Tampilkan postingan dengan label alam barzah. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label alam barzah. Tampilkan semua postingan

Minggu, 21 Juli 2013

PYPD - 42. BEBERAPA KEKERAMATAN AHLI KUBUR SELAIN PARA NABI



Oleh Sayyid Muhammad Alawi Al-Maliki



Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab, seorang ulama besar sekaligus pendiri faham Wahhaby, meriwayatkan beberapa kekeramatan sebagian orang shaleh yang justru muncul setelah mereka wafat. Para perawinya tidak perlu diragukan ketsiqahannya, di mana mereka meriwayatkan dari orang yang dapat dipercaya dan menyaksikan secara langsung kekeramatan mereka dengan mata kepalanya sendiri.

 Berikut ini akan kami nukilkan sebagian dari isi karangan Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab yang berjudul “Ahkam Tamanni al-Mautyang dibukukan menjadi satu dengan beberapa Risalah dan karangannya yang lain, yang diterbitkan dan disebarluaskan oleh Universitas Islam al-Imam Muhammad bin Su’ud, Riyadh, Kerajaan Saudi Arabia.


SHALAT DIDALAM KUBUR

Imam Ahmad bin Hambal meriwayatkan dari Affan, dari Tsabit Al-Banani, bahwa dia pernah berdoa : “Ya Allah! Bila Engkau telah memberikan kemampuan kepada salah seorang di antara hamba-Mu untuk melakukan shalat didalam kuburnya, maka berikanlahlah kemampuan serupa untuk melakukan shalat kepadaku”.

Abu Na’Imam meriwayatkan kisah dari Jubair, dia berkata : “Demi Allah! Tiada tuhan selain Dia. Aku bersama-sama dengan Hamid at-Thawil pernah memasukkan jenazah Tsabit al-Banany kedalam liang kuburnya. Setelah kami timbun dan kami ratakan dengan tanah dan batu bata, kemudian timbunan itu ambrol ke bawah dan tiba-tiba aku melihat dia sedang melakukan shalat didalam kuburnya”.


BACAAN  AL-QUR’AN  TERDENGAR DARI DALAM KUBUR.

Imam Ahmad bin Hambal dan Ibnu Jarir meriwayatkan dari Ibrahim bin al-Mahlaby, dia bercerita : “Aku diberi tahu oleh orang-orang yang menyaksikan secara langsung suatu kejadian aneh di waktu malam menjelang subuh : “Kami melewati tanah pekuburan Tsabit Al-Banany dan kami mendengar suara bacaan Al-Qur’an dari dalam kuburnya”, cerita mereka”.

Imam At-Tirmidzy meriwayatkan hadis Hasan yang bersumber dari Ibnu Abbas ra, ia berkata : “Sebagian sahabat Nabi pernah memukulkan kulit gandum di atas suatu makam. Mereka tidak menyangka kalau tempat itu adalah sebuah makam. Saat itu pula tiba-tiba terdengar suara orang membaca Al-Qur’an’an surat Al-Mulk sampai selesai dari arah dalam kubur sahabat tersebut. Kemudian mereka segera memberitahukan kejadian yang baru mereka saksikan itu kepada Rasulullah saw. Beliau saw bersabda : “Surat Al-Mulk (yang dibacanya itu) adalah pencegah dan penyelamat, yang dapat menyelamatkan pembacanya dari siksa kubur”.

An-Nasaiy dan Al-Hakim meriwayatkan dari Aisyah ra, bahwa Rasulullah saw bersabda : “Aku tertidur dan di tengah tidurku aku melihat surga”. Sementara didalam teks An-Nasaiy yang lain berbunyi “Aku memasuki surga”. “…kemudian aku mendengar orang yang membaca Al-Qur’an. Aku bertanya kepada  orang-orang yang ada di situ : ‘Siapa orang yang membaca Al-Qur’an tadi?’. Mereka menjawab: ‘Dia adalah Haritsah bin An-Nu’man’”. Selanjutnya beliau saw berkomentar : “Demikianlah contoh orang yang berbakti kepada orang tuanya”. Dan kenyataannya memang demikian, bahwa Haritsah bin Nu’man terkenal sangat berbakti terutama kepada ibunya.

Ibnu Abid-Dunya mengetengahkan riwayat dari Al-Hasan, bahwa ia berkata : “Kami pernah mendengar cerita bahwa jika seorang mukmin yang tidak hafal Al-Qur’an telah wafat, dia akan diperintah untuk menghafalkannya (didalam kuburnya). Mereka (arwah orang-orang yang hafal Al-Qur’an) mengajarkan Al-Qur’an didalam kuburnya sampai dia dibangkitkan Allah swt pada hari kiamat bersama-sama dengan keluarganya”. 


AHLI KUBUR SALING BERKUNJUNG

Ibnu Abi Syaibah mengetengahkan riwayat dari Ibnu Sirin, dia menceritakan bahwa Rasulullah saw suka mengkafani mayit dengan sebaik-baiknya. Beliau saw bersabda : “Sesungguhnya ahli kubur saling berkunjung antar mereka dalam keadaan berpakaian kafan”.

Maksud yang terkandung didalam hadis tersebut adalah seperti yang dijelaskan didalam Musnad Ibnu Abi Usamah, yang diriwayatkan dari Jabir secara marfu’, bahwa mereka berbangga diri (dengan pakaian kafannya) dan saling berkunjung antar mereka didalam kuburnya.

Imam Muslim mengetengahkan riwayat dari Ibnu Sirin : “Jika salah seorang di antara kalian ingin menolong saudaranya yang wafat, hendaklah memperbagus pengkafanannya”.

Imam At-Tirmidzy, Ibnu Majah dan Muhammad bin Yahya Al-Hamdany didalam kitab Shahih-nya mengetengahkan riwayat dari Abu Qatadah ra secara marfu’ : “Jika salah seorang di antara kalian hendak menolong saudaranya (yang baru wafat), hendaklah memperbagus pengkafanannya, karena Ahli kubur saling kunjung mengunjungi antar mereka didalam kuburnya”.


MENGIRIMKAN KAIN KAFAN

Ibnu Abid-Dunya megetengahkan suatu riwayat dengan sanad yang tidak ada masalah, dari Rasyid bin Sa’ad, bahwa seseorang telah ditinggal wafat isterinya. Di tengah tidurnya dia bermimpi melihat para wanita (yang sudah wafat), namun dia tidak melihat isterinya di tengah-tengah mereka. Dia bertanya kepada mereka: “Dimana isteriku”. Mereka menjawab : “Kamu kurang didalam memberikan kain kafan kepada isterimu, sehingga ia malu keluar untuk bergaul bersama-sama dengan kami”. Setelah bangun dari tidurnya, lelaki tersebut menemui Rasulullah saw untuk menceritakan kejadian mimpi yang baru saja ia alami. Beliau saw bersabda : “Lihatlah di sekitar tempat tinggal kamu, apakah ada orang yang dapat dipercaya untuk menyampaikannya (kain kafan)”. Selanjutnya lelaki itu  mendatangi seorang sahabat Anshar yang sedang Naza’, menunggu proses kematiannya, dan kepada sahabat itu ia menceritakan problem yang ia hadapi. Sahabat Anshar tersebut berkata: “Jika suatu ketika aku sampai pada kematianku, aku akan menyampaikan kiriman kafanmu itu kepadanya”.

Tidak berapa lama setelah pertemuan itu, sahabat tersebut wafat, dan pada saat dikafani, lalu didalamnya diikutsertakan dua lembar dan satu baju yang dilengkapi dengan minyak za’faron. Selang beberapa hari setelah kematiannya, lelaki tersebut bermimpi melihat isterinya sudah berada di tengah-tengah para wanita, dengan memakai pakaian berwarna kuning (seperti pakaian yang ia kirimkan melalui sahabat Anshar di atas)”.

Ibnu al-Jauzy meriwayatkan dari Muhammad bin Yusuf al-Faryaby suatu kisah tentang seorang wanita yang bermimpi melihat ibunya yang sudah lama wafat. Di tengah mimpinya itu ibunya mengadukan perihal kurangnya kain kafan yang sedang ia pakai dan memohon agar dibelikan kain kafan, lalu mohon dikirimkan melalui seorang wanita yang akan wafat. Mimpinya itu diceritakan kepada orang-orang di sekitarnya, yang oleh mereka problemnya tersebut disampaikan kepada Muhammad bin Yusuf. Muhammad bin Yusuf membacakan hadis Nabi yang isinya menceritakan bahwa para ahli kubur saling kunjung mengunjungi antar mereka dalam keadaan berpakaian kafan, kemudian dia menyuruh kepada orang-orang yang menemuinya agar membelikan kain kafan untuk dikirimkan kepada ibu dari wanita yang bermimpi tersebut. Beberapa saat kemudian, wanita tersebut meninggal dunia, dan mereka meletakan kain kafan untuk ibunya bersama jenazahnya.


CAHAYA MEMANCAR DI ATAS KUBURAN

Ibnu Abid-Dunya mengetengahkan riwayat dari Abu Ghalib, yang mengkisahkan tentang seorang pemuda di kota Syam yang sedang Naza’ menghadapi proses kematiannya. Dia mengatakan kepada pamannya: “Bagaimana pendapatmu, seandainya jika Allah swt menyerahkanku kedalam pelukan ibuku (yang sudah lama wafat). Apa yang akan dilakukan ibuku kepadaku nanti?”. Pamannya menjawab : “Jika demikian, Demi Allah, ibumu akan membawamu masuk kedalam surga”. Pemuda itu berkata : “Demi Allah! Semoga Allah swt memberikan rahmat kepadaku berkat usaha ibuku tersebut”. Tak lama kemudian pemuda tersebut wafat, lalu pamannya ikut mengantarkan dan memasukkan jenazahnya kedalam liang kubur. Setelah makam diratakannya dengan tanah dan batu bata, tiba-tiba longsor, sementara pamannya melompat ke atas kuburan,  lalu ia duduk termenung sambil memandangi kuburan keponakannya tersebut. Orang-orang bertanya kepadanya, kenapa ia duduk termenung. Dia jawab : “Kuburnya dipenuhi dengan cahaya”.

Abu Dawud dan Imam Hadis lainnya menuturkan riwayat dari Aisyah ra, bahwa ia berkata : “Sewaktu Raja Najasyi wafat, Rasulullah saw bercerita kepadaku, bahwa beliau saw baru saja melihat ada kilatan cahaya memancar dari atas kuburan Raja Najasyi”.

Ibnu ‘Asyakir didalam buku Tarikh-nya menceritakan, bahwa Abdurrahman bin Imarah berkata : “Pada saat Al-Ahnaf bin Qais wafat, aku adalah orang yang ikut meletakkan jenazahnya kedalam liang kuburnya. Setelah kuburannya aku ratakan, aku menyaksikan cahaya memancar di atas kuburannya, sehingga mataku tak henti-hentinya memandangi. Kemudian kejadian itu aku ceritakan kepada teman-temanku, dan mereka pun ingin menyaksikannya, namun mereka tidak mampu melihat apa (pancaran cahaya) yang sedang aku saksikan itu”.



==============================================

*) Sumber : Diambil dari salah satu bagian dari kitab :
Judul Asli
: مفـاهـيم يجب أن تـصحح
Penulis
: Prof. DR. Sayyid Muhammad Alawi Al-Maliki
Alih Bahasa
: Achmad Suchaimi
Judul Terjemahan
: Pemahaman Yang Perlu Diluruskan (PYPD)


Sabtu, 20 Juli 2013

PYPD - 41. KEHIDUPAN KHAS ROSULULLAH SAW DI ALAM BARZAKH *)




Oleh Sayyid Muhammad Alawi Al-Maliki

Kehidupan Barzakhiyah Nabi Muhammad saw lebih sempurna dan agung daripada selainnya. Beliau saw memberitahukan sendiri perihal keadaannya yang akan dialaminya di alam barzah sepeninggalnya. Di antaranya adalah masih bersambungnya hubungan antara beliau saw dengan umatnya, mengetahui keadaan umatnya, mengetahui dan mengawasi amal perbuatan mereka, mampu mendengarkan pembicaraan  mereka, serta dapat mengembalikan ucapan Shalawat dan Salam kepada mereka yang mengucapkannya.


RASULULLAH SAW MENGEMBALIKAN UCAPAN SHALAWAT-SALAM  UMATNYA

Banyak hadis yang menjelaskan persoalan ini, di antaranya adalah :

a. Hadis dari Abdullah bin Mas’ud ra, bahwa Rasulullah saw bersabda : “Sesungguhnya Allah swt memiliki malaikat yang berkelana keliling dunia. Mereka menyampaikan kepadaku setiap ucapan Shalawat dan Salam dari umatku”.
Al-Mundziry mengatakan bahwa hadis di atas diriwayatkan oleh an-Nasaiy dan Ibnu Hibban didalam “Shahih”-nya. Demikianlah yang dinukil didalam kitab “At-Targhib wat Tarhib juz 2, hal. 498.
Hadis di atas juga diriwayatkan oleh Isma’il al-Qadhy dan lain-lain, dari jalan yang berbeda-beda, dengan sanad Shahih, dan tidak dapat dipungkiri bahwa hadis ini berujung pada Sufyan Ats-Tsaury dari Abdullah bin as-Saib, dari Zadan, dari Abdullah bin Mas’ud ra.

b. Hadis dari Ibnu Mas’ud, bahwa Rasulullah saw bersabda : “Hidupku lebih baik bagimu, dimana kamu dapat berbicara secara langsung denganku. Dan matiku pun baik bagimu, dimana amal-amal perbuatanmu diperlihatkan Allah kepadaku, sehingga jika aku lihat baik, maka aku memuji syukur kepada-Nya dan jika aku lihat buruk, maka aku akan memohonkan ampunan kepada-Nya untukmu”.
Al-Hafizh al-‘Iraqy didalam bukunya, Al-Janaiz min Tharhit Tatsrib fi Syarh at-Taqrib (juz 3, hal. 297), mengatakan bahwa Sanadnya Jayyid (baik). Al-Haitsamy didalam bukunya, Majma’ az-Zawaid (juz 9, hal. 24) mengatakan bahwa hadis tersebut diriwayatkan oleh Al-Bazzar dan para perawinya adalah perawi hadis shahih. As-Suyuthy menilai hadis tersebut shahih sanadnya didalam bukunya, Al-Mu’jizat wal Khashaish. Demikian pula Ibnu Hajar Al-Asqalany, az-Zarqany dan Asy-Syihab al-Khafajy didalam buku Syarh asy-Syifa, juz 1, hal. 102.

c. Hadis dari ‘Ammar bin Yasir ra, bahwa Rasulullah saw bersabda : “Sesungguhnya Allah swt menugaskan kepada para malaikat-Nya untuk selalu berada di atas makamku. Kepadanya diserahkan daftar nama seluruh makhluk. Tidak seorang pun di antara mereka yang membaca shalawat-salam kepadaku hingga hari kiamat nanti, melainkan malaikat itu menyampaikan shalawat-salam orang itu kepadaku, lengkap dengan namanya dan nama ayahnya : ‘Si Fulan bin Fulan telah menyampaikan shalawata kepadamu, Hai Muhammad!’”. (HR Al-Bazzar)
 Sementara teks hadis yang diketengahkan Ibnu Hibban berbunyi : “Sesungguhnya Allah swt menugaskan malaikat dan disodorkan kepadanya daftar nama para makhluk. Ia berdiri di atas makamku setelah wafatku nanti. Tiada seorang pun di antara mereka yang bershalawat kepadaku, melainkan malaikat itu akan menyampaikannya kepadaku: ‘Hai Muhammad! Si Fulan bin Fulan telah bershalawat kepadamu’. Maka Allah swt pun akan membalas bacaan shalawatnya tersebut sepuluh kali lipat dari setiap bacaannya”.
Imam At-Thabrany juga meriwayatkan hadis dengan teks yang sama didalam kitab Al-Kabir, sebagaimana yang disebutkan didalam kitab At-Targhib wat Tarhib juz 2, hal. 500.

d. Dari Amr bin al-Haris, dari Sa’id bin Abi Hilal, dari Zaid bin Aiman, dari ‘Ubadah bin Nasiyyi, dari Abud-Darda’ ra, bahwa Rasulullah saw bersabda : “Perbanyaklah olehmu bershalawat kepadaku pada hari jum’at, karena bacaan itu akan disaksikan oleh para malaikat. Sesungguhnya seseorang tidak akan bershalawat kepadaku melainkan bacaan itu akan dihaturkan mereka kepadaku sampai orang itu selesai membacanya”. Abud-Darda’ ra bertanya: “Dan juga setelah engkau wafat?”. Beliau saw jawab : “Benar, juga setelah aku wafat. Sesungguhnya Allah swt mengharamkan tanah merusakkan jasad para Nabi. Karena para Nabi, pada hakekatnya, adalah masih hidup (di alam barzakh) dan masih menerima rizki- kenikmatan” (HR Ibnu Majah didalam kitab Sunnah-nya. Dan didalam kitab Az-Zawaid dijelaskan bahwa hadis ini shahih).

e. Hadis dari Abu Hurairah ra, bahwa Rasulullah saw bersabda : “Tiada seorang pun yang mengucapkan salam kepadaku, melainkan Allah swt akan mengembalikan Ruhku pada jasadku, sehingga aku dapat mengembalikan salam kepadanya”. (HR Abu Dawud didalam kitab At-Targhib wat-Tarhib juz 2, hal. 499 dan Saikhul Islam Ibnu Taimiyah menjelaskan bahwa hadis ini shahih atas syarat Imam Muslim).


RASULULLAH SAW MENANGGAPI PANGGILAN UMATNYA

Rasulullah saw menanggapi setiap orang yang memanggilnya dengan ucapan : “Ya Muhammad!”, berdasarkan hadis dari Abu Hurairah ra, bahwa Rasulullah saw bersabda : “Sungguh, jika ada orang yang berdiri di atas makamku lalu memanggilku ‘Hai Muhammad!…’ , tentu aku akan menjawabnya”.

Hadis di atas diketengahkan oleh Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-Asqalany didalam bukunya, Al-Mathalib al-‘Aliyah juz 4, hal. 23, di bawah judul : “Kehidupan Rasulullah saw didalam Kubur”.



KIRIM SALAM KEPADA RASULULLAH SAW 

Riwayat dari Yazid al-Mahdy, bahwa ia berkisah: “Setelah aku showan menghadap khalifah Umar bin Abdul Aziz, ia berkata kepadaku : ‘Sebenarnya aku membutuhkan bantuanmu’. ‘Bagaimana mungkin engkau membutuhkan bantuanku?’ jawabku. Dia mengatakan : ‘Saya berharap kepadamu, jika kamu nanti datang ke kota Madinah dan menziarahi makam Rasulullah saw, maka sampaikanlah  Salamku kepada beliau saw”.

 Hatim bin Wardan juga menceritakan : “Khalifah Umar bin Abdul ‘Aziz Kirim salam kepada Rasulullah saw melalui orang-orang yang yang bepergian dari Syam ke Madinah, agar mereka menyampaikan dan mengucapkan salamnya itu di hadapan makam Rasulullah saw”. Demikianlah yang dihaturkan kembali oleh Al-Qadhy ‘Iyadh didalam kitab Asy-Syifa’  juz 2, hal. 83, pada bab Az-Ziyarah .

Al-Khafajy dan Mulla ‘Aly Qary menuturkan didalam kitab Syarh asy-Syifa, bahwa kisah di atas diriwayatkan oleh Ibnu Abid-Dunya dan Al-Baihaqy didalam kitab Asy-Syu’ab. Al-Khafajy berkomentar : “Di antara kebiasaan kaum salaf adalah mereka selalu mengirimkan “Salam” kepada Rasulullah saw (melalui orang yang bepergian ke Madinah). Ibnu Umar, Abu Bakar dan Umar bin Khatthab ra juga melakukan yang demikian itu. “Salam” yang disampaikan mereka tersebut akan sampai kepada beliau saw, meskipun mereka sampaikan dari ujung dunia, akan tetapi yang lebih utama adalah disampaikan secara langsung (bukan melalui kiriman), karena hal ini berarti ada keutamaan melakukan dialog dan audiensi dengan beliau saw, dan beliau saw sendiri yang akan menjawab ucapan salamnya  itu”. (Nasim ar-Riyadh, karya Al-Khafajy, juz 3, hal. 516. Al-Fairuzzabady juga menuturkannya didalam kitab Ash-Shalah wal Basyar pada halaman 153).



SUARA SALAM DAN ADZAN TERDENGAR DARI DALAM MAKAM RASULULLAH SAW

Al-Imam al-Hafizh Abu Muhammad Abdullah ad-Darimy menjelaskan didalam kitabnya, As-Sunnah : “Bercerita kepada kami Marwan bin Muhammad bin Sa’id bin Abdul Aziz : “Pada waktu terjadinya musim panas, tidak terdengar suara adzan di masjid Madinah selama dalam tiga waktu shalat. Sa’id bin al-Musayyab terpaksa tidak shalat jamaah, namun ia tidak hengkang dari masjid Nabawy. Dia tidak mengetahui apakah waktu shalat sudah masuk atau belum, melainkan ada suara ‘menggeremeng’ yang datang dari arah dalam makam Rasulullah saw”.

Riwayat ini juga dinukil oleh Imam Najmuddin al-Fairuzzabady didalam kitab Shalah wal Basyar (halaman 154). Ibrahim bin Syaiban berkata, “Setelah selesau mengerjakan haji, aku menyempatkan diri berziarah ke Madinah dan menziarahi makam Rasulullah saw. Pada saat aku mengucapkan Salam kepada beliau saw, tiba-tiba aku mendengar suara dari balik kamar makam beliau saw : Wa ‘alaikum Salam”.


DUKUNGAN IBNU TAIMIYAH

Ibnu Taimiyah menuturkan beberapa peristiwa yang berkaitan dengan kehidupan Barzakhiyah ini sehubungan dengan usaha menjadikan kuburan sebagai masjid (tempat peribadatan) atau berhala sesembahan, kemudian dia mengatakan : “Tidak masuk dalam pembahasan ini (menjadikan kuburan sebagai masjid atau berhala sesembahan) kisah yang menjelaskan tentang suatu kaum mendengar balsan Salam dari arah dalam makam Rasulullah saw atau dari dalam beberapa makam kaum shalihin. Sesungguhnya Sa’id bin al-Musayyab pernah mendengar suara Adzan dari arah dalam  makam beliau saw pada beberapa malam di musim panas. Demikian pula kejadian-kejadian aneh semisalnya”. (Iqtidhaus-Shirathil Mustaqim, halaman 373).

Pada kesempatan yang lain Ibnu Taimiyah mengatakan, “Demikian pula cerita tentang kekeramatan dan kejadian-kejadian aneh (Khawariqul ‘adah) yang ditemui di beberapa makam para Nabi dan kaum shalihin seperti turunnya Nur (cahaya) dan malaikat di atas makam mereka; menjauhnya syetan dan hewan-hewan dari makam tersebut; semburan api keluar dari dalam makam mereka atau makam-makam sekitarnya; syafaat mereka kepada penghuni kubur sekitarnya; disukainya penguburan di sebelah makam mereka; turunnya ketenangan dan ketentraman hati sewaktu berada di samping makam mereka; serta turunnya adzab (balak, siksa) kepada orang yang meremehkan atau memandang suatu makam. Kejadian-kejadian tersebut Haq, benar-benar pernah terjadi. Semoga kita tidak termasuk orang-orang yang terkena adzab seperti itu. Demikian pula kekeramatan, penghormatan dan rahmat Allah swt yang ada didalam makam para Nabi dan kaum halihin, serta kehormatan dan kemuliaan Arwah mereka di sisi Allah swt melebihi apa yang dibayangkan oleh sebagian besar orang. Hanya saja bukan pada tempatnya kami menguraikan secara panjang lebar dan terinci contoh-contoh kekeramtan tersebut didalam buku ini”. (Iqtidhaus Shirathil Mustaqim, halaman 374).

==============================================

*) Sumber : Diambil dari salah satu bagian dari kitab :
Judul Asli
: مفـاهـيم يجب أن تـصحح
Penulis
: Prof. DR. Sayyid Muhammad Alawi Al-Maliki
Alih Bahasa
: Achmad Suchaimi
Judul Terjemahan
: Pemahaman Yang Perlu Diluruskan (PYPD)

PYPD - 39. HAKEKAT KEHIDUPAN BARZAKHIYAH *)



Oleh Sayyid Muhammad Alawi Al-Maliki




KEHIDUPAN DI ALAM BARZAKH

Kehidupan di alam barzakh sebagai suatu kehidupan yang hakiki diisyaratkan oleh beberapa nash Al-Qur’an dan Hadis Shahih. Kehidupan hakiki di alam barzakh ini tidak bertentangan dengan   persoalan kematian manusia, sebagaimana firman Allah swt

وَمَا جَعَلْنَا لِبَشَرٍ مِنْ قَبْلِكَ الْخُلْدَ أَفَإِنْ مِتَّ فَهُمُ الْخَالِدُونَ(34)
Kami tidak menjadikan hidup abadi bagi seorang manusiapun sebelum kamu (Muhammad), maka jikalau kamu mati, apakah mereka akan kekal?” (QS Al-Anbiya’,[21] : 34)

إِنَّكَ مَيِّتٌ وَإِنَّهُمْ مَيِّتُونَ(30)
Sesungguhnya kamu akan mati dan sesungguhnya mereka akan mati (pula).” (QS Az-Zumar,[39] : 30)

Yang dimaksud dengan kehidupan barzakhiyah sebagai kehidupan Hakiki adalah suatu kehidupan yang benar-benar nyata, dan  bukan suatu kehidupan yang bersifat utopia, khayalan atau hanya ada di angan-angan, sebagaimana yang diyakini oleh kaum atheis dan materialis yang berpikiran sempit yang hanya percaya kepada hal-hal yang bersifat empiris,  serba nampak dan langsung dapat ditangkap indera manusia, yang tidak percaya pada hal-hal yang bersifat ghaib dan yang tidak dapat ditangkap oleh pikiran serta indera manusia.

Banyak Hadis Nabi dan Atsaryang menjelaskan tentang kemampuan pendengaran, pengelihatan, pengetahuan dan perasaan orang-orang yang sudah wafat, baik yang mukmin maupun yang kafir.

Imam Bukhary dan Muslim didalam kitab Ash-Shahihain mengetengahkan Hadis Nabi dari jalur sanad yang beragam, dari Abu Thalhah, dari Umar dan juga dari Ibnu Umar, yang menjelaskan bahwa Rasulullah saw memerintahkan para sahabat agar kedua puluh empat mayat tentara kafir Quraisy yang tewas di tengah pertempuran Badar dilemparkan saja kedalam salah satu sumur di situ. Selanjutnya beliau saw memanggil nama mereka satu persatu : “Hai Umayyah bin Khalaf…! Hai Utbah bin Rabi’ah…! Hai Syaibah bin Rabi’ah…! Hai Fulan bin Fulan…! …(dan seterusnya) …Apakah kalian sudah menemukan apa yang telah dijanjikan “tuhan-tuhan”  yang kalian sembah? Sementara aku benar-benar sudah menemukan apa-apa yang dijanjikan Tuhanku (Allah swt ) kepadaku !”.

Menyaksikan prilaku “aneh” Rasulullah saw tersebut, Umar bin Khatthab ra bertanya: “Apakah engkau berbicara dengan jasad-jasad yang sudah tidak bernyawa lagi ?”. Beliau saw menjawab : “Demi Allah yang jiwaku berada didalam kekuasaan-Nya! Sesungguhnya kalian tidak lebih mampu mendengar terhadap apa yang telah aku ucapkan kepada mereka tadi. Hanya saja mereka tidak mampu menjawabnya”.

Demikianlah Hadis yang diketengahkan oleh imam Bukhary dan Muslim dari jalur Ibnu Umar. Senada dengan di atas, ada beberapa hadis lagi yang diriwayatkan oleh Imam Bukhary dari jalur Anas bin Malik ra, dari Thalhah; Imam Muslim meriwayatkannya dari jalur  Anas bin Malik ra, dari Umar bin Khatthab; At-Thabrany meriwayatkannya dari Ibnu Mas’ud dengan sanad yang shahih dan dari Abdullah bin Saidan,  yang didalamnya terdapat teks hadis : “Ya Rasulullah! Apakah mungkin mereka mampu mendengar!”. “Mereka mampu mendengar sebagaimana kalian mendengar. Hanya saja mereka tidak mampu menanggapi atau menjawabnya”, jawab beliau saw. 

Al-Bazzar meriwayatkan hadis yang dinilai shahih oleh Ibnu Hibban, bersumber dari Ismail bin Abdurrahman as-Sadiy, dari ayahnya, dari Abu Hurairah ra, bahwa Rasulullah saw bersabda : “Sesungguhnya mayit itu dapat mendengarkan suara ketukan sandal para pelayat yang pulang dari penguburannya”.

Imam Bukhary meriwayatkan hadis didalam kitab Shahih-nya pada bab Al-Mayyit Yasma’u Khalqan-ni’al, dari jalur Anas bin Malik ra, bahwa Rasulullah saw bersabda : “seorang mayit jika sudah diletakkan di liang kuburnya, dia dapat mendengar suara ketukan sandal para pelayat yang pulang meninggalkannya. Sementara ia didatangi oleh dua malaikat (Munkar dan Nakir) dan didudukkannya”.

Kemampuan mayit mendengar suara ketukan sandal para pelayat yang kembali dari penguburan tersebut diisyaratkan oleh bebarapa hadis selain di atas, di antaranya hadis yang menceritakan tentang adanya pertanyaan kubur, disertai materi pertanyaan dan jawabannya. Juga diisyaratkan oleh beberapa hadis yang memerintahkan para peziarah kubur agar mengucapkan Salam kepada ahli kubur dengan ucapan : 

السَّـلاَمُ عَـلَيْـكُمْ   دَارَ قَـوْمٍ مُـؤْمِنِـيْنَ
Salam sejahtera semoga dilimpahkan Allah swt kepada kalian, wahai penghuni kubur kaum mukminin!”.

Ibnu al-Qayyim mengatakan bahwa ucapan Salam dengan lafazh seperti di atas hanya disampaikan kepada orang yang bisa mendengar lagi berakal. Jika tidak demikian, berarti ucapan Salam itu sama dengan disampaikan kepada orang dan barang (benda padat) yang tidak ada. Hal ini jelas tidak masuk akal. Dengan kata lain, Ahli Kubur yang diberi ucapan Salam seperti ucapan di atas jelas menunjukkan bahwa ia bisa mendengar. Jika tidak mampu mendengar, tentulah tidak ada perintah salam kepada Ahli Kubur dengan shighat salam seperti di atas. Para ulama Salaf bersepakat terhadap persoalan ini. Banyak Atsar-atsar yang mutawatir dari mereka yang menjelaskan bahwa mayit mampu mengetahui dan mendoakan baik kepada setiap orang yang menziarahinya.


Abdurrazzaq meriwayatkan hadis tentang persoalan ini dari Zaid bin Aslam, ia  menjelaskan bahwa  Abu Hurairah ra bersama-sama dengan temannya melewati sebuah pekuburan, kemudian ia bilang kepada temannya: “Ucapkan salam!”. Temannya bertanya : “Apakah aku akan mengucapkan salam kepada penghuni kubur?”. Jawab  Abu Hurairah ra : “Jika ia diberi kesempatan kembali hidup di dunia ini barangkali sehari saja, tentu ia akan mengenalimu sekarang ini!”. (HR Abdurrazzaq didalam kitabnya, Al-Mushannif , juz 3, hal. 577).

Itulah keyakinan dan akidah yang dimiliki oleh kaum Salaf, yakni golongan Ahlussunnah wal Jamaah. Hanya saja saya tidak mengerti, kenapa orang-orang yang mengaku dirinya sebagai kelompok dan pengikut ulama salaf, justru lupa, melupakan, atau mungkin pura-pura lupa terhadap kenyataan adanya  kehidupan Barzakhiyah ini.

Ibnul Qayyim secara panjang lebar menguraikan persoalan ini didalam kitabnya yang berjudul Ar-Ruh. Dan pada kesempatan ini, kami mencoba menukil fatwa-fatwa Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dari bukunya, Al-Fatawa al-Kubra”, yang menjelaskan bahwa ia pernah ditanya orang : “Apakah mayit-mayit itu mengetahui dan mengenal orang yang sedang menziarahi kuburannya? Apakah mereka juga mengenal mayit yang baru saja datang dari alam dunia ini, apakah ia masih keluarganya ataukah bukan?”  Dan pertanyaan-pertanyaan lain yang sejenis.

Ibnu Taimiyah menjawab : “Alhamdulillah. Benar, bahwa mereka mengenal. Banyak Atsar-atsar yang menjelaskan kebenaran tentang bertemunya mayit yang sudah lama menghuni alam barzah dengan mayit yang baru saja datang dari alam dunia dan menjadi penghuni baru alam barzah. Mayit-mayit yang sudah lama bertanya kepada mayit yang baru saja datang, tentang keadaan keluarga mereka yang masih hidup di alam dunia, dan juga diceritakan kepadanya tentang kiriman doa dan pahala amal shaleh dari keluarganya yang masih hidup di alam dunia. Sebagaimana yang diriwayatkan oleh Ibnul Mubarok yang bersumber dari Abu Ayyub al-Anshary: “Bila seorang mukmin wafat, sesampainya di alam kubur, ia ditemui orang-orang yang sudah lama wafat, sama halnya seperti mereka yang bertemu secara langsung di alam dunia. Mereka menyambut kedatangan mayit yang baru datang dan menanyakan segala hal kepadanya. Sebagian di antara mereka ada yang mengatakan kepada sebagian yang lain : “Lihatlah saudaramu yang baru saja datang ini! Dia nampaknya sedang istirahat”, atau ada yang mengatakan : “Sesungguhnya ia sedang bingung dan nampaknya sangat susah sekali”. Selanjutnya mereka sama mendatanginya dan menanyakan tentang keadaan keluarga mereka yang masih hidup di alam dunia, tentang keadaan teman-teman yang mereka kenal di alam dunia, atau juga, tentang apakah si Fulan atau Fulanah sudah menikah ataukan belum”.

Mengenai persoalan apakah mayit dapat mengenal siapa yang datang menziarahi kuburannya dan mengucapkan Salam kepadanya, telah dijelaskan oleh hadis yang bersumber dari Ibnu Abbas ra , bahwa Rasulullah saw bersabda : “Tiada seorang pun yang melewati suatu pekuburan saudara mukminnya yang pernah ia kenal di dunia, lalu  mengucapkan salam kepadanya, melainkan saudaranya (yang sudah wafat) itu tentu mengenalnya dan akan menjawab salamnya”.

Ibnul Mubarok mengatakan: “Hadis tersebut benar-benar berasal dari Rasulullah saw. Abdul Haq, seorang penulis kitab Al-Ahkam menilainya Shahih”. (Majmu’  Fatawa asy-Syaikh Ibnu Taimiyah, juz 24, hal. 331).

Pada kesempatan yang berbeda, Ibnu Taimiyah pernah ditanya : “Apakah mayit dapat mendengarkan pembicaraan dan melihat pribadi orang yang menziarahinya? Apakah saat itu ruh si mayit dikembalikan kepada jasadnya? Ataukah pada saat itu dan pada saat yang lain ruhnya bergerak-gerak dan mengepak-epakkan di atas  kuburannya? Apakah ruh orang yang baru saja wafat akan bertemu dan berkumpul atau bergaul dengan ruh-ruh para karib kerabatnya yang sudah lama wafat?”

Jawaban Ibnu Taimiyah : “Alhamdulillahi rabbilalamiin. Benar katamu. Secara global, mayit itu mampu mendengar, sebagaimana yang dijelaskan didalam kitab hadis “Ash-Shahihain”, dari Rasulullah saw : “Mayit mampu mendengar suara sandal para pelayat yang kembali dari penguburannya”.

Selanjutnya Ibnu Taimiyah mengemukakan beberapa hadis yang menjelaskan persoalan kehidupan barzakhiyah ini, dan ia menambahkan : “Nash-nash hadis ini menjelaskan bahwa mayit mampu mendengar secara global pembicaraan orang yang masih hidup di alam dunia. Namun hal ini bukan suatu kemestian. Terkadang mayit tersebut dapat mendengar pada suatu saat dan tidak dapat mendengar pada saat yang lain, disebabkan terhalang oleh hal-hal tertentu. Yang dimaksud dengan “Mendengar” dalam persoalan ini adalah dalam pengertian “memahami apa yang didengarnya”, bukan dalam pengertian “mendengar secara khayalan atau kiasan”. Hanya saja, pendengaran mayit tersebut tidak diikuti dengan kemampuannya untuk menyahuti atau membalas dengan suatu ucapan tertentu, sehingga orang lain (yang masih hidup) balik dapat mendengar ucapan si mayit.

Allah swt berfirman :

إِنَّكَ لَا تُسْمِعُ الْمَوْتَى

Sesungguhnya kamu tidak dapat menjadikan orang-orang yang mati mendengar “ (QS An-Naml,[27] : 80)

Yang dmaksud “mendengar” didalam ayat di atas adalah  dalam pengertian mendengar untuk menyambut dan mentaati perintah Allah swt, karena Allah swt menjadikan orang Kafir sama seperti Mayit yang tidak dapat menyahuti dan menuruti ajakan orang yang mengajaknya, dan bagaikan Hewan yang tidak mampu mendengarkan suara orang dan tidak mampu menangkap makna pemahaman yang terkandung didalamnya. Sementara Mayit, kalaupun ia dapat mendengar, ia pun juga dapat memahaminya, hanya saja ia tidak mampu menjawab orang yang mengajaknya bicara dan tidak mampu mentaati apa yang diperintahkan kepadanya dan menjauhi apa yang dilarang untuknya, sehingga tidak berguna  mengajak ber-amar makruf dan nahi munkar kepada mayit, sebagaimana tidak bergunanya mengajak orang  Kafir untuk beramar makruf dan nahi munkar, meskipun ia mampu mendengar pembicaraan atau ucapan ajakan dan mampu memahami isi pembicaraan orang.

Allah swt berfirman :

وَلَوْ عَلِمَ اللَّهُ فِيهِمْ خَيْرًا لَأَسْمَعَهُمْ وَلَوْ أَسْمَعَهُمْ لَتَوَلَّوْا وَهُمْ مُعْرِضُونَ(23)
Kalau kiranya Allah mengetahui kebaikan ada pada mereka, tentulah Allah menjadikan mereka dapat mendengar. Dan jikalau Allah menjadikan mereka dapat mendengar, niscaya mereka pasti berpaling juga, sedang mereka memalingkan diri (dari apa yang mereka dengar itu).” (QS Al-Anfal,[8] : 23)

Sedangkan persoalan kemampuan mayit untuk dapat “Melihat”, dijelaskan didalam beberapa Atsar yang bersumber dari Aisyah ra dan sahabat lainnya.

Pertanyaan mengenai Apakah Ruh si mayit dikembalikan ke jasadnya pada waktu itu, ataukah Ruhnya itu bergerak-gerak dan mengepak-epakkan di atas pekuburannya pada waktu itu dan pada waktu yang lain?, Ibnu Taimiyah menjawab, bahwa Ruh si mayit saat itu dan pada saat yang lain memang dikembalikan kepada jasadnya, sebagaimana yang dijelaskan didalam beberapa hadis Nabi. Ruh dan badan si mayit dapat bersatu kapan saja, bila Allah swt menghendakinya, yakni pada saat malaikat hendak menemuinya, atau sewaktu ia hendak mengembara di atas bumi, atau pada saat ia menemui dalam mimpi orang yang sedang tidur.

Beberapa Atsar menjelaskan tentang keberadaan Ruh-ruh orang yang sudah wafat didalam kuburnya. Mujahid mengatakan : “Ruh-ruh berada didalam liang kuburnya selama tujuh hari sejak dimakamkannya, dan tidak lepas dari itu. Namun hal ini terkadang tidak demikian, sebagaimana yang pernah dijelaskan oleh Malik bin Anas : “Telah sampai kepadaku suatu riwayat bahwa para arwah keluar dari kuburnya dan mengembara sekehendaknya. Dan hanya Allah swt yang lebih tahu”. (Majmu’ Fatawa asy-Syaikh Ibnu Taimiyah, juz 24, hal. 362)

Ibnu Taimiyah pada suatu kesempatan mengatakan, bahwa kehidupan para syuhada’ dan kenikmatan yang mereka terima, sebenarnya telah dijelaskan oleh beberapa nash Al-Qur’an dan Hadis Nabi. Di antaranya adalah sebuah hadis Shahih yang menjelaskan  bahwa Arwah mereka keluar-masuk sorga. Segolongan ulama berpendapat, bahwa para syuhada’ memang benar-benar diberi kesempatan memasuki calon surganya. Dan ini hanya khusus para syuhada. Sedangkan bagi kaum shalihin, shiddiqin dan lainnya, mereka tidak diberi kesempatan untuk memasukinya. Pendapat yang benar adalah pendapatnya para Imam dan mayoritas pengikut Ahlussunnah wal jamaah yang menyatakan, bahwa kehidupan, rizki, kenikmatan dan kesempatan memasuki surga, bukanlah monopoli para syuhada’ saja. Bisa jadi hal itu juga diberikan kepada selain mereka, sebagaimana yang dijelaskan oleh beberapa nash-nash yang ada. (Majmu’ Fatawa asy-Syaikh Ibnu Taimiyah, juz 24, hal. 332).



JANGAN SAKITI MAYIT

Rasulullah saw pernah melihat seseorang yang sedang menyandarkan tubuhnya di atas suatu makam, lalu beliau saw  bersabda : “Anda jangan menyakiti penghuni kubur itu”.

Hadis tersebut diketengahkan oleh Ibnu Taimiyah didalam bukunya, Al-Muntaqa, juz 2, hal. 104 dan ia mengaitkannya dengan sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad bin Hambal dalam Musnad-nya. Demikian pula Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-Asqalany menyebutkannya didalam kitabnya, Fathul Bary, juz 3, hal. 178 dengan sanad Shahih.

Ath-Thahawy mengetengahkan sebuah hadis didalam bukunya, Ma’anil Atsar, juz 1, hal 296 yang bersumber dari Ibnu ‘Amr bin Hazm yang artinya : “Rasulullah saw melihat aku yang sedang berada di atas pekuburan seseorang, lalu bersabda : ‘Turunlah dari kuburan itu! Jangan sakiti penghuninya (mayit), karena ia tidak menyakitimu’”. (Majma’ az-Zawaid, juz 3, hal. 61).



MAKNA KEHIDUPAN BARZAKHIYYAH

Perlu kami jelaskan bahwa yang dimaksud dengan kehidupan barzakhiyah adalah suatu kehidupan yang sama sekali berbeda dengan kehidupan duniawiyah, bahkan merupakan suatu kehidupan yang khas yang sangat sesuai dengan kondisi para penghuninya (para arwah).

Dalam kehidupan duniawi, manusia masih diharuskan melakukan aktifitas-aktifitas seperti ibadah, adab sopan santun, adat istiadat, berbudaya, bernegara, ketaatan, serta melaksanakan Hak dan Kewajiban tertentu, baik terhadap diri sendiri, keluarganya, masyarakat, maupun terhadap Tuhannya. Dalam kehidupan duniawi, suatu saat manusia dalam keadaan suci dan pada saat lain dalam keadaan yang sebaliknya; suatu saat ia berada di masjid, dan pada saat yang berbeda ia didalam kamar kecil. Manusia tidak mengetahui, kapan ia berakhir menjalani hidup di dunia ini. Terkadang jarak antara dirinya dan surga hanya sehasta. Tadinya ia mukmin dan tergolong calon penghuni surga, lalu tiba-tiba berbalik menjadi Kafir dan menjadi calon penghuni neraka. Begitu sebaliknya, sepanjang hidupnya ia nampak seperti calon penghuni neraka, dan tanpa diduga beberapa saat menjelang kematiannya, ia justru berbalik menjadi orang yang beriman dan bertaubat, sehingga ia menjadi calon ahli surga.

Sementara selama dalam kehidupan Barzakhi ini, jika termasuk orang yang beriman, ia akan melewati tahapan-tahapan ujian dan cobaan, yakni siksa kubur yang tidak akan selamat melewatinya kecuali Ahlus-Sa’adah. Dia pun bebas dari beban menjalankan syariat. Dia menjadi Ruh yang bercahaya, suci, dapat berfikir, dapat berkelana ke tempat-tempat yang dikehendakinya, bahkan berjalan dan  berkeliling ke seluruh wilayah Kerajaan Allah swt , yang meliputi alam syahadah dan alam ghaib. Dia selalu riang gembira,  serta tidak mengenal susah payah dan sedih, karena ia tidak terikat atau butuh kepada dunia, harta, emas dan perak, sehingga dia tidak mengenal irihati, hasud, melakukan kejahatan, dan juga tidak mengenal dendam antara yang satu dengan lainnya.

 

==============================================

*) Sumber : Diambil dari salah satu bagian dari kitab :
Judul Asli
: مفـاهـيم يجب أن تـصحح
Penulis
: Prof. DR. Sayyid Muhammad Alawi Al-Maliki
Alih Bahasa
: Achmad Suchaimi
Judul Terjemahan
: Pemahaman Yang Perlu Diluruskan (PYPD)