PANDANGAN
IBNU TAIMIYAH
Syaikhul
Islam Ibnu Taimiyah memiliki pendapat yang indah tentang persoalan ziarah
kubur, setelah pembahasannya mengenai Bid’ah-nya melakukan bepergian
jauh dengan tujuan semata-mata menziarahi makam Rasulullah saw dan bukan
menziarahi Masjid Nabawy. Dia menegaskan, bahwa yang perlu ditentang dan
diberantas, pada dasarnya, adalah sikap perilaku kaum muslimin yang menganggap
berziarah ke makam para Nabi merupakan suatu perjalanan ibadah dalam
rangka mendekatkan diri kepada Allah swt. Setelah mereka mengetahui tentang Sunnah-nya
menziarahi makam Rasulullah saw, sebagaimana yang dituturkan oleh para Fuqaha’,
mereka lalu menyangka bahwa seluruh makam-makam yang tersebar di dunia ini,
baik itu makamnya para Nabi, kaum shalihin, auliya’ dan makam kaum muslimin
pada umumnya, adalah perlu didatangi sebagaimana mendatangi makam Rasulullah
saw, sehingga mereka menjadi tersesat. Kesesatan pemahaman mereka terletak pada
dua segi
Pertama.
Sesungguhnya bepergian jauh untuk menziarahi makam
Rasulullah saw hanyalah merupakan mengunjungi Masjid Nabawi. Dan ini hukumnya
sunnah berdasarkan nash-nash hadis yang ada dan berdasakan ijmak
(konsensus) para ulama fiqih.
Kedua.
Melakukan bepergian jauh menuju ke suatu masjid,
baik yang dilakukan para sahabat semasa Rasulullah saw masih hidup, maupun oleh
kaum muslimin setelah wafatnya beliau saw, baik sewaktu bilik makam Rasulullah
saw masih berada di luar Masjid Nabawi, maupun setelah dimasukkan kedalamnya,
baik didalamnya ada makam maupun tidak ada, pada dasarnya dapat dinilai
melakukan perjalanan jauh ke masjid itu sendiri, sehingga tidak boleh
menyamakan atau menserupakan perjalanannya itu dengan semata-mata mendatangi kuburannya.
Selanjutnya
Ibnu Taimiyah menjelaskan, bahwa bepergian menuju ke Masjid Nabawy, yang lebih dikenal dengan istilah menziarahi
Makam Rasulullah saw, merupakan perbuatan yang disepakati kesunnahannya
oleh kaum muslimin sepanjang masa. Sedangkan bepergian jauh untuk menziarahi seluruh makam-makam yang ada adalah
tidak dikenal dan tidak pernah dilakukan oleh seorang pun dari generasi sahabat
dan tabi’in, bahkan tidak pernah dilakukan dan dikenal oleh orang-orang
dari generasi Tabi’ut-tabi’in.
Ibnu Taimiyah
melanjutkan pembahasannya, bahwa kaum muslimin hendaknya senantiasa bepergian
jauh untuk mengunjungi Masjid Nabawi dan bukan untuk mengunjungi makam-makam
para Nabi, seperti mengunjungi makamnya Nabi Musa dan Nabi Ibrahim. Tidak
pernah dikenal dari seorang pun sahabat, bahwa mereka mengunjungi makam Nabi
Ibrahim di Syam, meskipun mereka berulang kali pergi ke kota Syam (Damaskus)
dan Baitul Maqdis. Bagaimana mungkin
bepergian mengunjungi Masjid Nabawy, yang lebih dikenal oleh kaum
muslimin dengan istilah mengunjungi makam Rasulullah saw tersebut lalu
disamakan begitu saja dengan bepergian untuk mengunjungi makam-makam para
Nabi?.
Dari
penjelasan di atas dapat kita ambil suatu pemahaman yang sangat berharga, bahwa Ibnu Taimiyah tidak mengkonsepsikan atau
menggambarkan perjalanan jauh menziarahi makam Rasulullah saw tersebut
semata-semata sebagai perjalanan menziarahi makamnya saja, lalu tidak mau
memasuki Masjid Nabawai untuk melakukan shalat didalamnya agar mendapatkan
pahala yang berlipat ganda. Sebaliknya, sama sekali tidak masuk akal jika
perjalanannya itu hanya sekedar mengunjungi Masjid Nabawy, lalu tidak melakukan
ziarah ke makam Rasulullah saw dan tidak berdiri di depan makamnya untuk
mengucapkan “Salam” kepada beliau saw dan kedua sahabatnya. Dengan kata
lain, orang yang pergi mengunjungi Masjid Nabawy otomatis ia akan menziarahi
makam Rasulullah saw dan sebaliknya
orang yang pergi dengan niat menziarahi makam beliau saw otomatis ia
mengunjungi Masjid Nabawi.
Dengan
demikian, sekarang kita tahu bahwa Ibnu Taimiyah ternyata Membolehkan
menziarahi makam Rasulullah saw seperti yang tercermin didalam
pernyataanya: “Bagaimana mungkin
bepergian mengunjungi Masjid Nabawy, yang lebih dikenal oleh kaum
muslimin dengan istilah mengunjungi makam Rasulullah saw, lalu disamakan begitu
saja dengan bepergian untuk mengunjungi makam-makam para Nabi?.” ;
“Sesungguhnya bepergian jauh untuk menziarahi makam Rasulullah saw hanyalah
merupakan mengunjungi Masjid Nabawi”; “Sesungguhnya bepergian menuju ke Masjid
Nabawy, yang lebih dikenal dengan
istilah menziarahi Makam Rasulullah saw, merupakan perbuatan yang
disepakati kesunnahannya oleh kaum muslimin sepanjang masa”.
Pendapat
Ibnu Taimiyah yang cukup indah tersebut dapatlah kita jadikan sebagai
alternatif untuk memecahkan problem besar kaum muslimin yang selama ini
menyebabkan mereka berpecah belah, saling kafir mengkafirkan, dan melontarkan
tuduhan murtad kepada orang yang tidak sependapat dengan mereka. Kalau memang
benar bahwa mereka adalah pengikut setia ulama salaf, semestinya mereka
mengikuti jalan pikiran Ibnu Taimiyah yang mereka anggap sebagai “Pemimpin
kaum salaf” saat itu, dan semestinya pula mereka mau memahami alasan dan
berhusnu zhan (berbaik sangka) kepada kelompok lain yang tidak sependapat
dengan mereka, sehingga selamatlah kaum muslimin dari perpecahan, bebas dari
ancaman neraka, dan hidup bahagia di surga.
Baik diakui
maupun tidak, itulah sikap dan pandangan yang benar yang dapat kita jadikan
sebagai landasan dalam kehidupan beragama dan beri’tiqad. Dengan demikian, jika
kita saksikan ada orang yang mengatakan bahwa bepergiannya itu adalah dalam
rangka mengunjungi Masjid Nabawy, maka didalam ucapannya itu berarti mengandung
pemahaman menziarahi makam Rasulullah saw. Begitu pula sebaliknya. Karena antara
makam Rasulullah saw dengan Masjid Nabawy merupakan satu kesatua yang tidak
dapat dipisah-pisahkan, dan orang yang pergi ke sana, baik ke Masjid maupun ke
Makam Rasulullah saw, pada hakekatnya yang dituju adalah diri Rasulullah saw
itu sendiri. Dengan kata lain, menziarahi Masjid Nabawy maupun menziarahi makam
Rasulullah saw, pada hakekatnya, adalah menziarahi diri Rasulullah saw itu
sendiri.
Mengenai
kedudukan “makam” Rasulullah saw
pada hakekatnya tidak boleh dijadikan sebagai tujuan akhir dari
bepergiannya. Kita bepergian ke sana
hanyalah diarahkan kepada “diri beliau saw”, bukan pada “Makam
beliau saw”. Atau kita bepergian ke sana adalah semata-mata menziarai “Diri
Rasulullah saw” dan ingin bertaqarrub kepada Allah swt dengan perantaraan
ziarah tersebut. Oleh karena itu, kaum muslimin yang ingin melakukan
ziarah wajib meluruskan dan menegakkan niatnya agar terbebas dari hal-hal yang
syubhat. Misalnya sewaktu akan berangkat ia berucap : “Kami niat menziarahi
Rasulullah saw”, atau “Kami bepergian ini untuk mengunjungi Rasulullah
saw”. Jadi niat yang dituju adalah menziarai “Diri pribadi
Rasulullah saw”, bukan menziarahi “Makamnya”. Oleh karenanya, Imam Malik paling tidak suka
kepada orang yang mengucapkan niat : “Aku berniat menziarahi makam
Rasulullah saw”
Para ulama
bermadzhab Maliki menafsirkan, bahwa ketidaksukaan Imam Malik tersebut adalah
bukan dilihat dari segi hukum halal-haramnya, akan tetapi lebih dipandang dari
segi “Adab Sopan Santun” dalam melafazhkan niat. Meskipun demikian, jika
ada orang yang melafazhkan niat “Menziarahi makam Rasulullah
saw”, bukan berarti orang itu semata-mata mengunjungi “Kuburan”-nya
saja, akan tetapi juga sekaligus mengunjungi Masjid Nabawi. Kenyataan ini dapat
Anda buktikan sendiri di Masjid Nabawi, ternyata para musafir tersebut ikut berdesak-desakan memperebutkan
tempat “Raudhah”. Mereka bergegas-gegas dan berusaha mendahului temannya
sewaktu pintu Masjid Nabawy mulai dibuka, sampai-sampai mereka ada yang nyaris
bertarung hanya karena rebutan ingin mendapatkan tempat di “Raudhah” dan melakukan shalat di Masjid Nabawi.
Fenomena ini menunjukkan bahwa mereka tidak sekedar datang menziarahi “makam”
Rasulullah saw, akan tetapi yang lebih utama adalah menziarahi “Diri” Rasulullah
saw.
PANDANGAN
IMAM ADZ-DZAHABY
Riwayat dari
Hasan bin Hasan bin Ali, bahwa ia pernah melihat seorang lelaki yang berdiri di
depan bilik makam Rasulullah saw untuk berdoa dan mengucapkan Salam kepada
beliau saw. Hasan berkata kepadanya : “Anda jangan melakukan seperti itu,
karena Rasulullah saw pernah bersabda : ‘Jangan kamu jadikan bilik makamku
sebagai tempat perayaan, jangan pula
kamu jadikan rumahmu sebagai kuburan, dan bershalawatlah untukku di mana pun
kamu berada, karena bacaan shalawatmu itu akan sampai kepadaku’”.
Riwayat di
atas mursal. Hasan sendiri tidak memakainya sebagai dalil didalam setiap
fatwanya. Orang yang berdiri di depan bilik makam Rasulullah saw disertai
dengan perasaan rendah hati seraya mengucapkan salam dan shalawat kepada beliau
saw, dia sebenarnya termasuk orang yang beruntung dan merupakan sebaik-baik
sikap dalam berziarah kubur. Karena hal itu berarti dia telah melakukan ibadah ganda, daripada orang yang sekedar
membaca shalawat-salam dari jarak jauh (di kampung halamannya) atau sewaktu
didalam shalatnya. Selain dia mendapatkan pahala karena bacaan
shalawat-salamnya, juga akan mendapatkan pahala berziarah kubur. Sementara
orang yang membaca shalawat-salam dari jarak jauh (di kampung halamannya) atau
didalam shalatnya, ia hanya mendapatkan pahala dari bacaannya itu saja. Orang yang
membaca shalawat dan salam kepada Rasulullah saw sekali, maka Allah swt akan
bershalawat (memberikan rahmat) kepadanya sepuluh kali. Hanya saja, orang yang
tidak bersopan santun sewaktu berziarah ke makam Rasulullah saw , atau bersujud
ke arah makamnya, atau melakukan hal-hal yang tidak disyariatkan, sama artinya
ia telah melakukan kebaikan dan keburukan sekaligus.
Tidak
seorang muslimpun yang berteriak-teriak, menciumi bilik makam Rasulullah saw
dan terus menerus menangis di situ, selain terdorong oleh rasa “Mahabbah”-nya
kepada Allah swt dan Rasulullah saw. Rasa Mahabbah itulah yang
memisahkan antara ahli surga dan ahli neraka.
Dengan demikian, menziarahi makam Rasulullah saw merupakan salah satu
cara mendekatkan diri kepada Allah swt yang paling utama. Bepergian jauh untuk
menziarahi makam para Nabi, auliya’ dan kaum shalihin pada umumnya memang kita
akui tidak diizinkan oleh syariat Islam berdasarkan hadis Nabi : “Janganlah
bepergian melainkan menuju ke tiga masjid…”. Namun khusus menziarahi makam
Rasulullah saw , secara otomatis, mengharuskan peziarahnya mengunjungi Masjid
Nabawi, dan hal ini disyariatkan oleh agama tanpa adanya perbedaan pendapat.
Oleh karena itu, sewaktu memasuki Masjid Nabawi hendaklah dimulai dengan shalat
sunnah tahiyyatul masjid dua rekaat, kemudian baru menghormat Rasulullah
saw dengan cara mengucapkan salam kepadanya. Semoga kita semua diberi rizki
yang banyak. Sehingga kita dapat menziarahi Rasulullah saw. Amin. (“Siyaru
A’lamin-Nubala’”, juz 4, halaman 483-485)
PANDANGAN
IMAM MALIK
Imam Malik adalah seorang ulama yang sangat
keras dalam menghormati petilasan dan bekas peninggalan Rasulullah saw. Dia
adalah orang yang tidak mau berjalan dengan memakai sandal atau alas kaki dan
naik kendaraan, serta membuang kotoran (kencing, berak, dan sejenisnya) didalam
kota Madinah. Tindakannya ini sebagai wujud penghormatan, pengagungan dan
pemuliaannya terhadap kesucian tanah Madinah yang pernah diinjak kaki
Rasulullah saw. Sewaktu Amirul Mukminin Al-Mahdy, seorang khalifah dari dinasti
Abbasiyah, berkunjung ke kota Madinah, Imam Malik berani berbicara secara terus
terang kepadanya : “Sesungguhnya engkau sekarang memasuki wilayah kota
Madinah. Kanan kiri yang engkau lewati adalah masyarakat keturunan sahabat
Muhajirin dan Anshar. Karena itu, ucapkanlah salam kepada mereka, sebab tiada
masyarakat di atas dunia ini yang lebih baik dari pada penduduk
Madinah”. Khalifah Al-Mahdy menanggapi peringatan Imam Malik tersebut
dengan ucapan: “Wahai Abu Abdillah! Dari mana engkau bisa mengatakan
seperti itu?”. “Karena dewasa ini tidak dikenal lagi suatu makam Nabi di atas
bumi ini selain makam Rasulullah Muhammad saw. Sementara makam beliau saw berada di tengah-tengah
penduduk Madinah. Karena itu, sebaiknya engkau mengetahui keutamaan dan
kehormatan mereka”. (Demikianlah kisah yang tersebut didalam kitab Al-Madarik,
karya al-Qadhy ‘Iyadh).
Betapa
tingginya penghormatan Imam Malik kepada kota Madinah, sehingga ia tidak suka
mendengar orang yang mengucapkan : “Aku ingin menziarahi makam Rasulullah
saw”. Sebenarnya yang dikehendaki Imam Malik adalah ucapan : “Aku ingin
menziarahi Diri Rasulullah saw”, secara tegas, terang, jelas dan
tanpa menyebutkan kata-kata “Makam”. Kata-kata itu tidak layak
disebutkan karena ada hadis yang
menuturkan : “Shalatlah di rumahmu, janganlah engkau menjadikan rumahmu
sebagai kuburan”.
Ibnu Hajar
Al-Asqalany mengatakan : “Imam Malik hanya tidak suka disebutkannya kata makam/kuburan
sewaktu melafazhkan niat berziarah. Bukan berarti dia tidak menyukai berziarah
kubur, karena dia berpandangan bahwa ziarah kubur merupakan amal perbuatan yang
paling utama dan salah satu cara mendekatkan diri kepada Allah swt yang agung
dan penting. Apalagi pensyariatan ziarah kubur sudah disepakati kebolehannya,
bahkan kesunnahannya, oleh mayoritas kaum muslimin, tanpa adanya perbedaan
pendapat”. (Fathul Bary, juz 3, hal. 66).
Ibnu
Abdilbarr mengatakan, bahwa Imam Malik hanya tidak menyukai penggunaan ungkapan
“Berziarah ke makam” atau “Aku menziarahi makam
Rasulullah saw”. Karena ungkapan itu hanya pantas diterapkan
untuk semua makam-makam yang ada. Imam Malik tidak suka menyamakan makam
Rasulullah saw dengan makam orang-orang pada umumnya.
Pada
dasarnya, pergi ke makam-makam pada umumnya boleh saja dilakukan, akan tetapi
pergi ke makam Rasulullah saw adalah suatu keharusan, bukan keharusan
dalam pengertian Fardhu, tetapi dalam pengertian Sunnah Muakkadah. Yang
lebih penting menurut pendapatku adalah, bahwa ketidaksukaan Imam Malik
tersebut lebih ditujukan kepada penggunaan istilah “Kuburan/makam Rasulullah
saw”, karena dia mendasarkan pada hadis Nabi : “Ya Allah! Jangan engkau
jadikan kuburanku ini sebagai berhala yang disembah-sembah orang setelah
wafatku. Allah swt sangat marah kepada suatu kaum yang menjadikan makam para
Nabi sebagai ‘Masjid’ (tempat peribadatan).”.
Perlu saya
tegaskan, jika yang dikehendaki itu adalah tidak menyukai berziarah kubur,
tentu Imam Malik akan mengatakan : “Saya tidak menyukai orang yang
menziarahi makam Rasulullah saw”. Namun kenyataannya, imam Malik hanya
mengatakan “Saya tidak menyukai orang yang mengucapkan ‘Aku berniat ziarah
ke makam Rasulullah saw’”. Jadi, yang tidak disukai Imam Malik adalah ucapan
seseorang, bukan perbuatan ziarahnya.
PANDANGAN
PARA ULAMA BERMADZHAB HAMBALI
Ziarah ke
makam Rasulullah saw adalah disyariatkan agama. Pendapat ini dituturkan oleh
mayoritas ulama, termasuk para ulama salaf. Tentang maksud dan tujuan berziarah
yang diuraikan secara khusus oleh para ulama madzhab Hambali adalah semata-sama
sebagai sanggahannya terhadap
orang-orang yang menyangka bahwa para ulama madzhab Hambali tidak menganjurkan
berziarah, atau disangka mereka melarang menziarahi makam Rasulullah saw.
Selain itu, kitab-kitab fiqih seluruh madzhab dalam Islam adalah penuh dengan
anjuran untuk menziarahi makam Rasulullah saw. Jika Anda ingin tahu, lihat saja
kitab-kitab fiqih madzhab Hambali, Maliki, Syafi’I, Hanafi, Zaidi (salah satu
sekte Syi’ah Zaidiyah), madzhab Abady (salah satu sekte Khawarij
aliran Abadhiyah), dan madzhab Ja’fari (salah satu sekte Syi’ah
Ja’fariyah atau Imamiyah). Dari kitab-kitab mereka itu, Anda akan
menemukan pendapat-pendapat mereka yang menganjurkan untuk melakukan ziarah ke
makam Rasulullah saw. Persoalan ini dibahas secara khusus didalam bab “Ziarah”,
setelah bab “Manasik Hajji” didalam kitab-kitab mereka.
PANDANGAN
ULAMA SALAF
1).
Pandangan Al-Qadhy ‘Iyadh.
Rasulullah
saw bersabda : “Islam itu muncul pertama kali dalam keadaan asing dan akan
kembali asing seperti semula. Islam berlindung didalam dua masjid (yakni
Masjidil Haram dan Masjid Nabawi), bagaikan berlindungnya seekor ular kedalam
lobang sarangnya”. Sementara hadis
yang bersumber dari Abu Hurairah ra ada teks yang berbunyi : “… hendaklah
berlindung ke kota Madinah…”(Al-Hadis).
Al-Qadhy
‘Iyadh memberikan komentarnya , bahwa sabda Rasulullah saw yang berbunyi “… hendaklah
berlindung ke kota Madinah…” adalah bermakna : bahwa iman
pada awal kemunculannya dan pada akhir jaman adalah seperti yang digambarkan
oleh hadis tersebut. Pada awal periode Islam, setiap orang yang memiliki kemurnian
iman dan Islam akan pergi ke kota Madinah, apakah ia sebagai kaum
muhajirin yang ingin menetap di sana, ataukah sekedar kangen kepada Rasulullah
saw. Selama di Madinah, mereka ingin mendekat dan belajar ilmu kepada beliau
saw. Setelah beliau saw wafat, tepatnya pada masa kekhalifahan Khulafaurrasyidin,
keadaan kaum muslimin relatif sama seperti pada masa Rasulullah saw masih
hidup, dimana mereka mengambil suri teladan dari kehidupan Khulafaurrasyidin
dan mengikuti jejak mayoritas para sahabat
di Madinah. Kemudian pada suatu periode setelah itu, yakni periode kejayaan
Islam dimana para ulama berada pada puncak kreatifitasnya, kaum muslimin yang
dari dalamhatinya terpancar cahaya keimanan, mereka sama pergi ke kota Madinah.
Selanjutnya pada perode-periode setelah itu sampai sekarang, kaum muslimin
pergi ke kota Madinah untuk berziarah ke makam Rasulullah saw, bertabarruk
dengan makam dan petilasan beliau saw, serta para sahabat beliau saw di
Madinah. Tidak ada yang melakukan seperti itu selain orang yang benar-benar
memiliki keimanan yang teguh dan mantap.
Demikianlah
komentar Al-Qadhy ‘Iyadh. Wallahu A’lam bish-Shawab. (Syarh Shahih
Muslim, tulisan Imam An-Nawawy, halaman 177).
2).
Pandangan Imam Syarafuddin An-Nawawy.
Dia adalah
seorang ulama besar, penulis kitab “Syarh Shahih Muslim” . Didalam kitab
“Al-Idhah” yang membahas persoalan manasik Haji, dia menulis satu Bab
yang khusus membicarakan Ziarah Ke Makam Rasulullah
saw.
Didalam
bukunya, Syarh Shahih Muslim, juz 9, hal. 106, Imam Nawawy menyinggung
persoalan Ziarah ke makam Rasulullah saw sebagai komentarnya terhadap hadis
Nabi : “Janganlah bepergian jauh (ke masjid) melainkan menuju ke tiga
Masjid, yakni Masjidil Haram, Masjidku (Masjid Nabawi) ini dan Masjidil Aqsha”.
Dia mengatakan, “Jika para jamaah haji dan umrah menyelesaikan
manasiknya dan hendak pulang meninggalkan kota Makkah, sebaiknya mereka
menyempatkan diri mengunjungi kota Madinah untuk melakukan ziarah ke makam
Rasulullah saw, karena hal ini merupakan salah satu cara yang terbaik untuk
mendekatkan diri kepada Allah swt dan sebagai sarana untuk memperoleh
keberkahan”.
3).
Imam Ibnu Hajar Al-Haitsamy
Dia memberikan
komentar terhadap kitab susunan Imam An-Nawawy, “Al-Idhah”, sehubungan
dengan ucapannya, bahwa Imam Al-Bazzar
dan Ad-Daruquthny meriwayatkan hadis dari Ibnu Umar, dari Rasulullah saw
: “Barangsiapa yang menziarahi makamku, maka aku berkewajiban memberikan
syafaat kepadanya”.
Hadis tersebut juga diriwayatkan oleh Ibnu
Huzaimah dalam kitab Shahih-nya dan beberapa Imam Ahli hadis seperti
Abdulhaqq, at-Taqiy dan as-Subky
menilainya sebagai hadis shahih.
Ad-Daruquthny,
At-Thabrany dan Ibn as-Subky meriwayatkan hadis yang serupa, bahwa Rasulullah
saw bersabda : “Barangsiapa yang datang menziarahiku, ia tidak memiliki hajat
kecuali semata-mata menziarahiku, maka ia berhak mendapatkan syafaatku pada
hari kiamat”. Pada riwayat yang lain dituturkan : “…maka ia mendapatkan
haknya dari Allah swt agar aku memberinya syafaat pada hari kiamat”.
Yang
dimaksud dengan: “… tidak memiliki hajat kecuali semata-mata menziarahiku”, adalah
bahwa ia menghindari maksud dan tujuan yang tidak berkaitan dengan aktifitas
ziarah itu sendiri. Sedangkan maksud dan tujuan yang berkaitan dengan aktifitas
ziarah misalnya ia bermaksud sengaja melakukan I’tikaf, memperbanyak dzikir dan
ibadah lainnya di Masjid Nabawi,
menziarahi makam sahabat beliau saw dan amalan-amalan sunnah lainnya yang biasa
dilakukan oleh para peziarah. Kesemua amalan tersebut tidak menghalanginya
untuk mendapatkan syafaat beliau saw.
Hadis di
atas mempunyai makna yang cukup luas yang meliputi : menziarahi Rasulullah saw di waktu masih
hidup maupun sesudah wafatnya; mencakup peziarah lelaki maupun perempuan; dari
daerah sekitar kota Madinah maupun luar kota Madinah. Oleh karena itu, hadis
tersebut dapat dijadikan sebagai hujjah tentang fadhilah dan keutamaan
bepergian jauh dalam rangka melakukan ziarah ke makam Rasulullah saw dan
sebagai dalil tentang sunnahnya berziarah kubur.
Abu Dawud
mengetengahkan hadis dengan sanad shahih : “Tiada seorang pun yang
mengucapkan salam kepadaku, melainkan Allah swt akan mengembalikan ruhku kepada
jasadku, sehingga aku dapat mengembalikan salam kepadanya”.
Coba
renungkan keutamaan yang agung didalam hadis tersebut, yakni dikembalikan dan
dipersatukannya kembali Ruh beliau kedalam Jasad-nya untuk dapat
mengembalikan salam kepada orang yang mengucapkannya. Ini menunjukkan bahwa
beliau saw, pada hakekatnya, adalah masih hidup, yakni hidup di alam barzah,
sama seperti hidupnya para Nabi yang lain. Didalam sebuah hadis yang
diriwayatkan secara marfu’ dituturkan : “Para Nabi itu hidup didalam
kuburnya. Mereka melakukan shalat didalamnya”. Ungkapan : “Dikembalikannya Ruh kedalam
jasad beliau saw” dapat diartikan : “Dikembalikannya kemampuan dan kekuatan berbicara,
sehingga saat itu beliau saw dapat mengembalikan ucapan salam…”. (Lihat
kitab: Al-Idhah, halaman 488).
4).
Imam Ibnu Hajar Al-Asqalany
Dia memberikan
komentar terhadap sabda Rasulullah saw : “Janganlah bepergian jauh melainkan
menuju ke tiga Masjid, yakni Masjidil Haram, Masjidku ini (Masjid Nabawi) dan
Masjidil Aqsha). Bahwa ungkapan kata: “… menuju ke tiga masjid …”
berkedudukan sebagai “Mus-tatsna” dimana
“Mustatsna Min-hu”-nya adalah dibuang, yang terkadang diperkirakan
berupa lafazh atau kata yang umum, yakni
“tempat” dalam pengertian yang luas, sehingga pengertian
hadis tersebut akan berbunyi : “Janganlah bepergian jauh ke suatu tempat
melainkan menuju ke tiga masjid”; atau berupa lafazh atau kata
tempat yang lebih khusus dari itu, sehingga pengertian hadis tersebut
adalah : “Janganlah bepergian jauh ke tempat perdagangan…; bepergian untuk
tujuan shilaturrahim…; bepergian untuk
mencari ilmu… ; dan lainnya, kecuali menuju ke tiga masjid…”. Adapun
Mustatsna minhu yang lebih pas, layak dan sesuai adalah
berupa lafazh atau kata yang
sejenis dan berkaitan dengan “Mus-tatsna”-nya, yakni lafazh “Masjid”,
sehingga pengertiannya adalah : “Janganlah bepergian jauh ke suatu
masjid, melainkan menuju ke tiga masjid, yakni …”. Dengan demikian, maka
gugurlah pendapat orang yang melarang bepergian jauh untuk menziarahi makam
Rasulullah saw dan makam-makam para Nabi serta kaum shalihin lainnya. Wallaahu
a’lam. (“Fathul Bary”, juz 3, halaman 66).
5).
Syaikh Al-Karmany
Syaikh
Al-Karmany didalam kitab Syarahnya terhadap
kitab Shahih Al-Bukhary menjelaskan tentang potongan hadis yang artinya:
“…melainkan menuju ke tiga masjid…”. Bahwa “Istitsna’”-nya adalah
“mufarragh” (dikosongkan, dibuang). Jika Anda mengatakan bahwa
pengertian hadis tersebut kira-kira akan berbunyi : “Janganlah bepergian
jauh ke suatu tempat, melainkan ke tiga masjid…”, maka
jelaslah tidak diperbolehkan bepergian ke tempat apa saja selain tempat-tempat yang
dikecualikan itu. Dengan demikian, tidak diperbolehkan mengunjungi makam Nabi
Ibrahim dan makam-makam yang lain. Karena “Mus-tatsna min-hu”-nya
terbuang, maka “taqdir”-nya (perkiraannya) adalah harus berupa lafazh
atau kata yang paling umum.
Yang
dimaksud dengan “kata yang paling umum” adalah kata yang sesuai dan
berkaitan dengan “Mus-tatsna”-nya, baik sesuai dalam hal macam, jenis
maupun sifatnya. Misalnya Anda mengatakan : “Aku tidak melihat
kecuali Zaid”, maka kalimat Anda yang lengkap kira-kira berbunyi
: “Aku tidak melihat seseorang kecuali Zaid” , bukannya akan
berbunyi : “Aku tidak melihat sesuatu barang atau hewan, kecuali Zaid”. Dari ilustrasi tersebut
maka kita dapat memahami “taqdir” dari “Mus-tatsna min-hu” yang
terbuang tadi, yakni berupa kata “masjid”, sehingga pengertian hadis di
atas akan berbunyi : “Janganlah bepergian jauh ke suatu masjid, melainkan
menuju ke tiga masjid…”.
6).
Syaikh Badruddin Al-‘Ainy
Syaikh
Badruddin Al-‘Ainy didalam kitab “Syarh
al-Bukhary” mengatakan, bahwa Ar-Rafi’iy meriwayatkan suatu cerita dari
Al-Qadhy Ibnu Kaj, dia berkata : “Bila ada orang yang memiliki nadzar berziarah
kubur ke makam Rasulullah saw, menurutku hanya ada satu pendapat, yakni orang
itu harus melaksanakan nadzarnya ke makam Rasulullah saw itu saja. Jika dia
memiliki nadzar berziarah ke makam selain makam beliau saw, menurutku ada dua
pendapat, yakni ia boleh melaksanakan nadzarnya, dan boleh tidak melaksanakan
nadzarnya. Al-Qadhy ‘Iyadh dan Abu Muhammad Al-Juwainy (salah seorang ulama Syafi’iyah)
berkata : ‘Haram melakukan perjalanan jauh ke selain tiga masjid, disebabkan
adanya larangan untuk melakukan perjalanan ke selain tiga masjid tersebut’. Namun Imam an-Nawawy menyangkal: ‘Larangan
itu tidak benar. Yang benar menurut teman-teman kami dari kalangan ulama
syafi’iyah, adalah seperti pendapat yang dipilih oleh Imam Al-Haramain, yakni tidak
haram dan tidak makruh’ .
Al-Khithaby mengatakan:
“Dilihat dari segi lafazh yang digunakan, teks hadis tersebut merupakan “kalam
khabar” (kalimat berita), yang berarti harus melakukan shalat yang
dinadzarkan seseorang di tiga masjid yang penuh berkah tersebut. Artinya,
tidaklah harus memenuhi nadzarnya untuk bepergian jauh menuju ke masjid yang
dinadzarkan tadi, kecuali ke tiga masjid yang merupakan masjidnya para Nabi.
Jika bernadzar melaksanakan shalat di masjid selain tiga masjid tersebut, maka
ia boleh memilih antara mendatangi masjid yang dinadzarkan itu, atau mendatangi
masjid selainnya (misalnya, cukup melakukan shalat di masjid kampungnya), dan
tidak perlu bersusah payah bepergian jauh ke masjid yang dinadzarkan itu”.
Syaikh kami,
Zainuddin, mengatakan, bahwa kandungan pokok hadis tersebut adalah
menjelaskan persoalan masjid saja, yakni tidak boleh bepergian jauh menuju
salah satu masjid dari masjid-masjid yang ada di dunia ini, selain menuju ke
salah satu dari Masjidil Haram, Masjid Nabawi atau Masjidil Aqsha. Mengenai
bepergian ke tempat perdagangan, rekreasi, rumah orang shaleh, makam-makam,
rumah saudara dan lain-lain, semuanya itu tidak masuk dalam larangan hadis.
Imam Ahmad
bin Hambal mengetengahkan sebuah hadis didalam Musnad-nya, bahwa ia
pernah mendengar riwayat dari Abdulhamid, dari Syahr bin Hausyab yang pernah
mendengarnya dari Abu Sa’id Al-Khudry sewaktu ia ditanya tentang melaksanakan
shalat di atas bukit tertentu, lalu ia menjawab bahwa Rasulullah saw pernah
bersabda : “Tidak selayaknya seseorang bersusah payah pergi jauh untuk
melaksanakan shalat di suatu masjid, selain Masjidil Haram, Masjidil Aqsha dan
Masjidku (Masjid Nabawi) ini”. (Hadis
ini sanadnya hasan. Syahr bin Hausyab dinilai tsiqah oleh
beberapa Imam Hadis. Baca kitab ‘Umdatul Qary, juz 7, halaman 254).
7).
Syaikh Abu Muhammad bin Qudamah
Syaikh Abu
Muhammad bin Qudamah adalah seorang ulama besar
bermadzhab Hambali dan penulis kitab Al-Mughny. Dia mengatakan, bahwa
berziarah ke makam Rasulullah saw hukumnya sunnah, berdasarkan hadis yang
diriwayatkan oleh Ad-Daruquthny, yang sanadnya sampai kepada Ibnu Umar ra, dari
Rasulullah saw : “Barangsiapa yang selesai beribadah haji lalu berziarah ke
makamku setelah wafatku, maka ia seakan-akan mengunjungiku sewaktu aku masih
hidup”.
Didalam
riwayat yang lain dituturkan : “Barangsiapa yang menziarahi makamku, maka ia
berhak mendapatkan syafaatku”.
Imam Ahmad
bin Hambal meriwayatkan hadis dari Abdullah, dari Yazid bin Qasith, dari Abu
Hurairah ra, bahwa Rasulullah saw bersabda : “Tiada seorang muslim pun yang
mengucapkan salam kepadaku di
depan makamku, melainkan Allah swt akan mengembalikan Ruhku kedalam
jasadku agar aku dapat mengembalikan salam kepadanya”.
8).
Syaikh Abul Faraj bin Qudamah al-Hambali
Dia mengatakan
didalam kitab Asy-Syarh al-Kabir, “[Persoalan]: Jika selesai melakukan haji,
seseorang dianjurkan berziarah ke makam Rasulullah saw dan kedua sahabatnya,
Abu Bakar dan Umar bin Khatthab”. Selanjutnya ia menyebutkan bentuk ucapan
salam yang perlu diucapkan kepada Rasulullah saw disertai dengan tambahan doa
sebagai berikut :
أللّـهمّ إنّـك قلتَ, و
قولك حـقٌّ : وَلَوْ أَنَّهُمْ إِذْ ظَلَمُوا أَنْفُسَهُمْ جَاءُوكَ
فَاسْتَغْفَرُوا اللَّهَ وَاسْتَغْفَرَ لَهُمُ الرَّسُولُ لَوَجَدُوا اللَّهَ
تَوَّابًا رَحِيمًا. و قد أتـيتُك مستـغـفرا من ذنوبي مستـشفعاً بك إلى ربّـي,
فأسـألك يـا ربّـي أن توجب لي الـمغـفرة كـما أوجبتـها لمن أتـاه في حياتـه .
أللّـهمّ اجعلـه أوّل الشـافعـين و أنـجح السائلـين و أكـرم الأوّلـين و الأخرين
برحمـتك يا أرحم الرّاحمـين.
“Ya Allah!
Sesungguhnya Engkau telah berfirman dan firman-Mu adalah haq (benar) : ‘Sesungguhnya
jikalau mereka ketika menganiaya dirinya datang kepadamu, lalu memohon ampun
kepada Allah, dan Rasulpun memohonkan ampun untuk mereka, tentulah mereka
mendapati Allah Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang.’ (QS An-Nisa’,[4]:
64). Dan aku sekarang telah datang kepadamu, wahai Muhammad, untuk memohon maaf
kepada Allah swt dari dosa-dosaku dan memohon syafaat dengan perantaraanmu
kepada Tuhanku. Wahai Tuhanku, aku memohon kepada-Mu, kiranya Engkau
mengabulkan permohonan maafku, sebagaimana Engkau kabulkan permohonan orang
yang datang kepadanya (Nabi Muhammad saw) sewaktu hidupnya. Ya Allah!
Jadikanlah dia (Muhammad) sebagai orang pertama yang memberikan syafaat, orang
yang paling sukses (dikabulkan) permintaannya dan orang yang paling mulia dari
sekalian makhluk sejak jaman dahulu sampai jaman akhir. Berkat rahmat-Mu, Wahai
Tuhanku Yang Maha Penyayang dari sekalian yang penyayang”.
Asy-Syaikh Abul
Faraj menegaskan, bahwa tidak dianjurkan
untuk menjamah tembok pembatas makam Rasulullah saw dan menciumnya. Imam Ahmad
bin Hambal berkomentar : “Mengenai hal itu aku tidak tahu”. Sementara Al-Atsram
mengatakan : “Saya melihat ulama-ulama Madinah tidak menjamah makam Rasulullah
saw. Mereka cukup berdiri di sudut ruang tertentu kemudian mengucapkan salam kepada
beliau saw”. Abu Abdillah mengatakan : “Demikian itulah yang pernah dilakukan
oleh Ibnu Umar ra. Mengenai mimbar, memang ada riwayat dari Ibrahim bin
Abdullah bin Abdul Qary, bahwa dia pernah menyaksikan Ibnu Umar ra meletakkan
tangannya ke atas tempat duduk mimbar Rasulullah saw, lalu diusapkannya ke
wajahnya”. (Lihat kitab Asy-Syarh al-Kabir, juz 3, hal. 495).
9). Syaikh
Manshur bin Yunus al-Bahuty al-Hambali
Syaikh
Manshur bin Yunus al-Bahuty al-Hambali didalam kitabnya, Kasy-syaful Qana’ ‘an Matnil
Iqna’, menuliskan : “[Faslun] : Jika selesai mengerjakan ibadah haji,
disunnahkan berziarah ke makam Rasulullah saw dan kedua sahabatnya, Abu Bakar
dan Umar. Berdasarkan hadis yang diketengahkan oleh Ad-Daruquthny, dari Ibnu
Umar ra, bahwa Rasulullah saw bersabda : ‘Barangsiapa yang selesai melakukan
haji, lalu berziarah ke makamku setelah wafatku, seakan-akan ia mengunjungiku
sewaktu aku masih hidup’. Juga berdasarkan riwayat lainnya yang berbunyi: ‘Barangsiapa
yang menziarahi makamku, maka wajib untuknya syafaatku’”.
[Tanbih] : Ibnu
Nasrullah berkata : “Tidak dapat dihindari bahwa sunnahnya berziarah ke makam
Rasulullah saw adalah berkaitan dengan sunnahnya melakukan perjalanan jauh
untuk berziarah. Karena berziarah ke makam beliau saw yang dilakukan orang
setelah selesai mengerjakan manasik hajinya itu tidak mungkin dilakukannya
tanpa terlebih dahulu ia bepergian jauh. Dengan demikian, bepergian jauh untuk
berziarah ke makam Rasulullah saw adalah sunnah hukumnya. (Kasy-syaful
Qana’, juz 2, halaman 598).
10). Syaikhul
Islam Muhammad Taqiuddin al-Futuhy al-Hambali
Dia mengatakan: “Sunnah hukumnya
melakukan ziarah ke makam Rasulullah saw dan dua sahabatnya, lalu mengucapkan
salam sambil menghadap ke arah makam, kemudian berdoa sambil menghadap ke
kiblat dengan menjadikan makam berada di
samping kirinya. Diharamkan mengitari makam, dimakruhkan menjamah pagar, tembok
atau bilik makam dan mengeraskan suaranya di samping makam”.
11). Syaikh
bin Yusuf Al-Hambali
Syaikh bin
Yusuf Al-Hambali didalam
kitab Dalil at-Thalib mengatakan : “Sunnah berziarah kubur ke makam
Rasulullah saw dan kedua sahabatnya. Dianjurkan shalat di Masjid beliau saw .
Shalat di Masjid Nabawi sekali nilainya sama dengan shalat seribu kali di
masjid selainnya. Shalat di Masjidil Haram sekali nilainya sama dengan shalat
seratus ribu kali di masjid selainnya. Dan shalat di Masjidil Aqsha sekali
nilainya sama dengan shalat limaratus kali di masjid selainnya” (Dalil
at-Thalib, halaman 88).
12). Syaikhul
Islam Majduddin Muhammad bin Ya’qub Al-Fairuz Abady
Dia mengatakan didalam kitab Ash-Shalat
wal Basyar, bahwa membaca shalawat Nabi di samping makam Rasulullah saw
sangat dianjurkan. Al-Qadhy bin Kaj (Al-Qadhy Yusuf bin Ahmad bin Kaj)
menuturkan kembali apa yang pernah diterangkan oleh Ar-Rafi’iy : “Bila
bernadzar menziarahi makam Rasulullah saw, menurutku hanya ada satu pilihan pendapat,
yaitu harus melaksanakan nadzarnya itu. Akan tetapi jika bernadzar menziarahai
makam selain beliau saw, menurutku ada dua pilihan pendapat. (yakni boleh melaksanakannya atau boleh tidak
melaksanakannya). Dan melaksanakan nadzar, tiada lain, merupakan suatu ibadah.”
Di antara orang
yang menjelaskan tentang dianjurkannya berziarah ke makam Rasulullah saw dan
memandangnya sebagai amalan sunnah, dari kalangan para ulama yang semadzhab
dengan kami (madzhab Syafi’iy) adalah
Ar-Rafi’iy didalam kitabnya pada bagian akhir dari bab A’malul Hajj;
Imam Al-Ghazali didalam kitab Ihya’ Ulumiddin; Imam Al-Baghawy didalam
kitab At-Tahdzib; Syaikh
‘Izzuddin bin Abdissalam didalam kitab Manasik-nya; Abu Amr
bin as-Shalah; dan Abu Zakariya An-Nawawy. Dari kalangan para ulama yang
bermadzhab Hambali antara lain : Syaikh Muwaffiquddin; Abul Faraj Al-Baghdadi
dan lain-lain. Dari kalangan ulama bermadzhab Hanafi antara lain: penulis kitab
Al-Ikhtiyar fi Syarh al-Mukhtar yang menuliskan satu fasal mengenai ziarah
kubur ke makam Rasulullah saw dan memandangnya sebagai amalan mandub dan
mustahab yang paling utama.
Mengenai para
ulama dari kalangan madzhab Maliki telah dijelaskan oleh Al-Qadhy ‘Iyadh, bahwa
sebagian di antara mereka menyepakati hal itu. Dalam kitab Tahdzibul Mathalib
karya Abdul Haqq ash-Shaqly, dari syaikh Ibnu Imran Al-Maliky didalam kitab
Syarh ar-Risalah dijelaskan, bahwa berziarah ke makam Rasulullah saw
adalah wajib hukumnya. Abdul Haqq mengatakan: “Berziarah ke makam
Rasulullah saw termasuk amalan sunnah yang harus dilaksanakan”.
Sedangkan menurut Al-‘Abdy Al-Maliky didalam kitab Syarh ar-Risalah,
bahwa bepergian jauh ke kota Madinah untuk berziarah ke makam Rasulullah saw
adalah lebih utama daripada mengunjungi Ka’bah dan Baitul Maqdis. Dalil yang menjelaskan masalah ziarah ini
sangat banyak, di antaranya adalah firman Allah swt didalam surat An-Nisa’,[4]
: 64. Tidak perlu diragukan bahwa Nabi Muhammad saw adalah masih hidup dan
semua amal perbuatan umatnya dihaturkan atau diperlihatkan Allah swt kepadanya.
… (Ash-Shalat wal Basyar fish-shalati ‘ala khairil basyar, pada halaman
147, karya syaikh Majduddin Muhammad bin Ya’qub Al-Fairuz Abady).
13). Imam
Syaikh Muhammad bin ‘Alan Ash-Shiddiqiy Asy-Syafi’iy
Dia mengatakan didalam kitab Syarh
Al-Adzkar sehubungan dengan pendapat Imam An-Nawawi bahwa berziarah ke
makam Rasulullah saw merupakan salah satu cara mendekatkan diri kepada Allah
swt yang paling utama. Bagaimana tidak, sementara para peziarah dijanjikan akan
mendapatkan syafaat dari beliau saw, yang mana hal ini tidak akan diberikan
kecuali kepada Ahli Iman. Oleh karenanya, didalam kegiatan ziarah tersebut
terkandung pelajaran mati dalam keadaan beriman, selain juga melakukan dialog dengan beliau
saw disebabkan beliau saw masih dapat mendengarkan secara langsung bacaan salam
dari penziarahnya.
Abu Syaikh
mengetengahkan hadis dari Abu Hurairah, bahwa Rasulullah saw bersabda : “ Barangsiapa
yang mengucapkan shalawat di samping makamku, aku mendengarnya. Dan barangsiapa
yang bershalawat kepadaku dari jarak jauh, shlawatnya itu pun diberitahukan
kepadaku”.
Al-Hafizh
mengatakan, bahwa Abu Dawud meriwayatkan hadis Nabi : “Tiada seorang muslim
pun yang mengucapkan salam kepadaku, melainkan Allah swt akan mengembalikan
Ruhku kedalam jasadku, sehingga aku dapat mengembalikan salam itu kepadanya”. Hadis ini, katanya, bernilai Hasan, dan
juga diriwayatkan oleh Imam Ahmad bin Hambal, Al-Baihaqy dan selainnya.
Imam As-Subky didalam kitab Syifa’ as-Saqam
memberitahukan, bahwa sekelompok ulama berpegangan pada hadis di atas
didalam menentukan sunnahnya berziarah ke makam Rasulullah saw, sebagai
pegangan yang shahih. Karena orang yang berziarah ke sana yang mengucapkan
salam kepada beliau saw akan mendapatkan jawaban darinya. Itulah sebenarnya
fadhilah dan keutamaan yang dicari. (Al-Futuhat ar-Rabbaniyyah ‘alal Adzkar
an-Nawawiyah, juz 5, halaman 31).
ZIARAH KUBURNYA AHLI TAUHID DAN
AHLI SYIRIK
Sudah kita
maklumi bersama, bahwa yang dimaksud dengan Ziarah adalah ziarah
secara syar’iyyah, yakni kegiatan ziarah yang sudah dijelaskan adab sopan
santunnya oleh sunnah Rasulullah saw. Seyogyanya hal ini perlu dilaksanakan dan
dipatuhi oleh para peziarah.
Ibnu Taimiyah
mencoba memberikan gambaran kepada kita tentang perbedaan ziarah kuburnya Ahli
Tauhid dan Ahli Syirik. Ziarah kuburnya Ahli Tauhid
tercermin pada ucapan salam kepada penghuni kubur dan berdoa untuk kebaikan
mereka. Sementara ziarah kuburnya Ahli Syirik tercermin para perilakunya
yang menyimpang dari tata aturan syariat, menjurus pada perbuatan syirik,
bernadzar untuk ahli kubur, meminta-minta sesuatu kepada mereka, dan mencintai
mereka sama seperti mencintai Allah swt sehingga terkadang ia mengidentikkan
mereka sebagai ‘sekutu’ bagi Allah swt atau bahkan mengidentikkan mereka
dengan Tuhan Pemelihara alam semesta. Padahal Allah swt telah melarang
seseorang untuk menyekutukan-Nya dengan para malaikat, para Nabi dan semua
makhluk pada umumnya. Allah swt berfirman :
مَا كَانَ لِبَشَرٍ أَنْ
يُؤْتِيَهُ اللَّهُ الْكِتَابَ وَالْحُكْمَ وَالنُّبُوَّةَ ثُمَّ يَقُولَ
لِلنَّاسِ كُونُوا عِبَادًا لِي مِنْ دُونِ اللَّهِ وَلَكِنْ كُونُوا
رَبَّانِيِّينَ بِمَا كُنْتُمْ تُعَلِّمُونَ الْكِتَابَ وَبِمَا كُنْتُمْ
تَدْرُسُونَ (79) . وَلَا يَأْمُرَكُمْ
أَنْ تَتَّخِذُوا الْمَلَائِكَةَ وَالنَّبِيِّينَ أَرْبَابًا أَيَأْمُرُكُمْ
بِالْكُفْرِ بَعْدَ إِذْ أَنْتُمْ مُسْلِمُونَ (80).
“Tidak wajar
bagi seorang manusia yang Allah berikan kepadanya Al Kitab, hikmah dan
kenabian, lalu dia berkata kepada manusia: "Hendaklah kamu menjadi
penyembah-penyembahku bukan penyembah Allah." Akan tetapi (seharusnya dia
berkata): "Hendaklah kamu menjadi orang-orang rabbani, karena kamu selalu
mengajarkan Al Kitab dan disebabkan kamu tetap mempelajarinya. Dan (tidak wajar
pula baginya) menyuruhmu menjadikan malaikat dan para nabi sebagai tuhan.
Apakah (patut) dia menyuruhmu berbuat kekafiran di waktu kamu sudah (menganut
agama) Islam?" (QS Ali Imran,[3] : 79-80)
Allah swt
berfirman lagi :
قُلِ ادْعُوا الَّذِينَ
زَعَمْتُمْ مِنْ دُونِهِ فَلَا يَمْلِكُونَ كَشْفَ الضُّرِّ عَنْكُمْ وَلَا
تَحْوِيلًا(56).أُولَئِكَ الَّذِينَ يَدْعُونَ يَبْتَغُونَ إِلَى رَبِّهِمُ
الْوَسِيلَةَ أَيُّهُمْ أَقْرَبُ وَيَرْجُونَ رَحْمَتَهُ وَيَخَافُونَ عَذَابَهُ
إِنَّ عَذَابَ رَبِّكَ كَانَ مَحْذُورًا(57).
“Katakanlah:
"Panggillah mereka yang kamu anggap (tuhan) selain Allah, maka mereka
tidak akan mempunyai kekuasaan untuk menghilangkan bahaya daripadamu dan tidak
pula memindahkannya".Orang-orang yang mereka seru itu, mereka sendiri
mencari jalan kepada Tuhan mereka siapa di antara mereka yang lebih dekat
(kepada Allah) dan mengharapkan rahmat-Nya dan takut akan azab-Nya;
sesungguhnya azab Tuhanmu adalah suatu yang (harus) ditakuti.”. (QS Al-Isra’,[17]: 56-57)
Sekelompok ulama
salaf mengatakan, bahwa sebagian kaum meminta-minta kepada Para Nabi, seperti
Nabi Isa bin Maryam, Uzair as, dan kepada para malaikat, lalu Allah swt
memberitahukan kepada mereka bahwa semua makhluk yang mereka mintai pertolongan
tersebut adalah para hamba-Nya yang selalu mengharapkan rahmat dari-Nya,
merasa takut terhadap siksa-Nya, dan senantiasa bertaqarrub kepada-Nya dengan
perantaraan segala amal shalehnya. (Al-Jawab al-Bahir fi Zuwwar al-Maqabir, halaman
21, tulisan Ibnu Taimiyah).
Perlu kami tegaskan,
bahwa cara ziarah ke makam Rasulullah saw
yang kita lakukan, selaku penganut faham Ahlussunnah wal wajamaah, adalah
sesuai dengan tata cara dan adab sopan santun yang diperintahkan syariat Islam.
Allah swt, para malaikat penyanggah ‘arasy, seluruh penduduk bumi dan langit,
kesemuanya menjadi saksi bahwa ziarah kita ke makam Rasulullah saw tiada lain
adalah disertai suatu keyakinan bahwa beliau saw adalah seorang manusia yang
diberi wahyu oleh Allah swt, seorang hamba pilihan Allah swt yang selalu mengharapkan
rahmat-Nya, takut terhadap siksa-Nya, bertaqarrub kepada Allah swt dengan
perantaraan amal shalehnya, dan bahkan beliau saw adalah seseorang yang paling bertakwa, paling takut kepada
Allah swt, serta paling tahu dan mengenal Allah swt daripada kita semua. Kita sekali-kali tidak
men-tasybih-kan atau mengidentikkan beliau saw dengan Allah swt, tidak
bernadzar untuknya, tidak bersembah sujud kepadanya, dan tidak menjadikannya
sebagai ‘sekutu’ bagi Allah swt. Kita semua mencintai beliau saw seperti
yang diperintahkan Islam, dimana kecintaan kita kepadanya melebihi kecintaan
kita kepada diri sendiri, harta dan anak-anak kita.
==============================================
*)
Sumber : Diambil dari salah satu bagian dari kitab :
|
Judul
Asli
|
:
مفـاهـيم يجب أن تـصحح
|
Penulis
|
:
Prof. DR. Sayyid Muhammad Alawi Al-Maliki
|
Alih
Bahasa
|
:
Achmad Suchaimi
|
Judul
Terjemahan
|
:
Pemahaman Yang Perlu Diluruskan (PYPD)
|