Pake Peci, Bid'ah nggak? |
Sebagian orang mengecam adanya
pembagian Bid’ah Hasanah dan Bid’ah Sayyiah disertai
pengingkarannya terhadap orang yang melakukan pembagian tersebut. Bahkan ada
yang berani menuduhnya fasiq dan sesat, dengan alasan karena
bertentangan dengan sabda Rasulullah saw :
كُلُّ بِدْعَةٍ
ضَلاَلَةٌ
“Setiap Bid’ah adalah sesat”
Secara umum, teks hadis tersebut sudah
jelas, yakni menjelaskan bahwa setiap Bid’ah adalah sesat. Dari
sini, Anda akan menyaksikan komentar orang, “Apakah dapat dibenarkan,
setelah Rasulullah saw mengatakan bahwa setiap bid’ah adalah sesat, lalu ada
mujtahid atau ahli fikih yang lebih rendah tingkatannya bila dibanding dengan
kedudukan Rasulullah saw selaku Pemilik Syari’at, berkata: “Tidak…! Tidak
begitu maksudnya… ! Tidak setiap bid’ah itu sesat, akan tetapi bid’ah itu ada
yang sesat, ada yang hasanah (baik), dan ada yang sayyiah (buruk)…”.
Banyak orang yang terpedaya dengan
propaganda mereka tersebut, lalu tertarik dan ikut-ikutan menolak konsep
pembagian Bid’ah “Hasanah” dan “Sayyiah”. Padahal sebagian besar
mereka tidak paham terhadap maksud dan tujuan syariat itu sendiri. Bahkan
mereka belum pernah merasakan manisnya ruh Islam. Mereka kemudian
mengalami kesulitan sendiri sewaktu tengah memecahkan problem kehidupan yang
dirasa tidak sesuai dengan apa yang mereka kehendaki, yaitu yang menyatakan
bahwa segala sesuatu yang tidak ada padanannya dan tidak ditemukan dalilnya
dalam sunnah Rasulullah saw adalah suatu perbuatan “Bid’ah”, termasuk
juga misalnya dalam soal tata cara makan, minum, berpakaian, bergaul di tengah
masyarakat dan keluarga, sementara yang namanya bid’ah adalah sesat.
Untuk keluar dari lingkaran syetan tersebut, mereka lalu terpaksa
mendefinisikan ulang tentang pengertian “Bid’ah” dan membaginya menjadi
dua macam : 1) Bid’ah Diniyyah, yakni bid’ah yang berkaitan dengan
prilaku hidup dalam beragama, dan 2) Bid’ah Dunyawiyyah, yakni bid’ah
yang berkaitan dengan urusan kehidupan duniawi.
Subhanallah ! Mereka mencela dan
memaki orang yang mengatakan: “Tidak setiap bid’ah itu sesat. Akan tetapi
bid’ah itu ada yang Hasanah (baik) dan ada yang Sayyiah (buruk)”. Namun di
sisi lain, mereka membuat-buat sesuatu yang baru, yaitu secara terang-terangan
membagi pengertian “Bid’ah” kedalam “bid’ah diniyyah” dan “bid’ah
dunyawiyyah”. Atau paling tidak mereka jelas-jelas telah “menciptakan”
istilah baru dalam agama.
Menurut pemahaman kami, istilah “Bid’ah”
sudah ada sejak masa tasyri’ nabawy, yakni periode awal pembentukan
syari’at, periode Rasulullah saw masih hidup. Hanya saja, istilah baru “Bid’ah
Diniyyah” dan “Bid’ah Dunyawiyyah” yang mereka ciptakan itu, secara qath’iy,
tidak pernah ada pada awal periode tersebut. Yang menjadi persoalan
sekarang adalah, dari mana asal usul pembagian bid’ah semacam itu ? Dan dari
mana asal usul istilah baru tersebut ?
Kalau mereka mengatakan bahwa pembagian
bid’ah kedalam bid’ah Hasanah dan Sayyiah adalah tidak berasal dari Pembuat
Syari’at, yakni Rasulullah saw, maka demikian juga pembagian bid’ah
sebagaimana yang mereka, yakni bid’ah Diniyyah yang dilarang atau tidak
diterima, dan bid’ah Dunyawiyyah yang diperbolehkan atau
diterima. Karena pembagian semacam itu, pada hakekatnya, secara otomatis
termasuk perbuatan Bid’ah itu sendiri. Bukankah yang dinamakan Bid’ah
adalah mengada-adakan sesuatu hal yang baru ? Salah satu contohnya adalah
mengada-adakan istilah baru (“bid’ah diniyyah” dan “dunyawiyyah”) dalam
persoalan agama.
Bid'ah Dunyawiyah : Raja Saudi dan Inggris menjalin persahabatan. |
Rasulullah saw bersabda, “Setiap
bid’ah adalah sesat”. Tanpa kecuali, segala bentuk bid’ah apa saja,
semuanya adalah sesat. Dengan demikian, mereka yang membagi pengertian bid’ah
kedalam bid’ah diniyyah dan bid’ah dunyawiyyah pun juga
sesat.
Kami perlu menjelaskan persoalan penting
yang berkaitan dengan pemahaman terhadap pengertian Bid’ah. Hal ini
dimaksudkan agar semakin jelas duduk persoalannya dan memudahkan untuk melacak
di mana letak kemusykilannya, sehingga kesimpangsiuran perbedaan pendapat
selama ini dengan sendirinya akan hilang. Insya Allah.
Sebenarnya orang yang paling berhak
berbicara merumuskan makna Bid’ah adalah Rasulullah saw, si Pembuat
Syari’at yang sangat bijaksana, di mana ucapannya adalah ucapan syari’at,
pemahaman dan pembicaraannya pun tentu saja berdasarkan pertimbangan syar’iy.
Jika sekarang Anda sudah tahu bahwa yang disebut “Bid’ah” pada
prinsipnya adalah segala sesuatu yang diada-adakan, dibuat-buat dan diciptakan
atas dasar tidak ada padanan dan dalilnya dalam nash Al-Qur’an dan hadis Nabi,
tentu Anda masih ingat, bahwa yang dimaksud dengan mengada-adakan sesuatu
yang baru sebagai tambahan syariat yang sangat dicela oleh agama adalah sesuatu
yang berkaitan dengan urusan agama, agar ia menjadi bagian dari syari’at
agama itu sendiri, serta dinisbatkan kepada Pemilik Syari’at. Pemahaman
semacam ini sesuai dengan apa yang dikhawatirkan Rasulullah saw dalam sabdanya
:
مَنْ اَحْدَثَ فِى
اَمْرِنَا هَـذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ
“Barangsiapa yang mengada-adakan
dalam perkara Agama kami ini sesuatu yang bukan termasuk bagian dari agama,
maka tertolak lah ia”.
Ringkas kata. Menurut hadis di atas,
bahwa sesuatu yang menjadi “garis pemisah” antara mengada-adakan sesuatu
baru yang ditolak dan yang diterima, atau antara bid’ah yang sesat dan yang
tidak sesat, adalah teks hadis : فِيْ اَمْرِنَا هَذَا ,“dalam
perkaran Agama kami ini (Islam)”.
Mengenai pembagian Bid’ah yang
kami tetapkan, yakni “bid’ah sayyiah” dan “bid’ah hasanah”,
menurut pemahaman kami adalah sekedar pembagian bid’ah secara “lughawy”
(etimologis, bahasa), bukan secara “syar’iy” dan terlepas sama sekali
dari keterkaitannya dengan mengada-adakan sesuatu baru dalam perkara agama.
Kami tidak meragukan sama sekali, bahwa segala bentuk bid’ah dalam pengertian “syar’iy”
adalah sesat, akan menimbulkan fitnah, serta dicela, ditolak dan dibenci oleh
Agama Islam. Sekiranya mereka yang ingkar tersebut memahami secara benar
pengertian “Bid’ah” di atas, tentu tidak akan terjadi lagi pertentangan
di kalangan kaum muslimin seperti sekarang ini, dan pertentangan tersebut akan
mudah didamaikan. Insya Allah.
Perlu kami tegaskan di sini, demi
mendekatkan, mempertemukan dan mendamaikan berbagai faham-faham di atas, bahwa
mereka yang menolak dan mengingkari pembagian istilah “Bid’ah” semacam
ini sebenarnya hanya mengingkari adanya pembagian istilah bid’ah secara “syar’iy”.
Hal ini jelas ditunjukkan dari sikap mereka yang membagi pengertian bid’ah
kedalam “bid’ah diniyyah” dan “bid’ah dunyawiyah”. Walaupun
pembagian tersebut mereka lakukan lebih disebabkan oleh keterpaksaan yang
mengharuskan mereka untuk mendefinisikan ulang dan membuat pembagian semacam
itu.
Orang-orang yang membagi Bid’ah kedalam
bid’ah hasanah dan bid’ah sayyiah memandang bahwa pembagian
semacam itu hanya sekedar pembagian secara “lughawy” , bukan secara “syar’iy”,
dengan alasan bahwa mengada-adakan dan membuat-buat tambahan baru dalam syariat
adalah sangat buruk dan sesat. Dengan demikian, perbedaan pendapatnya hanya
bersifat formalistik.
Senada dengan pandangan di atas, kami
berpendapat bahwa teman-teman kita yang menentang dan menolak pembagian bid’ah
hasanah dan sayyiah, kemudian mereka melakukan pembagian
bid’ah sendiri kedalam bid’ah diniyyah dan bid’ah dunyawiyyah, sebenarnya
tidak mendapatkan keuntungan dari kedalaman interpretasinya itu. Karena pada
saat mereka merumuskan bahwa bid’ah diniyyah adalah sesat, sedangkan bid’ah
dunyawiyyah tidak sesat dan boleh-boleh saja dilakukan, mereka
benar-benar menetapkan rumusan yang buruk, disebabkan bahwa mereka berarti
telah mengidentikkan setiap bid’ah dunyawiyyah dengan kebolehan.
Ketetapan mereka semacam ini sangat berbahaya, akan menimbulkan fitnah dan
musibah. Seharusnya ketika itu mereka terlebih dahulu memerinci dan
membuat klasifikasi bahwa bid’ah dunyawiyyah itu ada yang baik (hasanah)
dan ada yang buruk (sayyiah). Perincian semacam itu akan sesuai dengan
kenyataan yang terjadi dan tidak dapat diingkari, kecuali oleh orang-orang yang
buta dan bodoh lagi dungu.
Kesimpulan yang dapat kita rumuskan di
sini adalah hahwa pembagian pengertian “bid’ah” kedalam bid’ah
hasanah dan bid’ah sayyiah adalah sekedar pembagian secara “lughawy”,
yakni suatu pembagian yang ditafsirkan oleh orang-orang yang mengingkarinya
sebagai bagian dari kategori bid’ah dunyawiyyah. Pendapat berikut ini
merupakan puncak dari ketelitian dan kehati-hatian, yaitu yang memandang bahwa
setiap sesuatu yang baru hendaknya patuh kepada tata aturan hukum syar’iyyah.
Kaum muslim setiap kali membuat-buat sesuatu baru yang yang berkaitan dengan
urusan keduniawian, baik yang bersifat umum maupun khusus, dan apapun bentuknya
(hasanah atau sayyiah), dimana urusan tersebut yang belum pernah
terjadi di masa Rasulullah saw, seharusnya mereka mengembalikan, menggiring dan
mencari dasar-dasarnya dari hukum syar’iyyah. Namun demikian, hal ini tidak
akan mungkin terwujud kecuali bila dilakukan oleh para ulama yang ahli di
bidang ushul.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar