Oleh Sayyid Muhammad Alawi Al-Maliki |
Beberapa
saat menjelang wafatnya, Umar bin Khatthab ra mengutus puteranya, Abdullah : “Temuilah
Ummul Mukminin Aisyah ra dan sampaikan salam Umar kepadanya, jangan kamu
katakan salam dari Amirul Mukminin. Karena hari ini aku mengutusmu bukan atas
nama Amirul mukminin (tetapi atas nama pribadi). Kemudian katakan kepadanya,
bahwa Umar bin Khatthab memohon izin agar jenazahnya nanti dikuburkan di
samping makam kedua sahabatnya”.
Abdullah bin
Umar melaksanakan apa yang diperintahkan ayahnya itu. Sesampainya di rumah
Aisyah ra, ia memohon diperbolehkan masuk ke rumahnya seraya mengucapkan salam.
Setelah masuk, ia menyaksikan Aisyah sedang menangis dan beberapa saat
setelahnya ia berkata kepadanya: “Umar bin Khatthab ra mengirimkan salam
untukmu dan memohon kepadamu agar dipersolehkan jenazahnya nanti dikuburkan di
samping makam kedua sahabatnya”. Jawab Aisyah : “Sebenarnya aku sendiri
juga menginginkan dikuburkan di tempat ini. Sesungguhnya pada hari ini aku
utamakan diriku sendiri”.
Abdullah bin
Umar selanjutnya mohon diri dan kembali pulang menemui ayahnya. Seorang pelayan
memberitahukan kedatangannya kepada Umar bin Khatthab ra. Umar meminta agar
dirinya dibangunkan dan disandarkan kepada puteranya seraya berkata : “Apa
jawaban yang kamu dapatkan darinya?”. Abdullah bilang : “Seperti yang
engkau harapkan, wahai Amirul Mukminin! Dia mengizinkan engkau”. Umar
berkomentar : “Alhamdulillah! Tiada sesuatu yang lebih penting bagiku selain
ini (yakni dikuburkan di samping makam kedua sahabatnya, Rasulullah saw dan Abu
Bakar). Jika nanti aku wafat, bawalah jenazahku ke sana. Ucapkanlah salam
kepada Aisyah dan katakan sekali lagi bahwa Umar meminta izin agar dikuburkan
di samping makam kedua sahabatnya. Jika dia mengizinkan, lalu kuburkan
jenazahku di situ. Namun jika ia tidak mengizinkannya, maka bawalah jenazahku
untuk dikuburkan di pekuburan kaum muslimin”.
Riwayat yang
cukup panjang tersebut diketengahkan oleh Imam Bukhary didalam kitabnya di
bawah judul Al-Janaiz, pada bab Ma ja-a fi Qabri an-Nabiy saw, dan
disebutkan didalam kitab Fadhailus Shahabah pada bab Qishshah
al-Badi’ah.
Komentar
Adz-Dzahabi tentang bertabarruk dengan makam Rasulullah saw.
Al-Imam Syamsuddin Muhammad bin Ahmad Adz-Dzahabi
mengetengahkan riwayat yang diperolehnya dari Ahmad bin Abdul Mun’Imam
dan seterusnya sampai kepada Abdullah bin Umar ra, yang menjelaskan bahwa
Abdullah bin Umar membenci dan tidak menyukai mengusap makam Rasulullah
saw.
Menurut
Adz-Dzahabi, hal ini disebabkan bahwa mengusap makam beliau saw adalah
perbuatan Su-ul Adab (tidak sopan) kepada beliau saw. Imam Ahmad bin
Hambal pernah ditanya orang mengenai hukum mengusap, menyentuh dan mencium
makam beliau saw, lalu dijawabnya “tidak mengapa”. Jawabannya ini
dituturkan sendiri oleh puteranya, yakni Abdullah bin Ahmad bin Hambal.
Jika ada
orang yang mengatakan: “Kenapa para sahabat tidak melakukan seperti itu?”.
Jawabnya: “Karena mereka menyaksikan sendiri kehidupan Rasulullah saw, bersuka
cita dan bergembira bersama beliau saw. Mereka mencium tangannya dan hampir
seperti orang bertarung sesama teman demi memperebutkan sisa air wudhunya serta
meminta bagian rambutnya pada saat Haji Akbar. Bila beliau saw berdahak,
tangan mereka mendahinya lalu diusapkan ke wajah dan sekujur tubuh. Dan kita,
yang hidup tidak sejaman beliau saw,
tidak dapat melakukan seperti yang dilakukan oleh para sahabat tersebut,
sehingga kita cukup mendatangi makam beliau saw, memeluknya, mengusap dan
menciumnya.
Anda tentu
tahu apa yang dilakukan oleh Tsabit al-Banany yang mencium tangan Anas bin
Malik ra dan mengusapkannya ke wajah, hanya dikarenakan tangan Anas pernah
bersentuhan langsung dengan tangan Rasulullah saw. Perbuatan yang demikian ini
hanya akan dilakukan oleh orang yang memiliki kecintaan yang begitu mendalam
kepada beliau saw. Apalagi setelah ada perintah dari agama agar selalu mencintai Allah swt dan Rasul-Nya
melebihi kecintaannya kepada dirinya sendiri, anak-anaknya, keluarganya, harta
bendanya dan melebihi kecintaannya kepada surga beserta kenikmatan didalamnya,
serta juga diperintahkan untuk mencintai Abu Bakar ash-Shiddiq ra dan Umar bin
Khatthab ra melebihi kecintaannya kepada dirinya sendiri.
Kisah Jundar.
Sewaktu
berada di puncak bukit Baqa’, ia mendengar seseorang yang sedang mencaci
maki sahabat Abu Bakar ash-Shiddiq. Tanpa pikir panjang ia cabut pedangnya lalu
menebas leher orang itu. Namun, sekiranya ia mendengar seseorang yang mencaci
maki dirinya atau ayahnya, tentu ia tidak akan merasa tercemar namanya dan
tidak akan melakukan perbuatan seperti yang ia lakukan kepada orang yang
mencaci maki Abu Bakar tersebut.
Anda tentu
tahu, betapa kecintaan para sahabat yang begitu mendalam kepada Rasulullah saw.
Beliau saw pernah ditanya : “Apakah perbuatan seperti ini berarti kami telah
bersembah sujud kepada engkau?”. Beliau jawab : “Oh, tidak!”.
Seandainya mereka diperbolehkan sujud kepada beliau saw, itupun terbatas
sebagai rasa penghormatan atau sopan santun kepada beliau saw, bukan sujud
sebagai betuk penyembahan kepada beliau saw. Sebagaimana hal ini pernah
dilakukan oleh saudara-saudara Nabi Yusuf
as kepada dirinya.
Demikian pula terhadap pemahaman “Sujud”
yang dilakukan seorang muslim di atas makam Rasulullah saw, merupakan wujud
rasa penghormatannya kepada penguhuni makam tersebut, yakni Rasulullah saw.
Bukan sujud dalam pengertian “menyembah” beliau saw dan
makamnya. Yang prinsip, orang yang
melakukan perbuatan seperti itu tidak boleh dihukumi Kafir, ia hanyalah
sekedar melakukan perbuatan Maksiat. Karena melakukan sujud di depan
makam merupakan perbuatan haram, sama haramnya dengan melakukan shalat di atas
makam. ( Dinukil dan disadur dari kitab Mu’jam
asy-Syuyukh, juz 1, hal. 73-74, tulisan Adz-Dzahaby).
==============================================
*)
Sumber : Diambil dari salah satu bagian dari kitab :
|
|
Judul
Asli
|
:
مفـاهـيم يجب أن تـصحح
|
Penulis
|
:
Prof. DR. Sayyid Muhammad Alawi Al-Maliki
|
Alih
Bahasa
|
:
Achmad Suchaimi
|
Judul
Terjemahan
|
:
Pemahaman Yang Perlu Diluruskan (PYPD)
|