Oleh Sayyid Muhammad Alawi Al-Maliki |
MENJAMAH DAN
MENCIUM MAKAM RASULULLAH SAW
Para
peziarah sebaiknya tidak perlu mencium, menjamah, mengusap-usap,
menggosok-gosokkan perut dn punggungnya pada dinding makam Rasulullah saw atau
pada sekat-sekat jeruji makam yang ditutup dengan kain kiswah. Perbuatan
semcam itu Makruh hukumnya, karena perbuatan tersebut bertentangan
dengan tatakrama atau adab sopan santun di hadapan Rasulullah saw. Kalaupun
mereka sengaja mencari suatu keberkahan, seharusnya mereka berusaha
menyingkirkan hal-hal yang dimakruhkan oleh syariat, apalagi yang diharamkan.
Orang yang melakukan seperti itu menunjukkan kebodohannya terhadap adab sopan
santun berziarah kubur dan ia tertipu oleh adat kebiasaan yang dilakukan orang
awam. Perilaku ziarah yang benar adalah seperti yang dituntunkan dan dijelaskan
oleh para ulama, diantaranya adalah berusaha untuk menjauhi hal-hal yang
bertentangan dengan syariat agama, sebagaimana hal ini dijelaskan secara rinci
oleh Imam An-Nawawy didalam kitabnya, Al-Idhah.
Ibnu Hajar
Al-Asqalany didalam kitab Al-Minah wa
al-Jauhar menukil pendapat Imam Al-Ghazali didalam kitab Al-Ihya’, bahwa
menyentuh, menjamah dan mencium makam merupakan adat kebiasaan kaum Yahudi dan
Nasrani.
Al-Fadhil
bin ’Iyadh menjelaskan lebih jauh : “Ikutilah jalan petunjuk dan jangan sampai
sebagian kecil orang-orang yang sedang berziarah itu membahayakan keimananmu.
Hindarilah perbuatan sesat dan jangan tertipu oleh kebanyakan orang awam yang
rusak keimanannya. Orang yang berprasangka bahwa menjamah makam dengan
tangannya dan melakukan perbuatan yang semisal akan lebih mendatangkan
keberkahan, adalah anggapan yang bodoh dan ‘keblinger’, karena keberkahan itu
sebenarnya tergantung pada kesesuaiannya dengan syariat, atau tergantung pada
ketiadaan pelanggaran terhadap aturan syariat. Bagaimana mungkin keberkahan itu
dapat diperoleh dengan sarana dan cara yang melanggar syariat?”. (Al-Majmu’,
juz 8, halaman 275)
PANDANGAN IMAM
AHMAD BIN HAMBAL
Imam Ahmad
bin Hambal dalam persoalan menjamah dan mencium makam ini terkadang
membolehkan, kadang mendiamkan hukumnya, dan pada kesempatan lain ia masih
membedakan antara mimbar Masjid Nabawi dan makam Rasulullah saw. Dia
membolehkan mencium mimbar beliau saw di Masjid Nabawi. Namun mencium makam
beliau saw, dia masih mendiamkan hukumnya dan terkadang menganggapnya mubah.
Meskipun terjadi perbedaan pendapat dalam persoalan ini, namun dia tidak sampai
menuduh pelakunya dengan tuduhan kafir, musyrik, bid’ah, murtad atau sesat.
Inti pendapat Imam Ahmad bin Hambal adalah bahwa bertabarruk dengan cara mencium makam
Rasulullah saw merupakan perbuatan yang tidak sesuai dengan ajaran syariat
Islam. Maksudnya, janganlah perbuatan semacam itu dijadikan sebagai adat
kebiasaan, sehingga menyebabkan orang-orang awam tertipu, lalu menyangka bahwa
perbuatan itu merupakan keharusan, sesuatu yang disyariatkan, atau bagian dari
adab sopan santun dalam berziarah kubur.
Didalam kitab Khulashatul Wafa dan
kitab Al-Hilal was-Sualat, Abdullah bin Ahmad bin Hambal menuturkan :
“Aku pernah bertanya kepada ayahku (Imam Ahmad bin Hambal) mengenai hukum menjamah
makam Rasulullah saw, bertabarruk dengan cara mengusap dan mencium makam beliau
saw, dan tentang menjamah dan mencium mimbar beliau saw di Masjid Nabawi,
dengan harapan agar mendapatkan pahala. Jawaban ayahku : ‘Tidak apa-apa
dilakukan’”.
Abu Bakar
al-Atsram pernah bertanya kepada Imam Ahmad bin Hambal mengenai hukum menjamah
dan mencium makam Rasulullah saw. Jawabannya : “Aku tidak tahu”. Selanjutnya ia
bertanya : “Kalau mengenai mimbar?”. Imam Ahmd menjawab : “Itu merupakan
sebaik-baik perbuatan. Berdasarkan riwayat dari Ibnu Umar bahwa ia pernah
menjamah mimbar Masjid Nabawi. Sedangkan riwayat dari Sa’id bin Al-Musayyab
menjelaskan bahwa Ibnu Umar mengusap Rumanah (tiang penyanggah) di atas
mimbar Rasulullah saw di Masjid Nabawi”.
Orang-orang meriwayatkan kisah dariYahya bin Sa’id, bahwa
sewaktu ia pergi ke Irak, ia terlebih dahulu mengusap mimbar Masjid Nabawi,
lalu diteruskan berdoa di situ. Imam Ahmad bin Hambal berkomentar : “Apa yang
dilakukan Yahya bin Sa’id itu adalah baik. Dan barangkali dalam keadaan
dharurat, tidak apa-apa melakukan semacam itu”.
Dikatakan kepada imam Ahmad bin Hambal, bahwa orang-orang
sama menggosok-gosokkan dan menempelkan perutnya para makam Rasulullah saw,
sementara para ulama Madinah tidak melakukan seperti itu, mereka hanya berdiri
di sudut makam sambil mengucapkan salam
kepada beliau saw. Imam Ahmad bin Hambal berkomentar : “Memang demikianlah yang
dilakukan para ulama Madinah dan itulah yang benar. Demikian pula yang
dilakukan oleh Ibnu Umar ra”.
Ibnu Taimiyah menegaskan, bahwa Imam Ahmad bin Hambal dan
ulama lainnya meriwayatkan hadis dan atsar tentang diperbolehkannya mengusap mimbar tempat duduk
Rasulullah saw dan rumanah tempat berpegangan tangan beliau saw di
Masjid Nabawi. Sementara para sahabat dan ulama tidak membolehkan mengusap,
menjamah dan mencium makam beliau saw. (Iqtidhaus-Shirathjil Mustaqim
pada halaman 367, dan dinukil oleh Ibnu
Muflih dari imam Ahmad didalam kitab Al-Furu’, juz 3, halaman 524).
MAKAM RASULULLAH SAW BEBAS DARI
PRAKTEK KESYIRIKAN
Allah swt
benar-benar memelihara, melindungi dan membebaskan makam Rasulullah saw dari
berbagai praktek kesyirikan, penyembahan berhala dan berbagai bentuk
peribadatan yang menyimpang dari aturan syariat. Tidak terlintas didalam
pikiran dan angan-angan seorang muslim pun, bahwa makam beliau saw adalah suatu
bentuk “Berhala” yang perlu disembah-sembah, atau sebagai kiblat dimana
semua peribadatan diarahkan ke sana. Hal ini tidak lepas dari doa beliau saw
yang diriwayatkan oleh Imam Malik didalam kitab Al-Muwattha’-nya, dan
doa beliau saw tentu akan dikabulkan Allah swt. Beliau saw pernah berdoa :
أللّـهمّ لاَ
تـجـعلْ قـبري وثَـنًا يُـعْـبَدُ
“Ya
Allah! Janganlah Engkau jadikan kuburanku sebagai berhala yang
disembah-sembah”.
Kemudian
beliau saw bersabda : “Allah swt sangat marah kepada orang-orang yang
menjadikan makam para Nabi sebagai ‘masjid’ (tempat peribadatan)”.
Allah swt
benar-benar telah mengabulkan permohonan beliau saw tersebut dan kenyataannya
sampai sekarang kuburan beliau saw tidak dijadikan kaum muslimin sebagai bentuk
berhala yang disembah-sembah. Kondisi ini sangat berbeda dengan kuburan
para Nabi selain beliau saw yang tidak jarang dijadikan sebagai berhala
sesembahan. Jangankan menjadikannya sebagai berhala, masuk kedalam
ruangan makam saja tidak seorang pun yang mampu melakukannya, apalagi setelah
makam tersebut dibuatkan bilik khusus. Dan sebelumnya juga tidak mungkin
seseorang memasuki ruangan makam beliau saw sekedar berdoa dan melakukan shalat
di sampingnya, serta melakukan adat kebiasaan yang biasa dilakukan orang awam
di makam-makam selainnya. Hanya mereka yang bodoh saja yang melakukan shalat di
bilik makam beliau saw, atau bersuara keras, atau berbicara dengan suatu
pembicaraan yang tidak dibenarkan syariat. Perbuatan tersebut hanya boleh
dilakukan di luar bilik makam, bukannya didalamnya.
Pada waktu Ummul Mukminin ‘Aisyah ra masih
hidup, tidak seorang pun yang berani masuk kedalam ruangan makam, selain karena
ingin bertemu atau ada kepentingan dengannya. Dan itu pun mereka tidak
diperbolehkan melakukan hal-hal yang dilarang agama di samping makam beliau
saw. Setelah Aisyah wafat, bilik makam beliau saw dikunci, sebelum pada
akhirnya dimasukkan kedalam bangunan Masjid Nabawi, dengan pintu yang terkunci rapat. Selanjutnya dibangunlah
tembok baru untuk memisahkan antara bangunan bilik makam dan masjid. Semuanya
itu dibangun dalam rangka menjaga bilik makam tersebut agar tidak dijadikan
sebagai tempat perayaan, dan makamnya sendiri agar tidak dijadikan
sebagai berhala yang disembah-sembah. Selain itu, seluruh penduduk
Madinah adalah muslim dan tidak seorang pun yang datang ke kota itu kecuali
muslim.
Kondisi makam Rasulullah saw sebenarnya biasa-biasa saja,
tidak ada keistimewaannya. Di atas makam hanya berupa batu-batu kerikil kasar,
tidak ada kijing batu atau kayu, dan tidak dipelester ataupun dicor, apalagi
dikeramik. Selain karena hal ini dilarang agama, juga agar jangan dijadikan
sebagai alasan pembenaran terhadap pengkijingan, pengkeramikan dan mendirikan
bangunan apa saja di atasnya. Sama terlarangnya melakukan shalat sunah mutlak
bertepatan dengan terbit dan terbenamnya matahari, agar terhindar dari hal-hal
yang dapat menyebabkan perbuatan syirik.
Rasulullah saw berdoa kepada Allah swt
agar makamnya tidak dijadikan sebagai berhala sesembahan dan ternyata
doanya terkabul. Kalau pada masa-masa sebelumnya telah terjadi berbagai bentuk bid’ah
di kalangan umat para Nabi jaman dahulu, lalu Allah swt mengutus seorang Nabi
baru kepada mereka yang bertugas untuk meluruskan dan memberantas bid’ah
tersebut, maka setelah diutusnya Nabi Muhammad saw, Allah swt menjaga umat
Islam untuk tidak sepakat melakukan kesesatan dan memelihara makam beliau saw
agar tidak dijadikan sebagai berhala yang disembah-sembah. Kalaupun terjadi
pemberhalaan terhadap makam tersebut, pastilah akan terkalahkan dan akan
diketahui oleh kaum muslimin, karena beliau saw telah memberitahukan kepada
kita bahwa selalu ada sekelompok kaum muslimin yang secara terang-terangan akan
mempertahankan kebenaran dan selalu berjalan di atas kebenaran itu, sehingga
mereka tidak akan dapat dikalahkan oleh orang-orang yang menentangnya sampai
hari kiamat. Dengan demikian, tidak ada jalan lagi bagi ahli bid’ah untuk
melakukan perbuatan bid’ah di makam beliau saw, sebagaimana yang biasa
dilakukan oleh orang awam pada umumnya di makam-makam yang lain. (Al-Jawab al-Bahir fi Zuwwar al-Maqabir ,
karya Ibnu Taimiyah, halaman 13).
==============================================
*)
Sumber : Diambil dari salah satu bagian dari kitab :
|
|
Judul
Asli
|
:
مفـاهـيم يجب أن تـصحح
|
Penulis
|
:
Prof. DR. Sayyid Muhammad Alawi Al-Maliki
|
Alih
Bahasa
|
:
Achmad Suchaimi
|
Judul
Terjemahan
|
:
Pemahaman Yang Perlu Diluruskan (PYPD)
|