Tampilkan postingan dengan label istighotsah. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label istighotsah. Tampilkan semua postingan

Jumat, 21 Juni 2013

PYPD - 25. Beristighotsah & Ungkapan Sanjungan Kepada Rasulullah SAW



Oleh Sayyaid Muhammad Alawi Al-Maliki




Beristighatsah Kepada Rasulullah SAW

Disebutkan dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh at-Thabrani didalam kitabnya, Majma’ al-Kabir, bahwa pada masa hidup Rasulullah saw, ada seorang munafik yang suka mengganggu dan menyakiti kaum muslimin. Abu Bakar bilang, “Mari kita minta bantuan kepada Rasulullah saw dari gangguan orang munafik itu”. Setelah hal itu diadukan, lalu beliau bersabda :

إنّـه لا يستـغاث بـي, و إنّـما يستـغاث باللـه
Sesungguhnya  hal ini tidak boleh dimintakan bantuannya kepadaku, tetapi hanya dapat dimintakan bantuannya kepada Allah swt".

Hadis di atas mereka jadikan sebagai alasan untuk menolak beristighatsah (meminta bantuan) kepada Rasulullah saw. Pada prinsipnya, alasan mereka ini salah alamat dan tidak sesuai dengan sasaran pembicaraannya.
Kalau kita   berpegangan pada makna tekstualnya (zhahir lafazh), memang hadis tersebut melarang beristighatsah kepada Rasulullah saw secara mutlak. Jika demikian, hal ini berarti sangat kontradiktif dengan perilaku para sahabat yang meminta bantuan kepada beliau saw. Seperti mereka meminta  bantuan kepada beliau, meminta hujan kepada Allah swt dengan perantaraan beliau, dan minta didoakan beliau. Sementara beliau saw sendiri mengabulkan permintaan mereka dengan senang hati.
Atas kenyataan ini diharapkan, sewaktu menakwilkan atau menafsirkan suatu hadis haruslah mengkaitkannya dengan hadis-hadis lain pada umumnya, sehingga dihasilkan suatu pemahaman yang obyektif, menyeluruh dan tepat sasaran, serta tidak bertentangan dengan nash-nash hadis yang lain.
Menurut pemahaman kami,   hadis di atas  mengokohkan dan  menetapkan hakikat Tauhid pada inti akidah, yaitu bahwa yang berhak memberikan bantuan dan pertolongan adalah hanya Allah swt semata. Sementara makhluk adalah berstatus sebagai Wasithah (perantara) dalam persoalan ini. Atau dengan hadis di atas, Rasulullah saw bermaksud memberikan suatu pengajaran kepada umat islam, agar mereka tidak meminta bantuan dan pertolongan kepada orang lain mengenai sesuatu yang diluar kemampuannya, seperti meminta dimasukkan ke surga, diselamatkan dari siksa neraka, diberi hidayah dan hal-hal lain yang diluar kemampuan manusia.
Hadis di atas tidak menunjukkan suatu pemahaman agar meminta bantuan dan pertolongan hanya kepada orang yang masih hidup saja, bukan kepada orang yang mati. Bahkan secara tekstual hadis tersebut melarang untuk selamanya meminta bantuan dan pertolongan kepada selain Allah swt, baik kepada orang yang masih hidup maupun yang sudah mati. Akan tetapi, makna tekstual semacam ini bukanlah  makna sesungghuhnya yang dimaksudkan oleh hadis tersebut.
Sesepuh Islam Ibnu Taimiyah didalam kitabnya, Al-Fatawa, memberikan suatu petunjuk atas makna hadis di atas. Bahwa terkadang didalam firman Allah swt dan hadis Rasulullah saw itu ada suatu ungkapan atau perkataan yang memiliki makna yang sudah benar dan jelas. Akan tetapi sebagian orang memahaminya dengan pemahaman yang tidak dikehendaki oleh Allah swt dan Rsul-Nya. Pemahaman semacam ini tertolak.
Misalnya sebuah hadis yang diriwayatkan oleh At-Thabrani didalam kitabnya, Mu’jam al-Kabir, baha pada jaman Rasulullah saw ada seorang munafik yang mengganggu dan menyakiti kaum muslimin, lalu Abu Bakar mengatakan: “Marilah kita meminta bantuan kepada Rasulullah saw dari gangguan orang munafik ini”. Maka beliau saw bersabda, “Sesungguhnya hal ini tidak boleh dimintakan bantuannya kepadaku. Akan tetapi hanya boleh dimintakan bantuannya kepada Allah swt
 Dengan sabdanya itu Rasulullah saw menghendaki makna yang kedua, yakni dilarang meminta bantuan kepada beliau sesuatu yang tidak mampu beliau lakukan kecuali Allah swt. Jika pemahamannya tidak seperti itu, maka tidak mungkin para sahabat meminta kepada beliau agar mendoakan mereka, atau meminta diturunkannya hujan melalui perantaraan beliau, sebagaimana yang disebutkan didalam hadis riwayat Bukhari dari Ibnu Umar, bahwa ia berkata: “Barangkali Anda masih ingat sebuah syair yang disenandungkan oleh seorang A’rabi yang isinya meminta diturunkan hujan melalui perantaraan Rasulullah saw. Saya melihat ke arah wajah beliau yang didongakkan ke atas sambil meminta hujan kepada Allah swt. Beliau tidak menurunkan pandangannya ke bawah sampai hujan itu benar-benar diturunkan”.



Ungkapan Sanjungan Yang Menjadi Sebab Pengkafiran

Ada beberapa ungkapan kata sanjungan dan pujian kepada Rasulullah saw yang menjadi obyek perdebatan di kalangan mereka, lalu sebagian mereka melontarkan tuduhan Kafir kepada orang yang mengucapkannya. Seperti kata sanjungan berikut ini :
Tiada tempat berlindung bagi kami selain Rasulullah saw”
Tiada yang dapat diharapkan selain Rasulullah saw”
Sesungguhnya kami berlindung kepada Rasulullah saw”
Kepada Rasulullah saw-lah diadukan semua kesulitan”
Jika engkau (Ya Rasulullah) menolak, siapa lagi tempat kami meminta!”
Maksud mereka mengucapkan sanjungan di atas tiada lain adalah “Tiada tempat berlindung, tiada yang dapat kami harapkan, dan tiada tempat mengadukan problem hidup, kepada sekalian manusia, selain kepada Rasulullah saw. Disebabkan kemuliaan beliau di sisi Allah swt, kami berharap agar beliau sudi menghadap dan meminta sesuatu kepada Allah swt. Jika beliau menolaknya, kepada siapa lagi kami meminta?”
Meskipun demikian, kami tidak mempergunakan ungkapan sanjungan di atas didalam bertawassul dan berdoa. Kami pun juga tidak mengajak dan menganjurkan orang-orang untuk melakukan cara sanjungan seperti itu. Hal ini dimaksudkan untuk menghindari kesalahpahaman dan keraguan akibat ungkapan kata sanjungan yang mengundang perselisihan itu. Lalu kami gunakan ungkapan kata yang secara lahir tidak mengundang keraguan dan perselisihan.
Hanya saja yang kami sayangkan adalah tuduhan kafir, sesat, syirik dan sejenisnya yang dilontarkan mereka kepada orang yang mengucapkan kata sanjungan di atas. Menurut pandangan kami, tuduhan mereka tersebut merupakan tindakan semberono, tergesa-gesa dan sama sekali tidak terpuji serta tidak ada gunanya. Disebabkan orang yang dituduh kafir, sesat dan syirik tersebut adalah termasuk orang yang masih memegangi Tauhid, masih ber-Syahadat bahwa tiada tuhan selain Allah swt dan Muhammad adalah utusan Allah, masih melakukan shalat, serta masih membenarkan semua Rukun-rukun agama. Mereka meyakini Allah sebagai Tuhan, Muhammad sebagai Nabi dan Rasul Allah, dan Islam sebagai agamanya. Dengan demikian, ia tetap berada dalam lingkaran  kaum muslimin dan ia tetap berhak mendapatkan perlindungan Islam, baik hartanya, jiwanya maupun kehormatannya. Sebagaimana hadis yang diriwayatkan dari Anas bin Malik ra, bahwa Rasulullah saw bersabda, “Barangsiapa yang melakukan shalat seperti yang kita kerjakan, masih memegangi agama Islam, dan berkiblat (ke Ka’bah) seperti yang kita lakukan, serta memakan sembelihan kita, maka ia adalah seorang muslim yang berhak mendapatkan “Dzimmah” (jaminan perlindungan) Allah swt dan Rasul-Nya. Karena itu, kalian tidak boleh mengganggu apa yang menjadi “Dzimmah”-nya itu”. (HR Bukhari).
Dari sini maka yang menjadi kewajiban bagi kita adalah : Jika kita menemukan atau mendengarkan ungkapan kata dari kaum muslimin yang nampaknya mengarah kepada suatu pemahaman yang menyimpang dari konsep Tauhid, maka kita wajib menafsirkannya sebagai ungkapan kata “Majaz Aqli”. Maka tidak ada jalan dan alasan untuk menuduhnya Kafir. Karena ungkapan kata “Majaz Aqli” semacam itu juga banyak digunakan didalam ayat Al-Qur’an dan Hadis Nabi. Dengan demikian, jika kita menyaksikan suatu ungkapan kata yang diucapkan oleh orang yang men-Tauhid-kan Allah swt yang nampaknya bertentangan dengan akidah, maka harus kita pandang sebagai ungkapan “Majaz Aqli”. Karena Akidah mereka yang sebenarnya  adalah  mengakui dan meyakini Allah swt sebagai Dzat Yang Menciptakan semua makhluk beserta perbuatannya; tiada seorang pun, yang mampu memberi bekas, pengaruh, atau ikut campur dalam proses “penciptaan” tersebut selain Allah swt semata, baik orang itu masih hidup maupun yang sudah mati.
Itulah akidah dan keyakinan orang yang berpegangan pada prinsip ajaran Tauhid  yang benar. Orang yang menyimpang dari akidah Tauhid ini berarti ia jatuh kedalam kesyirikan. Dan secara mutlak  dapat dikategorikan telah keluar dari agama Islam dan kelompok kaum muslimin, bagi setiap orang yang berkeyakinan bahwa sesuatu selain Allah swt memiliki kemampuan mutlak tak terbatas dalam berbuat dan bertindak, termasuk dalam memberikan rizki, hidup dan mati. Karena perbuatan dan tindakan yang demikian itu hanya Hak dan Milik Allah swt. Dan ungkapan kata yang meragukan yang telah keluar dari mulut orang yang bersyahadat, haruslah ditafsirkan sebagai ungkapan kata memohon syafaat, bantuan atau pertolongan kepada Allah swt dengan jalan “wasilah”. Adapun maksud yang sebenarnya yang ia tuju adalah Allah swt. Maka tidak tergolong kaum muslim-mukmin, orang yang berkeyakinan bahwa sesuatu yang dijadikan “wasilah”, “wasithah”, atau “perantara” itulah yang sebenarnya yang kuasa dan mampu secara mandiri melakukan dan tidak melakukan, mengabulkan dan tidak mengabulkan, tanpa menoleh sedikit pun kepada Kemahakuasaan Allah swt. Paling sedikit, keyakinan semacam itu mendekati kesyirikan.
Kami senantiasa memohon perlindungan kepada Allah swt dari usaha melontarkan tuduhan Kafir, Musyrik, Bid’ah, atau Sesat, kepada orang islam yang jelas-jelas masih memegangi dua kalimat syahadat, baik tuduhan itu disebabkan kebodohan dan kesalahannya maupun benar-benar ada unsur kesengajaan.
Kami memandang, jika mereka salah dalam mengutarakan kata-kata, seperti meminta ampunan, surga, syafaat, dan kesuksesan hidup kepada Rasulullah saw secara langsung, maka hal itu tidak akan merusak Akidah atau Ketauhidan mereka, karena maksud yang sebenarnya di balik tindakan mereka itu, pada hakekatnya, adalah memohon syafaat dan bantuan kepada Allah swt dengan cara menjadikan Rasulullah saw sebagai “wasilah” atau “wasithah” mereka, yang jika kita terjemahkan maka akan berbunyi: “Ya Rasulullah saw ! Memohonlah kepada Allah swt dosa-dosa kami diampuni-Nya..; agar Dia melimpahkan rahmat-Nya kepada kami”, atau berbunyi : “Ya Rasulullah saw! Kami bertawassul kepada Allah swt dengan perantaraanmu, agar Dia mengabulkan hajat keperluanku…; agar Dia menghilangkan kesusahanku…; agar Dia merealisir cita-citaku…”
Kenyataannya para sahabat memang melakukan demikian, seperti mengadukan kepada Rasulullah saw problem kemiskinan, bertumpuk-tumpuknya hutang, sakit, tertimpa balak dan lain-lain sebagaimana yang kami jelaskan di muka. Dan beliau tidak pernah menolak permintaan mereka, bahkan menanggapinya dengan senang hati, disertai suatu keyakinan bahwa beliau tidak merasa melakukannya sendiri secara mutlak tanpa keikutsertaan kekuasaan dan izin Allah swt .
 Oleh karenanya, Anda akan menyaksikan ucapan dan tindakan Rasulullah saw yang antara satu dengan lainnya nampak kontradiktif. Hal ini beliau maksudkan untuk menghindarkan mereka dari perbuatan syirik, dan sebagai peringatan kepada umatnya dalam bentuk yang beragam sesuai dengan situasi-kondisi mereka yang dinasehati. Misalnya, (1). pada suatu kesempatan, beliau mengatakan bahwa dirinya adalah “Sayyidu waladi Adam” (pemuka manusia keturunan Adam) dan pada kesempatan lain beliau menyatakan larangan untuk men-Sayyid-kannya (mengangkat atau menyanjung sebagai “Sayyid” atau pemuka atau tuan), karena “Sayyid” yang sesungguhnya adalah Allah swt.  (2). Pada suatu  kesempatan para sahabat meminta bantuan atau bertawassul dengan beliau saw, lalu beliau mengajarkan suatu doa untuk bertawassul. Namun pada kesempatan yang berbeda beliau mengatakan: “Sesungguhnya istighatsah (minta bantuan/pertolongan) itu ditujukan kepada Allah swt dan bukan kepada aku”. (3). Pada suatu waktu para sahabat meminta bantuan dan pertolongan (penyembuhan dan lainnya) kepada beliau, dan beliau mengabulkan permintaan mereka, bahkan beliau menyodorkan dua pilihan, apakah mereka bersikap sabar atas musibah, cobaan atau sakit yang menimpanya sehingga ia akan mendapatkan balasan akan dimasukkan Allah swt ke surga, ataukah cobaan dan balak tersebut ingin dihilangkan segera? Sebagaimana pilihan yang pernah disodorkan kepada seorang lelaki yang buta, atau kepada sahabat Qatadah ra yang bola matanya keluar menggantung di atas pipinya. Namun pada waktu yang berbeda beliau mengatakan, “Bila Anda meminta, mintalah (secara langsung) kepada Allah swt dan bila minta tolong, mintalah tolong kepada Allah swt”.  (4). Pada suatu kesempatan beliau mengatakan, “Barangsiapa yang membantu menghilangkan kesusahan orang Islam, maka Allah swt akan menghilangkan kesusahannya…”. Namun pada kesempatan yang berbeda beliau mengatakan, “Tiada yang mampu mendatangkan berbagai kebaikan, melainkan Allah swt”.
Dengan uraian di atas maka akan semakin jelas bagi Anda, bahwa Akidah yang kami miliki Alhamdulillah lebih jernih dan bersih. Kita selaku hamba Allah swt pada dasarnya tidak mampu melakukan aktifitas apa saja sendirian secara mutlak, lepas dari bantuan, kehendak dan izin Allah swt, sekalipun derajat dan status kita setingkat dengan Rasulullah saw. Hanya Allah swt lah yang pada hakekatnya  mampu memberikan kemanfaatan dan menolak madharat, serta mengabulkan semua doa dan memberikan pertolongan-Nya.
Kalau ada seseorang yang meminta bantuan dan pertolongan kepada Rasulullah saw, sesungguhnya didalam hatinya ia arahkan permintaannya itu kepada Allah swt. Dan terhadap orang ini, beliau saw tidak pernah menolak dan mentakan : “Anda jangan meminta sesuatu kepadaku…atau jangan mengadukan problem hidupmu kepadaku… Akan tetapi tujukanlah permintaanmu dan pengaduanmu itu kepada Allah swt. Mintalah secara langsung kepada-Nya, karena pintu-pintu-Nya selalu terbuka…Dia Maha Dekat lagi Maha Mengabulkan doa. Dia tidak membutuhkan bantuan kepada siapa pun. Dan tiada tabir atau hijab yang menghalangi antara Dia dan makhluk-Nya”.



Kesimpulan

Tidak dapat dihukumi Kafir orang yang beristighatsah (meminta bantuan/pertolongan) kepada sesama makhluk, selama tidak disertai suatu keyakinan bahwa makhluk tersebut memiliki kemapuan mutlak dan menciptakan dan mengadakan (perbuatannya). Tidak ada bedanya apakah makhluk itu masih hidup maupun sudah mati. Jika berkeyakinan sebaliknya, yakni bahwa makhluk (manusia, jin, malaikat, dan lain-lain) tersebut memiliki kekuasaan atau kemampuan mutlak didalam menentukan, menciptakan dan mengadakan perbuatannya, maka kafirlah ia, sebagaimana I’tiqad kaum Mu’tazilah yang menganggap bahwa manusia memiliki kehendak dan kemampuan bebas dalam menentukan, menciptakan atau mengadakan perbuatannya. Namun jika berkeyakinanb bahwa Usaha atau Ikhtiyar yang dilakukan manusia itu sekedar sebagai “Sebab” atau “Perantara” terjadinya suatu perbuatan, sementara Pencipta perbuatan manusia yang hakiki adalah Allah swt, maka ia tidak-lah kafir.
Anda tahu bahwa kesimpulan dari keyakinan orang yang beriman terhadap orang-orang yang sudah wafat  adalah bahwa mereka itu sama keadaannya dengan orang yang hidup di dunia. Mereka tidak memiliki kemampuan mutlak dalam menciptakan da mengadakan perbuatannya sama seperti kemutlakan yang dimiliki Allah swt. Sangat tidak masuk akal jika ada yang mengatakan bahwa mereka yang sudah mati itu merupakan Roh-roh yang memiliki kehendak dan kemampuan bebas, sama seperti kemutlakan Tuhan, daripada orang yang masih hidup di dunia.
Jika ada pernyataan dan perbuatan yang secara lahiriyah menyimpang dari prinsip-prinsip akidah yang lurus, maka harus dipahami sebagai ungkapan “Majaz Aqli”  serta harus ditafsirkan bahwa semua perbuatan makhluk, baik yang hidup maupun yang sudah mati, adalah masih dalam batas-batas sebagai “Sebab” atau “Perantara”, bukan sebagai “Penyebab Utama” (Causa Prima). Itulah keyakinan seorang mukmin yang benar dalam memandang semua perbuatan makhluk. Kesalahan dan ketidakbenaran yang terlihat pada “Kulit” atau perbuatan lahir tidak otomatis menyebabkannya menjadi “Kafir” dan “Musyrik”.  Ukuran kekafiran dan kesyirikan seseorang adalah terletak pada kesalahan Akidah atau keyakinan didalam hati, bukan kesalahan ucapan dan perbuatan lahir.
Puncak persoalan Istighatsah pada orang yang sudah wafat, tak ubahnya seperti seseorang yang beristighatsah (meminta bantuan/pertolongan) kepada  orang yang lumpuh, dan ia tidak tahu bahwa dirinya lumpuh. Kemudian orang yang tidak lumpuh bilang, “Sesungguhnya tindakan meminta bantuan kepada orang yang lumpuh adalah syirik”. Sebenarnya keadaan orang yang lumpuh itu bukan berarti tidak dapat memberikan bantuan, dia tidak bisa memberikan bantuan dalam satu segi, namun dalam segi yang lain boleh jadi ia dapat memberikan bantuannya, misalnya bantuan doa. Dalam persoalan “Istighatsah” ini, keadaan orang yang lumpuh tidak jauh berbeda dengan keadaan orang yang mati, yakni bahwa bantuan yang bisa mereka berikan adalah dalam bentuk “Doa”.
Didalam sebuah hadis Nabi dituturkan: “Sesungguhnya keadaan amal perbuatanmu diceritakan oleh orang mati yang baru saja menghuni alam barzah (alam kubur) kepada para arwah keluargamu yang sudah lama mati. Jika amalmu itu mereka ketahui baik, mereka merasa gembira dan jika diketahui jelek, mereka berdoa: “Ya Allah! Janganlah Engkau mematikan dia terlebih dahulu sebelum  Engkau tunjukkan ia ke jalan yang benar, sebagaimana petunjuk yang telah Engkau berikan kepada kami”.
Hadis di atas dituturkan kembali oleh Imam Ahmad bin Hambal, yang memiliki beberapa jalur Sanad yang saling kuat menguatkan. (Lihat kitab Al-Fath ar-Rabbany : Tartib al-Musnad, juz 7; hal. 89 dan kitab Syarh ash-Shudur , karya imam As-Suyuthy).
Ibn al-Mubarak mengetengahkan suatu riwayat yang Sanad-nya sampai kepada Abu Ayyub : “Amal perbuatan orang-orang yang masih hidup di dunia akan diperlihatkan atau diceritakan kepada Arwah orang-orang yang sudah wafat. Jika mereka melihatnya baik, mereka merasa senang. Dan jika mereka melihatnya jelek, mereka akan berdoa: “Ya Allah! Kembalikan kami ke dunia untuk menemui mereka”. (Lihat kitab Ar-Ruh, karya Ibnul Qayyim al-Jauzy).








Kamis, 20 Juni 2013

PYPD - 22. Persoalan Syafa'at Nabi Muhammad SAW


Oleh : Sayyid Muhammad Alawi Al-Maliki

1. Pengertian Syafaat
Sebagian orang beranggapan bahwa kita tidak boleh mencari syafaat Rasulullah saw di dunia ini.Bahkan sebagian yang lain dari kalangan mereka berpendapat bahwa mencari syafaat semacam itu syirik dan sesat, didasarkan atas firman Allah swt :
قُلْ لِلَّهِ الشَّفَاعَةُ جَمِيعًا
 “Katakanlah, ‘Hanya kepunyaan Allah-lah syafaat itu semua” (QS Az-Zumar,[39]:44)
Konklusi dan penyimpluan mereka terhadap ayat di atas adalah  batil dan tidak benar, sekaligus menunjukkan kerancuan dan kekacauan pemahaman mereka, disebabkan dua alasan :
1.    Tidak ada satu pun nash, baik berupa ayat Al-Qur’an maupun Hadis Nabi, yang melarang memohon syafaat kepada Rasulullah saw  di dunia ini.
2.   Ayat 44 QS Az-Zumar[39] di atas tidak menunjukkan adanya larangan tersebut. Sebaliknya ayat di atas menjelaskan tentang pengkhususan Allah swt sebagai Pemilik Syafaat. Dengan pengertian bahwa Allah-lah yang berhak memberi syafaat.  Hal ini tidak berarti menafikan keberadaan orang-orang yang diberi izin oleh Allah swt untuk memberikan dan membagi-bagikan syafaat. Oleh karena bahwa Allah swt adalah Pemilik Kerajaan, Dia berhak memberikan “Kerajaan” itu kepada siapa saja yang dikehendaki-Nya dan mencabutnya dari siapa saja yang dikehendaki-Nya, sebagaimana firman-Nya :
لَهُ الْمُلْكُ وَلَهُ الْحَمْدُ
Hanya Allah-lah yang memiliki kerajaan dan semua puji-pujian” (QS At-Taghabun,[64]:1)
Allah menyatakan diri-Nya sebagai “Malikul Mulki”, (Raja Diraja, Pemiliki Kerajaan). Namun di bagian lain Dia berfirman :
 تُؤْتِي الْمُلْكَ مَنْ تَشَاءُ وَتَنْزِعُ الْمُلْكَ مِمَّنْ تَشَاءُ
Engkau berikan kerajaan kepada aorang yang Engkau kehendaki dan mencabut kerajaan dari orang yang Engkau kehendaki” (QS Ali Imran,[3] : 26)
Allah swt berfirman :
 مَنْ كَانَ يُرِيدُ الْعِزَّةَ فَلِلَّهِ الْعِزَّةُ جَمِيعًا
“Barangsiapa yang menghendaki kemuliaan, maka bagi Allah-lah kemuliaan itu semua” (QS Fathir,[39] : 10)
Selain itu Dia berfirman :
وَلِلَّهِ الْعِزَّةُ وَلِرَسُولِهِ وَلِلْمُؤْمِنِينَ وَلَكِنَّ الْمُنَافِقِينَ لَا يَعْلَمُونَ(8)
“Padahal kekuatan/kemuliaan itu hanyalah bagi Allah, bagi Rasul-Nya dan bagi orang-orang mu'min, tetapi orang-orang munafik itu tiada mengetahui. ” (QS Al-Munafiqun,[63] : 8)
Adapun tentang “Syafaat”, Allah swt berfirman :
 قُلْ لِلَّهِ الشَّفَاعَةُ جَمِيعًا
“Katakanlah, ‘Hanya kepunyaan Allah-lah syafaat itu semua” (QS Az-Zumar,[39]:44)
Bersamaan dengan itu Allah swt berfirman :
 لَا يَمْلِكُونَ الشَّفَاعَةَ إِلَّا مَنِ اتَّخَذَ عِنْدَ الرَّحْمَنِ عَهْدًا(87)
Mereka tidak berhak mendapatkan syafaat kecuali orang yang telah mengadakan perjanjian di sisi Tuhan Yang Maha Pemurah” (QS Maryam.[19] : 87)
 وَلَا يَمْلِكُ الَّذِينَ يَدْعُونَ مِنْ دُونِهِ الشَّفَاعَةَ إِلَّا مَنْ شَهِدَ بِالْحَقِّ وَهُمْ يَعْلَمُونَ(86)
Dan sembahan-sembahan yang mereka sembah selain Allah swt tidak dapat memberi syafaat; akan tetapi (orang yang dapat memberi syafaat ialah) orang yang mengakui yang hak (tauhid) dan mereka yang meyakininya” (QS Az-Zukhruf,[43]:86)
Allah swt memberikan Apa saja yang dikehendaki-Nya kepada Siapa saja yang dikehendaki-Nya. Bersamaan dengan itu Dia  menjadikan “Kemuliaan” yang merupakan milik-Nya tersebut kepada Rasulullah saw dan kaum mukminin (QS Al-Munafiqun,[63]:8). Demikian pula dalam soal “Syafaat”, semuanya milik-Nya, dan Dia berhak memberikannya kepada para Nabi dan para hamba-Nya yang shaleh, bahkan kepada sebagian besar kaum mukminin pada umumnya, sebagaimana hal ini dijelaskan oleh beberapa hadis shahih lagi mutawatir secara maknawy.
Apa sulitnya seseorang meminta sesuatu kepada orang lain yang memilikinya. Apalagi jika pemiliknya itu seorang dermawan, sementara si peminta memang sangat membutuhkannya. Syafaat hanyalah suatu doa. Sementara suatu doa akan didengar dan dikabulkan Allah swt, terutama doanya para Nabi dan kaum shalihin, baik sewaktu mereka hidup di dunia, di alam barzah, maupun di hari kiamat nanti. Syafaat akan diberikan kepada orang yang mengadakan perjanjian di sisi Allah swt dan diterima di sisi-Nya, dari setiap orang yang mati di atas dasar tauhid.

2. Para Sahabat Memohon Syafaat Rasulullah saw
Dijelaskan dalam beberapa riwayat bahwa sebagian sahabat meminta syafaat kepada Rasulullah saw. Dan beliau pun tidak pernah menegurnya, misalnya : “Meminta syafaat kepadaku itu syirik. Mintalah syafaat langsung kepada Allah swt. Jangan menyekutukan Allah swt dengan sesuatu yang lain”.
Anas bin Malik ra berkata,:”Wahai Rasulullah ! Berilah aku syafaat pada hari kiamat nanti!”. Kemudian beliau bersabda, “Akan aku lakukan. Insya Allah”. (HR At-Thurmudzi, didalam kitab Sunan-nya pada bab “Penjelasan tentang ciri-ciri shirath” dan ia menilainya sebagai hadis hasan.)
Selain Anas bin Malik, ternyata masih ada sahabat yang meminta syafaat kepada Rasulullah saw, seperti Sawad bin Qarib ra. Dia pernah membacakan bait-bait syairnya di hadapan beliau saw : “Aku bersaksi bahwa tiada tuhan selain Allah dan bahwa Engkau adalah orang yang terpercaya bagi setiap mukmin yang wafat. Engkau adalah “wasilah” (perantara) yang terdekat kepada Allah swt daripada seluruh Nabi dan Rasul-Nya. Wahai putra orang yang terhormat lagi suci …” dan seterusnya sampai pada bait syair terakhir yang berbunyi : “Jadilah engkau sebagai penolong yang memberi syafaat kepadaku di hari kiamat, saat tidak seorang pun yang mampu memberi syafaat kecuali engkau, terutama syafaat kepada Sawad bin Qarib”.
 Riwayat tersebut diketengahkan oleh imam al-Baihaqy didalam kitabnya Dalailun Nubuwwah. Juga diketengahkan oleh Ibnu Abdil Barr didalam kitabnya Al-Isti’ab dan oleh al-Hafizh Ibnu Hajar didalam kitabnya Fathul Bary: Syarh Shahih al-Bukhary,   juz 7, halaman 180, pada bab “Islamnya Umar”. Dengan perbuatan Sawad tersebut, Rasulullah saw ternyata membenarkannya dan tidak menolak permintaannya.
‘Akasah bin Mahshan pernah meminta syafaat kepada Rasulullah saw, sewaktu ia mendengarkan sabda beliau yang menjelaskan bahwa ada 70.000 orang yang akan masuk surga tanpa di-hisab. ‘Akasah memohon kepada beliau saw , “Doakanlah aku agar Allah swt memasukkanku termasuk salah satu diantara mereka”. Kemudian beliau saw bersabda, “Anda termasuk salah satu diantara mereka”.
Yang pasti, seseorang tidak akan memperoleh prioritas syafaat seperti di atas kecuali setelah terjadinya peristiwa “Syafaat Kubra”, dimana orang-orang antri menantinya pada hari kiamat nanti, sebagaimana yang dijelaskan didalam beberapa hadis mutawatir.
Persoalan ini banyak dijelaskan didalam kitab-kitab Hadis, yang kesemuanya memperbolehkan pencarian syafaat sewaktu Rasulullah saw  masih hidup di dunia. Di antara para sahabat, ada yang mencarinya secara khusus dan terus terang dengan permohonannya, “Berilah aku syafaat, Ya Rasulullah !”. Di antara mereka ada yang meminta jaminan masuk surga; ada yang meminta dimasukkan kedalam golongan orang yang pertama kali memasuki surga; ada yang menginginkan agar dimasukkan kedalam golongan orang yang mendapatkan telaga Kautsar ; ada yang meminta agar bersama-sama dengan beliau saw di surga, sebagaimana permintaan Rabi’ah al-Aslamy: “Aku memohon kiranya aku bisa bersamamu di surga”, dan beliau memberikan saran: “Kekanglah hawa nafsumu dengan cara memperbanyak sujud”.
Dalam menanggapi permohonan para sahabat tersebut, Rasulullah saw tidak pernah mengatakan kepada mereka: “Ini haram ! Tidak boleh meminta sekarang. Waktunya belum tiba. Tunggu saja nanti sampai Allah swt memberikan izin untuk memberikan syafaat, atau setelah masuk kedalam surga; atau  pada waktu meminum di telaga Kautsar…dan seterusnya”. Padahal semuanya itu tidak akan terjadi selama kita hidup di dunia, kecuali setelah waktu Syafaat uzhma kelak.
Semuanya ini merupakan persoalan permohonan syafaat , dimana kedudukan Rasulullah saw saat itu adalah sebagai Pemberi kabar gembira kepada mereka, yakni menjanjikan hal-hal yang membuat hati mereka  senang dan tentram penuh harapan.
Jika mencari syafaat selama Rasulullah saw hidup di dunia adalah dibenarkan, hal ini berarti bahwa permohonan mereka tersebut akan diterima nanti secara hakiki pada waktu hari kiamat nanti, dan setelah ada izin dari Allah swt untuk memberikan syafaat kepada para pemohonnya. Bukannya permohonan mereka dikabulkan di dunia ini, sebelum datangnya waktu yang sebenarnya.
Dengan kata lain, bahwa apa yang diperbuat Rasulullah saw dalam menanggapi para sahabat tersebut, pada hakekatnya, merupakan kabar gembira tentang keadaan kaum mukimin yang nantinya akan masuk surga setelah waktunya tiba dan setelah mendapatkan izin dari Allah swt pada waktu yang ditentukan. Bukan dalam pengertian bahwa mereka akan surga pada saat mereka hidup di dunia ini, atau hidup di alam barzakh. Saya tidak percaya bahwa orang yang berakal dari kalangan kaum muslimin awam memiliki keyakinan yang sebaliknya.
Jika memohon syafaat kepada Rasulullah saw semasa hidupnya di dunia ini adalah dibenarkan, maka menurut pendapat kami, tidak mengapa memohon syafaat kepada beliau saw setelah wafatnya. Hal ini berdasarkan akidah atau keyakinan yang telah ditetapkan oleh kelompok Ahlussunnah wal Jamaah, bahwa para Nabi adalah masih hidup di alam barzah dan Nabi kita Muhammad saw merupakan orang yang paling sempurna dan agung dalam kehidupan tersebut. Di mana dalam kehidupan di alam barzah ini, beliau mampu mendengarkan pembicaraan umatnya; amal perbuatan mereka diperlihatkan kepada beliau; mereka dimintakan ampunan kepada Allah swt oleh beliau (jika amal mereka dinilainya jelek) dan beliau memuji Allah swt (jika amal mereka dilihatnya baik); setiap bacaan shalawat dari mereka disampaikan Allah swt kepada beliau, walaupun datang dari pelosok dunia. Sebagaimana yang dijelaskan didalam hadis yang dinilai shahih oleh banyak ahli hadis:
حياتـي خير لكم تحدّثون و يحدّث لكم. و مـماتي خير لكم, تـعـرض أعمـالكم عـلـيّ, فإن وجدت خيرا حمدت الله, و إن وجدت شـرّا اسـتغـفـرت الله لكم
Hidupku adalah baik untuk kalian, dimana kalian dapat berbicara denganku (rohku) dan matiku pun baik bagimu, dimana amal-amalmu diperlihatkan Allah swt kepadaku. Jika aku lihat baik, maka aku memuji syukur kepada Allah swt dan jika aku lihat jelek, maka aku memohonkan maaf kepada Allah swt untukmu”.
Hadis di atas dinilai shahih oleh para ahli hadis seperti Al-‘Iraqy, al-Haitsamy, al-Qasthalany, as-Suyuthy dan Isma’il al-Qadhy.
Oleh karenanya, sekiranya beliau saw yang sekarang ini hidup di alam barzah dimintai syafaat oleh umatnya, tentu beliau akan mendoakan mereka agar Allah swt mengabulkan permohonan mereka, sama seperti yang beliau lakukan kepada para sahabat semasa hidup beliau di dunia ini. Selanjutnya mereka akan mendapatkan syafaat tersebut pada waktunya nanti dan setelah mendapatkan izin dari Allah swt.
Demikian pula surga yang pernah dijanjikan beliau kepada kaum mukminin semasa hidupnya di dunia, maka mereka tentu akan masuk surga pada waktunya nanti dan setelah mendapatkan izin dari Allah swt.
Itulah akidah yang kami yakini dan kami tanamkan didalam hati kami.

3. Penafsiran Ibnu Taimiyah terhadap ayat-ayat mengenai syafaat
Ibnu Taimiyah didalam kitabnya Al-Fatawa mengemukakan interpretasi dan analisisnya yang indah terhadap ayat-ayat mengenai syafaat yang dijadikan alasan oleh sekelompok orang yang menentang permohonan syafaat kepada Rasulullah saw di dunia ini, untuk menolak setiap usaha mencari syafaat, tidak bermanfaatnya syafaat, serta larangan memohon syafaat.
Dari hasil analisis dan interpretasinya itu menunjukkan bahwa orang yang mengingkari dan menolak syafaat tersebut pada dasarnya tidak sesuai dengan konteksnya dan sangat menyimpang dari tema dan isi kandungan ayat.
Ibnu Taimiyah mengatakan, “Orang yang mengingkari adanya syafaat dan melarang memohon syafaat kepada Rasulullah saw di dunia ini berhujjah dengan firman Allah swt :
1. QS Al-Baqarah,[2] : 48
 وَاتَّقُوا يَوْمًا لَا تَجْزِي نَفْسٌ عَنْ نَفْسٍ شَيْئًا وَلَا يُقْبَلُ مِنْهَا عَدْلٌ وَلَا تَنْفَعُهَا شَفَاعَةٌ وَلَا هُمْ يُنْصَرُونَ(123)
Dan jagalah dirimu dari (azab) di hari (kiamat yang pada hari itu) seseorang tidak dapat membela orang lain, walau sedikitm pun; dan (begitu pula) tidak diterima syafaat dan tebusan daripadanya, dan tidaklah mereka akan ditolong”  
2. QS Al-Baqarah,[2] : 123
 وَلَا يُقْبَلُ مِنْهَا عَدْلٌ وَلَا تَنْفَعُهَا شَفَاعَةٌ وَلَا هُمْ يُنْصَرُونَ(123)
… Dan tidak akan diterima suatu tebusan daripadanya dan tidak akan memberi manfaat suatu syafaat kepadanya dan tidak pula mereka akan ditolong”.
3. QS Al-Mukmin,[40] : 18
 مَا لِلظَّالِمِينَ مِنْ حَمِيمٍ وَلَا شَفِيعٍ يُطَاعُ(18)
Orang-orang yang zhalim tidak mempunyai teman setia seorang pun dan tidak pula mempunyai seorang pemberi syafaat yang diterima syafaatnya”
4. QS Al-Muddats-tsir,[74] : 48
فَمَا تَنْفَعُهُمْ شَفَاعَةُ الشَّافِعِينَ(48)
Maka tidak berguna lagi bagi mereka syafaat dari orang-orang yang memberinya syafaat”
Menurut pandangan ulama Ahlussunnah wal Jamaah, ada dua alasan, mengapa ayat-ayat syafaat di atas tidak tepat dijadikan sebagai hujjah bagi orang-orang yang mengingkari syafaat!
Pertama. Syafaat tidak berguna bagi kaum musyrikin, sebagaimana yang dijelaskan oleh ayat 42-48 QS Al-Muddatstsir,[74] tentang identitas mereka sebagai berikut :                           
مَا سَلَكَكُمْ فِي سَقَرَ(42)قَالُوا لَمْ نَكُ مِنَ الْمُصَلِّينَ(43)وَلَمْ نَكُ نُطْعِمُ الْمِسْكِينَ(44)وَكُنَّا نَخُوضُ مَعَ الْخَائِضِينَ(45)وَكُنَّا نُكَذِّبُ بِيَوْمِ الدِّينِ(46)حَتَّى أَتَانَا الْيَقِينُ(47)فَمَا تَنْفَعُهُمْ شَفَاعَةُ الشَّافِعِينَ(48)
Apakah (sebabnya) yang memasukkan kamu kedalam neraka saqar? Mereka menjawab : ‘Kami dahulu tidak termasuk orang-orang yang mengerjakan shalat, dan kami tidak pula memberi makan orang miskin, dan adalah kami membicarakan yang batil bersama-sama dengan orang-orang yang membicarakannya, dan adalah kami mendustakan hari pembalasan, hingga datang kepada kami kematian’. Maka tidak berguna lagi bagi mereka syafaat dari orang-orang yang memberikan syafaat”.
Ayat di atas menjelaskan tentang tidak bergunanya syafaat disebabkan oleh kekafiran mereka.
                   
Kedua. Syafaat tidak berguna bagi orang yang ahli syirik dan yang serupa dengannya, seperti ahli bid’ah dari kalangan ahli kitab dan kaum muslimin yang berprasangka bahwa makhluk memiliki otoritas, kekuasaan dan kemampuan secara mutlak di samping Allah swt, dan atau bahwa makhluk mampu memberi syafaat di samping-Nya dengan tanpa melalui izin-Nya, seperti sebagian orang mampu memberikan syafaat kepada sebagian yang lain, kemudian diterima oleh orang yang membutuhkannya dengan senang hati.
Kaum musyrikin telah menjadikan para malaikat, para Nabi dan kaum shalihin sebagai pemberi syafaat di samping Allah swt. Kemudian mereka membuatkan patung-patungnya, Kepada patungnya malaikat, para Nabi dan kaum shalihin itulah mereka memohon syafaat, seraya berkomentar: “Mereka itu semua adalah orang-orang pilihan Allah swt”
Demikianlah kutipan dari pendapatnya Ibnu Taimiyah yang secara tegas dan jelas menguraikan makna hakiki yang terkandung didalam ayat-ayat di atas, yang kemudian oleh orang-orang yang mengingkari adanya syafaat dijadikan sebagai hujjah untuk melarang memohon syafaat kepada Rasulullah saw semasa di dunia ini, dengan pendapatnya yang cukup keras bahwa mencari   syafaat yang dilakukan orang semasa di dunia ini adalah syirik dan sesat.
Secara singkat, pendapat Ibnu Taimiyah di atas dapat dirumuskan sebagai berikut: Syafaat tidak bermanfaat bagi kaum musyrikin. Ayat-ayat Al-Qur’an yang dikemukakannya menjelaskan tidak berlakunya syafaat bagi orang yang ahli syirik yang berkeyakinan bahwa Pemberi Syafaat (secara mutlak) mampu memberikan syafaat tanpa izin Allah swt terlebih dahulu. Ibnu Taimiyah menegaskan: “Kami tidak berkeyakinan seperti itu, berkat anugerah Allah swt”.
Menurut hemat kami (Sayyid Muhammad Alwy al-Maliky), jika pencari syafaat Rasulullah saw tersebut telah berkeyakinan atau berprasangka bahwa beliau saw dapat memberikan syafaat kepada siapa saja tanpa melalui izin Allah swt, maka keyakinan seperti itulah yang masuk kategori syirik lagi sesat. Ketika memohon syafaat, kita seharusnya memiliki suatu keyakinan yang sempurna, bahwa tiada seorang pun yang memberikan syafaat – termasuk diri Rasulullah saw – melainkan dengan melalui izin Allah swt. Segala sesuatu semestinya tidak akan terjadi, melainkan berkat ridha dan bantuan-Nya. 
Demikian pula harapan dan keinginan untuk masuk surga, meminum air di telaga Kautsar, menyeberangi shirat dengan selamat, dan semisalnya, kesemuanya itu akan tercapai dengan melalui izin Allah swt dan terjadi  pada waktu yang sudah ditentukan Allah swt, yakni hari kiamat.