Tampilkan postingan dengan label bid'ah. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label bid'ah. Tampilkan semua postingan

Rabu, 15 Mei 2013

PYPD - 12. Bid'ah Syar'iyyah dan Bid'ah Lughawiyah



Pake Peci, Bid'ah nggak?

Sebagian orang mengecam adanya pembagian Bid’ah Hasanah dan Bid’ah Sayyiah disertai pengingkarannya terhadap orang yang melakukan pembagian tersebut. Bahkan ada yang berani menuduhnya fasiq dan sesat, dengan alasan karena bertentangan dengan sabda Rasulullah saw :
كُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ
Setiap Bid’ah adalah sesat
Secara umum, teks hadis tersebut sudah jelas, yakni menjelaskan bahwa setiap Bid’ah adalah sesat. Dari sini, Anda akan menyaksikan komentar orang, “Apakah dapat dibenarkan, setelah Rasulullah saw mengatakan bahwa setiap bid’ah adalah sesat, lalu ada mujtahid atau ahli fikih yang lebih rendah tingkatannya bila dibanding dengan kedudukan Rasulullah saw selaku Pemilik Syari’at, berkata: “Tidak…! Tidak begitu maksudnya… ! Tidak setiap bid’ah itu sesat, akan tetapi bid’ah itu ada yang sesat, ada yang hasanah (baik), dan ada yang sayyiah (buruk)…”.


Banyak orang yang terpedaya dengan propaganda mereka tersebut, lalu tertarik dan ikut-ikutan menolak konsep pembagian Bid’ah “Hasanah” dan “Sayyiah”. Padahal sebagian besar mereka tidak paham terhadap maksud dan tujuan syariat itu sendiri. Bahkan mereka belum pernah merasakan manisnya ruh Islam. Mereka kemudian mengalami kesulitan sendiri sewaktu tengah memecahkan problem kehidupan yang dirasa tidak sesuai dengan apa yang mereka kehendaki, yaitu yang menyatakan bahwa segala sesuatu yang tidak ada padanannya dan tidak ditemukan dalilnya dalam sunnah Rasulullah saw adalah suatu perbuatan “Bid’ah”, termasuk juga misalnya dalam soal tata cara makan, minum, berpakaian, bergaul di tengah masyarakat dan keluarga, sementara yang namanya bid’ah adalah sesat. Untuk keluar dari lingkaran syetan tersebut, mereka lalu terpaksa mendefinisikan ulang tentang pengertian “Bid’ah” dan membaginya menjadi dua macam : 1) Bid’ah Diniyyah, yakni  bid’ah yang berkaitan dengan prilaku hidup dalam beragama, dan 2) Bid’ah Dunyawiyyah, yakni bid’ah yang berkaitan dengan urusan kehidupan duniawi.
Subhanallah ! Mereka mencela dan memaki orang yang mengatakan: “Tidak setiap bid’ah itu sesat. Akan tetapi bid’ah itu ada yang Hasanah (baik) dan ada yang Sayyiah (buruk)”. Namun di sisi lain, mereka membuat-buat sesuatu yang baru, yaitu secara terang-terangan membagi  pengertian “Bid’ah” kedalam “bid’ah diniyyah” dan “bid’ah dunyawiyyah”. Atau paling tidak mereka jelas-jelas telah “menciptakan” istilah baru dalam agama.


Menurut pemahaman kami, istilah “Bid’ah” sudah ada sejak masa tasyri’ nabawy, yakni periode awal pembentukan syari’at, periode Rasulullah saw masih hidup. Hanya saja, istilah baru “Bid’ah Diniyyah” dan “Bid’ah Dunyawiyyah” yang mereka ciptakan itu, secara qath’iy, tidak pernah ada pada awal periode tersebut. Yang menjadi persoalan sekarang adalah, dari mana asal usul pembagian bid’ah semacam itu ? Dan dari mana asal usul istilah baru tersebut ?

Kalau mereka mengatakan bahwa pembagian bid’ah kedalam bid’ah Hasanah dan Sayyiah adalah tidak berasal dari Pembuat Syari’at, yakni Rasulullah saw, maka demikian juga pembagian bid’ah sebagaimana yang mereka, yakni bid’ah Diniyyah yang dilarang atau tidak diterima,  dan bid’ah Dunyawiyyah yang diperbolehkan atau diterima. Karena pembagian semacam itu, pada hakekatnya,  secara otomatis termasuk perbuatan Bid’ah itu sendiri. Bukankah yang dinamakan Bid’ah adalah mengada-adakan sesuatu hal yang baru ? Salah satu contohnya adalah mengada-adakan istilah baru (“bid’ah diniyyah” dan “dunyawiyyah”) dalam persoalan agama.

Bid'ah Dunyawiyah : Raja Saudi dan Inggris menjalin persahabatan.
Rasulullah saw bersabda, “Setiap bid’ah adalah sesat”. Tanpa kecuali, segala bentuk bid’ah apa saja, semuanya adalah sesat. Dengan demikian, mereka yang membagi pengertian bid’ah kedalam bid’ah diniyyah dan bid’ah dunyawiyyah pun juga sesat.
Kami perlu menjelaskan persoalan penting yang berkaitan dengan pemahaman terhadap pengertian Bid’ah. Hal ini dimaksudkan agar semakin jelas duduk persoalannya dan memudahkan untuk melacak di mana letak kemusykilannya, sehingga kesimpangsiuran perbedaan pendapat selama ini dengan sendirinya akan hilang. Insya Allah.
 
Sebenarnya orang yang paling berhak berbicara merumuskan makna Bid’ah adalah Rasulullah saw, si Pembuat Syari’at yang sangat bijaksana, di mana ucapannya adalah ucapan syari’at, pemahaman dan pembicaraannya pun tentu saja berdasarkan pertimbangan syar’iy. Jika sekarang Anda sudah tahu bahwa yang disebut “Bid’ah” pada prinsipnya adalah segala sesuatu yang diada-adakan, dibuat-buat dan diciptakan atas dasar tidak ada padanan dan dalilnya dalam nash Al-Qur’an dan hadis Nabi, tentu Anda masih ingat, bahwa yang dimaksud dengan mengada-adakan sesuatu yang baru sebagai tambahan syariat yang sangat dicela oleh agama adalah sesuatu yang berkaitan dengan urusan agama, agar ia menjadi bagian dari syari’at agama itu sendiri, serta dinisbatkan kepada Pemilik Syari’at. Pemahaman semacam ini sesuai dengan apa yang dikhawatirkan Rasulullah saw dalam sabdanya :
مَنْ اَحْدَثَ فِى اَمْرِنَا هَـذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ
Barangsiapa yang mengada-adakan dalam perkara Agama kami ini sesuatu yang bukan termasuk bagian dari agama, maka tertolak lah ia”.
Ringkas kata. Menurut hadis di atas, bahwa sesuatu yang menjadi “garis pemisah” antara mengada-adakan sesuatu baru yang ditolak dan yang diterima, atau antara bid’ah yang sesat dan yang tidak sesat, adalah teks hadis : فِيْ اَمْرِنَا هَذَا  ,“dalam perkaran Agama kami ini (Islam)”.

Mengenai pembagian Bid’ah yang kami tetapkan, yakni “bid’ah sayyiah” dan “bid’ah hasanah”, menurut pemahaman kami adalah sekedar pembagian bid’ah secara “lughawy” (etimologis, bahasa), bukan secara “syar’iy” dan terlepas sama sekali dari keterkaitannya dengan mengada-adakan sesuatu baru dalam perkara agama. Kami tidak meragukan sama sekali, bahwa segala bentuk bid’ah dalam pengertian “syar’iy” adalah sesat, akan menimbulkan fitnah, serta dicela, ditolak dan dibenci oleh Agama Islam. Sekiranya mereka yang ingkar tersebut memahami secara benar pengertian “Bid’ah” di atas, tentu tidak akan terjadi lagi pertentangan di kalangan kaum muslimin seperti sekarang ini, dan pertentangan tersebut akan mudah didamaikan. Insya Allah.

Perlu kami tegaskan di sini, demi mendekatkan, mempertemukan dan mendamaikan berbagai faham-faham di atas, bahwa mereka yang menolak dan mengingkari pembagian istilah “Bid’ah” semacam ini sebenarnya hanya mengingkari adanya pembagian istilah bid’ah secara “syar’iy”. Hal ini jelas ditunjukkan dari sikap mereka yang membagi pengertian bid’ah kedalam “bid’ah diniyyah” dan “bid’ah dunyawiyah”. Walaupun pembagian tersebut mereka lakukan lebih disebabkan oleh keterpaksaan yang mengharuskan mereka untuk mendefinisikan ulang dan membuat pembagian semacam itu.
Orang-orang yang membagi Bid’ah kedalam bid’ah hasanah dan bid’ah sayyiah memandang bahwa pembagian semacam itu hanya sekedar pembagian secara “lughawy” , bukan secara “syar’iy”, dengan alasan bahwa mengada-adakan dan membuat-buat tambahan baru dalam syariat adalah sangat buruk dan sesat. Dengan demikian, perbedaan pendapatnya hanya bersifat formalistik.

Senada dengan pandangan di atas, kami berpendapat bahwa teman-teman kita yang menentang dan menolak pembagian bid’ah hasanah dan sayyiah, kemudian mereka melakukan pembagian bid’ah sendiri kedalam bid’ah diniyyah dan bid’ah dunyawiyyah, sebenarnya tidak mendapatkan keuntungan dari kedalaman interpretasinya itu. Karena pada saat mereka merumuskan bahwa bid’ah diniyyah adalah sesat, sedangkan bid’ah dunyawiyyah tidak sesat dan boleh-boleh saja dilakukan,  mereka benar-benar menetapkan rumusan yang buruk, disebabkan bahwa mereka berarti telah mengidentikkan setiap bid’ah dunyawiyyah dengan kebolehan. Ketetapan mereka semacam ini sangat berbahaya, akan menimbulkan fitnah dan musibah. Seharusnya ketika itu mereka terlebih dahulu memerinci dan  membuat klasifikasi bahwa bid’ah dunyawiyyah itu ada yang baik (hasanah) dan ada yang buruk (sayyiah). Perincian semacam itu akan sesuai dengan kenyataan yang terjadi dan tidak dapat diingkari, kecuali oleh orang-orang yang buta dan bodoh lagi dungu.

Kesimpulan yang dapat kita rumuskan di sini adalah hahwa pembagian pengertian “bid’ah” kedalam bid’ah hasanah dan bid’ah sayyiah adalah sekedar pembagian secaralughawy”, yakni suatu pembagian yang ditafsirkan oleh orang-orang yang mengingkarinya sebagai bagian dari kategori bid’ah dunyawiyyah. Pendapat berikut ini merupakan puncak dari ketelitian dan kehati-hatian, yaitu yang memandang bahwa setiap sesuatu yang baru hendaknya patuh kepada tata aturan hukum syar’iyyah. Kaum muslim setiap kali membuat-buat sesuatu baru yang yang berkaitan dengan urusan keduniawian, baik yang bersifat umum maupun khusus, dan apapun bentuknya (hasanah atau sayyiah), dimana urusan tersebut yang belum pernah terjadi di masa Rasulullah saw, seharusnya mereka mengembalikan, menggiring dan mencari dasar-dasarnya dari hukum syar’iyyah. Namun demikian, hal ini tidak akan mungkin terwujud kecuali bila dilakukan oleh para ulama yang ahli di bidang ushul.

Selasa, 14 Mei 2013

PYPD - 11. Pemahaman tentang Pengertian Bid'ah





Ada sekelompok orang yang tidak diketahui asal usulnya telah menyatakan diri sebagai kelompok pengikut Salafus Shalih. Mereka lalu mengajak orang lain untuk kembali kepada ajaran salaf disertai dengan serangan-serangan yang dungu, fanatisme buta, berakal tumpul dan berdada sempit. Mereka menyerang apa saja yang dianggapnya “baru”, dan mengingkari semua “kreasi” yang bermanfaat dengan tuduhan Bad’ah, sementara semua Bid’ah adalah sesat, katanya.  Mereka mengatakan demikian itu tanpa disertai pemilahan terlebih dahulu terhadap berbagai macam pengertian  Bid’ah . Padahal ruh Islam meniscayakan adanya pemilahan dan pembedaan berbagai macam pengertian Bid’ah tersebut.

Menurut kami (Sayyid Muhammad Alawi Abbas Al-Maliky Al-Hasany), Bid’ah itu ada yang dikategorikan Bid’ah Hasanah (bid’ah yang baik) dan ada yang Bid’ah Sayyi-ah (bid’ah yang jelek). Pembagian   Bid’ah semacam ini didasarkan oleh pertimbangan akal yang sehat dan pandangan yang jernih. Juga dikuatkan dengan pendapat para Ulama Ushul dari generasi Salafus Shalih, seperti imam Al-‘Izzuddin Abdussalam, imam An-Nawawi, imam As-Suyuthi, imam Jalaluddin al-Mahalli dan imam Ibnu Hajar al-Asqalani. 

Sebagian hadis-hadis Nabi memang perlu ditafsirkan dan dikaitkan dengan sebagian hadis-hadis Nabi yang lain. Tentu saja hal ini memerlukan analisa yang utuh dan menyeluruh, serta diperlukan adanya interpretasi berdasarkan ruh syariat  dan pemahaman yang disepakati oleh para pakar dan ulama yang ahli di bidangnya. Atas dasar pandangan ini, kami telah menemukan sebagian besar hadis nabawi yang memerlukan interpretasi teresebut, yang dapat diterima oleh akal sehat, wawasan luas dan pikiran cerdas, disertai dengan analisa yang tajam dan sesuai dengan lubuk hati nurani, yang diambil dari lautan syariat yang dalam, sesuai dengan batasan-batasan yang ditetapkan oleh qaidah syar'iyyah, serta sesuai dengan makna kandungan nash-nash Al-Qur’an dan Hadis Nabi.
Misalnya hadis Nabi yang berbunyi :

كُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ
Artinya: “Setiap Bid’ah adalah sesat”.

Hadis tersebut harus ditafsirkan bahwa yang dimaksud dengan istilah Bid’ah dalam hadis di atas adalah “Bid’ah Sayyi-ah” (Bid’ah yang buruk) yang telah keluar dari prinsip-prinsip ajaran Islam.

Pembatasan makna seperti di atas juga terjadi pada hadis-hadis Nabi yang lain, seperti : 

لاَ صَلاَةَ لِجَارِ الْمَسْجِدِ اِلاَّ فِى الْمَسْجِدِ
Artinya: “Tiada shalat bagi penduduk yang tinggal di sekitar masjid, kecuali dilakukan di masjid

Ditafsirkan : “Tidak sempurna shalat bagi penduduk yang tinggal di sekitar masjid, kecuali dilakukan di masjid”. 

لاَ صَلاَةَ بِحَضْرَةِ الطَّـعَامِ
Dapat ditafsirkan : “Tidak sempurna shalat seseorang disebabkan tersajinya makanan”.

لاَ يُؤْمِنُ اَحَدُكُمْ حَتَّى يُحِبَّ  لاَخِيْهِ مَا يُحِبُّ لِنَفْسِهِ
Dapat ditafsirkan : “Tidak sempurna iman seseorang di antara kalian, sehingga ia mencintai saudaranya seperti ia mencintai dirinya sendiri”.

Demikian pula hadis-hadis yang lain seperti, “Tidak masuk surga tukang fitnah”; “Tidak masuk surga orang yang memutus tali persaudaraan…”;  “Tidak masuk surga orang yang durhaka kepada kedua orang tuanya”.  Para ulama memberikan tafsiran, bahwa yang dimaksud dengan ungkapan “Tidak masuk surga” adalah Tidak masuk surga sejak pertama kali, atau tidak akan masuk surga jika seseorang kedapatan telah melakukan hal-hal tersebut (memfitnah, memutus tali persaudaraan, durhakan pada kedua orang tua, dll).

Ingat bahwa yang dimaksud dengan “mengadakan-adakan sesuatu baru” sebagai tambahan dalam syari’at yang sangat dicela oleh agama adalah “sesuatu baru” yang berkaitan dengan persoalan Agama dan diharapkan menjadi bagian tak terpisahkan.
Maulidur Rasul & Sholawatan  tidaklah bid'ah
Ringkas kata, para ulama tidak mengartikan hadis-hadis tersebut secara harfiah atau tekstual semata, akan tetapi mereka menggunakan berbagai ragam interpretasi dan penakwilan. Mereka juga melakukan penakwilan terhadap hadis yang menjelaskan persoalan Bid’ah. Menurut mereka, berdasarkan keumuman lafazh Bid’ah dan mengaitkannya dengan perilaku sahabat Nabi saw, maka mengarah pada suatu pemahaman bahwa yang dimaksud dengan istilah “Bid’ah” adalah “Bid’ah Sayyiah” (bid’ah yang buruk) yang tidak ditemukan asal usulnya dalam syariat Islam.

Dalam sebuah hadis dikatakan, “Barangsiapa yang berprilaku baik, maka ia akan diberi pahala disebabkan prilaku baiknya itu, dan ia akan diberi pahala lagi disebabkan karena ada orang lain yang meniru prilaku baiknya itu sampai hari kiamat”.

Hadis yang lain menjelaskan, “Kalian harus berpegang pada sunnahku dan sunnahnya (prilakunya) para sahabat Khulafaurrasyidin”.

Umar bin Khatthab pernah menyatakan tentang status shalat Tarawih, Sebaik-baik bid’ah adalah (shalat Tarawih) yang aku lakukan ini”.  

PYPD - 1. Resiko Mengkafirkan Kaum Muslimin



Oleh Prof. DR. Sayyid Muhammad Alawi Abbas Al-Maliki

 
Prof. DR. Sayyid Muhammad Alawi Abbas Al-Maliki

 

KATA PENGANTAR

Kitab berjudul مفاهيم يجب ان تصحح  [ Terj. Pemahaman --salah/menyimpang-- yang Perlu Diluruskan]**), karya Prof. DR. Sayyid Muhammad Alawi Abbas Al-Maliki Al-Hasaniy, merupakan kitab penting yang perlu dibaca oleh kaum muslimin yang mengaku dirinya sebagai pengikut setia faham Ahlussunnah Waljama’ah ala NU, agar dijadikan sebagai pedoman, pegangan dan benteng aqidah yang lurus untuk menangkis berbagai pemahaman keagamaan (aqidah) yang selama ini dipahami secara keliru oleh segelintir “santri baru” Salafi Wahabi dan gerombolannya, sehingga kaum muslimin “selamat” dari ketersesatan aqidah dan tidak mudah melontarkan tuduhan syirik, bid’ah, kafir, munafiq dan semisalnya kepada sesama saudara muslim yang nantinya justru berujung pada rusaknya aqidah dan ukhuwwah islamiyah.

Mengingat pentingnya persoalan tersebut, kami akan mempublikasikan hasil terjemahan terhadap kitab tersebut secara lengkap di blog ini secara bersambung.

Kami persilahkan para sahabat dan siapa saja yang membutuhkannya untuk mengkopi, memanfaatkan, dan menyebarluaskannya kepada kaum muslimin demi tegaknya aqidah Ahlussunnah Waljama’ah di muka bumi dan terciptanya kehidupan yang aman, tentram, saling menghormati dan penuh toleransi, baik dalam kehidupan beragama, bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Asalkan disertai dengan menyebutkan sumber pengambilannya dan tidak digunakan untuk mencari keuntungan duniawi.

Akhirul kalam. Kami menyadari bahwa al-insanul mahallul khotho` wan nis-yan. Karenanya, sumbang saran, nasehat, pembetulan dan kritik yang konstruktif sangat diharapkan demi kesempurnaan postingan ini di masa mendatang. (Pentjm.)

  ________________________________________

 

 

RESIKO MENGKAFIRKAN SESAMA MUSLIM



Kebanyakan orang melakukan kesalahan dalam memahami hakekat sebab-sebab yang dapat mengeluarkan pelakunya dari ruang lingkup agama Islam, dan ia wajib dihukumi kafir. Anda dapat menyaksikan orang-orang yang mudah menuduh “kafir” seorang muslim hanya disebabkan dia berbeda pendapat dengannya, sehingga dengan pengkafiran tersebut jumlah kaum muslimin secara kuantitatif di seluruh dunia akan tinggal sedikit. Kami husnuzhan ( berbaik sangka ) kepada mereka yang suka mengkafirkan itu adalah lebih didasari oleh niat yang baik, yakni ingin melaksanakan kewajiban amar ma’ruf dan nahi munkar . Akan tetapi mereka lupa bahwa kewajiban beramar ma’ruf dan nahi munkar tersebut seharusnya dilakukan dengan cara yang bijaksana (bil hikmah) dan dengan nasehat yang baik (wal mau’izhatul hasanah). Kalaupun akan dilakukan dengan metode diskusi dan dialog (mujadalah), hendaklah dilakukan dengan cara yang baik lagi sopan, sebagaimana yang telah diperintahkan Allah dalam Al-Qur’an surat An-Nahl, [16] : 125
ادْعُ إِلَى سَبِيلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ وَجَادِلْهُمْ بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ
“Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan nasehat  pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik.”

Apabila Anda ingin mengajak seseorang agar melaksanakan shalat, menunaikan perintah-perintah Allah swt, menjauhi semua larangan-Nya, menyebarluaskan dakwah islamiyah, membangun masjid dan lembaga-lembaga pendidikan Islam seperti sekolah pesantren, dan lain-lain, sampai pada persoalan yang menurut pandangan Anda merupakan suatu kebenaran, sedangkan menurut pandangan orang lain bukanlah suatu kebenaran, disebabkan para ulama dalam persoalan ini berbeda pendapat, kemudian orang yang tidak setuju dengan pendapat Anda tersebut, lalu Anda tuduh kafir hanya karena berbeda pendapat dengan anda, maka Anda benar-benar telah melakukan kemungkaran yang besar.

 Al-‘Allamah al-Imam Sayyid Ahmad Masyhur al-Haddad mengatakan:

“Telah disimpulkan adanya kesepakatan di kalangan para ulama Ahlussunnah wal Jamaah tentang larangan mengkafirkan seorang ahli kiblat (muslim), kecuali terhadap seseorang yang benar-benar atheis yang mengingkari adanya Allah swt, atau yang secara jelas melakukan perbuatan syirik tanpa perlu ditakwili lagi, atau mengingkari keberadaan para Nabi dan Rasul, atau mengingkari prinsip-prinsip ajaran Islam yang bernilai qath’iy (dogmatik), atau mengingkari kemutawatiran suatu hadis Nabi saw, atau mengingkari ajaran Islam yang sudah disepakati (ijmak) kepastiannya”

Prinsip-prinsip ajaran Islam yang bernilai dogmatik (qath’iy), antara lain ajaran tentang tauhid (Keesaan Allah), kenabian, keparipurnaan Risalah dengan diutusnya Nabi Muhammad saw, adanya kebangkitan dari kematian (yaumul ba’ts) pada hari kiamat nanti, hisab (penghitungan amal), pembalasan amal, kepastian adanya surga dan neraka. Maka menjadi kafir-lah orang yang mengingkari prinsip-prinsip ajaran Islam tersebut.

Hadis mutawatir adalah hadis yang diriwayatkan oleh sekelompok orang yang tidak mungkin bersepakat untuk melakukan kebohongan daripada sekelompok orang yang semisal dengan mereka. Tingkat kemutawatiran suatu hadis ada kalanya ditentukan oleh  segi isnad, seperti hadis Nabi saw berikut :

من كـذب  عليّ مـتـعمـدا  فـلـيتـبوّء مقـعد ه مـن الـنـار
Barangsiapa yang berdusta atas namaku, maka hendaklah dia menduduki tempat duduknya di neraka
Dari sudut isnad-nya, hadis  mutawatir tersebut diriwayatkan oleh para rawi (periwayat hadis) yang tidak mungkin bersepakat melakukan kebohongan. Dan ada kalanya ditentukan oleh segi thabaqat-nya (lapisan), yakni sekelompok rawi dalam setiap thabaqat atau lapisan, cukup banyak jumlahnya. Misalnya pada thabaqat atau lapisan pertama yang terdiri dari para rawi kalangan sahabat yang secara langsung meriwayatkan hadis dari Rasulullah saw . Kemudian disusul sekelompok rawi pada lapisan kedua yang terdiri dari para rawi kalangan tabi’in yang meriwayatkan hadis dari para sahabat Nabi. Dan seterusnya sampai pada lapisan atau   thabaqat terbawah.
Kemutawatiran hadis dari segi thabaqat ini adalah seperti kemutawatiran Al-Qur’an, disebabkan hadis tersebut diriwayatkan secara merata oleh lapisan masyarakat luas, baik di daerah timur maupun barat, baik mengenai isi ajarannya, bacaannya, maupun lafazhnya, serta mempertemukan dari lapisan satu ke lapisan berikutnya, sehingga tidak diperlukan lagi adanya pengkajian, penelitian terhadap isnadnya.
 Dan terkadang pula bahwa kemutawatiran atau keterurutan dan kontinyuitas suatu hadis adalah dalam segi pengamalan dan pewarisan tradisi, seperti keterurutan suatu amal perbuatan dan tradisi mulai dari masa hidup Rasulullah saw sampai sekarang, atau keterurutan dalam ilmu pengetahuan seperti mutawatirnya hadis tentang mukjizat Nabi, meskipun secara detailnya sebagian hadis tersebut adalah pada derajat Hadis Ahad  (yakni suatu hadis shahih yang tidak sampai pada derajat hadis mutawatir), akan tetapi bertemu pada titik persamaan isinya, sehingga bernilai mutawatir secara qath’iy (pasti kebenarannya) di dalam pengetahuan setiap muslim.
Menuduh dan menghukumi seorang muslim dengan tuduhan kafir di luar kategori yang sudah dijelaskan di atas adalah sangat berbahaya dan gawat. Dalam sebuah hadis, Rasulullah saw bersabda :
إذا قال الرجل لأخيه يا كافر فقد باء بها أحدهما
Barangsiapa yang mengatakan kepada saudaranya : “Hai si Kafir”, maka kembalilah hukum kafir tersebut pada salah satu di antara keduanya”. (HR Bukhari, dari Abu Hurairah ra).
Maksudnya, jika yang dipanggail itu benar-benar kafir, maka hal itu tidak jadi masalah. Namun jika yang dipanggil dengan kata “si Kafir”  tersebut – menurut pandangan Allah – bukan orang kafir, maka orang yang memanggilnya atau menuduhnya demikian  itulah yang kafir.
Tuduhan tersebut tidak dibenarkan diucapkan kecuali oleh orang yang dengan pancaran syari’at telah mengetahui tempat masuk-nya kedalam atau keluar-nya dari kekafiran seseorang, serta mengetahui batas-batas  pembeda antara kekufuran dan keimanan seseorang  menurut ukuran syari’at Islam. Oleh karenanya, seseorang tidak boleh melibatkan diri dalam persoalan ini, lalu saling kafir mengkafirkan orang lain lebih atas dasar khayalannya, rekayasa atau persangkaan semata, dan bukan atas dasar keyakinan dan ilmu yang benar. Misalnya mengkafirkan seseorang hanya disebabkan oleh perbuatan maksiatnya, padahal orang tersebut masih memiliki keimanan yang lurus dan masih berpegang teguh pada dua kalimat syahadat.
Sebuah hadis dari Anas bin Malik ra, bahwa Rasulullah saw bersabda:
ثلاث من أصل الإيمان : الكفء عمن قال لا إله إلا الله لا نكفره بذنب ولا نخرجه عن الإسلام بالعمل, والجهاد ماض منذ بعثني الله إلى أن يقاتل آخر أمتي الدجال لا يبطله جور جائر و لا عدل عادل و الإيمان بالأقدار
Tiga hal yang menjadi prinsip keimanan : 1) menghindarkan diri dari orang yang mengucapkan La ilaha illallah, dan kami tidak mengkafirkan orang tersebut disebabkan amal perbuatannya;  2) jihad itu berlaku terus sejak Allah swt mengutusku sampai umatku yang terakhir memerangi Dajjal. Jihad ini tidak dapat dibatalkan oleh kelalimannya orang yang zhalim dan keadilannya orang yag berbuat adil;  3) Meyakini takdir Allah “ (HR Abu Dawud).
Oleh karena itu, kami memperingatkan agar jangan sampai kalian mudah mengkafirkan seseorang bukan pada tempatnya, disebabkan resikonya sangat besar.


Kalo antum nuduh tahlilan syirik,dan tuduhan antum salah
bisa2 antum sendiri yang justru menjadi musyrik.


  _________________________

Ket.
**) Pemahaman --"salah/menyimpang"-- Yang Perlu Diluruskan, untuk selanjutnya disingkat "PYPD"