Tampilkan postingan dengan label mencium makam. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label mencium makam. Tampilkan semua postingan

Minggu, 21 Juli 2013

PYPD - 46. BERTABARRUK DENGAN MAKAM ROSULULLOH SAW *)



Oleh Sayyid Muhammad Alawi Al-Maliki



MENJAMAH DAN MENCIUM MAKAM RASULULLAH SAW 

Para peziarah sebaiknya tidak perlu mencium, menjamah, mengusap-usap, menggosok-gosokkan perut dn punggungnya pada dinding makam Rasulullah saw atau pada sekat-sekat jeruji makam yang ditutup dengan kain kiswah. Perbuatan semcam itu Makruh hukumnya, karena perbuatan tersebut bertentangan dengan tatakrama atau adab sopan santun di hadapan Rasulullah saw. Kalaupun mereka sengaja mencari suatu keberkahan, seharusnya mereka berusaha menyingkirkan hal-hal yang dimakruhkan oleh syariat, apalagi yang diharamkan. Orang yang melakukan seperti itu menunjukkan kebodohannya terhadap adab sopan santun berziarah kubur dan ia tertipu oleh adat kebiasaan yang dilakukan orang awam. Perilaku ziarah yang benar adalah seperti yang dituntunkan dan dijelaskan oleh para ulama, diantaranya adalah berusaha untuk menjauhi hal-hal yang bertentangan dengan syariat agama, sebagaimana hal ini dijelaskan secara rinci oleh Imam An-Nawawy didalam kitabnya, Al-Idhah.

Ibnu Hajar Al-Asqalany  didalam kitab Al-Minah wa al-Jauhar menukil pendapat Imam Al-Ghazali didalam kitab Al-Ihya’, bahwa menyentuh, menjamah dan mencium makam merupakan adat kebiasaan kaum Yahudi dan Nasrani.

Al-Fadhil bin ’Iyadh menjelaskan lebih jauh : “Ikutilah jalan petunjuk dan jangan sampai sebagian kecil orang-orang yang sedang berziarah itu membahayakan keimananmu. Hindarilah perbuatan sesat dan jangan tertipu oleh kebanyakan orang awam yang rusak keimanannya. Orang yang berprasangka bahwa menjamah makam dengan tangannya dan melakukan perbuatan yang semisal akan lebih mendatangkan keberkahan, adalah anggapan yang bodoh dan ‘keblinger’, karena keberkahan itu sebenarnya tergantung pada kesesuaiannya dengan syariat, atau tergantung pada ketiadaan pelanggaran terhadap aturan syariat. Bagaimana mungkin keberkahan itu dapat diperoleh dengan sarana dan cara yang melanggar syariat?”. (Al-Majmu’, juz 8, halaman 275)



PANDANGAN IMAM AHMAD BIN HAMBAL 

Imam Ahmad bin Hambal dalam persoalan menjamah dan mencium makam ini terkadang membolehkan, kadang mendiamkan hukumnya, dan pada kesempatan lain ia masih membedakan antara mimbar Masjid Nabawi dan makam Rasulullah saw. Dia membolehkan mencium mimbar beliau saw di Masjid Nabawi. Namun mencium makam beliau saw, dia masih mendiamkan hukumnya dan terkadang menganggapnya mubah. Meskipun terjadi perbedaan pendapat dalam persoalan ini, namun dia tidak sampai menuduh pelakunya dengan tuduhan kafir, musyrik, bid’ah, murtad atau sesat.

Inti pendapat Imam Ahmad bin Hambal adalah bahwa   bertabarruk dengan cara mencium makam Rasulullah saw merupakan perbuatan yang tidak sesuai dengan ajaran syariat Islam. Maksudnya, janganlah perbuatan semacam itu dijadikan sebagai adat kebiasaan, sehingga menyebabkan orang-orang awam tertipu, lalu menyangka bahwa perbuatan itu merupakan keharusan, sesuatu yang disyariatkan, atau bagian dari adab sopan santun dalam berziarah kubur.

Didalam kitab Khulashatul Wafa dan kitab Al-Hilal was-Sualat, Abdullah bin Ahmad bin Hambal menuturkan : “Aku pernah bertanya kepada ayahku (Imam Ahmad bin Hambal) mengenai hukum menjamah makam Rasulullah saw, bertabarruk dengan cara mengusap dan mencium makam beliau saw, dan tentang menjamah dan mencium mimbar beliau saw di Masjid Nabawi, dengan harapan agar mendapatkan pahala. Jawaban ayahku : ‘Tidak apa-apa dilakukan’”. 

Abu Bakar al-Atsram pernah bertanya kepada Imam Ahmad bin Hambal mengenai hukum menjamah dan mencium makam Rasulullah saw. Jawabannya : “Aku tidak tahu”. Selanjutnya ia bertanya : “Kalau mengenai mimbar?”. Imam Ahmd menjawab : “Itu merupakan sebaik-baik perbuatan. Berdasarkan riwayat dari Ibnu Umar bahwa ia pernah menjamah mimbar Masjid Nabawi. Sedangkan riwayat dari Sa’id bin Al-Musayyab menjelaskan bahwa Ibnu Umar mengusap Rumanah (tiang penyanggah) di atas mimbar Rasulullah saw di Masjid Nabawi”.

Orang-orang meriwayatkan kisah dariYahya bin Sa’id, bahwa sewaktu ia pergi ke Irak, ia terlebih dahulu mengusap mimbar Masjid Nabawi, lalu diteruskan berdoa di situ. Imam Ahmad bin Hambal berkomentar : “Apa yang dilakukan Yahya bin Sa’id itu adalah baik. Dan barangkali dalam keadaan dharurat, tidak apa-apa melakukan semacam itu”.

Dikatakan kepada imam Ahmad bin Hambal, bahwa orang-orang sama menggosok-gosokkan dan menempelkan perutnya para makam Rasulullah saw, sementara para ulama Madinah tidak melakukan seperti itu, mereka hanya berdiri di sudut makam  sambil mengucapkan salam kepada beliau saw. Imam Ahmad bin Hambal berkomentar : “Memang demikianlah yang dilakukan para ulama Madinah dan itulah yang benar. Demikian pula yang dilakukan oleh Ibnu Umar ra”.

Ibnu Taimiyah menegaskan, bahwa Imam Ahmad bin Hambal dan ulama lainnya meriwayatkan hadis dan atsar tentang diperbolehkannya  mengusap mimbar tempat duduk Rasulullah saw dan rumanah tempat berpegangan tangan beliau saw di Masjid Nabawi. Sementara para sahabat dan ulama tidak membolehkan mengusap, menjamah dan mencium makam beliau saw. (Iqtidhaus-Shirathjil Mustaqim pada halaman 367,  dan dinukil oleh Ibnu Muflih dari imam Ahmad didalam kitab Al-Furu’, juz 3, halaman 524).


MAKAM RASULULLAH SAW BEBAS DARI PRAKTEK KESYIRIKAN

Allah swt benar-benar memelihara, melindungi dan membebaskan makam Rasulullah saw dari berbagai praktek kesyirikan, penyembahan berhala dan berbagai bentuk peribadatan yang menyimpang dari aturan syariat. Tidak terlintas didalam pikiran dan angan-angan seorang muslim pun, bahwa makam beliau saw adalah suatu bentuk “Berhala” yang perlu disembah-sembah, atau sebagai kiblat dimana semua peribadatan diarahkan ke sana. Hal ini tidak lepas dari doa beliau saw yang diriwayatkan oleh Imam Malik didalam kitab Al-Muwattha’-nya, dan doa beliau saw tentu akan dikabulkan Allah swt. Beliau saw pernah berdoa :

أللّـهمّ لاَ تـجـعلْ قـبري وثَـنًا يُـعْـبَدُ

Ya Allah! Janganlah Engkau jadikan kuburanku sebagai berhala yang disembah-sembah”.

Kemudian beliau saw bersabda : “Allah swt sangat marah kepada orang-orang yang menjadikan makam para Nabi sebagai ‘masjid’ (tempat peribadatan)”.

Allah swt benar-benar telah mengabulkan permohonan beliau saw tersebut dan kenyataannya sampai sekarang kuburan beliau saw tidak dijadikan kaum muslimin sebagai bentuk berhala yang disembah-sembah. Kondisi ini sangat berbeda dengan kuburan para Nabi selain beliau saw yang tidak jarang dijadikan sebagai berhala sesembahan. Jangankan menjadikannya sebagai berhala, masuk kedalam ruangan makam saja tidak seorang pun yang mampu melakukannya, apalagi setelah makam tersebut dibuatkan bilik khusus. Dan sebelumnya juga tidak mungkin seseorang memasuki ruangan makam beliau saw sekedar berdoa dan melakukan shalat di sampingnya, serta melakukan adat kebiasaan yang biasa dilakukan orang awam di makam-makam selainnya. Hanya mereka yang bodoh saja yang melakukan shalat di bilik makam beliau saw, atau bersuara keras, atau berbicara dengan suatu pembicaraan yang tidak dibenarkan syariat. Perbuatan tersebut hanya boleh dilakukan di luar bilik makam, bukannya didalamnya.

 Pada waktu Ummul Mukminin ‘Aisyah ra masih hidup, tidak seorang pun yang berani masuk kedalam ruangan makam, selain karena ingin bertemu atau ada kepentingan dengannya. Dan itu pun mereka tidak diperbolehkan melakukan hal-hal yang dilarang agama di samping makam beliau saw. Setelah Aisyah wafat, bilik makam beliau saw dikunci, sebelum pada akhirnya dimasukkan kedalam bangunan Masjid Nabawi, dengan pintu yang  terkunci rapat. Selanjutnya dibangunlah tembok baru untuk memisahkan antara bangunan bilik makam dan masjid. Semuanya itu dibangun dalam rangka menjaga bilik makam tersebut agar tidak dijadikan sebagai tempat perayaan, dan makamnya sendiri agar tidak dijadikan sebagai berhala yang disembah-sembah. Selain itu, seluruh penduduk Madinah adalah muslim dan tidak seorang pun yang datang ke kota itu kecuali muslim.

Kondisi makam Rasulullah saw sebenarnya biasa-biasa saja, tidak ada keistimewaannya. Di atas makam hanya berupa batu-batu kerikil kasar, tidak ada kijing batu atau kayu, dan tidak dipelester ataupun dicor, apalagi dikeramik. Selain karena hal ini dilarang agama, juga agar jangan dijadikan sebagai alasan pembenaran terhadap pengkijingan, pengkeramikan dan mendirikan bangunan apa saja di atasnya. Sama terlarangnya melakukan shalat sunah mutlak bertepatan dengan terbit dan terbenamnya matahari, agar terhindar dari hal-hal yang dapat menyebabkan perbuatan syirik.

Rasulullah saw berdoa kepada Allah swt agar makamnya tidak dijadikan sebagai berhala sesembahan dan ternyata doanya terkabul. Kalau pada masa-masa sebelumnya telah terjadi berbagai bentuk bid’ah di kalangan umat para Nabi jaman dahulu, lalu Allah swt mengutus seorang Nabi baru kepada mereka yang bertugas untuk meluruskan dan memberantas bid’ah tersebut, maka setelah diutusnya Nabi Muhammad saw, Allah swt menjaga umat Islam untuk tidak sepakat melakukan kesesatan dan memelihara makam beliau saw agar tidak dijadikan sebagai berhala yang disembah-sembah. Kalaupun terjadi pemberhalaan terhadap makam tersebut, pastilah akan terkalahkan dan akan diketahui oleh kaum muslimin, karena beliau saw telah memberitahukan kepada kita bahwa selalu ada sekelompok kaum muslimin yang secara terang-terangan akan mempertahankan kebenaran dan selalu berjalan di atas kebenaran itu, sehingga mereka tidak akan dapat dikalahkan oleh orang-orang yang menentangnya sampai hari kiamat. Dengan demikian, tidak ada jalan lagi bagi ahli bid’ah untuk melakukan perbuatan bid’ah di makam beliau saw, sebagaimana yang biasa dilakukan oleh orang awam pada umumnya di makam-makam yang lain.  (Al-Jawab al-Bahir fi Zuwwar al-Maqabir , karya Ibnu Taimiyah, halaman 13).


==============================================

*) Sumber : Diambil dari salah satu bagian dari kitab :
Judul Asli
: مفـاهـيم يجب أن تـصحح
Penulis
: Prof. DR. Sayyid Muhammad Alawi Al-Maliki
Alih Bahasa
: Achmad Suchaimi
Judul Terjemahan
: Pemahaman Yang Perlu Diluruskan (PYPD)