Oleh Sayyid Muhammad Alawi Al-Maliki |
Kita mendengar
banyak orang yang berkata bahwa mereka ingin mendapatkan keberkahan dari
Rasulullah saw. Ibnu Taimiyah pernah
ditanya tentang kenyataan tersebut, lalu ia jawab bahwa perkataan mereka
tersebut bisa dibilang “benar” dan juga bisa “salah”.
Dikatakan “benar”
jika yang mereka maksudkan itu adalah bahwa Rasulullah saw telah memberi
arahan, bimbingan, petunjuk, berita serta memerintahkan agar kita selalu
melakukan amar makruf dan nahi munkar. Posisi kita di sini adalah
mengharap keberkahan dari beliau saw dengan cara melakukan, mengikuti dan
mentaati perintah beliau saw tersebut, sehingga kita akan mendapatkan kebaikan
darinya. Sama halnya dengan penduduk Madinah yang mendapatkan keberkahan dari
beliau saw disebabkan keimanan dan ketaatan mereka, sehingga mereka mendapatkan
kebahagiaan hidup di dunia dan di akhirat. Bahkan setiap kaum muslimin yang
beriman dan taat kepada beliau saw pun juga akan mendapatkan keberkahan dari
beliau saw, disebabkan keimanan dan ketaatan mereka itu, sehingga mereka akan
mendapatkan kebaikan dan kebahagiaan hidup di dunia dan di akhirat. Hanya saja,
seberapa besar kebaikan dan keberkahan tersebut, tidak ada yang tahu kecuali
Allah swt.
Atau yang
mereka maksudkan dengan “keinginan untuk mendapatkan keberkahan dari Rasulullah
saw” adalah bahwa dengan keberkahan doa beliau saw itu maka Allah swt
menghilangkan kejelekan dan mereka berhasil memperoleh rizki dan pertolongan
dari-Nya. Dengan demikian, hal ini dapat dibenarkan. Sebagaimana yang
disinggung beliau saw didalam sabdanya : “Kalian tidak akan mendapatkan
pertolongan dan rizki, melainkan dengan perantaraan kaum dhu’afa’ (kaum fakir
miskin) di antara kalian, yakni sebab doa mereka, shalat mereka dan keikhlasan
mereka”.
Allah swt
terkadang mengurungkan siksa-Nya kepada kaum kafir dan orang yang durhaka di
suatu kampung agar siksa-Nya itu tidak merembet atau mengenai kaum mukminin di
situ atau biar tidak menimpa orang-orang yang sebenarnya tidak berhak disiksa.
Dengan kata lain, keberadaan kaum mukminin di suatu tempat dapat mendatangkan
keberkahan bagi seluruh penduduk di sekitarnya, meskipun mayoritas mereka
adalah tidak beriman, sehingga mereka yang seharusnya mendapatkan siksaan Allah
swt lalu tidak jadi terkena siksaan. Allah swt berfirman :
وَلَوْلَا رِجَالٌ مُؤْمِنُونَ وَنِسَاءٌ مُؤْمِنَاتٌ لَمْ
تَعْلَمُوهُمْ أَنْ تَطَئُوهُمْ فَتُصِيبَكُمْ مِنْهُمْ مَعَرَّةٌ بِغَيْرِ عِلْمٍ
لِيُدْخِلَ اللَّهُ فِي رَحْمَتِهِ مَنْ يَشَاءُ لَوْ تَزَيَّلُوا لَعَذَّبْنَا
الَّذِينَ كَفَرُوا مِنْهُمْ عَذَابًا أَلِيمًا(25)
“ Dan kalau tidaklah karena laki-laki yang
mu'min dan perempuan-perempuan yang mu'min yang tiada kamu ketahui, bahwa kamu
akan membunuh mereka yang menyebabkan kamu ditimpa kesusahan tanpa
pengetahuanmu (tentulah Allah tidak akan menahan tanganmu dari membinasakan
mereka). Supaya Allah memasukkan siapa yang dikehendaki-Nya ke dalam
rahmat-Nya. Sekiranya mereka tidak bercampur baur, tentulah Kami akan mengazab
orang-orang kafir di antara mereka dengan azab yang pedih”. (QS Al-Fath :
25)
Ayat di atas secara ringkas menjelaskan, sekiranya di Makkah tidak ada kaum mukminin yang dhu’afa’ (lemah, fakir-miskin) yang hidup di tengah masyarakat kafir quraisy, tentu Allah swt sudah menurunkan adzab kepada kaum kafir di kota itu sejak dulu. Kehadiran kaum muslimin di Makkah mambawa keberkahan tersendiri bagi kaum Kafir, sehingga Allah swt urung menurunkan siksa-Nya kepada mereka.
Pada kesempatan yang lain Rasulullah saw bersabda : “Sekiranya tidak karena kaum wanita dan anak-anak kecil di suatu rumah, tentu sudah aku perintahkan agar shalat jamaah benar-benar ditegakkan, kemudian berangkatlah bersamaku beberapa orang lelaki yang membawa kayu bakar menuju ke suatu kaum yang tidak shalat berjamaah bersama kami, lalu akan aku bakar rumah-rumah mereka”.
Demikian
pula wanita yang hamil akibat perbuatan zinanya terhindar dari hukuman Rajam
disebabkan keberkahan adanya janin yang ada didalam perutnya.
Nabi Isa as berkata :
وَجَعَلَنِي مُبَارَكًا أَيْنَ مَا كُنْتُ
“dan Dia menjadikan aku seorang
yang diberkati di mana saja aku berada” (QS Maryam,[19] : 31)
Keberkahan dari adanya para auliya’
dan kaum shalihin adalah disebabkan keberadaan mereka yang selalu memberikan
kemanfaatan kepada semua makhluk, yakni ajakan mereka agar bertakwa dan kepada
Allah swt, doa mereka dan rahmat yang diberikan Allah swt kepada mereka. Allah swt urung menurunkan siksa-Nya
kepada kaum kafir, munafiq, dan pendurhaka disebabkan di situ ada orang yang
shalih adalah sesuatu yang benar adanya. Orang yang menginginkan sesuatu
keberkahan dengan pemahaman seperti itu dapatlah dibenarkan.
Adapun ucapan atau keinginan
mendapatkan keberkahan yang dinilai salah, tidak benar atau menyimpang adalah
seperti seseorang menginginkan suatu keberkahan dengan cara-cara yang menjurus
kepada perbuatan syirik. Misalnya suatu anggapan bahwa ia menjadi terhormat,
mulia, kaya dan sejenisnya adalah disebabkan keberkahan orang mati yang ada
didalam kuburan, meskipun orang mati tersebut selama hidupnya tidak taat kepada
Allah swt dan Rasul-Nya. Mencari keberkahan dengan cara semacam ini merupakan
suatu kebodohan.
Rasulullah saw adalah Sayyidu
Waladi Adam (tuan, pemimpin seluruh umat manusia) yang jenazahnya
dimakamkan di Madinah. Namun penduduk Madinah tetap tertimpa musibah
pembunuhan, perampokan dan intimidasi pada masa-masa setelah periode
Khulafaurrasyidin. Hal ini disebabkan pada masa itu mereka banyak yang
melakukan perbuatan bid’ah. Padahal
selama periode Khulafaurrasyidin, mereka tidak pernah mengalami
peristiwa seperti itu. Bahkan Allah swt memelihara, melindungi dan memberi
keamanan kepada mereka, disebabkan keimanan dan ketaatan mereka yang kuat.
Apalagi para khalifah mendorong mereka agar meningkatkan ketakwaan dan ketaatan
mereka. Maka dengan keberkahan mentaati perintah para Khalifah tersebut, serta
keberkahan amal usaha Khulafaurrasyidin bersama-sama dengan mereka itulah,
kemudian Allah swt memberikan pertolongan-Nya dan mengokohkan kedudukan mereka.
Nabi Ibrahim telah wafat dan jenazahnya
dimakamkan di kota Damaskus, toh para penduduknya tetap dilanda kekacauan dan
kejahatan merejalela di sana sini. Adalah suatu kebodohan jika ada suatu
anggapan bahwa orang mati yang dikubur di suatu kota atau desa dapat
mendatangkan keselamatan bagi penduduknya. Demikian pula anggapan bahwa
keberkahan dapat diterima oleh orang yang mensyirikkan Allah swt dan orang yang tidak mentaati Allah swt dan
Rasul-Nya. Misalnya persangkaan bahwa bersujud kepada selain Allah swt, mencium
bumi dan sejenisnya dapat mendatangkan keberkahan atau kebaikan pada pelakunya,
meskipun ia tidak pernah mentaati Allah swt dan Rasul-Nya; atau anggapan bahwa
seseorang dapat memberikan syafaat kepadanya dan dapat memasukkannya ke surga,
disebabkan kecintaannnya kepada orang itu . Kesemuanya itu merupakan perbuatan
kaum musyrikin dan ahli bid’ah, dan apa yang mereka sangka tersebut adalah
batil dan tidak boleh dipegangi.
IMAM
AHMAD BIN HAMBAL BERTABARRUK DAN ADZ-DZAHABI MENDUKUNG
Abdullah bin
Ahmad bin Hambal menceritakan : “Aku melihat ayahku, Ahmad bin Hambal,
mengambil selembar rambut peninggalan Rasulullah saw , lalu menciumnya. Aku
juga melihat ayahku meletakkan rambut
tersebut di atas matanya, setelah itu ia mencelupkannya kedalam air, kemudian
airnya ia minum untuk pengobatan. Aku pernah melihat lagi ayahku mengambil
sebuah mangkok peninggalan Rasulullah saw dan dicelupkannya kedalam air, lalu
airnya ia minum. Ayah juga pernah meminum air zamzam untuk pengobatan dan
mengusapkan air itu pada kedua tangan dan wajahnya”.
Saya tegaskan
di sini, apakah masih ada orang yang mengingkari cara bertabarruk seperti yang
dilakukan oleh Imam Ahmad bin Hambal di atas? Abdullah bin Ahmad bin Hambal
pernah bertanya kepada ayahnya mengenai orang-orang yang bertabarruk dengan
cara menyentuh rumanah pada mimbar Rasulullah saw dan mengusap-usap Hajar
Aswad. Imam Ahmad menjawab: “Menurut saya, hal itu tidak apa-apa”.
Pendapat Imam
Ahmad bin Hambal dan perilakunya tersebut ternyata disetujui dan didukung oleh
Adz-Dzahaby. Semoga Allah swt selalu melindungi kita semua dari perbuatan kaum
khawarij dan ahli bid’ah. (Baca juga kitab Siyaru A’lam an-Nubala’, juz
11, hal. 812).
Penutup
Kesimpulan
yang dapat kita ambil dari beberapa Atsar dan Hadis Nabi di atas adalah
bahwa Bertabarruk pada diri Rasulullah saw, petilasan, benda bekas
peninggalan, dan apa saja yang berkaitan dengan Rasulullah saw, merupakan Sunnah
Marfu’ah dan perbuatan terpuji yang disyariatkan. Hal ini ditunjukkan oleh
tindakan dan perbuatan para tokoh sahabat yang diperkuat oleh tindakan
Rasulullah saw sendiri. Bahkan suatu ketika beliau saw memerintahkan bertabarruk,
dan pada kesempatan yang lain beliau saw mengisyaratkan tentang
diperbolehkannya bertabarruk.
Berdasarkan
nash-nash yang kami kutip di atas, nampak sekali kebohongan dari orang-orang
yang beranggapan bahwa tidak seorang sahabat pun yang memiliki perhatian, kepedulian
dan anggapan tentang pentingnya bertabarruk, selain Abdullah bin Umar.
Bahkan Tabarruk yang dipraktekkan Abdullah bin Umar tersebut tidak
seorang pun di antara sahabat yang menyetujuinya. Anggapan dan persangkaan
mereka semacam itu menunjukkan kebodohan dan kebohongan mereka, sekaligus
merupakan usaha mereka menutupi kenyataan dan kebenaran yang ada.
Sebenarnya
banyak sekali sahabat, selain Ibnu Umar, yang mempraktekkan Tabarruk,
dan menganggapnya sangat penting. Di antara mereka adalah Khulafaur
Rasyidin, Ummu Salamah, Khalid bin Walid, Watsilah bin al-Asqa’,
Salamah bin al-Akwa’, Anas bin Malik ra, Abdullah bin Salam, Ummu Sulaim, Usaid
bin Hudhair, Sawad bin Ghaziyah, Sawad bin Amr, Abu Musa al-Asy’ary, Sufainah,
Sarah, Malik bin Sinan, Asma’ binti Abu Bakar, dan juga dari kalangan ulama
generasi sesudahnya seperti Imam Malik bin Anas beserta para gurunya di Madinah
seperti Sa’id bin al-Musayyab dan Yahya bin Sa’id.
==============================================
*)
Sumber : Diambil dari salah satu bagian dari kitab :
|
|
Judul
Asli
|
:
مفـاهـيم يجب أن تـصحح
|
Penulis
|
:
Prof. DR. Sayyid Muhammad Alawi Al-Maliki
|
Alih
Bahasa
|
:
Achmad Suchaimi
|
Judul
Terjemahan
|
:
Pemahaman Yang Perlu Diluruskan (PYPD)
|