Oleh : Sayyid Muhammad Alawi Al-Maliki |
1. Pengertian Syafaat
Sebagian orang beranggapan bahwa kita tidak boleh mencari
syafaat Rasulullah saw di dunia ini.Bahkan sebagian yang lain dari kalangan
mereka berpendapat bahwa mencari syafaat semacam itu syirik dan sesat,
didasarkan atas firman Allah swt :
قُلْ لِلَّهِ الشَّفَاعَةُ جَمِيعًا
“Katakanlah,
‘Hanya kepunyaan Allah-lah syafaat itu semua” (QS Az-Zumar,[39]:44)
Konklusi dan penyimpluan mereka terhadap ayat di atas
adalah batil dan tidak benar, sekaligus
menunjukkan kerancuan dan kekacauan pemahaman mereka, disebabkan dua alasan :
1.
Tidak ada satu pun nash, baik berupa
ayat Al-Qur’an maupun Hadis Nabi, yang melarang memohon syafaat kepada
Rasulullah saw di dunia ini.
2.
Ayat 44 QS Az-Zumar[39] di atas tidak
menunjukkan adanya larangan tersebut. Sebaliknya ayat di atas menjelaskan
tentang pengkhususan Allah swt sebagai Pemilik Syafaat. Dengan pengertian
bahwa Allah-lah yang berhak memberi syafaat.
Hal ini tidak berarti menafikan keberadaan orang-orang yang diberi izin
oleh Allah swt untuk memberikan dan membagi-bagikan syafaat. Oleh karena bahwa
Allah swt adalah Pemilik Kerajaan, Dia berhak memberikan “Kerajaan” itu kepada siapa
saja yang dikehendaki-Nya dan mencabutnya dari siapa saja yang dikehendaki-Nya,
sebagaimana firman-Nya :
لَهُ الْمُلْكُ وَلَهُ الْحَمْدُ
“Hanya
Allah-lah yang memiliki kerajaan dan semua puji-pujian” (QS At-Taghabun,[64]:1)
Allah menyatakan diri-Nya sebagai “Malikul Mulki”,
(Raja Diraja, Pemiliki Kerajaan). Namun di bagian lain Dia berfirman :
تُؤْتِي الْمُلْكَ مَنْ تَشَاءُ وَتَنْزِعُ الْمُلْكَ مِمَّنْ تَشَاءُ
“Engkau
berikan kerajaan kepada aorang yang Engkau kehendaki dan mencabut kerajaan dari
orang yang Engkau kehendaki” (QS Ali Imran,[3] : 26)
Allah swt berfirman :
مَنْ كَانَ يُرِيدُ الْعِزَّةَ فَلِلَّهِ الْعِزَّةُ جَمِيعًا
“Barangsiapa
yang menghendaki kemuliaan, maka bagi Allah-lah kemuliaan itu semua” (QS Fathir,[39]
: 10)
Selain itu Dia berfirman :
وَلِلَّهِ الْعِزَّةُ وَلِرَسُولِهِ وَلِلْمُؤْمِنِينَ وَلَكِنَّ الْمُنَافِقِينَ لَا يَعْلَمُونَ(8)
“Padahal
kekuatan/kemuliaan itu hanyalah bagi Allah, bagi Rasul-Nya dan bagi orang-orang
mu'min, tetapi orang-orang munafik itu tiada mengetahui. ” (QS Al-Munafiqun,[63] : 8)
Adapun tentang “Syafaat”,
Allah swt berfirman :
قُلْ لِلَّهِ الشَّفَاعَةُ جَمِيعًا
“Katakanlah, ‘Hanya kepunyaan Allah-lah syafaat itu
semua” (QS Az-Zumar,[39]:44)
Bersamaan dengan itu Allah swt
berfirman :
لَا يَمْلِكُونَ الشَّفَاعَةَ إِلَّا مَنِ اتَّخَذَ عِنْدَ الرَّحْمَنِ عَهْدًا(87)
“Mereka tidak berhak mendapatkan syafaat kecuali
orang yang telah mengadakan perjanjian di sisi Tuhan Yang Maha Pemurah” (QS
Maryam.[19] : 87)
وَلَا يَمْلِكُ الَّذِينَ يَدْعُونَ مِنْ دُونِهِ الشَّفَاعَةَ إِلَّا مَنْ شَهِدَ بِالْحَقِّ وَهُمْ يَعْلَمُونَ(86)
“Dan sembahan-sembahan yang mereka sembah selain
Allah swt tidak dapat memberi syafaat; akan tetapi (orang yang dapat memberi
syafaat ialah) orang yang mengakui yang hak (tauhid) dan mereka yang
meyakininya” (QS Az-Zukhruf,[43]:86)
Allah swt
memberikan Apa saja yang dikehendaki-Nya kepada Siapa saja yang
dikehendaki-Nya. Bersamaan dengan itu Dia
menjadikan “Kemuliaan” yang merupakan milik-Nya tersebut kepada
Rasulullah saw dan kaum mukminin (QS Al-Munafiqun,[63]:8). Demikian pula dalam
soal “Syafaat”, semuanya milik-Nya, dan Dia berhak memberikannya kepada
para Nabi dan para hamba-Nya yang shaleh, bahkan kepada sebagian besar kaum
mukminin pada umumnya, sebagaimana hal ini dijelaskan oleh beberapa hadis
shahih lagi mutawatir secara maknawy.
Apa sulitnya seseorang meminta sesuatu
kepada orang lain yang memilikinya. Apalagi jika pemiliknya itu seorang
dermawan, sementara si peminta memang sangat membutuhkannya. Syafaat hanyalah
suatu doa. Sementara suatu doa akan didengar dan dikabulkan Allah swt, terutama
doanya para Nabi dan kaum shalihin, baik sewaktu mereka hidup di dunia, di alam
barzah, maupun di hari kiamat nanti. Syafaat akan diberikan kepada orang yang
mengadakan perjanjian di sisi Allah swt dan diterima di sisi-Nya, dari setiap
orang yang mati di atas dasar tauhid.
2. Para Sahabat Memohon Syafaat Rasulullah saw
Dijelaskan dalam
beberapa riwayat bahwa sebagian sahabat meminta syafaat kepada Rasulullah saw.
Dan beliau pun tidak pernah menegurnya, misalnya : “Meminta syafaat kepadaku
itu syirik. Mintalah syafaat langsung kepada Allah swt. Jangan menyekutukan
Allah swt dengan sesuatu yang lain”.
Anas bin Malik ra
berkata,:”Wahai Rasulullah ! Berilah aku syafaat pada hari kiamat nanti!”. Kemudian
beliau bersabda, “Akan aku lakukan. Insya Allah”. (HR At-Thurmudzi,
didalam kitab Sunan-nya pada bab “Penjelasan tentang ciri-ciri
shirath” dan ia menilainya sebagai hadis hasan.)
Selain Anas bin
Malik, ternyata masih ada sahabat yang meminta syafaat kepada Rasulullah saw,
seperti Sawad bin Qarib ra. Dia pernah membacakan bait-bait syairnya di hadapan
beliau saw : “Aku bersaksi bahwa tiada tuhan selain Allah dan bahwa Engkau
adalah orang yang terpercaya bagi setiap mukmin yang wafat. Engkau adalah
“wasilah” (perantara) yang terdekat kepada Allah swt daripada seluruh Nabi dan
Rasul-Nya. Wahai putra orang yang terhormat lagi suci …” dan seterusnya
sampai pada bait syair terakhir yang berbunyi : “Jadilah engkau sebagai
penolong yang memberi syafaat kepadaku di hari kiamat, saat tidak seorang pun
yang mampu memberi syafaat kecuali engkau, terutama syafaat kepada Sawad bin
Qarib”.
Riwayat tersebut
diketengahkan oleh imam al-Baihaqy didalam kitabnya Dalailun Nubuwwah. Juga
diketengahkan oleh Ibnu Abdil Barr didalam kitabnya Al-Isti’ab dan oleh
al-Hafizh Ibnu Hajar didalam kitabnya Fathul Bary: Syarh Shahih
al-Bukhary, juz 7, halaman 180, pada
bab “Islamnya Umar”. Dengan perbuatan Sawad tersebut, Rasulullah saw ternyata
membenarkannya dan tidak menolak permintaannya.
‘Akasah bin
Mahshan pernah meminta syafaat kepada Rasulullah saw, sewaktu ia mendengarkan
sabda beliau yang menjelaskan bahwa ada 70.000 orang yang akan masuk surga
tanpa di-hisab. ‘Akasah memohon kepada beliau saw , “Doakanlah aku
agar Allah swt memasukkanku termasuk salah satu diantara mereka”. Kemudian
beliau saw bersabda, “Anda termasuk salah satu diantara mereka”.
Yang pasti,
seseorang tidak akan memperoleh prioritas syafaat seperti di atas kecuali
setelah terjadinya peristiwa “Syafaat Kubra”, dimana orang-orang
antri menantinya pada hari kiamat nanti, sebagaimana yang dijelaskan didalam
beberapa hadis mutawatir.
Persoalan ini
banyak dijelaskan didalam kitab-kitab Hadis, yang kesemuanya
memperbolehkan pencarian syafaat sewaktu Rasulullah saw masih hidup di dunia. Di antara para sahabat,
ada yang mencarinya secara khusus dan terus terang dengan permohonannya, “Berilah
aku syafaat, Ya Rasulullah !”. Di antara mereka ada yang meminta jaminan
masuk surga; ada yang meminta dimasukkan kedalam golongan orang yang pertama
kali memasuki surga; ada yang menginginkan agar dimasukkan kedalam golongan
orang yang mendapatkan telaga Kautsar ; ada yang meminta agar
bersama-sama dengan beliau saw di surga, sebagaimana permintaan Rabi’ah
al-Aslamy: “Aku memohon kiranya aku bisa bersamamu di surga”, dan beliau
memberikan saran: “Kekanglah hawa nafsumu dengan cara memperbanyak sujud”.
Dalam menanggapi
permohonan para sahabat tersebut, Rasulullah saw tidak pernah mengatakan kepada
mereka: “Ini haram ! Tidak boleh meminta sekarang. Waktunya belum tiba.
Tunggu saja nanti sampai Allah swt memberikan izin untuk memberikan syafaat,
atau setelah masuk kedalam surga; atau
pada waktu meminum di telaga Kautsar…dan seterusnya”. Padahal
semuanya itu tidak akan terjadi selama kita hidup di dunia, kecuali setelah
waktu Syafaat uzhma kelak.
Semuanya ini
merupakan persoalan permohonan syafaat , dimana kedudukan Rasulullah saw
saat itu adalah sebagai Pemberi kabar gembira kepada mereka, yakni
menjanjikan hal-hal yang membuat hati mereka
senang dan tentram penuh harapan.
Jika mencari syafaat selama Rasulullah
saw hidup di dunia adalah dibenarkan, hal ini berarti bahwa permohonan mereka
tersebut akan diterima nanti secara hakiki pada waktu hari kiamat nanti, dan
setelah ada izin dari Allah swt untuk memberikan syafaat kepada para pemohonnya.
Bukannya permohonan mereka dikabulkan di dunia ini, sebelum datangnya waktu
yang sebenarnya.
Dengan kata lain,
bahwa apa yang diperbuat Rasulullah saw dalam menanggapi para sahabat tersebut,
pada hakekatnya, merupakan kabar gembira tentang keadaan kaum mukimin
yang nantinya akan masuk surga setelah waktunya tiba dan setelah mendapatkan
izin dari Allah swt pada waktu yang ditentukan. Bukan dalam pengertian bahwa
mereka akan surga pada saat mereka hidup di dunia ini, atau hidup di alam
barzakh. Saya tidak percaya bahwa orang yang berakal dari kalangan kaum
muslimin awam memiliki keyakinan yang sebaliknya.
Jika memohon
syafaat kepada Rasulullah saw semasa hidupnya di dunia ini adalah dibenarkan,
maka menurut pendapat kami, tidak mengapa memohon syafaat kepada beliau saw
setelah wafatnya. Hal ini berdasarkan akidah atau keyakinan yang telah
ditetapkan oleh kelompok Ahlussunnah wal Jamaah, bahwa para Nabi adalah
masih hidup di alam barzah dan Nabi kita Muhammad saw merupakan orang yang
paling sempurna dan agung dalam kehidupan tersebut. Di mana dalam kehidupan di
alam barzah ini, beliau mampu mendengarkan pembicaraan umatnya; amal perbuatan
mereka diperlihatkan kepada beliau; mereka dimintakan ampunan kepada Allah swt
oleh beliau (jika amal mereka dinilainya jelek) dan beliau memuji Allah swt
(jika amal mereka dilihatnya baik); setiap bacaan shalawat dari mereka
disampaikan Allah swt kepada beliau, walaupun datang dari pelosok dunia.
Sebagaimana yang dijelaskan didalam hadis yang dinilai shahih oleh
banyak ahli hadis:
حياتـي خير لكم تحدّثون و يحدّث لكم. و مـماتي خير لكم, تـعـرض أعمـالكم عـلـيّ, فإن وجدت خيرا حمدت الله, و إن وجدت شـرّا اسـتغـفـرت الله لكم
“Hidupku adalah baik untuk kalian, dimana kalian
dapat berbicara denganku (rohku) dan matiku pun baik bagimu, dimana amal-amalmu
diperlihatkan Allah swt kepadaku. Jika aku lihat baik, maka aku memuji syukur
kepada Allah swt dan jika aku lihat jelek, maka aku memohonkan maaf kepada
Allah swt untukmu”.
Hadis di atas
dinilai shahih oleh para ahli hadis seperti Al-‘Iraqy,
al-Haitsamy, al-Qasthalany, as-Suyuthy dan Isma’il al-Qadhy.
Oleh karenanya, sekiranya beliau saw yang sekarang ini
hidup di alam barzah dimintai syafaat oleh umatnya, tentu beliau akan mendoakan
mereka agar Allah swt mengabulkan permohonan mereka, sama seperti yang beliau
lakukan kepada para sahabat semasa hidup beliau di dunia ini. Selanjutnya
mereka akan mendapatkan syafaat tersebut pada waktunya nanti dan setelah
mendapatkan izin dari Allah swt.
Demikian pula surga yang pernah dijanjikan beliau kepada
kaum mukminin semasa hidupnya di dunia, maka mereka tentu akan masuk surga pada
waktunya nanti dan setelah mendapatkan izin dari Allah swt.
Itulah akidah yang kami yakini dan kami tanamkan didalam
hati kami.
3. Penafsiran Ibnu Taimiyah terhadap ayat-ayat mengenai syafaat
Ibnu Taimiyah
didalam kitabnya Al-Fatawa mengemukakan interpretasi dan analisisnya
yang indah terhadap ayat-ayat mengenai syafaat yang dijadikan alasan oleh
sekelompok orang yang menentang permohonan syafaat kepada Rasulullah saw di
dunia ini, untuk menolak setiap usaha mencari syafaat, tidak bermanfaatnya
syafaat, serta larangan memohon syafaat.
Dari hasil analisis dan interpretasinya itu menunjukkan
bahwa orang yang mengingkari dan menolak syafaat tersebut pada dasarnya tidak sesuai
dengan konteksnya dan sangat menyimpang dari tema dan isi kandungan ayat.
Ibnu Taimiyah mengatakan, “Orang yang mengingkari adanya
syafaat dan melarang memohon syafaat kepada Rasulullah saw di dunia ini
berhujjah dengan firman Allah swt :
1. QS Al-Baqarah,[2] : 48
وَاتَّقُوا يَوْمًا لَا تَجْزِي نَفْسٌ عَنْ نَفْسٍ شَيْئًا وَلَا يُقْبَلُ مِنْهَا عَدْلٌ وَلَا تَنْفَعُهَا شَفَاعَةٌ وَلَا هُمْ يُنْصَرُونَ(123)
“Dan jagalah dirimu dari (azab)
di hari (kiamat yang pada hari itu) seseorang tidak dapat membela orang lain,
walau sedikitm pun; dan (begitu pula) tidak diterima syafaat dan tebusan
daripadanya, dan tidaklah mereka akan ditolong”
2. QS Al-Baqarah,[2] : 123
وَلَا يُقْبَلُ مِنْهَا عَدْلٌ وَلَا تَنْفَعُهَا شَفَاعَةٌ وَلَا هُمْ يُنْصَرُونَ(123)
“… Dan tidak akan diterima suatu
tebusan daripadanya dan tidak akan memberi manfaat suatu syafaat kepadanya dan
tidak pula mereka akan ditolong”.
3. QS Al-Mukmin,[40] : 18
مَا لِلظَّالِمِينَ مِنْ حَمِيمٍ وَلَا شَفِيعٍ يُطَاعُ(18)
“Orang-orang yang zhalim tidak mempunyai
teman setia seorang pun dan tidak pula mempunyai seorang pemberi syafaat yang
diterima syafaatnya”
4. QS Al-Muddats-tsir,[74] : 48
فَمَا تَنْفَعُهُمْ شَفَاعَةُ الشَّافِعِينَ(48)
“Maka tidak berguna lagi bagi
mereka syafaat dari orang-orang yang memberinya syafaat”
Menurut pandangan
ulama Ahlussunnah wal Jamaah, ada dua alasan, mengapa ayat-ayat syafaat
di atas tidak tepat dijadikan sebagai hujjah bagi orang-orang yang
mengingkari syafaat!
Pertama. Syafaat tidak berguna bagi kaum musyrikin, sebagaimana
yang dijelaskan oleh ayat 42-48 QS Al-Muddatstsir,[74] tentang identitas mereka
sebagai berikut :
مَا سَلَكَكُمْ فِي سَقَرَ(42)قَالُوا لَمْ نَكُ مِنَ الْمُصَلِّينَ(43)وَلَمْ نَكُ نُطْعِمُ الْمِسْكِينَ(44)وَكُنَّا نَخُوضُ مَعَ الْخَائِضِينَ(45)وَكُنَّا نُكَذِّبُ بِيَوْمِ الدِّينِ(46)حَتَّى أَتَانَا الْيَقِينُ(47)فَمَا تَنْفَعُهُمْ شَفَاعَةُ الشَّافِعِينَ(48)
“Apakah
(sebabnya) yang memasukkan kamu kedalam neraka saqar? Mereka menjawab : ‘Kami
dahulu tidak termasuk orang-orang yang mengerjakan shalat, dan kami tidak pula
memberi makan orang miskin, dan adalah kami membicarakan yang batil
bersama-sama dengan orang-orang yang membicarakannya, dan adalah kami
mendustakan hari pembalasan, hingga datang kepada kami kematian’. Maka tidak
berguna lagi bagi mereka syafaat dari orang-orang yang memberikan syafaat”.
Ayat di atas menjelaskan tentang tidak bergunanya
syafaat disebabkan oleh kekafiran mereka.
Kedua. Syafaat tidak berguna bagi orang yang ahli syirik dan
yang serupa dengannya, seperti ahli bid’ah dari kalangan ahli kitab dan
kaum muslimin yang berprasangka bahwa makhluk memiliki otoritas, kekuasaan dan
kemampuan secara mutlak di samping Allah swt, dan atau bahwa makhluk mampu
memberi syafaat di samping-Nya dengan tanpa melalui izin-Nya, seperti sebagian
orang mampu memberikan syafaat kepada sebagian yang lain, kemudian diterima
oleh orang yang membutuhkannya dengan senang hati.
Kaum musyrikin
telah menjadikan para malaikat, para Nabi dan kaum shalihin sebagai pemberi
syafaat di samping Allah swt. Kemudian mereka membuatkan patung-patungnya,
Kepada patungnya malaikat, para Nabi dan kaum shalihin itulah mereka memohon
syafaat, seraya berkomentar: “Mereka itu semua adalah orang-orang pilihan
Allah swt”
Demikianlah
kutipan dari pendapatnya Ibnu Taimiyah yang secara tegas dan jelas menguraikan
makna hakiki yang terkandung didalam ayat-ayat di atas, yang kemudian oleh
orang-orang yang mengingkari adanya syafaat dijadikan sebagai hujjah untuk
melarang memohon syafaat kepada Rasulullah saw semasa di dunia ini, dengan
pendapatnya yang cukup keras bahwa mencari syafaat yang dilakukan orang semasa di dunia
ini adalah syirik dan sesat.
Secara singkat,
pendapat Ibnu Taimiyah di atas dapat dirumuskan sebagai berikut: Syafaat tidak
bermanfaat bagi kaum musyrikin. Ayat-ayat Al-Qur’an yang dikemukakannya
menjelaskan tidak berlakunya syafaat bagi orang yang ahli syirik yang
berkeyakinan bahwa Pemberi Syafaat (secara mutlak) mampu memberikan
syafaat tanpa izin Allah swt terlebih dahulu. Ibnu Taimiyah menegaskan: “Kami
tidak berkeyakinan seperti itu, berkat anugerah Allah swt”.
Menurut hemat kami (Sayyid Muhammad Alwy al-Maliky),
jika pencari syafaat Rasulullah saw tersebut telah berkeyakinan atau
berprasangka bahwa beliau saw dapat memberikan syafaat kepada
siapa saja tanpa melalui izin Allah swt, maka keyakinan seperti itulah yang
masuk kategori syirik lagi sesat. Ketika memohon syafaat, kita
seharusnya memiliki suatu keyakinan yang sempurna, bahwa tiada seorang pun yang
memberikan syafaat – termasuk diri Rasulullah saw – melainkan dengan melalui
izin Allah swt. Segala sesuatu semestinya tidak akan terjadi, melainkan berkat
ridha dan bantuan-Nya.
Demikian
pula harapan dan keinginan untuk masuk surga, meminum air di telaga Kautsar,
menyeberangi shirat dengan selamat, dan semisalnya, kesemuanya itu akan
tercapai dengan melalui izin Allah swt dan terjadi pada waktu yang sudah ditentukan Allah swt,
yakni hari kiamat.