Tampilkan postingan dengan label kultus individu. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label kultus individu. Tampilkan semua postingan

Kamis, 18 Juli 2013

PYPD - 31. NABI SAW BERSABDA : "JANGAN KAU KULTUSKAN AKU" *)



Oleh Sayyid Muhammad Alawi Al-Maliki


Rasulullah saw bersabda :

لاَ تُـطْـرُونِـيْ كَـمَا أطْـرَتْ النّـصَارَى عِـيْسَى ابْنَ مَـرْيَـمَ
Jangan kau kultuskan aku, sebagaimana yang pernah dilakukan oleh kaum nasrani kepada Nabi Isa bin Maryam”

Sebagian orang memahami sabda Rasulullah saw di atas sebagai bentuk larangan untuk memuji, memuliakan dan menyanjung Rasulullah saw. Penghormatan seperti itu mereka anggap sebagai wujud pengkultusan, pendewa-dewaan atau penyanjungan secara berlebihan, yang dapat menyebabkan pelakunya terjerumus kedalam jurang  kesyirikan. Demikian pula sikap meninggikan, mengagungkan dan memberi sifat kepada Rasulullah saw dengan sifat-sifat istimewa melebihi yang lain, mereka anggap sebagai perbuatan Bid’ah dan menyalahi Sunnah Nabi.

Pemahaman semacam itu tidak proporsional dan tidak sepantasnya mereka lakukan, bahkan menunjukkan kekerdilan pandangan mereka. Karena yang dilarang Rasulullah saw didalam sabdanya di atas adalah pengkultusan dan pendewa-dewaan seperti yang dilakukan kaum Nasrani kepada Nabi Isa bin Maryam, yakni mengkultuskannya sebagai Putra Allah. Dengan kata lain, orang yang mengkultuskan Rasulullah saw dan memberinya dengan sifat-sifat tertentu sama seperti yang dilakukan kaum Nasrani kepada Nabi Isa as, berarti ia sama dengan mereka. Sikap dan tindakan itulah yang sebenarnya dilarang Rasulullah saw.

 Mengenai orang yang memuji, menyanjung dan memberi sifat-sifat yang tidak keluar dari hakekat kemanussian kepada Rasulullah saw, disertai dengan suatu keyakinan bahwa beliau adalah seorang hamba dan utusan Allah swt, serta jauh dari pemahaman akidah kaum Nasrani, maka hal semacam itu boleh-boleh saja dilakukan, dan bahkan menunjukkan  kesempurnaan ketauhidannya.

Allah swt menyatakan sanjungan-Nya kepada Rasulullah saw :

وَإِنَّكَ لَعَلى خُلُقٍ عَظِيمٍ(4)
Dan sesungguhnya kamu benar-benar berbudi pekerti yang agung.” (QS Al-Qalam,[68] : 4)

Allah swt memerintahkan agar bersikap sopan kepada Rasulullah saw sewaktu berbicara dan menjawan pertanyaannya :

(1)يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا لَا تَرْفَعُوا أَصْوَاتَكُمْ فَوْقَ صَوْتِ النَّبِيِّ وَلَا تَجْهَرُوا لَهُ بِالْقَوْلِ كَجَهْرِ بَعْضِكُمْ لِبَعْضٍ أَنْ تَحْبَطَ أَعْمَالُكُمْ وَأَنْتُمْ لَا تَشْعُرُونَ(2)

Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu meninggikan suaramu lebih dari suara Nabi, dan janganlah kamu berkata kepadanya dengan suara keras sebagaimana kerasnya (suara) sebahagian kamu terhadap sebahagian yang lain, supaya tidak hapus (pahala) amalanmu sedangkan kamu tidak menyadari.” (QS Al-Hujurat [  ]: 2)

Allah swt melarang kita memperlakukan Rasulullah saw seperti layaknya memperlakukan seorang teman, atau memanggilnya seperti layaknya memanggil sesama teman :

لَا تَجْعَلُوا دُعَاءَ الرَّسُولِ بَيْنَكُمْ كَدُعَاءِ بَعْضِكُمْ بَعْضًا

“Janganlah kamu jadikan panggilan Rasul di antara kamu seperti panggilan sebahagian kamu kepada sebahagian (yang lain)” (QS An-Nur,[24] : 63).

Para sahabat sangat memuliakan dan memuji Rasulullah saw sebagaimana yang mereka nyatakan didalam bait-bait syairnya, misalnya yang dilakukan oleh Hissan bin Tsabit, Shafiyyah binti Abdulmutthalib, Ka’ab bin Zuhair, dan lain-lain. Bahkan Rasulullah saw sendiri pun pernah memuji dirinya dalam beberapa sabdanya, seperti :

أنَـا خَـيْرُ أصْحَابِ الـيَمِـيْنِ
“Aku adalah sebaik-baik golongan kanan”

أنَـا خَـيْرُ السَّـا بِـقِيْنَ
“Aku adalah sebaik-baik orang yang terdahulu (masuk surga)”.

أنَا أتْـقَى وَلَدِ أدَمَ وَ أكْـرَمُهُمْ عَلَى اللّـهِ, وَ لاَ فَخْـرَ
“Aku adalah orang yang paling bertakwa dari sekalian manusia dan paling mulia di antara mereka di sisi Allah swt. Tiada kebanggaan sedikit pun” (HR At-Thabrany dan Al-Baihaqy)

أنَـا أكْـرَمُ الاَوَّلِـيْنَ وَ الآخِـرِيْنَ وَ لاَ فَـخْرَ
Aku adalah yang termulia dari sekalian orang-orang terdahulu dan yang terkemudian. Tiada kebanggaan sedikit pun” (HR At-Thabrany dan Ad-Darimy).

Malaikat Jibril pernah mengatakan: “Selama bolak balik berkeliling dunia, mulai dari ujung timur sampai ujung barat, aku belum pernah melihat seseorang yang lebih mulia melebihi kemuliaan Muhammad dan belum pernah melihat anak keturunan seorang manusia yang lebih utama melebihi keturunan Bani Hasyim”. (HR Al-Baihaqy dan Abu Na’im, dari Aisyah)

 Dalam riwayat Abu Sa’id dituturkan, bahwa Rasulullah saw pernah bersabda : “Aku adalah Sayyid (junjungan, pemuka) anak keturunan Adam pada hari kiamat nanti. Dan di tanganku lah panji pujian. Ini bukan kebanggaan. Tiada seorang Nabi pun, melainkan mereka berada didalam panjiku. Akulah orang yang pertama kali menghirup udara bumi”.

Rasulullah saw bersabda : “Aku adalah orang yang paling mulia dari sekalian manusia di hadapan Allah swt. Seribu pelayan mengelilingiku. Mereka bagaikan mutiara yang berserakan”. (HR At-Tirmidzy dan Ad-Darimy).



_________________________________________________



*) Sumber : Diambil dari salah satu bagian dari kitab :
Judul Asli
: مفـاهـيم يجب أن تـصحح
Penulis
: Prof. DR. Sayyid Muhammad Alawi Al-Maliki
Alih Bahasa
: Achmad Suchaimi
Judul Terjemahan
: Pemahaman Yang Perlu Diluruskan (PYPD)






Kamis, 09 Mei 2013

PYPD - 4. Menyadari Posisi Khaliq dan Makhluk, pemisah kekafiran dan keimanan




Sesungguhnya kedudukan Khalik dan makhluk merupakan suatu batas pemisah antara kekafiran dan keimanan. Kami beri’tikad bahwa orang yang mencampuradukkan antara kedua kedudukan tersebut adalah benar-benar kafir. Semoga Allah swt melindunga kita.

Setiap Maqam (kedudukan) atau posisi tersebut memiliki hak-hak secara spesifik. Namun di situ terdapat beberapa persoalan yang dikembalikan kedalam bab ini, khususnya persoalan yang berkaitan dengan Nabi Muhammad saw dan kekhususan-kekhususannya yang menyebabkan beliau menjadi teristimewa, berbeda dan lebih tinggi derajatnya dari sekalian manusia pada umumnya. Persoalan ini kadang menjadi Tasyabbuh (jumbuh, samar) pada sebagian orang, disebabkan keterbatasan akal, kelemahan pemikiran, kesempitan wawasan, dan keburukan pemahaman mereka, lalu mereka serta merta mengkafirkan pelakunya dan mengeluarkannya dari Islam. Mereka mendasarkan diri pada suatu persangkaan bahwa didalamnya terdapat percampuran kedudukan  antara Khalik (Allah swt)  dan Makhluk (Rasulullah saw), dan dianggapnya telah mengangkat posisi Rasulullah saw ke posisi  Uluhiyah (Ketuhanan). Sesungguhnya kami berlepas diri dari pemahaman yang demikian itu.

Berkat anugerah dan karunia Allah swt, kami mengetahui apa yang menjadi Hak bagi Allah swt dan apa yang menjadi Hak bagi Rasulullah saw. Kami mengetahui apa yang secara murni merupakan hak Allah swt dan apa yang secara murni menjadi hak Rasulullah saw. Hal ini lepas dari niat untuk melebih-lebihkan dan mengkultuskan diri pribadi beliau saw sampai pada suatu batas di mana beliau saw secara khusus disifati dengan sifat-sifat rububiyyah dan uluhiyyah, yang sebenarnya keduanya hanya pantas dimiliki Allah swt. Di antara sifat-sifat tersebut adalah seperti adanya kemampuan mutlak untuk menolak bahaya; memberi rizki dan manfaat; memiliki kekuasaan dan kepenguasaan sempurna dan menyeluruh kepada semua makhluk; menguasai kerajaan dan mengatur jagad raya; memonopoli sifat kesempurnaan, keagungan dan kesucian; dan secara ekslusif menerima sesembahan dengan berbagai bentuk, keadaan dan tingkatan peribadatan.

Adapun yang dimaksud dengan sikap “berlebih-lebihan” adalah sikap keterlaluan dalam mencintai dan mentatati Rasulullah saw, melebih kecintaannya kepada Allah swt. Itulah makna yang dimaksud di dalam sebuah hadis Nabi :

لاَ  تـــَـطْــرُوْنــِـيْ كَـمَـا اَطْــرَتْ الــنـَّــصَـارَى  ابــْـنَ  مَـرْيـَـمَ

"Janganlah kalian menyanjung-nyanjungku, sebagaimana kaum nasrani menyanjung-nyanjung  (Isa) Putra Maryam".

 

Maksudnya, menyanjung-nyanjung, menghormat dan memuji-muji beliau saw dengan sanjungan yang dilakukan orang pada umumnya, bukan dalam pengertian pengkultusan (sikap mendewa-dewakan) seperti yang dilakukan kaum Nasrani kepada diri Nabiyullah Isa bin Maryam as, adalah suatu sikap yang terpuji. Sekiranya maknanya tidak demikian, tentulah yang dikehendaki hadis di atas secara prinsip adalah larangan secara mutlak menyanjung dan memuji beliau s aw. Namun yang jelas, hal itu tidak diucapkan oleh salah seorang dari kaum muslimin yang paling bodoh sekalipun. Karena Allah swt sendiri  telah mengagungkan pribadi Rasulullah saw dengan berbagai bentuk pengagungan tertinggi di dalam beberapa ayat Al-Qur’an, maka kita pun wajib mengagungkan “orang” yang telah diperintahkan Allah swt untuk diagungkan, yakni Nabi Muhammad saw .

ذَلِكَ وَمَنْ يُعَظِّمْ شَعَائِرَ اللَّهِ فَإِنَّهَا مِنْ تَقْوَى الْقُلُوبِ

Demikianlah (perintah Allah). Dan barangsiapa mengagungkan syi`ar-syi`ar Allah, maka sesungguhnya itu timbul dari ketakwaan hati.” (QS Al-Hajj,[22] : 32)

ذَلِكَ وَمَنْ يُعَظِّمْ حُرُمَاتِ اللَّهِ فَهُوَ خَيْرٌ لَهُ عِنْدَ رَبِّهِ

Demikianlah (perintah Allah). Dan barangsiapa mengagungkan apa-apa yang terhormat di sisi Allah maka itu adalah lebih baik baginya di sisi Tuhannya.”  (QS Al-Hajj,[22] : 30)

 

Di antara syi’ar-syi’ar dan sesuatu yang terhormat di sisi Allah swt  yang dijelaskan di dalam kedua ayat di atas adalah seperti Ka’bah, hajar aswad, dan maqam Ibrahim, yang kesemuanya itu berupa batu. Namun Allah swt memerintahkan kita agar mengagungkannya dengan cara melakukan thawaf mengelilingi Ka’bah, mengusap rukun yamani di pojok sebelah barat daya Ka’bah, mengecup Hajar aswad, melakukan shalat di belakang “maqam Ibrahim”, lalu berhenti sebentar untuk berdoa di dalam Hijir Isma’il,  di depan pintu Ka’bah, dan di Multazam, yakni suatu tempat di antara pintu Ka’bah dan Hajar Aswad. Pada saat melakukan yang demikian itu, kita tidak berniat untuk melakukan suatu peribadatan atau penyembahan, melainkan ditujukan hanya kepada Allah swt, dan kita tidak memiliki suatu keyakinan atau I’tiqad tentang adanya pengaruh mistis dan kekuatan supranatural lainnya dari batu-batu tersebut, di luar kekuatan Allah swt.