Tampilkan postingan dengan label Kehidupan barzakhiyah. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Kehidupan barzakhiyah. Tampilkan semua postingan

Sabtu, 20 Juli 2013

PYPD - 40. KEKHUSUSAN PARA NABI DALAM KEHIDUPAN BARZAKHIYAH *)



Oleh Sayyid Muhammad Alawi Al-Maliki



Para Nabi dan Rasul memiliki keistimewaan dan kekhususan dalam kehidupan  di alam barzakh, yang tidak dimiliki oleh seluruh manusia pada umumnya di alam yang sama. Meskipun sebagian manusia memiliki keistimewaan dan kekhususan yang mirip dengan mereka.



KESEMPURNAAN KEHIDUPAN PARA NABI DAN RASUL

Kehidupan barzakhiyah adalah kehidupan yang hakiki, di mana para Arwah mampu mendengar, melihat, merasakan dan saling mengenal antar sesama, baik dia seorang mukmin maupun kafir. Hak untuk hidup, menerima rizki dan kenikmatan, serta kesempatan untuk memasuki calon surganya bukanlah monopoli para syuhada’ saja, sebagaimana yang disimpulkan dari beberapa hadis Nabi. Dan ini merupakan keyakinan dan akidah yang dipegangi para Imam dan para ulama Ahlus Sunnah. Dari sini dapat disimpulkan bahwa kehidupan para Nabi dan Rasul di alam barzah tentu lebih mulia, lebih sempurna dan lebih agung daripada yang dialami oleh selain mereka.

Dalam kehidupan di alam dunia ini, manusia memiliki tingkatan, derajat dan martabat yang berbeda. Di antara mereka ada yang berada dalam tingkatan “mati dalam hidup”. Mereka memang masih hidup, akan tetapi mereka bagaikan orang yang mati, disebabkan  hidupnya tidak bermanfaat, baik untuk dirinya sendiri maupun untuk yang lain. Allah swt menyinggung keadaan mereka tersebut didalam firman-Nya :

لَهُمْ قُلُوبٌ لَا يَفْقَهُونَ بِهَا وَلَهُمْ أَعْيُنٌ لَا يُبْصِرُونَ بِهَا وَلَهُمْ ءَاذَانٌ لَا يَسْمَعُونَ بِهَا أُولَئِكَ كَالْأَنْعَامِ بَلْ هُمْ أَضَلُّ أُولَئِكَ هُمُ الْغَافِلُونَ(179)

“…mereka mempunyai hati, tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami (ayat-ayat Allah) dan mereka mempunyai mata (tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakannya untuk mendengar (ayat-ayat Allah). Mereka itu sebagai binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi. Mereka itulah orang-orang yang lalai”. (QS Al-A’raf,[7] : 179)

Diantara mereka ada yang hidup dalam suatu derajat seperti yang dilukiskan Allah swt dalam firman-Nya :

أَلَا إِنَّ أَوْلِيَاءَ اللَّهِ لَا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلَا هُمْ يَحْزَنُونَ(62)

Ingatlah, sesungguhnya wali-wali Allah itu, tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati.” (QS Yunus,[10] : 62).

Di antara mereka lagi ada yang hidup di dunia seperti yang digambarkan Allah swt dalam firman-Nya berikut ini :

قَدْ أَفْلَحَ الْمُؤْمِنُونَ(1). الَّذِينَ هُمْ فِي صَلَاتِهِمْ خَاشِعُونَ(2). وَالَّذِينَ هُمْ عَنِ اللَّغْوِ مُعْرِضُونَ(3). وَالَّذِينَ هُمْ لِلزَّكَاةِ فَاعِلُونَ(4). وَالَّذِينَ هُمْ لِفُرُوجِهِمْ حَافِظُونَ(5). إِلَّا عَلَى أَزْوَاجِهِمْ أوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُهُمْ فَإِنَّهُمْ غَيْرُ مَلُومِينَ(6). فَمَنِ ابْتَغَى وَرَاءَ ذَلِكَ فَأُولَئِكَ هُمُ الْعَادُونَ(7). وَالَّذِينَ هُمْ لِأَمَانَاتِهِمْ وَعَهْدِهِمْ رَاعُونَ(8). وَالَّذِينَ هُمْ عَلَى صَلَوَاتِهِمْ يُحَافِظُونَ(9). أُولَئِكَ هُمُ الْوَارِثُونَ (10). الَّذِينَ يَرِثُونَ الْفِرْدَوْسَ هُمْ فِيهَا خَالِدُونَ (11).
Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang beriman, (yaitu) orang-orang yang khusyu` dalam shalatnya, dan orang-orang yang menjauhkan diri dari (perbuatan dan perkataan) yang tiada berguna, dan orang-orang yang menunaikan zakat, dan orang-orang yang menjaga kemaluannya, kecuali terhadap isteri-isteri mereka atau budak yang mereka miliki; maka sesungguhnya mereka dalam hal ini tiada tercela. Barangsiapa mencari yang di balik itu maka mereka itulah orang-orang yang melampaui batas. Dan orang-orang yang memelihara amanat-amanat (yang dipikulnya) dan janjinya, dan orang-orang yang memelihara sembahyangnya. Mereka itulah orang-orang yang akan mewarisi, (ya`ni) yang akan mewarisi surga Firdaus. Mereka kekal di dalamnya.” (QS Al-Mukminun,[23] : 1-11).

إِنَّهُمْ كَانُوا قَبْلَ ذَلِكَ مُحْسِنِينَ(16). كَانُوا قَلِيلًا مِنَ اللَّيْلِ مَا يَهْجَعُونَ(17). وَبِالْأَسْحَارِ هُمْ يَسْتَغْفِرُونَ(18)
Sesungguhnya mereka sebelum itu di dunia adalah orang-orang yang berbuat baik; Mereka sedikit sekali tidur di waktu malam; Dan di akhir-akhir malam mereka memohon ampun (kepada Allah).” (QS Adz-Dzariyat,[51] : 16-18)

Demikian pula didalam kehidupan di alam barzakh, para arwah manusia hidup dalam tingkat, derajat dan martabat yang berbeda, sebagaimana yang digambarkan Allah swt didalam firman-Nya :

وَمَنْ كَانَ فِي هَذِهِ أَعْمَى فَهُوَ فِي الْآخِرَةِ أَعْمَى وَأَضَلُّ سَبِيلًا(72)
Dan barangsiapa yang buta (hatinya) di dunia ini, niscaya di akhirat (nanti) ia akan lebih buta (pula) dan lebih tersesat dari jalan (yang benar).” (QS Al-Isra’,[17] : 72).

Adapun para Nabi dan Rasul, sebenarnya kehidupan mereka, rizki yang mereka terima, pengenalan mereka, pendengaran mereka, pengetahuan dan perasaan mereka jelas jauh lebih sempurna, lebih tinggi dan lebih mulia daripada selain mereka. Hal ini beralasan dengan firman Allah swt yang menjelaskan tentang hak-hak yang diterima para syuhada’ :

وَلَا تَحْسَبَنَّ الَّذِينَ قُتِلُوا فِي سَبِيلِ اللَّهِ أَمْوَاتًا بَلْ أَحْيَاءٌ عِنْدَ رَبِّهِمْ يُرْزَقُونَ (169). فَرِحِينَ بِمَا ءَاتَاهُمُ اللَّهُ مِنْ فَضْلِهِ وَيَسْتَبْشِرُونَ بِالَّذِينَ لَمْ يَلْحَقُوا بِهِمْ مِنْ خَلْفِهِمْ أَلَّا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلَا هُمْ يَحْزَنُونَ (170). يَسْتَبْشِرُونَ بِنِعْمَةٍ مِنَ اللَّهِ وَفَضْلٍ وَأَنَّ اللَّهَ لَا يُضِيعُ أَجْرَ الْمُؤْمِنِينَ (171). الَّذِينَ اسْتَجَابُوا لِلَّهِ وَالرَّسُولِ مِنْ بَعْدِ مَا أَصَابَهُمُ الْقَرْحُ لِلَّذِينَ أَحْسَنُوا مِنْهُمْ وَاتَّقَوْا أَجْرٌ عَظِيمٌ (172)
Janganlah kamu mengira bahwa orang-orang yang gugur di jalan Allah itu mati; bahkan mereka itu hidup di sisi Tuhannya dengan mendapat rezki. mereka dalam keadaan gembira disebabkan karunia Allah yang diberikan-Nya kepada mereka, dan mereka bergirang hati terhadap orang-orang yang masih tinggal di belakang yang belum menyusul mereka, bahwa tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati. Mereka bergirang hati dengan ni`mat dan karunia yang besar dari Allah, dan bahwa Allah tidak menyia-nyiakan pahala orang-orang yang beriman. (Yaitu) orang-orang yang menta`ati perintah Allah dan Rasul-Nya sesudah mereka mendapat luka (dalam peperangan Uhud). Bagi orang-orang yang berbuat kebaikan di antara mereka dan yang bertakwa ada pahala yang besar.” (QS Ali Imran,[3] : 169-172)

Jika yang dinamakan “Hidup” adalah tetapnya Ruh, sementara yang namanya Ruh tidak mengalami kerusakan, baik ruh para syuhada’  maupun selainnya. Dengan demikian, maka tidak benar jika pujian dan kemasyhuran merupakan hak istimewa yang hanya dimonopoli oleh para Syuhada’. Orang-orang selain mereka pun juga berhak mendapatkan hal yang serupa, karena kedua golongan tersebut adalah sama-sama manusia yang berbentuk Ruh dan sama-sama hidup di alam barzah, tentu saja kedunya akan mendapatkan hak yang serupa. Pandangan seperti inilah yang benar, sebagaimana yang dikemukakan para pakar semacam Ibnul Qayyim didalam bukunya, Ar-Ruh. Hanya saja, wujud keistimewaan hak (dipuji dan terkenal) yang diperoleh para syuhada’ jelas lebih banyak daripada yang diperoleh selainnya. Jika tidak dalam pengertian seperti itu, maka sia-sialah penyebutan “Hidupnya para syuhada’” didalam ayat di atas. Bahkan Allah swt sendiri melarang kita untuk mengatakan bahwa mereka sudah mati :

وَلَا تَقُولُوا لِمَنْ يُقْتَلُ فِي سَبِيلِ اللَّهِ أَمْوَاتٌ بَلْ أَحْيَاءٌ وَلَكِنْ لَا تَشْعُرُونَ(154)
Dan janganlah kamu mengatakan terhadap orang-orang yang gugur di jalan Allah, (bahwa mereka itu) mati; bahkan (sebenarnya) mereka itu hidup, tetapi kamu tidak menyadarinya.” ( QS Al-Baqarah,[2] : 154).

Dari uraian di atas dapat kita tarik suatu pemahaman bahwa para syuhada’, pada hakekatnya, adalah masih hidup, yakni hidup di alam barzakh. Demikian pula orang-orang mati selain mereka juga mengalami kehidupan di alam barzakh. Hanya saja tingkat kehidupan para Syuhada’ jauh lebih sempurna dan lebih mulia daripada  selainnya.

Banyak nash-nash yang secara lahiriah menjelaskan bahwa Arwah  para syuhada’ mendapatkan rizki, merasakan kenikmatan, berkesempatan mengunjungi calon surganya, bahkan memakan buah-buahan surga. Arwah mereka dapat merasakan kenikmatan makanan dan minuman secara sempurna, dengan perasaan dan kelezatan yang sempurna pula. Mereka mampu mendengar suatu pembicaraan dan mampu memahami maksud pembicaraan, seperti yang dijelaskan didalam sebuah hadis Nabi : “Sesungguhnya Allah swt berkata kepada mereka: ‘Apa yang kalian gemari?’ Mereka jawab: ‘Begini dan begitu’. Sehingga terjadilah dialog antara Allah swt dan mereka. Mereka memohon dikembalikan lagi ke dunia, agar bisa mengikuti Jihad fi Sabilillah lagi. Mereka juga memohon agar Allah swt menyampaikan suatu risalah atau missi mereka untuk ditujukan kepada teman-temannya di dunia yang intinya menjelaskan betapa mulianya Jihad fi Sabilillah sehingga menyebabkannya dimuliakan Allah swt. Maka Allah swt berfirman kepada mereka: ‘Aku akan menyampaikan pesan dan misi kalian’”.

 Arwah para Syuhada’ saja memperoleh penghormatan dan kemuliaan yang begitu tinggi di sisi Allah swt, apalagi arwah para Nabi dan Rasul, tentu mereka memperoleh lebih dari apa yang diperoleh para syuhada’, disebabkan dua  alasan :

Pertama. Martabat yang diberikan Allah swt kepada para syuhada’ merupakan penghormatan-Nya kepada mereka. Akan tetapi, tiada martabat yang lebih tinggi selain martabatnya para Nabi dan Rasul. Mustahil para syuhada’ memperoleh keistimewaan dan kesempurnaan, sementara para Nabi dan Rasul tidak, terutama kesempurnaan dalam hal kedekatannya dengan Allah swt, memperoleh derajat, kenikmatan dan keramahan dari Allah swt.

Kedua. Martabat yang diperoleh para syuhada’ merupakan hasil jerih payahnya dalam mengikuti Jihad fi Sabilillah. Sementara itu, Nabi Muhammad saw adalah orang yang mengajarkan atau memberi petunjuk kepada kita dan kepada kepada mereka sewaktu di dunia tentang betapa pentingnya berjihad fi Sabilillah, lalu mengajak mereka berjihad.

Beliau saw bersabda : “Barangsiapa yang merintis suatu jalan menuju kebaikan, maka ia akan memperoleh pahala (atas usaha rintisannya itu) dan pahala akibat dari orang yang mengikutinya, hingga hari kiamat”.  Pada kesempatan yang lain beliau saw bersabda lagi : “Barangsiapa yang mengajak orang ke jalan hidayah, maka dia akan memperoleh pahala seperti pahala yang diperoleh orang yang mengikuti ajakannya, dan tidak dikurangi sedikit pun”.  Dan masih banyak lagi hadis shahih yang berkaitan dengan persoalan ini.

Dari sini dapat disimpulkan bahwa setiap pahala yang diperoleh para syuhada’, juga akan diperoleh oleh Rasulullah saw, karena mereka menjadi syuhada’ adalah berkat usaha, petunjuk, ajakan, bimbingan dan dorongan beliau saw untuk mengikuti Jihad fi Sabilillah. Dengan demikian, beliau saw pun akan memperoleh pahala yang sama seperti yang diperoleh para syuhada’ di alam barzakh, meskipun beliau saw tidak mati syahid. Bahkan pahala beliau saw jauh lebih besar dan agung dari pada yang mereka terima, disebabkan keutamaan beliau saw terhadap mereka.

Kehidupan barzakhiyah para Nabi dan Rasul, khususnya Nabi Muhammad saw, jelas lebih agung, lebih mulia dan lebih sempurna daripada yang pernah digambarkan oleh orang-orang  yang bodoh lagi dungu. Mereka menyangka bahwa kehidupan barzakhiyah sama persis seperti kehidupan duniawiyah. Para arwah makan, minum, pergi ke kamar kecil untuk berak dan kencing, dan lain-lain, persis seperti aktifitas sehari-hari kita di dunia. Para arwah keluar dari kuburnya untuk menghadiri majlis dzikir, pengajian, semaan Al-Qur’an, berbagi suka dan duka dengan masyarakat atau keluarga yang masih hidup, lalu mereka pulang ke kuburannya, yakni liang lahad yang sempit, yang berukuran kurang lebih 1 x 2 meter, pengap dan gelap. Kehidupan barzakhiyah sama sekali tidak seperti yang digambarkan orang-orang bodoh itu. Kehidupan barzakhiyah para Nabi dan Rasul yang hakiki adalah kehidupan yang serba sempurna dan lengkap. Mereka sempurna perasaannya, pengetahuannya maupun pengenalannya; suatu kehidupan yang serba baik, lengkap, indah serta dalam suasana penuh bacaan doa, tasbih, tahlil, tahmid dan shalat.


PARA NABI MELAKUKAN SHALAT DAN IBADATAN LAINNYA DI KUBURNYA 

Para Nabi didalam alam barzakh melakukan shalat, dalam pengertian yang sesungguhnya, bukan shalat khayalan. Beberapa hadis Nabi menjelaskan tentang keadaan mereka itu. Diantaranya hadis yang bersumber dari Anas bin Malik ra, yang menjelaskan bahwa Rasulullah saw bersabda : “Para Nabi itu hidup didalam kuburnya. Mereka melakukan shalat”. (HR Abu Ya’la dan Al-Bazzar didalam kitab Majma’ a-Zawaid, juz 8, hal. 211). Imam Al-Baihaqy juga mengetengahkan hadis tersebut didalam Risalah-nya.

Didalam riwayat yang lain, dari Anas bin Malik ra dituturkan bahwa Rasulullah saw bersabda : “Sesungguhnya para Nabi tidak meninggalkan tempat didalam kuburnya setelah empat puluh malam, akan tetapi mereka terus melakukan shalat di hadapan Allah swt sampai terompet sangkakala hari kiamat dibunyikan”.

Al-Baihaqy mengatakan, “Jika teks hadis tersebut benar, maka yang dimaksudkannya – Wallaahu a’lam – adalah mereka selalu melakukan shalat di hadapan Allah swt”. Dia mengatakan lagi, bahwa kehidupan mereka di alam barzah banyak dijelaskan didalam beberapa hadis shahih seperti sabda Rasulullah saw : “Aku melewati Nabi Musa as (pada waktu isra’-mi’raj) yang sedang melakukan shalat di kuburnya”. (HR Al-Baihaqy)

Hadis yang lain menceritakan : “Seperti yang engkau ketahui, bahwa aku berada di tengah jamaah para Nabi. Aku menyaksikan Nabi Musa sedang melaksanakan shalat. Aku melihat Nabi Isa juga melakukan shalat, wajahnya mirip dengan ‘Urwah bin Mas’ud ats-Tsaqafy.  Dan aku melihat Nabi Ibrahim shalat, wajahnya mirip dengan teman kalian (yakni mirip Rasulullah saw sendiri). Setelah tiba waktu shalat jamaah, akulah yang menjadi Imamnya. Selesai shalat, malaikat Jibril mengatakan kepadaku: ‘Hai Muhammad! Ini malaikat Malik, penjaga neraka. Ucapkan salam kepadanya’. Kemudian aku menoleh kepadanya, ternyata ia mendahuluiku mengucapkan salam kepadaku”.(HR Hadis ini diriwayatkan oleh Imam Muslim, bersumber dari Anas bin Malik ra, didalam kitab Shahih Muslim, juz 2, hal. 268. Juga diketengahkan oleh Abdurrazzaq dalam bukunya, Al-Mushannaf, juz 3, hal. 577).

Al-Baihaqy didalam bukunya, Ad-Dalailun Nubuwwah, mengetengahkan hadis Shahih dari Sulaiman at-Taimy dan Tsabit al-Banany, dari Anas bin Malik ra, bahwa Rasulullah saw bersabda : “Aku Temui Nabi Musa as pada malam Isra’ dan Mi’raj. Dia berada di bukit pasir merah dalam keadaan berdiri melaksanakan shalat didalam kuburnya”.  Dan hadis ini juga diketengahkan oleh Imam Muslim didalam Shahih-nya juz 2; hal. 268.

 Tidak dapat diingkari bahwa Rasulullah saw memperoleh keringanan dari kewajiban menjalankan shalat 50 waktu menjadi 5 waktu dalam sehari semalam adalah berkat usulan dan nasehat Nabi Musa as. Meskipun Nabi musa as sudah wafat, namun dia dapat menjadi penyebab Rasulullah saw, dan juga umat Islam, mendapatkan keuntungan, yakni keringanan menjalankan shalat. Semula Rasulullah saw dibebani menjalankan perintah shalat 50 waktu, kemudian beliau musyawarahkannya dengan Nabi Musa dan dia menyarankan : “Mintalah kepada Tuhanmu keringanan, karena umatmu tidak akan mampu melakukannya” , dan seterusnya sampai beliau saw mendapatkan keringanan shalat 5 waktu.

Yang menjadi pertanyaan kita adalah, Apakah kembalinya beliau saw menghadap Allah swt untuk memohon keringanan tersebut dalam pengertian yang sesungguhnya ataukah khayalan?  Apakah peristiwa tersebut terjadi pada diri beliau saw dalam keadaan jaga/sadar ataukah di tengah tidurnya? Apakah peristiwa tersebut benar ataukah bohong? Apakah Nabi Musa saat itu mati ataukah hidup sehingga dia bisa memberi saran kepada beliau saw agar meminta keringanan kepada Allah swt ?

 Al-Hakim mengetengahkan hadis shahih dari jalan Ibnu Abbas ra, bahwa Rasulullah saw pernah lewat di suatu lorong jalan menuju ke satu bukit, kemudian bertanya kepada para sahabat : “Apa ini?”. Jawab para sahabat : “Lorong jalan menuju ke bukit ini dan itu!”. Beliau saw bersabda : “Seakan-akan aku melihat Nabi Yunus as yang sedang berada di atas ontanya yang tali kekangnya terbuat dari tali sabut, ia berpakaian jubah dari bulu domba, seraya membaca Talbiyah : Labbaikaalloohumma labbaik”. (Tersebut didalam kitab Ad-Durrul Mantsur, juz 4, hal. 234).

Riwayat yang lain menjelaskan bahwa Rasulullah saw pernah melewati daerah Wady al-Arzaq, kemudian bersabda : “Sepertinya aku melihat Nabi Musa as yang turun dari Tsaniyyah (Lorong jalan menuju ke bukit) seraya membaca Talbiyah”.  Kemudian beliau saw melewati lorong jalan menuju ke bukit Harsya dan bersabda : “Sepertinya aku melihat Nabi Yunus bin Matta di atas onta yang berbulu kemerah-merahan . Dia berpakaian jubah dari wol dan tali kekangnya dari sabut, sambil membaca Talbiyah terus menerus”.

Didalam hadis yang lain juga diceritakan sabda beliau saw : “Sepertinya aku melihat Nabi Musa yang sedang meletakkan kedua tangannya untuk menutupi kedua telinganya”.

Semua hadis di atas shahih dan sudah kami jelaskan di muka bahwa selama dalam perjalanan Isra’-Mi’raj, Rasulullah saw menjadi imam shalat jamaah, di mana yang menjadi makmumnya adalah para Nabi, seperti Nabi Musa, Isa, Yunus dan lain-lain. Peristiwa tersebut tidak dapat dikatakan sebagai peristiwa yang dialami beliau saw dalam keadaan mimpi di tengah tidurnya. Sesungguhnya kata  "أَرَانِـي" (Allah memperlihatkan kepadaku) mengisyaratkan peristiwa mimpi di tengah tidur sedangkan peristiwa Isra’-Mi’raj yang shahih, sebagaimana yang disepakati para ulama salaf dan khalaf adalah terjadi dalam keadaan Yaqazhah (terjaga, tidak tidur). Kalau pun benar bahwa peristiwa tersebut dialami beliau saw di saat mimpi dalam tidurnya, maka mimpinya para Nabi adalah mimpi yang Haq (benar).



KEUTUHAN JASAD PARA NABI

Hadis dari Aus bin Aus ra menjelaskan, bahwa Rasulullah saw bersabda : “Sesungguhnya hari-harimu yang paling utama adalah hari jum’at. Pada hari itulah Nabi Adam as diciptakan dan diwafatkan. Dan di hari itu pula terompet sangkakala kiamat mulai dibunyikan dan alam semesta hancur berantakan. Oleh karena itu, perbanyaklah kalian bershalawat kepadaku di hari jum’at, karena shalawat tersebut akan disampaikan Allah swt kepadaku”. Di antara sahabat ada yang bertanya : “Bagaimana mungkin bacaan shalawat kami akan sampai kepada engkau, sementara jasad engkau (setelah wafat nanti) bakal rusak”. Beliau saw menjawab : “Sesungguhnya Allah swt mengharamkan bumi merusakkan jasad para Nabi”.

Hadis tersebut diketengahkan oleh Sa’id bin Manshur, Ibnu Syaibah, dan Imam Ahmad bin Hambal didalam Musnad-nya, serta Ibnu Abi ‘Ashim, Abu Dawud, An-Nasaiy dan Ibnu Majah didalam kitab-kitab “Sunnah” mereka. Juga diriwayatkan At-Thabrany didalam Mu’jam-nya, Ibnu Huzaimah, Ibnu Hibban dan Al-Hakim didalam kitab-kitab “Shahih” mereka. Sementara Al-Baihaqy meriwayatkannya didalam bab “Hayatul Anbiya’ wa Syu’abul Iman” didalam beberapa kitab karangannya.

Ibnul Qayyim mengatakan didalam bukunya, “Ar-Ruh”, yang dinukil dari pendapat Abdullah al-Qurthuby, bahwa Hadis-hadis shahih dari Rasulullah saw  menjelaskan bahwa : 1) bumi tidak akan menghancurkan jasad para Nabi;  2) Rasulullah saw berkumpul dengan para Nabi pada malam Isra’-Mi’raj di Baitul Maqdis dan di langit, terutama bertemu dengan Nabi Musa as; 3) tak seorang muslim pun yang mengucapkan Salam kepada Nabi Muhammad saw melainkan Allah swt akan mengembalikan ruhnya kedalam jasadnya, sehingga beliau saw dapat mengembalikan ucapan salam kepada orang itu. Kesemuanya itu menunjukkan bahwa yang dimaksud dengan pernyataan “Para Nabi sudah wafat” adalah dalam pengertian   mereka telah menghilang dari pandangan mata kita, disebabkan karena kita tidak mampu melihat mereka dengan mata kepala, namun pada hakekatnya mereka benar-benar “maujud” dan “hidup”, yakni hidup di alam barzah. Sama halnya dengan keberadaan para malaikat, meskipun kita tidak mampu melihat wujud mereka dengan mata kepala, akan tetapi mereka itu benar-benar hidup dan maujud.

Syaikh Muhammad as-Safariny al-Hambali mengemukakan pendapatnya Al-Qurthuby didalam kitabnya, Syarh Aqidah Ahlissunnah : “ Abdullah Al-Qurthuby pernah mengatakan, bahwa gurunya yang bernama Ahmad bin Umar al-Qurthuby menjelaskan: “Mati tidak sama dengan Tiada, atau Mati tidak berarti benar-benar menjadi Tiada. Akan tetapi, Mati pada dasarnya adalah suatu perpindahan dari suatu keadaan kepada keadaan yang lain. Sebagaimana yang ditunjukkan oleh dalil syar’iy, bahwa para syuhada’ (setelah kematiannya di medan perang) benar-benar hidup di sisi Tuhannya dalam keadaan merasakan kenikmatan, rizki dan kesenangan”

Jika para syuhada’ (yang jelas-jelas sudah gugur/mati) saja dikatakan “masih hidup di sisi Tuhannya”, apalagi para Nabi, tentu mereka lebih dari itu. Imam Al-Qurthuby menuturkan bahwa jasad para Nabi utuh dan tidak akan rusak berdasarkan hadis shahih dari Jabir ra yang menjelaskan bahwa bapaknya dan ‘Amr bin Jamuh adalah dua orang sahabat Nabi yang mati syahid pada waktu perang Uhud. Mereka berdua dikubur didalam satu lubang. Setelah melewati waktu kurang lebih 45 tahun, kuburannya dibongkar. Ternyata jasad mereka masih utuh dan bekas lukanya pun tak berubah, tetap seperti waktu terbunuh.

Al-Imam Al-Hujjah Abu Bakar bin al-Husain al-Al-Baihaqy menulis sebuah Risalah yang secara khusus mengkaji tentang “Kehidupan para Nabi dan Keutuhan Jasadnya”, dengan menyebutkan sejumlah hadis untuk mendukung pendapatnya. Demikian pula Jalaluddin as-Suyuthy.

 

==============================================

*) Sumber : Diambil dari salah satu bagian dari kitab :
Judul Asli
: مفـاهـيم يجب أن تـصحح
Penulis
: Prof. DR. Sayyid Muhammad Alawi Al-Maliki
Alih Bahasa
: Achmad Suchaimi
Judul Terjemahan
: Pemahaman Yang Perlu Diluruskan (PYPD)


PYPD - 39. HAKEKAT KEHIDUPAN BARZAKHIYAH *)



Oleh Sayyid Muhammad Alawi Al-Maliki




KEHIDUPAN DI ALAM BARZAKH

Kehidupan di alam barzakh sebagai suatu kehidupan yang hakiki diisyaratkan oleh beberapa nash Al-Qur’an dan Hadis Shahih. Kehidupan hakiki di alam barzakh ini tidak bertentangan dengan   persoalan kematian manusia, sebagaimana firman Allah swt

وَمَا جَعَلْنَا لِبَشَرٍ مِنْ قَبْلِكَ الْخُلْدَ أَفَإِنْ مِتَّ فَهُمُ الْخَالِدُونَ(34)
Kami tidak menjadikan hidup abadi bagi seorang manusiapun sebelum kamu (Muhammad), maka jikalau kamu mati, apakah mereka akan kekal?” (QS Al-Anbiya’,[21] : 34)

إِنَّكَ مَيِّتٌ وَإِنَّهُمْ مَيِّتُونَ(30)
Sesungguhnya kamu akan mati dan sesungguhnya mereka akan mati (pula).” (QS Az-Zumar,[39] : 30)

Yang dimaksud dengan kehidupan barzakhiyah sebagai kehidupan Hakiki adalah suatu kehidupan yang benar-benar nyata, dan  bukan suatu kehidupan yang bersifat utopia, khayalan atau hanya ada di angan-angan, sebagaimana yang diyakini oleh kaum atheis dan materialis yang berpikiran sempit yang hanya percaya kepada hal-hal yang bersifat empiris,  serba nampak dan langsung dapat ditangkap indera manusia, yang tidak percaya pada hal-hal yang bersifat ghaib dan yang tidak dapat ditangkap oleh pikiran serta indera manusia.

Banyak Hadis Nabi dan Atsaryang menjelaskan tentang kemampuan pendengaran, pengelihatan, pengetahuan dan perasaan orang-orang yang sudah wafat, baik yang mukmin maupun yang kafir.

Imam Bukhary dan Muslim didalam kitab Ash-Shahihain mengetengahkan Hadis Nabi dari jalur sanad yang beragam, dari Abu Thalhah, dari Umar dan juga dari Ibnu Umar, yang menjelaskan bahwa Rasulullah saw memerintahkan para sahabat agar kedua puluh empat mayat tentara kafir Quraisy yang tewas di tengah pertempuran Badar dilemparkan saja kedalam salah satu sumur di situ. Selanjutnya beliau saw memanggil nama mereka satu persatu : “Hai Umayyah bin Khalaf…! Hai Utbah bin Rabi’ah…! Hai Syaibah bin Rabi’ah…! Hai Fulan bin Fulan…! …(dan seterusnya) …Apakah kalian sudah menemukan apa yang telah dijanjikan “tuhan-tuhan”  yang kalian sembah? Sementara aku benar-benar sudah menemukan apa-apa yang dijanjikan Tuhanku (Allah swt ) kepadaku !”.

Menyaksikan prilaku “aneh” Rasulullah saw tersebut, Umar bin Khatthab ra bertanya: “Apakah engkau berbicara dengan jasad-jasad yang sudah tidak bernyawa lagi ?”. Beliau saw menjawab : “Demi Allah yang jiwaku berada didalam kekuasaan-Nya! Sesungguhnya kalian tidak lebih mampu mendengar terhadap apa yang telah aku ucapkan kepada mereka tadi. Hanya saja mereka tidak mampu menjawabnya”.

Demikianlah Hadis yang diketengahkan oleh imam Bukhary dan Muslim dari jalur Ibnu Umar. Senada dengan di atas, ada beberapa hadis lagi yang diriwayatkan oleh Imam Bukhary dari jalur Anas bin Malik ra, dari Thalhah; Imam Muslim meriwayatkannya dari jalur  Anas bin Malik ra, dari Umar bin Khatthab; At-Thabrany meriwayatkannya dari Ibnu Mas’ud dengan sanad yang shahih dan dari Abdullah bin Saidan,  yang didalamnya terdapat teks hadis : “Ya Rasulullah! Apakah mungkin mereka mampu mendengar!”. “Mereka mampu mendengar sebagaimana kalian mendengar. Hanya saja mereka tidak mampu menanggapi atau menjawabnya”, jawab beliau saw. 

Al-Bazzar meriwayatkan hadis yang dinilai shahih oleh Ibnu Hibban, bersumber dari Ismail bin Abdurrahman as-Sadiy, dari ayahnya, dari Abu Hurairah ra, bahwa Rasulullah saw bersabda : “Sesungguhnya mayit itu dapat mendengarkan suara ketukan sandal para pelayat yang pulang dari penguburannya”.

Imam Bukhary meriwayatkan hadis didalam kitab Shahih-nya pada bab Al-Mayyit Yasma’u Khalqan-ni’al, dari jalur Anas bin Malik ra, bahwa Rasulullah saw bersabda : “seorang mayit jika sudah diletakkan di liang kuburnya, dia dapat mendengar suara ketukan sandal para pelayat yang pulang meninggalkannya. Sementara ia didatangi oleh dua malaikat (Munkar dan Nakir) dan didudukkannya”.

Kemampuan mayit mendengar suara ketukan sandal para pelayat yang kembali dari penguburan tersebut diisyaratkan oleh bebarapa hadis selain di atas, di antaranya hadis yang menceritakan tentang adanya pertanyaan kubur, disertai materi pertanyaan dan jawabannya. Juga diisyaratkan oleh beberapa hadis yang memerintahkan para peziarah kubur agar mengucapkan Salam kepada ahli kubur dengan ucapan : 

السَّـلاَمُ عَـلَيْـكُمْ   دَارَ قَـوْمٍ مُـؤْمِنِـيْنَ
Salam sejahtera semoga dilimpahkan Allah swt kepada kalian, wahai penghuni kubur kaum mukminin!”.

Ibnu al-Qayyim mengatakan bahwa ucapan Salam dengan lafazh seperti di atas hanya disampaikan kepada orang yang bisa mendengar lagi berakal. Jika tidak demikian, berarti ucapan Salam itu sama dengan disampaikan kepada orang dan barang (benda padat) yang tidak ada. Hal ini jelas tidak masuk akal. Dengan kata lain, Ahli Kubur yang diberi ucapan Salam seperti ucapan di atas jelas menunjukkan bahwa ia bisa mendengar. Jika tidak mampu mendengar, tentulah tidak ada perintah salam kepada Ahli Kubur dengan shighat salam seperti di atas. Para ulama Salaf bersepakat terhadap persoalan ini. Banyak Atsar-atsar yang mutawatir dari mereka yang menjelaskan bahwa mayit mampu mengetahui dan mendoakan baik kepada setiap orang yang menziarahinya.


Abdurrazzaq meriwayatkan hadis tentang persoalan ini dari Zaid bin Aslam, ia  menjelaskan bahwa  Abu Hurairah ra bersama-sama dengan temannya melewati sebuah pekuburan, kemudian ia bilang kepada temannya: “Ucapkan salam!”. Temannya bertanya : “Apakah aku akan mengucapkan salam kepada penghuni kubur?”. Jawab  Abu Hurairah ra : “Jika ia diberi kesempatan kembali hidup di dunia ini barangkali sehari saja, tentu ia akan mengenalimu sekarang ini!”. (HR Abdurrazzaq didalam kitabnya, Al-Mushannif , juz 3, hal. 577).

Itulah keyakinan dan akidah yang dimiliki oleh kaum Salaf, yakni golongan Ahlussunnah wal Jamaah. Hanya saja saya tidak mengerti, kenapa orang-orang yang mengaku dirinya sebagai kelompok dan pengikut ulama salaf, justru lupa, melupakan, atau mungkin pura-pura lupa terhadap kenyataan adanya  kehidupan Barzakhiyah ini.

Ibnul Qayyim secara panjang lebar menguraikan persoalan ini didalam kitabnya yang berjudul Ar-Ruh. Dan pada kesempatan ini, kami mencoba menukil fatwa-fatwa Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dari bukunya, Al-Fatawa al-Kubra”, yang menjelaskan bahwa ia pernah ditanya orang : “Apakah mayit-mayit itu mengetahui dan mengenal orang yang sedang menziarahi kuburannya? Apakah mereka juga mengenal mayit yang baru saja datang dari alam dunia ini, apakah ia masih keluarganya ataukah bukan?”  Dan pertanyaan-pertanyaan lain yang sejenis.

Ibnu Taimiyah menjawab : “Alhamdulillah. Benar, bahwa mereka mengenal. Banyak Atsar-atsar yang menjelaskan kebenaran tentang bertemunya mayit yang sudah lama menghuni alam barzah dengan mayit yang baru saja datang dari alam dunia dan menjadi penghuni baru alam barzah. Mayit-mayit yang sudah lama bertanya kepada mayit yang baru saja datang, tentang keadaan keluarga mereka yang masih hidup di alam dunia, dan juga diceritakan kepadanya tentang kiriman doa dan pahala amal shaleh dari keluarganya yang masih hidup di alam dunia. Sebagaimana yang diriwayatkan oleh Ibnul Mubarok yang bersumber dari Abu Ayyub al-Anshary: “Bila seorang mukmin wafat, sesampainya di alam kubur, ia ditemui orang-orang yang sudah lama wafat, sama halnya seperti mereka yang bertemu secara langsung di alam dunia. Mereka menyambut kedatangan mayit yang baru datang dan menanyakan segala hal kepadanya. Sebagian di antara mereka ada yang mengatakan kepada sebagian yang lain : “Lihatlah saudaramu yang baru saja datang ini! Dia nampaknya sedang istirahat”, atau ada yang mengatakan : “Sesungguhnya ia sedang bingung dan nampaknya sangat susah sekali”. Selanjutnya mereka sama mendatanginya dan menanyakan tentang keadaan keluarga mereka yang masih hidup di alam dunia, tentang keadaan teman-teman yang mereka kenal di alam dunia, atau juga, tentang apakah si Fulan atau Fulanah sudah menikah ataukan belum”.

Mengenai persoalan apakah mayit dapat mengenal siapa yang datang menziarahi kuburannya dan mengucapkan Salam kepadanya, telah dijelaskan oleh hadis yang bersumber dari Ibnu Abbas ra , bahwa Rasulullah saw bersabda : “Tiada seorang pun yang melewati suatu pekuburan saudara mukminnya yang pernah ia kenal di dunia, lalu  mengucapkan salam kepadanya, melainkan saudaranya (yang sudah wafat) itu tentu mengenalnya dan akan menjawab salamnya”.

Ibnul Mubarok mengatakan: “Hadis tersebut benar-benar berasal dari Rasulullah saw. Abdul Haq, seorang penulis kitab Al-Ahkam menilainya Shahih”. (Majmu’  Fatawa asy-Syaikh Ibnu Taimiyah, juz 24, hal. 331).

Pada kesempatan yang berbeda, Ibnu Taimiyah pernah ditanya : “Apakah mayit dapat mendengarkan pembicaraan dan melihat pribadi orang yang menziarahinya? Apakah saat itu ruh si mayit dikembalikan kepada jasadnya? Ataukah pada saat itu dan pada saat yang lain ruhnya bergerak-gerak dan mengepak-epakkan di atas  kuburannya? Apakah ruh orang yang baru saja wafat akan bertemu dan berkumpul atau bergaul dengan ruh-ruh para karib kerabatnya yang sudah lama wafat?”

Jawaban Ibnu Taimiyah : “Alhamdulillahi rabbilalamiin. Benar katamu. Secara global, mayit itu mampu mendengar, sebagaimana yang dijelaskan didalam kitab hadis “Ash-Shahihain”, dari Rasulullah saw : “Mayit mampu mendengar suara sandal para pelayat yang kembali dari penguburannya”.

Selanjutnya Ibnu Taimiyah mengemukakan beberapa hadis yang menjelaskan persoalan kehidupan barzakhiyah ini, dan ia menambahkan : “Nash-nash hadis ini menjelaskan bahwa mayit mampu mendengar secara global pembicaraan orang yang masih hidup di alam dunia. Namun hal ini bukan suatu kemestian. Terkadang mayit tersebut dapat mendengar pada suatu saat dan tidak dapat mendengar pada saat yang lain, disebabkan terhalang oleh hal-hal tertentu. Yang dimaksud dengan “Mendengar” dalam persoalan ini adalah dalam pengertian “memahami apa yang didengarnya”, bukan dalam pengertian “mendengar secara khayalan atau kiasan”. Hanya saja, pendengaran mayit tersebut tidak diikuti dengan kemampuannya untuk menyahuti atau membalas dengan suatu ucapan tertentu, sehingga orang lain (yang masih hidup) balik dapat mendengar ucapan si mayit.

Allah swt berfirman :

إِنَّكَ لَا تُسْمِعُ الْمَوْتَى

Sesungguhnya kamu tidak dapat menjadikan orang-orang yang mati mendengar “ (QS An-Naml,[27] : 80)

Yang dmaksud “mendengar” didalam ayat di atas adalah  dalam pengertian mendengar untuk menyambut dan mentaati perintah Allah swt, karena Allah swt menjadikan orang Kafir sama seperti Mayit yang tidak dapat menyahuti dan menuruti ajakan orang yang mengajaknya, dan bagaikan Hewan yang tidak mampu mendengarkan suara orang dan tidak mampu menangkap makna pemahaman yang terkandung didalamnya. Sementara Mayit, kalaupun ia dapat mendengar, ia pun juga dapat memahaminya, hanya saja ia tidak mampu menjawab orang yang mengajaknya bicara dan tidak mampu mentaati apa yang diperintahkan kepadanya dan menjauhi apa yang dilarang untuknya, sehingga tidak berguna  mengajak ber-amar makruf dan nahi munkar kepada mayit, sebagaimana tidak bergunanya mengajak orang  Kafir untuk beramar makruf dan nahi munkar, meskipun ia mampu mendengar pembicaraan atau ucapan ajakan dan mampu memahami isi pembicaraan orang.

Allah swt berfirman :

وَلَوْ عَلِمَ اللَّهُ فِيهِمْ خَيْرًا لَأَسْمَعَهُمْ وَلَوْ أَسْمَعَهُمْ لَتَوَلَّوْا وَهُمْ مُعْرِضُونَ(23)
Kalau kiranya Allah mengetahui kebaikan ada pada mereka, tentulah Allah menjadikan mereka dapat mendengar. Dan jikalau Allah menjadikan mereka dapat mendengar, niscaya mereka pasti berpaling juga, sedang mereka memalingkan diri (dari apa yang mereka dengar itu).” (QS Al-Anfal,[8] : 23)

Sedangkan persoalan kemampuan mayit untuk dapat “Melihat”, dijelaskan didalam beberapa Atsar yang bersumber dari Aisyah ra dan sahabat lainnya.

Pertanyaan mengenai Apakah Ruh si mayit dikembalikan ke jasadnya pada waktu itu, ataukah Ruhnya itu bergerak-gerak dan mengepak-epakkan di atas pekuburannya pada waktu itu dan pada waktu yang lain?, Ibnu Taimiyah menjawab, bahwa Ruh si mayit saat itu dan pada saat yang lain memang dikembalikan kepada jasadnya, sebagaimana yang dijelaskan didalam beberapa hadis Nabi. Ruh dan badan si mayit dapat bersatu kapan saja, bila Allah swt menghendakinya, yakni pada saat malaikat hendak menemuinya, atau sewaktu ia hendak mengembara di atas bumi, atau pada saat ia menemui dalam mimpi orang yang sedang tidur.

Beberapa Atsar menjelaskan tentang keberadaan Ruh-ruh orang yang sudah wafat didalam kuburnya. Mujahid mengatakan : “Ruh-ruh berada didalam liang kuburnya selama tujuh hari sejak dimakamkannya, dan tidak lepas dari itu. Namun hal ini terkadang tidak demikian, sebagaimana yang pernah dijelaskan oleh Malik bin Anas : “Telah sampai kepadaku suatu riwayat bahwa para arwah keluar dari kuburnya dan mengembara sekehendaknya. Dan hanya Allah swt yang lebih tahu”. (Majmu’ Fatawa asy-Syaikh Ibnu Taimiyah, juz 24, hal. 362)

Ibnu Taimiyah pada suatu kesempatan mengatakan, bahwa kehidupan para syuhada’ dan kenikmatan yang mereka terima, sebenarnya telah dijelaskan oleh beberapa nash Al-Qur’an dan Hadis Nabi. Di antaranya adalah sebuah hadis Shahih yang menjelaskan  bahwa Arwah mereka keluar-masuk sorga. Segolongan ulama berpendapat, bahwa para syuhada’ memang benar-benar diberi kesempatan memasuki calon surganya. Dan ini hanya khusus para syuhada. Sedangkan bagi kaum shalihin, shiddiqin dan lainnya, mereka tidak diberi kesempatan untuk memasukinya. Pendapat yang benar adalah pendapatnya para Imam dan mayoritas pengikut Ahlussunnah wal jamaah yang menyatakan, bahwa kehidupan, rizki, kenikmatan dan kesempatan memasuki surga, bukanlah monopoli para syuhada’ saja. Bisa jadi hal itu juga diberikan kepada selain mereka, sebagaimana yang dijelaskan oleh beberapa nash-nash yang ada. (Majmu’ Fatawa asy-Syaikh Ibnu Taimiyah, juz 24, hal. 332).



JANGAN SAKITI MAYIT

Rasulullah saw pernah melihat seseorang yang sedang menyandarkan tubuhnya di atas suatu makam, lalu beliau saw  bersabda : “Anda jangan menyakiti penghuni kubur itu”.

Hadis tersebut diketengahkan oleh Ibnu Taimiyah didalam bukunya, Al-Muntaqa, juz 2, hal. 104 dan ia mengaitkannya dengan sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad bin Hambal dalam Musnad-nya. Demikian pula Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-Asqalany menyebutkannya didalam kitabnya, Fathul Bary, juz 3, hal. 178 dengan sanad Shahih.

Ath-Thahawy mengetengahkan sebuah hadis didalam bukunya, Ma’anil Atsar, juz 1, hal 296 yang bersumber dari Ibnu ‘Amr bin Hazm yang artinya : “Rasulullah saw melihat aku yang sedang berada di atas pekuburan seseorang, lalu bersabda : ‘Turunlah dari kuburan itu! Jangan sakiti penghuninya (mayit), karena ia tidak menyakitimu’”. (Majma’ az-Zawaid, juz 3, hal. 61).



MAKNA KEHIDUPAN BARZAKHIYYAH

Perlu kami jelaskan bahwa yang dimaksud dengan kehidupan barzakhiyah adalah suatu kehidupan yang sama sekali berbeda dengan kehidupan duniawiyah, bahkan merupakan suatu kehidupan yang khas yang sangat sesuai dengan kondisi para penghuninya (para arwah).

Dalam kehidupan duniawi, manusia masih diharuskan melakukan aktifitas-aktifitas seperti ibadah, adab sopan santun, adat istiadat, berbudaya, bernegara, ketaatan, serta melaksanakan Hak dan Kewajiban tertentu, baik terhadap diri sendiri, keluarganya, masyarakat, maupun terhadap Tuhannya. Dalam kehidupan duniawi, suatu saat manusia dalam keadaan suci dan pada saat lain dalam keadaan yang sebaliknya; suatu saat ia berada di masjid, dan pada saat yang berbeda ia didalam kamar kecil. Manusia tidak mengetahui, kapan ia berakhir menjalani hidup di dunia ini. Terkadang jarak antara dirinya dan surga hanya sehasta. Tadinya ia mukmin dan tergolong calon penghuni surga, lalu tiba-tiba berbalik menjadi Kafir dan menjadi calon penghuni neraka. Begitu sebaliknya, sepanjang hidupnya ia nampak seperti calon penghuni neraka, dan tanpa diduga beberapa saat menjelang kematiannya, ia justru berbalik menjadi orang yang beriman dan bertaubat, sehingga ia menjadi calon ahli surga.

Sementara selama dalam kehidupan Barzakhi ini, jika termasuk orang yang beriman, ia akan melewati tahapan-tahapan ujian dan cobaan, yakni siksa kubur yang tidak akan selamat melewatinya kecuali Ahlus-Sa’adah. Dia pun bebas dari beban menjalankan syariat. Dia menjadi Ruh yang bercahaya, suci, dapat berfikir, dapat berkelana ke tempat-tempat yang dikehendakinya, bahkan berjalan dan  berkeliling ke seluruh wilayah Kerajaan Allah swt , yang meliputi alam syahadah dan alam ghaib. Dia selalu riang gembira,  serta tidak mengenal susah payah dan sedih, karena ia tidak terikat atau butuh kepada dunia, harta, emas dan perak, sehingga dia tidak mengenal irihati, hasud, melakukan kejahatan, dan juga tidak mengenal dendam antara yang satu dengan lainnya.

 

==============================================

*) Sumber : Diambil dari salah satu bagian dari kitab :
Judul Asli
: مفـاهـيم يجب أن تـصحح
Penulis
: Prof. DR. Sayyid Muhammad Alawi Al-Maliki
Alih Bahasa
: Achmad Suchaimi
Judul Terjemahan
: Pemahaman Yang Perlu Diluruskan (PYPD)