tidak menyadarinya.” ( QS Al-Baqarah,[2] : 154).
Dari uraian di atas dapat kita
tarik suatu pemahaman bahwa para syuhada’, pada hakekatnya, adalah masih hidup,
yakni hidup di alam barzakh. Demikian pula orang-orang mati selain mereka juga
mengalami kehidupan di alam barzakh. Hanya saja tingkat kehidupan para Syuhada’
jauh lebih sempurna dan lebih mulia daripada
selainnya.
Banyak nash-nash yang secara
lahiriah menjelaskan bahwa Arwah para
syuhada’ mendapatkan rizki, merasakan kenikmatan, berkesempatan mengunjungi
calon surganya, bahkan memakan buah-buahan surga. Arwah mereka dapat merasakan
kenikmatan makanan dan minuman secara sempurna, dengan perasaan dan kelezatan
yang sempurna pula. Mereka mampu mendengar suatu pembicaraan dan mampu memahami
maksud pembicaraan, seperti yang dijelaskan didalam sebuah hadis Nabi : “Sesungguhnya
Allah swt berkata kepada mereka: ‘Apa yang kalian gemari?’ Mereka jawab:
‘Begini dan begitu’. Sehingga terjadilah dialog antara Allah swt dan mereka.
Mereka memohon dikembalikan lagi ke dunia, agar bisa mengikuti Jihad fi
Sabilillah lagi. Mereka juga memohon agar Allah swt menyampaikan suatu risalah
atau missi mereka untuk ditujukan kepada teman-temannya di dunia yang intinya
menjelaskan betapa mulianya Jihad fi Sabilillah sehingga menyebabkannya
dimuliakan Allah swt. Maka Allah swt berfirman kepada mereka: ‘Aku akan
menyampaikan pesan dan misi kalian’”.
Arwah para
Syuhada’ saja memperoleh penghormatan dan kemuliaan yang begitu tinggi di sisi
Allah swt, apalagi arwah para Nabi dan Rasul, tentu mereka memperoleh lebih
dari apa yang diperoleh para syuhada’, disebabkan dua alasan :
Pertama. Martabat yang diberikan Allah swt kepada para syuhada’
merupakan penghormatan-Nya kepada mereka. Akan tetapi, tiada martabat yang lebih
tinggi selain martabatnya para Nabi dan Rasul. Mustahil para syuhada’
memperoleh keistimewaan dan kesempurnaan, sementara para Nabi dan Rasul tidak,
terutama kesempurnaan dalam hal kedekatannya dengan Allah swt, memperoleh
derajat, kenikmatan dan keramahan dari Allah swt.
Kedua. Martabat yang diperoleh para syuhada’ merupakan hasil jerih
payahnya dalam mengikuti Jihad fi Sabilillah. Sementara itu, Nabi Muhammad saw
adalah orang yang mengajarkan atau memberi petunjuk kepada kita dan kepada
kepada mereka sewaktu di dunia tentang betapa pentingnya berjihad fi
Sabilillah, lalu mengajak mereka berjihad.
Beliau saw bersabda : “Barangsiapa
yang merintis suatu jalan menuju kebaikan, maka ia akan memperoleh pahala (atas
usaha rintisannya itu) dan pahala akibat dari orang yang mengikutinya, hingga
hari kiamat”. Pada kesempatan yang
lain beliau saw bersabda lagi : “Barangsiapa yang mengajak orang ke jalan
hidayah, maka dia akan memperoleh pahala seperti pahala yang diperoleh orang
yang mengikuti ajakannya, dan tidak dikurangi sedikit pun”. Dan masih banyak lagi hadis shahih
yang berkaitan dengan persoalan ini.
Dari sini dapat disimpulkan
bahwa setiap pahala yang diperoleh para syuhada’, juga akan diperoleh oleh
Rasulullah saw, karena mereka menjadi syuhada’ adalah berkat usaha, petunjuk,
ajakan, bimbingan dan dorongan beliau saw untuk mengikuti Jihad fi
Sabilillah. Dengan demikian, beliau saw pun akan memperoleh pahala yang
sama seperti yang diperoleh para syuhada’ di alam barzakh, meskipun beliau saw
tidak mati syahid. Bahkan pahala beliau saw jauh lebih besar dan agung dari
pada yang mereka terima, disebabkan keutamaan beliau saw terhadap mereka.
Kehidupan barzakhiyah para Nabi
dan Rasul, khususnya Nabi Muhammad saw, jelas lebih agung, lebih mulia dan
lebih sempurna daripada yang pernah digambarkan oleh orang-orang yang bodoh lagi dungu. Mereka menyangka bahwa
kehidupan barzakhiyah sama persis seperti kehidupan duniawiyah. Para arwah
makan, minum, pergi ke kamar kecil untuk berak dan kencing, dan lain-lain,
persis seperti aktifitas sehari-hari kita di dunia. Para arwah keluar dari
kuburnya untuk menghadiri majlis dzikir, pengajian, semaan Al-Qur’an, berbagi
suka dan duka dengan masyarakat atau keluarga yang masih hidup, lalu mereka
pulang ke kuburannya, yakni liang lahad yang sempit, yang berukuran kurang
lebih 1 x 2 meter, pengap dan gelap. Kehidupan barzakhiyah sama sekali tidak
seperti yang digambarkan orang-orang bodoh itu. Kehidupan barzakhiyah para Nabi
dan Rasul yang hakiki adalah kehidupan yang serba sempurna dan lengkap. Mereka
sempurna perasaannya, pengetahuannya maupun pengenalannya; suatu kehidupan yang
serba baik, lengkap, indah serta dalam suasana penuh bacaan doa, tasbih,
tahlil, tahmid dan shalat.
PARA NABI MELAKUKAN SHALAT DAN
IBADATAN LAINNYA DI KUBURNYA
Para Nabi didalam alam barzakh
melakukan shalat, dalam pengertian yang sesungguhnya, bukan shalat
khayalan. Beberapa hadis Nabi menjelaskan tentang keadaan mereka itu.
Diantaranya hadis yang bersumber dari Anas bin Malik ra, yang menjelaskan bahwa
Rasulullah saw bersabda : “Para Nabi itu hidup didalam kuburnya. Mereka
melakukan shalat”. (HR Abu Ya’la dan Al-Bazzar didalam kitab Majma’
a-Zawaid, juz 8, hal. 211). Imam Al-Baihaqy juga mengetengahkan hadis
tersebut didalam Risalah-nya.
Didalam riwayat yang lain, dari
Anas bin Malik ra dituturkan bahwa Rasulullah saw bersabda : “Sesungguhnya
para Nabi tidak meninggalkan tempat didalam kuburnya setelah empat puluh malam,
akan tetapi mereka terus melakukan shalat di hadapan Allah swt sampai terompet
sangkakala hari kiamat dibunyikan”.
Al-Baihaqy mengatakan, “Jika
teks hadis tersebut benar, maka yang dimaksudkannya – Wallaahu a’lam –
adalah mereka selalu melakukan shalat di hadapan Allah swt”. Dia
mengatakan lagi, bahwa kehidupan mereka di alam barzah banyak dijelaskan
didalam beberapa hadis shahih seperti sabda Rasulullah saw : “Aku
melewati Nabi Musa as (pada waktu isra’-mi’raj) yang sedang melakukan shalat di
kuburnya”. (HR Al-Baihaqy)
Hadis yang lain menceritakan :
“Seperti yang engkau ketahui, bahwa aku berada di tengah jamaah para Nabi.
Aku menyaksikan Nabi Musa sedang melaksanakan shalat. Aku melihat Nabi Isa juga
melakukan shalat, wajahnya mirip dengan ‘Urwah bin Mas’ud ats-Tsaqafy. Dan aku melihat Nabi Ibrahim shalat, wajahnya
mirip dengan teman kalian (yakni mirip Rasulullah saw sendiri). Setelah tiba
waktu shalat jamaah, akulah yang menjadi Imamnya. Selesai shalat, malaikat
Jibril mengatakan kepadaku: ‘Hai Muhammad! Ini malaikat Malik, penjaga neraka.
Ucapkan salam kepadanya’. Kemudian aku menoleh kepadanya, ternyata ia
mendahuluiku mengucapkan salam kepadaku”.(HR Hadis ini diriwayatkan oleh
Imam Muslim, bersumber dari Anas bin Malik ra, didalam kitab Shahih Muslim, juz
2, hal. 268. Juga diketengahkan oleh Abdurrazzaq dalam bukunya, Al-Mushannaf,
juz 3, hal. 577).
Al-Baihaqy didalam bukunya, Ad-Dalailun
Nubuwwah, mengetengahkan hadis Shahih dari Sulaiman at-Taimy dan
Tsabit al-Banany, dari Anas bin Malik ra, bahwa Rasulullah saw bersabda : “Aku
Temui Nabi Musa as pada malam Isra’ dan Mi’raj. Dia berada di bukit pasir
merah dalam keadaan berdiri melaksanakan shalat didalam kuburnya”. Dan hadis ini juga diketengahkan oleh Imam
Muslim didalam Shahih-nya juz 2; hal. 268.
Tidak dapat
diingkari bahwa Rasulullah saw memperoleh keringanan dari kewajiban menjalankan
shalat 50 waktu menjadi 5 waktu dalam sehari semalam adalah berkat usulan dan
nasehat Nabi Musa as. Meskipun Nabi musa as sudah wafat, namun dia dapat
menjadi penyebab Rasulullah saw, dan juga umat Islam, mendapatkan keuntungan,
yakni keringanan menjalankan shalat. Semula Rasulullah saw dibebani menjalankan
perintah shalat 50 waktu, kemudian beliau musyawarahkannya dengan Nabi Musa dan
dia menyarankan : “Mintalah kepada Tuhanmu keringanan, karena umatmu tidak
akan mampu melakukannya” , dan seterusnya sampai beliau saw mendapatkan
keringanan shalat 5 waktu.
Yang menjadi pertanyaan kita
adalah, Apakah kembalinya beliau saw menghadap Allah swt untuk memohon
keringanan tersebut dalam pengertian yang sesungguhnya ataukah khayalan? Apakah peristiwa tersebut terjadi pada diri
beliau saw dalam keadaan jaga/sadar ataukah di tengah tidurnya? Apakah
peristiwa tersebut benar ataukah bohong? Apakah Nabi Musa saat itu mati ataukah
hidup sehingga dia bisa memberi saran kepada beliau saw agar meminta keringanan
kepada Allah swt ?
Al-Hakim mengetengahkan hadis shahih dari
jalan Ibnu Abbas ra, bahwa Rasulullah saw pernah lewat di suatu lorong jalan
menuju ke satu bukit, kemudian bertanya kepada para sahabat : “Apa ini?”. Jawab
para sahabat : “Lorong jalan menuju ke bukit ini dan itu!”. Beliau saw
bersabda : “Seakan-akan aku melihat Nabi Yunus as yang sedang berada di atas
ontanya yang tali kekangnya terbuat dari tali sabut, ia berpakaian jubah dari
bulu domba, seraya membaca Talbiyah : Labbaikaalloohumma labbaik”. (Tersebut
didalam kitab Ad-Durrul Mantsur, juz 4, hal. 234).
Riwayat yang lain menjelaskan
bahwa Rasulullah saw pernah melewati daerah Wady al-Arzaq, kemudian
bersabda : “Sepertinya aku melihat Nabi Musa as yang turun dari Tsaniyyah
(Lorong jalan menuju ke bukit) seraya membaca Talbiyah”. Kemudian beliau saw melewati lorong jalan
menuju ke bukit Harsya dan bersabda : “Sepertinya aku melihat Nabi
Yunus bin Matta di atas onta yang berbulu kemerah-merahan . Dia berpakaian
jubah dari wol dan tali kekangnya dari sabut, sambil membaca Talbiyah terus
menerus”.
Didalam hadis yang lain juga
diceritakan sabda beliau saw : “Sepertinya aku melihat Nabi Musa yang sedang
meletakkan kedua tangannya untuk menutupi kedua telinganya”.
Semua hadis di atas shahih dan
sudah kami jelaskan di muka bahwa selama dalam perjalanan Isra’-Mi’raj,
Rasulullah saw menjadi imam shalat jamaah, di mana yang menjadi makmumnya
adalah para Nabi, seperti Nabi Musa, Isa, Yunus dan lain-lain. Peristiwa
tersebut tidak dapat dikatakan sebagai peristiwa yang dialami beliau saw dalam
keadaan mimpi di tengah tidurnya. Sesungguhnya kata "أَرَانِـي" (Allah memperlihatkan kepadaku) mengisyaratkan
peristiwa mimpi di tengah tidur sedangkan peristiwa Isra’-Mi’raj yang shahih,
sebagaimana yang disepakati para ulama salaf dan khalaf adalah
terjadi dalam keadaan Yaqazhah (terjaga, tidak tidur). Kalau pun benar
bahwa peristiwa tersebut dialami beliau saw di saat mimpi dalam tidurnya, maka
mimpinya para Nabi adalah mimpi yang Haq (benar).
KEUTUHAN JASAD PARA NABI
Hadis dari Aus bin Aus ra
menjelaskan, bahwa Rasulullah saw bersabda : “Sesungguhnya hari-harimu yang
paling utama adalah hari jum’at. Pada hari itulah Nabi Adam as diciptakan dan
diwafatkan. Dan di hari itu pula terompet sangkakala kiamat mulai dibunyikan
dan alam semesta hancur berantakan. Oleh karena itu, perbanyaklah kalian
bershalawat kepadaku di hari jum’at, karena shalawat tersebut akan disampaikan
Allah swt kepadaku”. Di antara sahabat ada yang bertanya : “Bagaimana
mungkin bacaan shalawat kami akan sampai kepada engkau, sementara jasad engkau
(setelah wafat nanti) bakal rusak”. Beliau saw menjawab : “Sesungguhnya
Allah swt mengharamkan bumi merusakkan jasad para Nabi”.
Hadis tersebut diketengahkan
oleh Sa’id bin Manshur, Ibnu Syaibah, dan Imam Ahmad bin Hambal didalam Musnad-nya,
serta Ibnu Abi ‘Ashim, Abu Dawud, An-Nasaiy dan Ibnu Majah didalam kitab-kitab
“Sunnah” mereka. Juga diriwayatkan At-Thabrany didalam Mu’jam-nya,
Ibnu Huzaimah, Ibnu Hibban dan Al-Hakim didalam kitab-kitab “Shahih”
mereka. Sementara Al-Baihaqy meriwayatkannya didalam bab “Hayatul Anbiya’ wa
Syu’abul Iman” didalam beberapa kitab karangannya.
Ibnul Qayyim mengatakan didalam
bukunya, “Ar-Ruh”, yang dinukil dari pendapat Abdullah
al-Qurthuby, bahwa Hadis-hadis shahih dari Rasulullah saw menjelaskan bahwa : 1) bumi tidak akan
menghancurkan jasad para Nabi; 2)
Rasulullah saw berkumpul dengan para Nabi pada malam Isra’-Mi’raj di Baitul
Maqdis dan di langit, terutama bertemu dengan Nabi Musa as; 3) tak seorang
muslim pun yang mengucapkan Salam kepada Nabi Muhammad saw melainkan Allah swt
akan mengembalikan ruhnya kedalam jasadnya, sehingga beliau saw dapat
mengembalikan ucapan salam kepada orang itu. Kesemuanya itu menunjukkan bahwa
yang dimaksud dengan pernyataan “Para Nabi sudah wafat” adalah dalam
pengertian mereka telah menghilang dari
pandangan mata kita, disebabkan karena kita tidak mampu melihat mereka dengan
mata kepala, namun pada hakekatnya mereka benar-benar “maujud” dan
“hidup”, yakni hidup di alam barzah. Sama halnya dengan keberadaan para
malaikat, meskipun kita tidak mampu melihat wujud mereka dengan mata kepala,
akan tetapi mereka itu benar-benar hidup dan maujud.
Syaikh Muhammad as-Safariny
al-Hambali mengemukakan pendapatnya Al-Qurthuby didalam kitabnya, Syarh Aqidah
Ahlissunnah : “ Abdullah Al-Qurthuby pernah mengatakan, bahwa
gurunya yang bernama Ahmad bin Umar al-Qurthuby menjelaskan: “Mati tidak
sama dengan Tiada, atau Mati tidak berarti benar-benar menjadi Tiada. Akan
tetapi, Mati pada dasarnya adalah suatu perpindahan dari suatu keadaan kepada
keadaan yang lain. Sebagaimana yang ditunjukkan oleh dalil syar’iy, bahwa para
syuhada’ (setelah kematiannya di medan perang) benar-benar hidup di sisi
Tuhannya dalam keadaan merasakan kenikmatan, rizki dan kesenangan”
Jika para syuhada’ (yang
jelas-jelas sudah gugur/mati) saja dikatakan “masih hidup di sisi Tuhannya”,
apalagi para Nabi, tentu mereka lebih dari itu. Imam Al-Qurthuby menuturkan
bahwa jasad para Nabi utuh dan tidak akan rusak berdasarkan hadis shahih dari
Jabir ra yang menjelaskan bahwa bapaknya dan ‘Amr bin Jamuh adalah dua orang
sahabat Nabi yang mati syahid pada waktu perang Uhud. Mereka berdua
dikubur didalam satu lubang. Setelah melewati waktu kurang lebih 45 tahun,
kuburannya dibongkar. Ternyata jasad mereka masih utuh dan bekas lukanya pun
tak berubah, tetap seperti waktu terbunuh.
Al-Imam Al-Hujjah Abu Bakar bin
al-Husain al-Al-Baihaqy menulis sebuah Risalah yang secara khusus
mengkaji tentang “Kehidupan para Nabi dan Keutuhan Jasadnya”, dengan menyebutkan
sejumlah hadis untuk mendukung pendapatnya. Demikian pula Jalaluddin
as-Suyuthy.
==============================================
*)
Sumber : Diambil dari salah satu bagian dari kitab :
|
|
Judul
Asli
|
:
مفـاهـيم يجب أن تـصحح
|
Penulis
|
:
Prof. DR. Sayyid Muhammad Alawi Al-Maliki
|
Alih
Bahasa
|
:
Achmad Suchaimi
|
Judul
Terjemahan
|
:
Pemahaman Yang Perlu Diluruskan (PYPD)
|