Tampilkan postingan dengan label tabarruk. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label tabarruk. Tampilkan semua postingan

Minggu, 21 Juli 2013

PYPD - 46. BERTABARRUK DENGAN MAKAM ROSULULLOH SAW *)



Oleh Sayyid Muhammad Alawi Al-Maliki



MENJAMAH DAN MENCIUM MAKAM RASULULLAH SAW 

Para peziarah sebaiknya tidak perlu mencium, menjamah, mengusap-usap, menggosok-gosokkan perut dn punggungnya pada dinding makam Rasulullah saw atau pada sekat-sekat jeruji makam yang ditutup dengan kain kiswah. Perbuatan semcam itu Makruh hukumnya, karena perbuatan tersebut bertentangan dengan tatakrama atau adab sopan santun di hadapan Rasulullah saw. Kalaupun mereka sengaja mencari suatu keberkahan, seharusnya mereka berusaha menyingkirkan hal-hal yang dimakruhkan oleh syariat, apalagi yang diharamkan. Orang yang melakukan seperti itu menunjukkan kebodohannya terhadap adab sopan santun berziarah kubur dan ia tertipu oleh adat kebiasaan yang dilakukan orang awam. Perilaku ziarah yang benar adalah seperti yang dituntunkan dan dijelaskan oleh para ulama, diantaranya adalah berusaha untuk menjauhi hal-hal yang bertentangan dengan syariat agama, sebagaimana hal ini dijelaskan secara rinci oleh Imam An-Nawawy didalam kitabnya, Al-Idhah.

Ibnu Hajar Al-Asqalany  didalam kitab Al-Minah wa al-Jauhar menukil pendapat Imam Al-Ghazali didalam kitab Al-Ihya’, bahwa menyentuh, menjamah dan mencium makam merupakan adat kebiasaan kaum Yahudi dan Nasrani.

Al-Fadhil bin ’Iyadh menjelaskan lebih jauh : “Ikutilah jalan petunjuk dan jangan sampai sebagian kecil orang-orang yang sedang berziarah itu membahayakan keimananmu. Hindarilah perbuatan sesat dan jangan tertipu oleh kebanyakan orang awam yang rusak keimanannya. Orang yang berprasangka bahwa menjamah makam dengan tangannya dan melakukan perbuatan yang semisal akan lebih mendatangkan keberkahan, adalah anggapan yang bodoh dan ‘keblinger’, karena keberkahan itu sebenarnya tergantung pada kesesuaiannya dengan syariat, atau tergantung pada ketiadaan pelanggaran terhadap aturan syariat. Bagaimana mungkin keberkahan itu dapat diperoleh dengan sarana dan cara yang melanggar syariat?”. (Al-Majmu’, juz 8, halaman 275)



PANDANGAN IMAM AHMAD BIN HAMBAL 

Imam Ahmad bin Hambal dalam persoalan menjamah dan mencium makam ini terkadang membolehkan, kadang mendiamkan hukumnya, dan pada kesempatan lain ia masih membedakan antara mimbar Masjid Nabawi dan makam Rasulullah saw. Dia membolehkan mencium mimbar beliau saw di Masjid Nabawi. Namun mencium makam beliau saw, dia masih mendiamkan hukumnya dan terkadang menganggapnya mubah. Meskipun terjadi perbedaan pendapat dalam persoalan ini, namun dia tidak sampai menuduh pelakunya dengan tuduhan kafir, musyrik, bid’ah, murtad atau sesat.

Inti pendapat Imam Ahmad bin Hambal adalah bahwa   bertabarruk dengan cara mencium makam Rasulullah saw merupakan perbuatan yang tidak sesuai dengan ajaran syariat Islam. Maksudnya, janganlah perbuatan semacam itu dijadikan sebagai adat kebiasaan, sehingga menyebabkan orang-orang awam tertipu, lalu menyangka bahwa perbuatan itu merupakan keharusan, sesuatu yang disyariatkan, atau bagian dari adab sopan santun dalam berziarah kubur.

Didalam kitab Khulashatul Wafa dan kitab Al-Hilal was-Sualat, Abdullah bin Ahmad bin Hambal menuturkan : “Aku pernah bertanya kepada ayahku (Imam Ahmad bin Hambal) mengenai hukum menjamah makam Rasulullah saw, bertabarruk dengan cara mengusap dan mencium makam beliau saw, dan tentang menjamah dan mencium mimbar beliau saw di Masjid Nabawi, dengan harapan agar mendapatkan pahala. Jawaban ayahku : ‘Tidak apa-apa dilakukan’”. 

Abu Bakar al-Atsram pernah bertanya kepada Imam Ahmad bin Hambal mengenai hukum menjamah dan mencium makam Rasulullah saw. Jawabannya : “Aku tidak tahu”. Selanjutnya ia bertanya : “Kalau mengenai mimbar?”. Imam Ahmd menjawab : “Itu merupakan sebaik-baik perbuatan. Berdasarkan riwayat dari Ibnu Umar bahwa ia pernah menjamah mimbar Masjid Nabawi. Sedangkan riwayat dari Sa’id bin Al-Musayyab menjelaskan bahwa Ibnu Umar mengusap Rumanah (tiang penyanggah) di atas mimbar Rasulullah saw di Masjid Nabawi”.

Orang-orang meriwayatkan kisah dariYahya bin Sa’id, bahwa sewaktu ia pergi ke Irak, ia terlebih dahulu mengusap mimbar Masjid Nabawi, lalu diteruskan berdoa di situ. Imam Ahmad bin Hambal berkomentar : “Apa yang dilakukan Yahya bin Sa’id itu adalah baik. Dan barangkali dalam keadaan dharurat, tidak apa-apa melakukan semacam itu”.

Dikatakan kepada imam Ahmad bin Hambal, bahwa orang-orang sama menggosok-gosokkan dan menempelkan perutnya para makam Rasulullah saw, sementara para ulama Madinah tidak melakukan seperti itu, mereka hanya berdiri di sudut makam  sambil mengucapkan salam kepada beliau saw. Imam Ahmad bin Hambal berkomentar : “Memang demikianlah yang dilakukan para ulama Madinah dan itulah yang benar. Demikian pula yang dilakukan oleh Ibnu Umar ra”.

Ibnu Taimiyah menegaskan, bahwa Imam Ahmad bin Hambal dan ulama lainnya meriwayatkan hadis dan atsar tentang diperbolehkannya  mengusap mimbar tempat duduk Rasulullah saw dan rumanah tempat berpegangan tangan beliau saw di Masjid Nabawi. Sementara para sahabat dan ulama tidak membolehkan mengusap, menjamah dan mencium makam beliau saw. (Iqtidhaus-Shirathjil Mustaqim pada halaman 367,  dan dinukil oleh Ibnu Muflih dari imam Ahmad didalam kitab Al-Furu’, juz 3, halaman 524).


MAKAM RASULULLAH SAW BEBAS DARI PRAKTEK KESYIRIKAN

Allah swt benar-benar memelihara, melindungi dan membebaskan makam Rasulullah saw dari berbagai praktek kesyirikan, penyembahan berhala dan berbagai bentuk peribadatan yang menyimpang dari aturan syariat. Tidak terlintas didalam pikiran dan angan-angan seorang muslim pun, bahwa makam beliau saw adalah suatu bentuk “Berhala” yang perlu disembah-sembah, atau sebagai kiblat dimana semua peribadatan diarahkan ke sana. Hal ini tidak lepas dari doa beliau saw yang diriwayatkan oleh Imam Malik didalam kitab Al-Muwattha’-nya, dan doa beliau saw tentu akan dikabulkan Allah swt. Beliau saw pernah berdoa :

أللّـهمّ لاَ تـجـعلْ قـبري وثَـنًا يُـعْـبَدُ

Ya Allah! Janganlah Engkau jadikan kuburanku sebagai berhala yang disembah-sembah”.

Kemudian beliau saw bersabda : “Allah swt sangat marah kepada orang-orang yang menjadikan makam para Nabi sebagai ‘masjid’ (tempat peribadatan)”.

Allah swt benar-benar telah mengabulkan permohonan beliau saw tersebut dan kenyataannya sampai sekarang kuburan beliau saw tidak dijadikan kaum muslimin sebagai bentuk berhala yang disembah-sembah. Kondisi ini sangat berbeda dengan kuburan para Nabi selain beliau saw yang tidak jarang dijadikan sebagai berhala sesembahan. Jangankan menjadikannya sebagai berhala, masuk kedalam ruangan makam saja tidak seorang pun yang mampu melakukannya, apalagi setelah makam tersebut dibuatkan bilik khusus. Dan sebelumnya juga tidak mungkin seseorang memasuki ruangan makam beliau saw sekedar berdoa dan melakukan shalat di sampingnya, serta melakukan adat kebiasaan yang biasa dilakukan orang awam di makam-makam selainnya. Hanya mereka yang bodoh saja yang melakukan shalat di bilik makam beliau saw, atau bersuara keras, atau berbicara dengan suatu pembicaraan yang tidak dibenarkan syariat. Perbuatan tersebut hanya boleh dilakukan di luar bilik makam, bukannya didalamnya.

 Pada waktu Ummul Mukminin ‘Aisyah ra masih hidup, tidak seorang pun yang berani masuk kedalam ruangan makam, selain karena ingin bertemu atau ada kepentingan dengannya. Dan itu pun mereka tidak diperbolehkan melakukan hal-hal yang dilarang agama di samping makam beliau saw. Setelah Aisyah wafat, bilik makam beliau saw dikunci, sebelum pada akhirnya dimasukkan kedalam bangunan Masjid Nabawi, dengan pintu yang  terkunci rapat. Selanjutnya dibangunlah tembok baru untuk memisahkan antara bangunan bilik makam dan masjid. Semuanya itu dibangun dalam rangka menjaga bilik makam tersebut agar tidak dijadikan sebagai tempat perayaan, dan makamnya sendiri agar tidak dijadikan sebagai berhala yang disembah-sembah. Selain itu, seluruh penduduk Madinah adalah muslim dan tidak seorang pun yang datang ke kota itu kecuali muslim.

Kondisi makam Rasulullah saw sebenarnya biasa-biasa saja, tidak ada keistimewaannya. Di atas makam hanya berupa batu-batu kerikil kasar, tidak ada kijing batu atau kayu, dan tidak dipelester ataupun dicor, apalagi dikeramik. Selain karena hal ini dilarang agama, juga agar jangan dijadikan sebagai alasan pembenaran terhadap pengkijingan, pengkeramikan dan mendirikan bangunan apa saja di atasnya. Sama terlarangnya melakukan shalat sunah mutlak bertepatan dengan terbit dan terbenamnya matahari, agar terhindar dari hal-hal yang dapat menyebabkan perbuatan syirik.

Rasulullah saw berdoa kepada Allah swt agar makamnya tidak dijadikan sebagai berhala sesembahan dan ternyata doanya terkabul. Kalau pada masa-masa sebelumnya telah terjadi berbagai bentuk bid’ah di kalangan umat para Nabi jaman dahulu, lalu Allah swt mengutus seorang Nabi baru kepada mereka yang bertugas untuk meluruskan dan memberantas bid’ah tersebut, maka setelah diutusnya Nabi Muhammad saw, Allah swt menjaga umat Islam untuk tidak sepakat melakukan kesesatan dan memelihara makam beliau saw agar tidak dijadikan sebagai berhala yang disembah-sembah. Kalaupun terjadi pemberhalaan terhadap makam tersebut, pastilah akan terkalahkan dan akan diketahui oleh kaum muslimin, karena beliau saw telah memberitahukan kepada kita bahwa selalu ada sekelompok kaum muslimin yang secara terang-terangan akan mempertahankan kebenaran dan selalu berjalan di atas kebenaran itu, sehingga mereka tidak akan dapat dikalahkan oleh orang-orang yang menentangnya sampai hari kiamat. Dengan demikian, tidak ada jalan lagi bagi ahli bid’ah untuk melakukan perbuatan bid’ah di makam beliau saw, sebagaimana yang biasa dilakukan oleh orang awam pada umumnya di makam-makam yang lain.  (Al-Jawab al-Bahir fi Zuwwar al-Maqabir , karya Ibnu Taimiyah, halaman 13).


==============================================

*) Sumber : Diambil dari salah satu bagian dari kitab :
Judul Asli
: مفـاهـيم يجب أن تـصحح
Penulis
: Prof. DR. Sayyid Muhammad Alawi Al-Maliki
Alih Bahasa
: Achmad Suchaimi
Judul Terjemahan
: Pemahaman Yang Perlu Diluruskan (PYPD)


Jumat, 19 Juli 2013

PYPD - 38. INGIN MENDAPATKAN KEBERKAHAN DARI ROSULULLOH SAW *)



Oleh Sayyid Muhammad Alawi Al-Maliki


Kita mendengar banyak orang yang berkata bahwa mereka ingin mendapatkan keberkahan dari Rasulullah saw.  Ibnu Taimiyah pernah ditanya tentang kenyataan tersebut, lalu ia jawab bahwa perkataan mereka tersebut bisa dibilang “benar” dan juga bisa “salah”.

Dikatakan “benar” jika yang mereka maksudkan itu adalah bahwa Rasulullah saw telah memberi arahan, bimbingan, petunjuk, berita serta memerintahkan agar kita selalu melakukan amar makruf dan nahi munkar. Posisi kita di sini adalah mengharap keberkahan dari beliau saw dengan cara melakukan, mengikuti dan mentaati perintah beliau saw tersebut, sehingga kita akan mendapatkan kebaikan darinya. Sama halnya dengan penduduk Madinah yang mendapatkan keberkahan dari beliau saw disebabkan keimanan dan ketaatan mereka, sehingga mereka mendapatkan kebahagiaan hidup di dunia dan di akhirat. Bahkan setiap kaum muslimin yang beriman dan taat kepada beliau saw pun juga akan mendapatkan keberkahan dari beliau saw, disebabkan keimanan dan ketaatan mereka itu, sehingga mereka akan mendapatkan kebaikan dan kebahagiaan hidup di dunia dan di akhirat. Hanya saja, seberapa besar kebaikan dan keberkahan tersebut, tidak ada yang tahu kecuali Allah swt.

Atau yang mereka maksudkan dengan “keinginan untuk mendapatkan keberkahan dari Rasulullah saw” adalah bahwa dengan keberkahan doa beliau saw itu maka Allah swt menghilangkan kejelekan dan mereka berhasil memperoleh rizki dan pertolongan dari-Nya. Dengan demikian, hal ini dapat dibenarkan. Sebagaimana yang disinggung beliau saw didalam sabdanya : “Kalian tidak akan mendapatkan pertolongan dan rizki, melainkan dengan perantaraan kaum dhu’afa’ (kaum fakir miskin) di antara kalian, yakni sebab doa mereka, shalat mereka dan keikhlasan mereka”.

Allah swt terkadang mengurungkan siksa-Nya kepada kaum kafir dan orang yang durhaka di suatu kampung agar siksa-Nya itu tidak merembet atau mengenai kaum mukminin di situ atau biar tidak menimpa orang-orang yang sebenarnya tidak berhak disiksa. Dengan kata lain, keberadaan kaum mukminin di suatu tempat dapat mendatangkan keberkahan bagi seluruh penduduk di sekitarnya, meskipun mayoritas mereka adalah tidak beriman, sehingga mereka yang seharusnya mendapatkan siksaan Allah swt lalu tidak jadi terkena siksaan. Allah swt berfirman :

وَلَوْلَا رِجَالٌ مُؤْمِنُونَ وَنِسَاءٌ مُؤْمِنَاتٌ لَمْ تَعْلَمُوهُمْ أَنْ تَطَئُوهُمْ فَتُصِيبَكُمْ مِنْهُمْ مَعَرَّةٌ بِغَيْرِ عِلْمٍ لِيُدْخِلَ اللَّهُ فِي رَحْمَتِهِ مَنْ يَشَاءُ لَوْ تَزَيَّلُوا لَعَذَّبْنَا الَّذِينَ كَفَرُوا مِنْهُمْ عَذَابًا أَلِيمًا(25)

  Dan kalau tidaklah karena laki-laki yang mu'min dan perempuan-perempuan yang mu'min yang tiada kamu ketahui, bahwa kamu akan membunuh mereka yang menyebabkan kamu ditimpa kesusahan tanpa pengetahuanmu (tentulah Allah tidak akan menahan tanganmu dari membinasakan mereka). Supaya Allah memasukkan siapa yang dikehendaki-Nya ke dalam rahmat-Nya. Sekiranya mereka tidak bercampur baur, tentulah Kami akan mengazab orang-orang kafir di antara mereka dengan azab yang pedih”. (QS Al-Fath : 25)

Ayat di atas secara ringkas menjelaskan, sekiranya di Makkah tidak ada kaum mukminin yang dhu’afa’ (lemah, fakir-miskin) yang hidup di tengah masyarakat kafir quraisy, tentu Allah swt sudah menurunkan adzab kepada kaum kafir di kota itu sejak dulu. Kehadiran kaum muslimin di Makkah mambawa keberkahan tersendiri bagi kaum Kafir, sehingga Allah swt urung menurunkan siksa-Nya kepada mereka.

 

Pada kesempatan yang lain Rasulullah saw bersabda : “Sekiranya tidak karena kaum wanita dan anak-anak kecil di suatu rumah, tentu sudah aku perintahkan agar shalat jamaah benar-benar ditegakkan, kemudian berangkatlah bersamaku beberapa orang lelaki yang membawa kayu bakar menuju ke suatu kaum yang tidak shalat berjamaah bersama kami, lalu akan aku bakar rumah-rumah mereka”.

 

Demikian pula wanita yang hamil akibat perbuatan zinanya terhindar dari hukuman Rajam disebabkan keberkahan adanya janin yang ada didalam perutnya.
Nabi Isa as berkata :

وَجَعَلَنِي مُبَارَكًا أَيْنَ مَا كُنْتُ

dan Dia menjadikan aku seorang yang diberkati di mana saja aku berada” (QS Maryam,[19] : 31)

Keberkahan dari adanya para auliya’ dan kaum shalihin adalah disebabkan keberadaan mereka yang selalu memberikan kemanfaatan kepada semua makhluk, yakni ajakan mereka agar bertakwa dan kepada Allah swt, doa mereka dan rahmat yang diberikan Allah swt kepada mereka.  Allah swt urung menurunkan siksa-Nya kepada kaum kafir, munafiq, dan pendurhaka disebabkan di situ ada orang yang shalih adalah sesuatu yang benar adanya. Orang yang menginginkan sesuatu keberkahan dengan pemahaman seperti itu dapatlah dibenarkan.

Adapun ucapan atau keinginan mendapatkan keberkahan yang dinilai salah, tidak benar atau menyimpang adalah seperti seseorang menginginkan suatu keberkahan dengan cara-cara yang menjurus kepada perbuatan syirik. Misalnya suatu anggapan bahwa ia menjadi terhormat, mulia, kaya dan sejenisnya adalah disebabkan keberkahan orang mati yang ada didalam kuburan, meskipun orang mati tersebut selama hidupnya tidak taat kepada Allah swt dan Rasul-Nya. Mencari keberkahan dengan cara semacam ini merupakan suatu kebodohan.

Rasulullah saw adalah Sayyidu Waladi Adam (tuan, pemimpin seluruh umat manusia) yang jenazahnya dimakamkan di Madinah. Namun penduduk Madinah tetap tertimpa musibah pembunuhan, perampokan dan intimidasi pada masa-masa setelah periode Khulafaurrasyidin. Hal ini disebabkan pada masa itu mereka banyak yang melakukan perbuatan bid’ah. Padahal  selama periode Khulafaurrasyidin, mereka tidak pernah mengalami peristiwa seperti itu. Bahkan Allah swt memelihara, melindungi dan memberi keamanan kepada mereka, disebabkan keimanan dan ketaatan mereka yang kuat. Apalagi para khalifah mendorong mereka agar meningkatkan ketakwaan dan ketaatan mereka. Maka dengan keberkahan mentaati perintah para Khalifah tersebut, serta keberkahan amal usaha Khulafaurrasyidin bersama-sama dengan mereka itulah, kemudian Allah swt memberikan pertolongan-Nya dan mengokohkan kedudukan mereka.

 Nabi Ibrahim telah wafat dan jenazahnya dimakamkan di kota Damaskus, toh para penduduknya tetap dilanda kekacauan dan kejahatan merejalela di sana sini. Adalah suatu kebodohan jika ada suatu anggapan bahwa orang mati yang dikubur di suatu kota atau desa dapat mendatangkan keselamatan bagi penduduknya. Demikian pula anggapan bahwa keberkahan dapat diterima oleh orang yang mensyirikkan Allah swt  dan orang yang tidak mentaati Allah swt dan Rasul-Nya. Misalnya persangkaan bahwa bersujud kepada selain Allah swt, mencium bumi dan sejenisnya dapat mendatangkan keberkahan atau kebaikan pada pelakunya, meskipun ia tidak pernah mentaati Allah swt dan Rasul-Nya; atau anggapan bahwa seseorang dapat memberikan syafaat kepadanya dan dapat memasukkannya ke surga, disebabkan kecintaannnya kepada orang itu . Kesemuanya itu merupakan perbuatan kaum musyrikin dan ahli bid’ah, dan apa yang mereka sangka tersebut adalah batil dan tidak boleh dipegangi.



IMAM AHMAD BIN HAMBAL BERTABARRUK DAN ADZ-DZAHABI MENDUKUNG

Abdullah bin Ahmad bin Hambal menceritakan : “Aku melihat ayahku, Ahmad bin Hambal, mengambil selembar rambut peninggalan Rasulullah saw , lalu menciumnya. Aku juga melihat  ayahku meletakkan rambut tersebut di atas matanya, setelah itu ia mencelupkannya kedalam air, kemudian airnya ia minum untuk pengobatan. Aku pernah melihat lagi ayahku mengambil sebuah mangkok peninggalan Rasulullah saw dan dicelupkannya kedalam air, lalu airnya ia minum. Ayah juga pernah meminum air zamzam untuk pengobatan dan mengusapkan air itu pada kedua tangan dan wajahnya”.

Saya tegaskan di sini, apakah masih ada orang yang mengingkari cara bertabarruk seperti yang dilakukan oleh Imam Ahmad bin Hambal di atas? Abdullah bin Ahmad bin Hambal pernah bertanya kepada ayahnya mengenai orang-orang yang bertabarruk dengan cara menyentuh rumanah pada mimbar Rasulullah saw dan mengusap-usap Hajar Aswad. Imam Ahmad menjawab: “Menurut saya, hal itu tidak apa-apa”.

Pendapat Imam Ahmad bin Hambal dan perilakunya tersebut ternyata disetujui dan didukung oleh Adz-Dzahaby. Semoga Allah swt selalu melindungi kita semua dari perbuatan kaum khawarij dan ahli bid’ah. (Baca juga kitab Siyaru A’lam an-Nubala’, juz 11, hal. 812).



Penutup

Kesimpulan yang dapat kita ambil dari beberapa Atsar dan Hadis Nabi di atas adalah bahwa Bertabarruk pada diri Rasulullah saw, petilasan, benda bekas peninggalan, dan apa saja yang berkaitan dengan Rasulullah saw, merupakan Sunnah Marfu’ah dan perbuatan terpuji yang disyariatkan. Hal ini ditunjukkan oleh tindakan dan perbuatan para tokoh sahabat yang diperkuat oleh tindakan Rasulullah saw sendiri. Bahkan suatu ketika beliau saw memerintahkan bertabarruk, dan pada kesempatan yang lain beliau saw mengisyaratkan tentang diperbolehkannya bertabarruk.

Berdasarkan nash-nash yang kami kutip di atas, nampak sekali kebohongan dari orang-orang yang beranggapan bahwa tidak seorang sahabat pun yang memiliki perhatian, kepedulian dan anggapan tentang pentingnya bertabarruk, selain Abdullah bin Umar. Bahkan Tabarruk yang dipraktekkan Abdullah bin Umar tersebut tidak seorang pun di antara sahabat yang menyetujuinya. Anggapan dan persangkaan mereka semacam itu menunjukkan kebodohan dan kebohongan mereka, sekaligus merupakan usaha mereka menutupi kenyataan dan kebenaran yang ada.

Sebenarnya banyak sekali sahabat, selain Ibnu Umar, yang mempraktekkan Tabarruk, dan menganggapnya sangat penting. Di antara mereka adalah Khulafaur Rasyidin, Ummu Salamah, Khalid bin Walid, Watsilah bin al-Asqa’, Salamah bin al-Akwa’, Anas bin Malik ra, Abdullah bin Salam, Ummu Sulaim, Usaid bin Hudhair, Sawad bin Ghaziyah, Sawad bin Amr, Abu Musa al-Asy’ary, Sufainah, Sarah, Malik bin Sinan, Asma’ binti Abu Bakar, dan juga dari kalangan ulama generasi sesudahnya seperti Imam Malik bin Anas beserta para gurunya di Madinah seperti Sa’id bin al-Musayyab dan Yahya bin Sa’id.

 

==============================================

*) Sumber : Diambil dari salah satu bagian dari kitab :
Judul Asli
: مفـاهـيم يجب أن تـصحح
Penulis
: Prof. DR. Sayyid Muhammad Alawi Al-Maliki
Alih Bahasa
: Achmad Suchaimi
Judul Terjemahan
: Pemahaman Yang Perlu Diluruskan (PYPD)

PYPD - 34. BERTABARRUK DENGAN DARAH & AIR SENI RASULULLAH SAW *)



Oleh Sayyid Muhammad Alawi Al-Maliki



Bertabarruk Dengan Darah Rasulullah SAW 


Kisah Abdullah bin Zubair meminum darah Rasulullah saw. Rwiayat dari Amir bin Abdullah bin Zubair ra, bahwa ayahnya pernah datang menemui Rasulullah saw yang saat itu sedang berbekam. Setelah selesai dari berbekamnya, beliau saw bersabda : “Hai Abdullah! Pergilah dan buanglah darah ini di tempat yang sepi yang sekiranya tidak seorang pun melihatmu”. Berangkatlah ia ke suatu tempat sepi dan ketika tidak tampak dari pandangan beliau saw, ia minum darah tersebut, lalu ia kembali menemui beliau. Beliau saw bersabda: ”Apa yang telah  Anda lakukan dengan darah itu?” . Jawab Abdullah bin Zubair: “Sudah aku bawa ke tempat yang sepi yang sekiranya aku yakin tidak seorang pun yang melihatku”. Beliau saw berabda: “Barangkali darah itu Anda minum?”. “Benar, aku minum”, pengakuannya. Beliau saw bersabda: “Kenapa kau lakukan? Celakalah orang-orang yang meniru kelakuanmu, dan celakalah Anda yang meniru perbuatan mereka!”.

  Abu Musa Al-Asy’ary menjelaskan bahwa ‘Ashim pernah berkata, “Para sahabat mengetahui bahwa kekuatan yang ada pada diri Abdullah bin Zubair adalah berkat ia meminum darah Rasulullah saw”. Demikianlah yang dituturkan didalam kitab Al-Ishabah juz 2, hal. 310. Sementara Al-Hakim menuturkan riwayat tersebut didalam kitabnya pada juz 3, hal. 554. At-Thabrany juga demikian. Al-Haitsamy didalam kitabnya, juz 8, hal. 270 mengatakan: “Hadis ini diriyawatkan oleh At-Thabrany dan Al-Bazzar secara ringkas. Para perawi hadis Al-Bazzar adalah perawi  hadis shahih, kecuali Hunaid bin al-Qasim, akan tetapi ia seorang yang Tsiqah”. 

Menurut riwayat Abu Na’Imam didalam kitabnya, Al-Haliyyah, juz 1, hal. 32, dari Kisan, salah seorang pelayan Abdullah bin Zubair, bahwa Salman bermaksud datang ke rumah Rasulullah saw, di tengah jalan ia berpapasan dengan Ibnu Zubair yang membawa baskom dan meminum isinya. Selanjutnya Ibnu Zubair masuk ke rumah beliau saw, maka bersabda beliau : “Sudah Anda laksanakan!”. “Sudah”, jawabnya. Salman bertanya kepada beliau saw : “Apa yang sudah dilaksanakannya, wahai Rasulullah!”.Dia aku beri darah bekas bekamanku, agar di buang di tempat yang sepi”, jawab beliau. Salman mengatakan : “Lho, bekas darah bekaman tadi bukan dibuang, tapi justru ia minum! Demi Allah!”. Beliau saw bertanya kepada Abdullah bin Zubari : “Benarkah Anda meminumnya?”. “Benar, aku meminumnya”, jawabnya. “Kenapa Anda lakukan itu!” , tanya beliau. “Aku suka darah Rasulullah saw berada didalam perutku”, jawab Abdullah. Kemudian beliau saw bangkit dari tempat duduknya dan mengelus-elus kepala Abdullah dengan tangannya yang mulia seraya bersabda : “Celaka Anda yang meniru-niru kelakuan orang-orang, dan celakalah mereka yang meniru-niru perbuatan Anda. Api neraka tidak akan menyentuh Anda”.

Riwayat lainnya menuturkan bahwa Abdullah bin Zubair sewaktu selesai meminumnya, Rasulullah saw bersabda kepadanya : “Apa sebenarnya yang mendorong Anda melakukannya?”. Dia jawab, “Saya tahu bahwa darah engkau tidak akan tersentuh api neraka jahannam. Karenanya, aku minum saja darah engkau”. Beliau saw  berkomentar : “Celaka Anda yang meniru perbuatan orang-orang”.

Menurut Ad-Dainury, didalam riwayat dari Asma’ binti Abu Bakar ra terdapat teks hadis yang berbunyi : “Api tidak akan menyentuhmu”. Dan didalam kitab Al-Jauhar al-Maknun fi Dzikr al-Qabail wal Buthun, dituturkan bahwa setelah Abdullah bin Zubair meminum darah Rasulullah saw, mulutnya berbau harum seperti minyak misik, dan bau itu tetap semerbak didalam mulutnya  sampai meninggalnya. Demikianlah yang dijelaskan al-Hafizh Ibnu Hajar Al-Asqalany didalam kitabnya,  Al-Mawahib al-Laduniyyah.

 Kisah Sufainah. Ia adalah seorang pelayan Rasulullah saw. At-Thabrany mengetengahkan riwayat dari Sufainah, bahwa Rasulullah saw berbekam, kemudian menyuruh Sufainah : “Ambillah darah ini dan tanamlah, agar darah ini tidak diminum lalat, burung atau manusia!”. Setelah darah tersebut ia baw pergi, lalu ia minum sendiri. Selanjutnya ia menceritakan perbuatannya itu kepada beliau saw dan beliau tertawa. Riwayat ini dinukil oleh Al-Haitsamy didalam kitabnya, juz 8, hal. 280, disertai komentar : “Para perawi hadis At-Thabrany Tsiqah semua”.

Kisah Malik bin Sinan. Didalam kitab Sunan Sa’id bin Manshur, dari jalan ‘Amr bin as-Saib. Dituturkan bahwa Malik bin Sinan, ayahnya Abu Sa’id al-Khudry, pernah menyedot darah dari wajah Rasulullah saw yang mengalami luka pada perang Uhud, sampai bagian yang terluka terlihat berwarna keputih-putihan. Beliau saw memerintahkan ia agar memuntahkan darah yang ia sedot itu, namun ia justru menjawab : “Tidak akan aku muntahkan selamanya!”, lalu ia telan saja darah itu kedalam perutnya. Beliau saw bersabda: “Barangsiapa yang ingin melihat calon penghuni surga, pandanglah orang ini!”. Tak lama kemudian, Malik bin Sinan gugur di tengah berkecamuknya perang Uhud sebagai syuhada’.

At-Thabrany juga meriwayatkan riwayat di atas, hanya saja ada tambahan teks hadis : “Barangsiapa yang mencampur darahku dengan darahnya, maka ia tidak akan tersentuh api neraka”. Al-Haitsamy berkomentar : “Aku tidak melihat seorang pun didalam isnad-nya yang bersepakat menganggap riwayat itu dha’if”.

Demikian pula Sa’id bin Manshur juga meriwayatkan hadis, bahwa Rasulullah saw bersabda : “Barangsiapa yang ingin memandang orang yang telah mencampur darahku dengan darahnya, maka pandanglah Malik bin Sinan”.

Kisah Seorang Budak milik orang quraisy. Ibnu Hibban didalam kitabnya, Adh-Dhu’afa’, menuturkan suatu riwayat dari Abbas bin Abdulmuthalib ra, bahwa ada seorang budak milik orang Quraisy yang sedangmembekam Rasulullah saw. Setelah selesai, ia mengambil darah beliau dan membawanya pergi ke kebun. Setelah merasa tidak ada seorang pun yang melihatnya, ia lalu meminumnya sampai habis. Kemudian ia kembali ke tempat semula sambil memandangi wajah beliau saw. Beliau bersabda : “Celaka, apa yang baru saja Anda lakukan dengan darah itu?”. Aku sembunyikan di balik tembok”, jawabnya. Sekali lagi beliau saw bertanya : “Di mana Anda sembunyikan?”. Dia secara jujur menjelaskan : “Wahai Rasulullah saw! Akuhirup  darahmu dan aku tumpahkan kedalam bumi, yakni kedalam perutku ini”. Kemudian beliau saw bersabda : “Pergilah. Dirimu akan terpelihara dari neraka!”. Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-Asqalany juga menuturkan riwayat tersebut didalam kitabnya, Al-Mawahib al-Laduniyyah.




Bertabarruk Dengan Air Seni Rasulullah SAW



Kisah dari Barkah ra, seorang pelayan Ummu Habibah ra. Ibnu Hajar Al-Asqalany menuturkan bahwa Abdurrazzaq meriwayatkan suatu hadis dari Ibnu Juraij yang menjelaskan bahwa Rasulullah saw pernah membuang air seninya didalam sebuah gelas logam, lalu beliau sembunyikan di bawah kolong tempat tidurnya, dan terus keluar rumah. Tak lama kemudian beliau saw kembali ke tempat semula, dan ternyata gelas tadi tidak ada di tempat. Beliau saw kemudian bertanya kepada Barkah, pelayan Ummu Habibah yang baru saja datang dari Habasayah bersamanya : “Tahukah kamu, dimana gelas berisi air seniku yang aku sembunyikan di bawah kolong tempat tidur?”. Sudah aku minum!”, jawabnya. Rasulullah saw lalu bersabda kepadanya : “Semoga kamu sehart, wahai Ummu Yusuf”. Ummu Yusuf adalah nama panggilan Barkah. Sepanjang hidupnya, ia memang tidak pernah sakit, kecuali sakit beberapa saat menjelang wafatnya. (Lihat kitab At-Talkhish al-Kabir fi takhrij Ahadits ar-Rafi’iy al-Kabir, juz 1, hal. 32  dan kitab Syarh as-Suyuthy ‘ala Sunan an-Nasa’iy, juz 1, hal. 32).

Kisah Ummu Aiman ra. Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-Asqalany didalam kitabnya, Al-Mawahib al-Laduniyyah, menuliskan bahwa Al-Hasan bin Sufyan didalam Musnad-nya; Al-Hakim ; ad-Daruquthny; At-Thabrany dan Abu Naim meriwayatkan suatu hadis dari Abu Malik an-Nakha’iy, dari Al-Aswad, dari Ummu Aimah, bahwa ia bercerita : “Pada suatu malam, Rasulullah saw bangun dari tempat tidurnya menuju ke samping rumah, lalu membuang air kecilnya di dalam sebuah gerabah atau tembikar. Tak lama kemudian, aku pun bangun dari tidurku dalam keadaan sangat haus, lalu aku minum saja air yang ada di gerabah tersebut. Aku tidak merasa bahwa yang baru saja aku minum tadi adalah air seni beliau saw dan aku baru sadar kalau yang aku minum itu air seni setelah pagi hari beliau saw  memerintahkan aku : “Hai Ummu Aiman! Tolong buangkan air seniku yang ada didalam gerabah itu”. Langsung aku jawab: “Wahai Rasulullah! Demi Allah. Air itu sudah aku minum tadi malam”. Beliau saw lantas tertawa sampai gigi gerahamnya terlihat, terus bersabda : “Demi Allah! Perutmu mulai saat ini tidak akan pernah sakit”.

Kisah Sarah,  pelayan Ummu Salamah ra. At-Thabrany mengetengahkan hadis dari Hakimah binti Umaimah ra, bahwa ibunya pernah bercerita : “Rasulullah saw memiliki gelas terbuat dari perak. Pada suatu hari, beliau saw membuang air seninya didalam gelas tersebut, lalu beliau letakkan di bawah kolong tempat tidurnya (dan keluar rumah). Pada suatu ketika, beliau saw mencari gelas tersebut, namun tidak ditemukannya, kemudian bertanya kepada orang yang di situ : “Di mana gelas yang aku letakkan di bawah tempat tidurku?”. Mereka jawab : “Isinya diminum Sarah, pelayan Ummu Salamah yang baru saja datang dari Habasyah bersamanya”. Beliau saw bersabda : “Dia menar-benar terhalang dari tirai yang sangat kuat dari api neraka”.  Al-Haitsamy didalam bukunya pada juz 8, hal. 271 berkomentar : “Para perawi hadis tersebut adalah perawi hadis shahih, selain Abdullah bin Ahmad bin Hambal. Sementara Hakimah adalah seorang yang Tsiqah”.




Komentar Para Ulama

 a). Imam Muhyiddin an-Nawawy didalam kitab Syarh Al-Muhadz-dzab berkomentar : “Orang yang menganggap sucinya darah dan air seni Rasulullah saw beralasan dengan hadis yang disebutkan di muka, bahwa Abu Thayyibah al-Hijam membekam Rasulullah saw, kemudian darahnya ia minum. Beliau saw ternyata tidak mengingkari perbuatan Abu Thayyibah. Demikian pula seorang wanita yang pernah meminum air seni beliau saw, dan beliau saw tidak mengingkarinya. Riwayat Abu Thayyibah bernilai Dha’if, sementara hadis mengenai meminum air seni bernilai shahih seperti yang dijelaskan oleh ad-Daruquthny : “Hadis ini Hasan Shahih”. Kisah tentang sucinya darah dan air seni beliau saw ini dapat dijadikan sebagai dalil untuk mengkiaskan apa saja  yang keluar dari tubuh beliau saw.


b). Imam Badruddin Al-‘Ainy, pensyarah kitab Shahih Al-Bukhary, didalam kitabnya yang sangat terkenal  ’Umdatul Qary”, juz 2, hal. 35 berkomentar : “Adapun mengenai rambut Rasulullah saw yang dimuliakan dan diagung-agungkan itu adalah keluar dari isi kandungan hadis ini”.

Perlu kami sebutkan di sini tentang pendapatnya Al-Mawardy mengenai rambut Rasulullah saw: “Pendapat yang benar adalah memastikan tentang kesuciannya. Ini menunjukkan bahwa para ulama ada yang memiliki pendapat selain itu”. Na’udzu billahi min dzalik.

Badruddin Al-‘Ainy menegaskan lagi, banyak hadis-hadis yang menuturkan bahwa sekelompok sahabat meminum darah Rasulullah saw, di antaranya adalah Abdullah bin Zubair dan Abu Thayyibah al-Hijam, seorang pelayan orang Quraisy. Selain itu telah diriwayatkan bahwa Ummu Aiman pernah meminum air seni Rasulullah saw (HR Al-Hakim, At-Thabrany dan Abu Naim), juga sayyidina Ali pernah meminum air seni beliau saw. Sementara itu, At-Thabrany menuturkan suatu riwayat didalam kitabnya, Al-Ausath, yang menjelaskan bahwa Salma, isterinya Abu Rafi’, pernah meminum sebagian sisa air seni beliau saw, kemudian beliau bersabda : “Semoga Allah swt mengharamkan badanmu dari api neraka”.

    c). Ibnu Hajar Al-Asqalany didalam kitabnya, Al-Mawahib al-Laduniyyah, mengomentari pendapatnya Imam An-Nawawy dari Al-Qadhy Husain : “Pendapat yang benar adalah kepastian sucinya seluruh apa saja yang keluar dari tubuh Rasulullah saw. Hal ini persis sama dengan pendapat Abu Hanifah yang dituturkan oleh Badruddin Al-‘Ainy”. Ibnu Hajar Al-Asqalany mengatakan lagi : “Cukup banyak dalil-dalil yang menunjukkan kesucian apa saja yang keluar dari tubuh Rasulullah saw. Bahkan para Imam Hadis menganggapnya sebagai salah satu kekhususan beliau saw”.


========================================

*) Sumber : Diambil dari salah satu bagian dari kitab :
Judul Asli
: مفـاهـيم يجب أن تـصحح
Penulis
: Prof. DR. Sayyid Muhammad Alawi Al-Maliki
Alih Bahasa
: Achmad Suchaimi
Judul Terjemahan
: Pemahaman Yang Perlu Diluruskan (PYPD)