Tampilkan postingan dengan label sesat. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label sesat. Tampilkan semua postingan

Rabu, 15 Mei 2013

PYPD - 12. Bid'ah Syar'iyyah dan Bid'ah Lughawiyah



Pake Peci, Bid'ah nggak?

Sebagian orang mengecam adanya pembagian Bid’ah Hasanah dan Bid’ah Sayyiah disertai pengingkarannya terhadap orang yang melakukan pembagian tersebut. Bahkan ada yang berani menuduhnya fasiq dan sesat, dengan alasan karena bertentangan dengan sabda Rasulullah saw :
كُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ
Setiap Bid’ah adalah sesat
Secara umum, teks hadis tersebut sudah jelas, yakni menjelaskan bahwa setiap Bid’ah adalah sesat. Dari sini, Anda akan menyaksikan komentar orang, “Apakah dapat dibenarkan, setelah Rasulullah saw mengatakan bahwa setiap bid’ah adalah sesat, lalu ada mujtahid atau ahli fikih yang lebih rendah tingkatannya bila dibanding dengan kedudukan Rasulullah saw selaku Pemilik Syari’at, berkata: “Tidak…! Tidak begitu maksudnya… ! Tidak setiap bid’ah itu sesat, akan tetapi bid’ah itu ada yang sesat, ada yang hasanah (baik), dan ada yang sayyiah (buruk)…”.


Banyak orang yang terpedaya dengan propaganda mereka tersebut, lalu tertarik dan ikut-ikutan menolak konsep pembagian Bid’ah “Hasanah” dan “Sayyiah”. Padahal sebagian besar mereka tidak paham terhadap maksud dan tujuan syariat itu sendiri. Bahkan mereka belum pernah merasakan manisnya ruh Islam. Mereka kemudian mengalami kesulitan sendiri sewaktu tengah memecahkan problem kehidupan yang dirasa tidak sesuai dengan apa yang mereka kehendaki, yaitu yang menyatakan bahwa segala sesuatu yang tidak ada padanannya dan tidak ditemukan dalilnya dalam sunnah Rasulullah saw adalah suatu perbuatan “Bid’ah”, termasuk juga misalnya dalam soal tata cara makan, minum, berpakaian, bergaul di tengah masyarakat dan keluarga, sementara yang namanya bid’ah adalah sesat. Untuk keluar dari lingkaran syetan tersebut, mereka lalu terpaksa mendefinisikan ulang tentang pengertian “Bid’ah” dan membaginya menjadi dua macam : 1) Bid’ah Diniyyah, yakni  bid’ah yang berkaitan dengan prilaku hidup dalam beragama, dan 2) Bid’ah Dunyawiyyah, yakni bid’ah yang berkaitan dengan urusan kehidupan duniawi.
Subhanallah ! Mereka mencela dan memaki orang yang mengatakan: “Tidak setiap bid’ah itu sesat. Akan tetapi bid’ah itu ada yang Hasanah (baik) dan ada yang Sayyiah (buruk)”. Namun di sisi lain, mereka membuat-buat sesuatu yang baru, yaitu secara terang-terangan membagi  pengertian “Bid’ah” kedalam “bid’ah diniyyah” dan “bid’ah dunyawiyyah”. Atau paling tidak mereka jelas-jelas telah “menciptakan” istilah baru dalam agama.


Menurut pemahaman kami, istilah “Bid’ah” sudah ada sejak masa tasyri’ nabawy, yakni periode awal pembentukan syari’at, periode Rasulullah saw masih hidup. Hanya saja, istilah baru “Bid’ah Diniyyah” dan “Bid’ah Dunyawiyyah” yang mereka ciptakan itu, secara qath’iy, tidak pernah ada pada awal periode tersebut. Yang menjadi persoalan sekarang adalah, dari mana asal usul pembagian bid’ah semacam itu ? Dan dari mana asal usul istilah baru tersebut ?

Kalau mereka mengatakan bahwa pembagian bid’ah kedalam bid’ah Hasanah dan Sayyiah adalah tidak berasal dari Pembuat Syari’at, yakni Rasulullah saw, maka demikian juga pembagian bid’ah sebagaimana yang mereka, yakni bid’ah Diniyyah yang dilarang atau tidak diterima,  dan bid’ah Dunyawiyyah yang diperbolehkan atau diterima. Karena pembagian semacam itu, pada hakekatnya,  secara otomatis termasuk perbuatan Bid’ah itu sendiri. Bukankah yang dinamakan Bid’ah adalah mengada-adakan sesuatu hal yang baru ? Salah satu contohnya adalah mengada-adakan istilah baru (“bid’ah diniyyah” dan “dunyawiyyah”) dalam persoalan agama.

Bid'ah Dunyawiyah : Raja Saudi dan Inggris menjalin persahabatan.
Rasulullah saw bersabda, “Setiap bid’ah adalah sesat”. Tanpa kecuali, segala bentuk bid’ah apa saja, semuanya adalah sesat. Dengan demikian, mereka yang membagi pengertian bid’ah kedalam bid’ah diniyyah dan bid’ah dunyawiyyah pun juga sesat.
Kami perlu menjelaskan persoalan penting yang berkaitan dengan pemahaman terhadap pengertian Bid’ah. Hal ini dimaksudkan agar semakin jelas duduk persoalannya dan memudahkan untuk melacak di mana letak kemusykilannya, sehingga kesimpangsiuran perbedaan pendapat selama ini dengan sendirinya akan hilang. Insya Allah.
 
Sebenarnya orang yang paling berhak berbicara merumuskan makna Bid’ah adalah Rasulullah saw, si Pembuat Syari’at yang sangat bijaksana, di mana ucapannya adalah ucapan syari’at, pemahaman dan pembicaraannya pun tentu saja berdasarkan pertimbangan syar’iy. Jika sekarang Anda sudah tahu bahwa yang disebut “Bid’ah” pada prinsipnya adalah segala sesuatu yang diada-adakan, dibuat-buat dan diciptakan atas dasar tidak ada padanan dan dalilnya dalam nash Al-Qur’an dan hadis Nabi, tentu Anda masih ingat, bahwa yang dimaksud dengan mengada-adakan sesuatu yang baru sebagai tambahan syariat yang sangat dicela oleh agama adalah sesuatu yang berkaitan dengan urusan agama, agar ia menjadi bagian dari syari’at agama itu sendiri, serta dinisbatkan kepada Pemilik Syari’at. Pemahaman semacam ini sesuai dengan apa yang dikhawatirkan Rasulullah saw dalam sabdanya :
مَنْ اَحْدَثَ فِى اَمْرِنَا هَـذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ
Barangsiapa yang mengada-adakan dalam perkara Agama kami ini sesuatu yang bukan termasuk bagian dari agama, maka tertolak lah ia”.
Ringkas kata. Menurut hadis di atas, bahwa sesuatu yang menjadi “garis pemisah” antara mengada-adakan sesuatu baru yang ditolak dan yang diterima, atau antara bid’ah yang sesat dan yang tidak sesat, adalah teks hadis : فِيْ اَمْرِنَا هَذَا  ,“dalam perkaran Agama kami ini (Islam)”.

Mengenai pembagian Bid’ah yang kami tetapkan, yakni “bid’ah sayyiah” dan “bid’ah hasanah”, menurut pemahaman kami adalah sekedar pembagian bid’ah secara “lughawy” (etimologis, bahasa), bukan secara “syar’iy” dan terlepas sama sekali dari keterkaitannya dengan mengada-adakan sesuatu baru dalam perkara agama. Kami tidak meragukan sama sekali, bahwa segala bentuk bid’ah dalam pengertian “syar’iy” adalah sesat, akan menimbulkan fitnah, serta dicela, ditolak dan dibenci oleh Agama Islam. Sekiranya mereka yang ingkar tersebut memahami secara benar pengertian “Bid’ah” di atas, tentu tidak akan terjadi lagi pertentangan di kalangan kaum muslimin seperti sekarang ini, dan pertentangan tersebut akan mudah didamaikan. Insya Allah.

Perlu kami tegaskan di sini, demi mendekatkan, mempertemukan dan mendamaikan berbagai faham-faham di atas, bahwa mereka yang menolak dan mengingkari pembagian istilah “Bid’ah” semacam ini sebenarnya hanya mengingkari adanya pembagian istilah bid’ah secara “syar’iy”. Hal ini jelas ditunjukkan dari sikap mereka yang membagi pengertian bid’ah kedalam “bid’ah diniyyah” dan “bid’ah dunyawiyah”. Walaupun pembagian tersebut mereka lakukan lebih disebabkan oleh keterpaksaan yang mengharuskan mereka untuk mendefinisikan ulang dan membuat pembagian semacam itu.
Orang-orang yang membagi Bid’ah kedalam bid’ah hasanah dan bid’ah sayyiah memandang bahwa pembagian semacam itu hanya sekedar pembagian secara “lughawy” , bukan secara “syar’iy”, dengan alasan bahwa mengada-adakan dan membuat-buat tambahan baru dalam syariat adalah sangat buruk dan sesat. Dengan demikian, perbedaan pendapatnya hanya bersifat formalistik.

Senada dengan pandangan di atas, kami berpendapat bahwa teman-teman kita yang menentang dan menolak pembagian bid’ah hasanah dan sayyiah, kemudian mereka melakukan pembagian bid’ah sendiri kedalam bid’ah diniyyah dan bid’ah dunyawiyyah, sebenarnya tidak mendapatkan keuntungan dari kedalaman interpretasinya itu. Karena pada saat mereka merumuskan bahwa bid’ah diniyyah adalah sesat, sedangkan bid’ah dunyawiyyah tidak sesat dan boleh-boleh saja dilakukan,  mereka benar-benar menetapkan rumusan yang buruk, disebabkan bahwa mereka berarti telah mengidentikkan setiap bid’ah dunyawiyyah dengan kebolehan. Ketetapan mereka semacam ini sangat berbahaya, akan menimbulkan fitnah dan musibah. Seharusnya ketika itu mereka terlebih dahulu memerinci dan  membuat klasifikasi bahwa bid’ah dunyawiyyah itu ada yang baik (hasanah) dan ada yang buruk (sayyiah). Perincian semacam itu akan sesuai dengan kenyataan yang terjadi dan tidak dapat diingkari, kecuali oleh orang-orang yang buta dan bodoh lagi dungu.

Kesimpulan yang dapat kita rumuskan di sini adalah hahwa pembagian pengertian “bid’ah” kedalam bid’ah hasanah dan bid’ah sayyiah adalah sekedar pembagian secaralughawy”, yakni suatu pembagian yang ditafsirkan oleh orang-orang yang mengingkarinya sebagai bagian dari kategori bid’ah dunyawiyyah. Pendapat berikut ini merupakan puncak dari ketelitian dan kehati-hatian, yaitu yang memandang bahwa setiap sesuatu yang baru hendaknya patuh kepada tata aturan hukum syar’iyyah. Kaum muslim setiap kali membuat-buat sesuatu baru yang yang berkaitan dengan urusan keduniawian, baik yang bersifat umum maupun khusus, dan apapun bentuknya (hasanah atau sayyiah), dimana urusan tersebut yang belum pernah terjadi di masa Rasulullah saw, seharusnya mereka mengembalikan, menggiring dan mencari dasar-dasarnya dari hukum syar’iyyah. Namun demikian, hal ini tidak akan mungkin terwujud kecuali bila dilakukan oleh para ulama yang ahli di bidang ushul.

Selasa, 14 Mei 2013

PYPD - 11. Pemahaman tentang Pengertian Bid'ah





Ada sekelompok orang yang tidak diketahui asal usulnya telah menyatakan diri sebagai kelompok pengikut Salafus Shalih. Mereka lalu mengajak orang lain untuk kembali kepada ajaran salaf disertai dengan serangan-serangan yang dungu, fanatisme buta, berakal tumpul dan berdada sempit. Mereka menyerang apa saja yang dianggapnya “baru”, dan mengingkari semua “kreasi” yang bermanfaat dengan tuduhan Bad’ah, sementara semua Bid’ah adalah sesat, katanya.  Mereka mengatakan demikian itu tanpa disertai pemilahan terlebih dahulu terhadap berbagai macam pengertian  Bid’ah . Padahal ruh Islam meniscayakan adanya pemilahan dan pembedaan berbagai macam pengertian Bid’ah tersebut.

Menurut kami (Sayyid Muhammad Alawi Abbas Al-Maliky Al-Hasany), Bid’ah itu ada yang dikategorikan Bid’ah Hasanah (bid’ah yang baik) dan ada yang Bid’ah Sayyi-ah (bid’ah yang jelek). Pembagian   Bid’ah semacam ini didasarkan oleh pertimbangan akal yang sehat dan pandangan yang jernih. Juga dikuatkan dengan pendapat para Ulama Ushul dari generasi Salafus Shalih, seperti imam Al-‘Izzuddin Abdussalam, imam An-Nawawi, imam As-Suyuthi, imam Jalaluddin al-Mahalli dan imam Ibnu Hajar al-Asqalani. 

Sebagian hadis-hadis Nabi memang perlu ditafsirkan dan dikaitkan dengan sebagian hadis-hadis Nabi yang lain. Tentu saja hal ini memerlukan analisa yang utuh dan menyeluruh, serta diperlukan adanya interpretasi berdasarkan ruh syariat  dan pemahaman yang disepakati oleh para pakar dan ulama yang ahli di bidangnya. Atas dasar pandangan ini, kami telah menemukan sebagian besar hadis nabawi yang memerlukan interpretasi teresebut, yang dapat diterima oleh akal sehat, wawasan luas dan pikiran cerdas, disertai dengan analisa yang tajam dan sesuai dengan lubuk hati nurani, yang diambil dari lautan syariat yang dalam, sesuai dengan batasan-batasan yang ditetapkan oleh qaidah syar'iyyah, serta sesuai dengan makna kandungan nash-nash Al-Qur’an dan Hadis Nabi.
Misalnya hadis Nabi yang berbunyi :

كُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ
Artinya: “Setiap Bid’ah adalah sesat”.

Hadis tersebut harus ditafsirkan bahwa yang dimaksud dengan istilah Bid’ah dalam hadis di atas adalah “Bid’ah Sayyi-ah” (Bid’ah yang buruk) yang telah keluar dari prinsip-prinsip ajaran Islam.

Pembatasan makna seperti di atas juga terjadi pada hadis-hadis Nabi yang lain, seperti : 

لاَ صَلاَةَ لِجَارِ الْمَسْجِدِ اِلاَّ فِى الْمَسْجِدِ
Artinya: “Tiada shalat bagi penduduk yang tinggal di sekitar masjid, kecuali dilakukan di masjid

Ditafsirkan : “Tidak sempurna shalat bagi penduduk yang tinggal di sekitar masjid, kecuali dilakukan di masjid”. 

لاَ صَلاَةَ بِحَضْرَةِ الطَّـعَامِ
Dapat ditafsirkan : “Tidak sempurna shalat seseorang disebabkan tersajinya makanan”.

لاَ يُؤْمِنُ اَحَدُكُمْ حَتَّى يُحِبَّ  لاَخِيْهِ مَا يُحِبُّ لِنَفْسِهِ
Dapat ditafsirkan : “Tidak sempurna iman seseorang di antara kalian, sehingga ia mencintai saudaranya seperti ia mencintai dirinya sendiri”.

Demikian pula hadis-hadis yang lain seperti, “Tidak masuk surga tukang fitnah”; “Tidak masuk surga orang yang memutus tali persaudaraan…”;  “Tidak masuk surga orang yang durhaka kepada kedua orang tuanya”.  Para ulama memberikan tafsiran, bahwa yang dimaksud dengan ungkapan “Tidak masuk surga” adalah Tidak masuk surga sejak pertama kali, atau tidak akan masuk surga jika seseorang kedapatan telah melakukan hal-hal tersebut (memfitnah, memutus tali persaudaraan, durhakan pada kedua orang tua, dll).

Ingat bahwa yang dimaksud dengan “mengadakan-adakan sesuatu baru” sebagai tambahan dalam syari’at yang sangat dicela oleh agama adalah “sesuatu baru” yang berkaitan dengan persoalan Agama dan diharapkan menjadi bagian tak terpisahkan.
Maulidur Rasul & Sholawatan  tidaklah bid'ah
Ringkas kata, para ulama tidak mengartikan hadis-hadis tersebut secara harfiah atau tekstual semata, akan tetapi mereka menggunakan berbagai ragam interpretasi dan penakwilan. Mereka juga melakukan penakwilan terhadap hadis yang menjelaskan persoalan Bid’ah. Menurut mereka, berdasarkan keumuman lafazh Bid’ah dan mengaitkannya dengan perilaku sahabat Nabi saw, maka mengarah pada suatu pemahaman bahwa yang dimaksud dengan istilah “Bid’ah” adalah “Bid’ah Sayyiah” (bid’ah yang buruk) yang tidak ditemukan asal usulnya dalam syariat Islam.

Dalam sebuah hadis dikatakan, “Barangsiapa yang berprilaku baik, maka ia akan diberi pahala disebabkan prilaku baiknya itu, dan ia akan diberi pahala lagi disebabkan karena ada orang lain yang meniru prilaku baiknya itu sampai hari kiamat”.

Hadis yang lain menjelaskan, “Kalian harus berpegang pada sunnahku dan sunnahnya (prilakunya) para sahabat Khulafaurrasyidin”.

Umar bin Khatthab pernah menyatakan tentang status shalat Tarawih, Sebaik-baik bid’ah adalah (shalat Tarawih) yang aku lakukan ini”.