Tampilkan postingan dengan label aqidah. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label aqidah. Tampilkan semua postingan

Selasa, 14 Mei 2013

PYPD - 10. Waspadai Srigala Berbulu Domba



Srigala berbulu domba
Para propagandis, gerombolan "santri baru" Salafi-wahabi dan orang-orang yang kekanak-kanakan dalam mencari kebenaran sangat banyak jumlahnya. Sementara kebenaran yang mereka cari lepas dari tangan mereka dan tidak ada hubungannya dengannya sama sekali. Seorang penyair mengatakan, “Semua orang mengaku menjadi kekasih Laila. Namun Laila sendiri tidak pernah memperdulikan mereka”. Hal ini disebabkan karena mereka suka merekayasa, mengelabui suatu kebenaran dan membuat merah telinga orang yang mendengarnya. Karena itu, mereka lebih pantas dimasukkan kedalam kelompok “Pemakai Baju Palsu” atau "SRIGALA BERBULU DOMBA", sebagaimana yang digambarkan Rasulullah saw dalam salah satu sabdanya, “Orang yang pura-pura puas atau kenyang dengan apa yang belum ia peroleh, bagaikan seorang pemakai baju palsu”.

Kaum muslimin sering mendapatkan fitnahan, cobaan dan ujian dari mereka, disebabkan mereka selalu berusaha memperkeruh suasana, memecah belah persatuan umat dan mewariskan pertentangan atau permusuhan di antara sesama saudara muslim, atau antara anak dan bapaknya.
Dari pintu kedurhakaan, mereka masuk kedalam barisan umat Islam untuk ber-PURA-PURA membawa missi meluruskan pemahaman-pemahaman keislaman dan Seolah-olah menempuh cara atau metode salafus shalih. Sikap penuh“hikmah” (sikap bijaksana dalam berdakwah), nasehat yang baik, kelembutan dan kasih sayang, mereka ganti dengan sikap keras kepala, angkuh, su-ul adab (tidak bermoral) dan tidak mengenal sikap toleransi / tenggang rasa.

Kalau ini, babi berbulu domba
 Diantara mereka tersebut ada seseorang yang mengaitkan dirinya kedalam golongan kaum sufi. Padahal mereka jauh sama sekali dari hakekat dan inti ajaran tasawuf itu sendiri. Kemudian mereka berusaha merubah corak dan bentuk ajaran tasawuf. Mereka menodai kehormatan ajaran tasawuf, merusak jalan sejarahnya dan menyerangnya secara bertubi-tubi dan membabi-buta. Mereka mencaci para tokoh sufi,  para imam yang ‘Arif Billah, para syaikh, mursyid dan pendidik spiritual yang sejati.

Kita sebenarnya tidak mengenal dalam Kamus, bahwa Tasawuf adalah ajaran yang  penuh dengan  khurafat, kebatilan, dajjal dan kepalsuan. Kita tidak memandang Tasawwuf sebagai teori filsafat, hasil pemikiran asing, akidah syirik, ajaran pantheistik dan manunggaling kawula-gusti. Oleh karena itu, kami melepaskan diri dari semua pendapat dan tuduhan mereka. Kami memandang bahwa segala ajaran yang bertentangan dengan ajaran Al-Qur’an dan Hadis Nabawi, serta tidak menerima takwil (interpretasi/tafsir) adalah suatu kebohongan, atau barang selundupan yang dimasukkan oleh orang-orang (Salafi-Wahabi) yang lemah pikiran dan penuh dosa.

Sebaliknya, kita memandang Tasawwuf  sebagai Madrasah Ilmiah. Semua yang ada didalamnya, baik itu metode, sistem dan tata caranya, menggambarkan puncak tertinggi pemikiran Islam, serta  wajah peradaban dan idealisme kita yang paling sempurna. Tasawwuf menggambarkan kesempurnaan keimanan dan kesempurnaan dalam segi-segi kehidupan. Tasawwuf menggambarkan ketulusan dan kesucian dalam rangka mendekatkan diri kepada Tuhan. Tasawwuf adalah suatu kejujuran, amanah, menepati janji, mementingkan orang lain dan mengikis sifat egois, berani dalam mempertahankan kebenaran, dermawan, menolong yang lemah, membantu orang yang tertimpa kemalangan, bantu membantu dalam kebajikan dan ketakwaan, saling nasehat menasehati dalam rangka menegakkan kebenaran dan kesabaran, berlomba-lomba untuk melakukan kebajikan, dan semua perilaku yang tergambar dan terwujud dalam Akhlaqul Karimah.

Dengan perilaku dan akhlak yang harum lagi suci ini, maka tampillah pahlawan-pahlawan, para pemimpin dan para imam kaum muslimin pada generasi awal Islam. Sehingga nampak dengan jelas puncak kecemerlangan kepribadian Islam, kesempurnanan sifat, serta ketinggian dan kesucian karakter. Sebagaimana hal ini dilukiskan dalam sejarah kita tentang kemuliaan dan kebesaran Islam, kepemimpinan dan kegagungan Islam, semangat jihad dan kemenangannya, serta ketinggian peradaban Islam.

Dari sejarah ini pula, kita mengetahui dan memahami dengan seyakin-yakinnya bahwa kebangkitan umat Islam tidak akan tercipta melainkan selalu berdiri di atas Risalah-risalah spiritual Islam dan Inspirasi keimanan kaum muslimin. Kebangkitan tersebut juga tidak akan terjadi kecuali di atas fondasi Akhlaqul Karimah yang berakar dari Aqidah Islamiyah yang suci lagi bersih dari segala bentuk kesyirikan.



Sesungguhnya sifat, karakter, kepribadian, kejiwaan dan kekuatan spiritual merupakan modal suatu bangsa, modal utama membangun suatu bangsa dan mendorong mereka untuk meraih cita-cita yang tertinggi. Orang yang mengkaji sejarah perjalanan hidup kaum Salafus Shalih dan para pemimpin muslim yang arif bijaksana, tentu akan melihat bagaimana fondasi tersebut mampu menjadi penyebab langsung kebangkitan umat Islam yang sangat terkenal dalam sejarah itu. Bagi kaum muslimin, tidak sesuatu kekuatan yang mampu membangkitkan mereka selain keimanan dalam bentuknya paling tinggi, yakni keimanan yang hangat yang mampu membakar semangat, suatu keimanan yang hidup yang muncul dari rasa rindu dan cinta. Itulah keimanan yang tertancap dalam hati pemeluknya yang senantiasa menumbuhkan kehangatan dan semangat menuju kepada Allah swt. Itulah keimanan yang membuat kaum Salafus Sholih selalu hidup dalam Maqam Ihsan, di mana mereka selalu merasa seakan-akan menayaksikan Allah swt didalam segala sesuatu dan merasa bahwa Allah swt selalu mengawasi gerak-gerik mereka, bahkan mengawasi dalam setiap tarikan nafas dan denyut jantungnya. Bukan Ihsan dalam pengertian Hulul dan Ittihad (pantheistik, manunggaling kawula-gusti) serta Ilhad (atheistik, peniadaan Tuhan). Dan itulah keimanan yang mampu membangkitkan keadaran yang menyeluruh dalam kehidupan mereka. Suatu keimanan yang mampu memberikan kepekaan yang mendalam terhadap makna Ketuhanan yang berlaku di alam raya, yang hidup di bawah alam bawah sadar, yang mengetahui apa yang terlintas dalam hati, yang senantiasa mendengar bisikan terhalus lagi tersembunyi di dalam dada.




PYPD-2. Syekh Muhammad bin Abdul Wahab Biangkeladi Pengkafiran...???



 
Muhammad bin Abdul Wahhab, Pendiri sekte Wahhabiyah

  Posisi syaikh Abdul Wahhab dalam persoalan ini sangat penting. Sebagian besar orang yang mengaku dan dan mengklaim dirinya sebagai pengikut beliau terkadang memandangnya secara salah, lalu dengan mengatasnamakan beliau mereka seenaknya melontarkan tuduhan kafir kepada setiap orang yang menyalahi atau menolak metode dan sistim pemikiran mereka. Demikian inilah syaikh Abdul Wahhab – pelatak dasar-dasar madzhab Wahhabiyah – yang sangat menolak setiap lontaran kejengkelan dan fitnah yang diatasnamakan beliau, kemudian beliau menyanggahnya dalam “Risalah”-nya yang khusus ditulis dan ditujukan kepada orang-orang yang lemah pikirannya tersebut.

Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab mengatakan, “Tidak perlu disembunyikan kepada kalian, bahwa aku pernah menerima surat dari Sulaiman bin Sahim, sebagaimana yang pernah aku sampaikan kepada kalian dan telah dibenarkan oleh sebagian lembaga keilmuan. Allah swt mengetahui bahwa seseorang telah merekayasa sesuatu persoalan atas namaku, padahal aku belum pernah mengatakannya, lagi pula sebagian persoalan tersebut belum pernah terbayangkan sebelumnya dalam angan-anganku. Di antara rekayasanya: Aku dituduh mendustakan dan menolak kitab-kitab para ulama dari kalangan madzhab empat; aku dibilangnya pernah mengatakan bahwa kaum muslimin sejak enam ratus tahun yang lalu tidak bermadzhab atau tidak berdiri di atas suatu madzhab tertentu; aku dikatakannya telah mengaku-aku berijtihad sendiri dan keluar dari belenggu taqlid; aku dituduhnya pernah mengatakan bahwa sesungguhnya perbedaan pendapat di kalangan para ulama dapat menyebabkan datangnya kemarahan Tuhan; aku dibilang telah mengkafirkan orang yang bertawassul kepada para auliya’us-shalihin; aku dibilangnya telah mengkafirkan syaikh Al-Busyiri lantaran ucapannya “Ya Akromal Khalqi…” (Wahai makhluk yang termulia…, yakni diri  Nabi Muhammad saw );  aku dibilangnya pernah mengatakan bahwa ‘sekiranya mampu merobohkan Qubbatul Khadhra’ (Kubah Hijau) di masjid Nabawi, tentu sudah aku robohkan. Dan sekiranya nampu menguasai Ka’bah, tentu akan aku ambil talang emas-nya lalu aku ganti dengan talang kayu”;  aku dituduh mengharamkan orang menziarahi makam Rasulullah saw  dan menolak menziarahi makam  kedua orang tuaku serta makam kaum muslimin lainnya; aku dibilang telah mengkafirkan orang yang bersumpah dengan memakai nama selain Allah; aku dibilang mengkafirkan syaikh Ibnu al-Farid dan Ibnu Araby; aku dikatakan telah membakar kitab Dala-ilul khairat dan kitab Raudh al-Rayahin, lalu aku ganti dengan judul Raudh asy-Syayathin. Kesmua tuduhan dan rekayasa mereka tersebut hanya aku tanggapi dengan ucapan : Sub-haanaka haadzaa buhtaanun ‘azhiim, Maha Suci Engkau Ya Allah, ini dusta besar” (QS An-Nur, [24] : 16) 

Jauh sebelum itu, pernah ada orang yang membuat-buat kedustaan terhadap diri pribadi Rasulullah saw, bahwa beliau dikatakan orang pernah mencaci maki Nabi Isa as dan kaum shalihin jaman dahulu. Hati mereka benar-benar penuh dengan kebohongan dan kedustaan. Allah swt berfirman  :

إِنَّمَا يَفْتَرِي الْكَذِبَ الَّذِينَ لَا يُؤْمِنُونَ بِآيَاتِ اللَّهِ وَأُولَئِكَ هُمُ الْكَاذِبُونَ

 “Sesungguhnya yang mengada-adakan kebohongan, hanyalah orang-orang yang tidak beriman kepada ayat-ayat Allah, dan mereka itulah orang-orang pendusta”. (QS An-Nahl, [16] : 105 ).

  Mereka melontarkan tuduhan bahwa beliau saw pernah mengatakan, “Sesungguhnya para malaikat, Nabi Isa as dan Nabi Uzair berada di neraka”, kemudian Allah swt  menurunkan ayat :

 إِنَّ الَّذِينَ سَبَقَتْ لَهُمْ مِنَّا الْحُسْنَى أُولَئِكَ عَنْهَا مُبْعَدُونَ

“Bahwasanya orang-orang yang telah ada untuk mereka ketetapan yang baik dari Kami, mereka itu dijauhkan dari neraka” (QS Al-Anbiya’, [21] : 101).

  Syaikh as-Suwaid, seorang ulama di Irak, pernah berkirim surat kepada syaikh Muhamad bin Abdul Wahhab untuk menanyakan tentang desas-desus mengenai diri beliau. Kemudian beliau menanggapi suratnya dengan Risalah berikut ini :

“Sesungguhnya orang yang berfikiran waras seharusnya merasa malu menyiar-nyiarkan suatu kebohongan seperti yang kalian ceritakan, yaitu bahwa aku dituduh orang-orang pernah mengkafirkan kaum muslimin selain yang menjadi pengikutku. Aneh sekali ! Bagaimana hal ini bisa dicerna oleh akal orang yang waras? Apakah pantas tuduhan tersebut dilontarkan oleh seorang muslim ?  Contohnya lagi, bahwa aku dibilangnya pernah mengatakan, “Sekiranya aku mampu merobohkan Qubbatul khadhra’ (Kubah Hijau) di masjid Nabawi, tentu sudah aku robohkan”; aku dituduhnya melarang membaca kitab Dala-ilul Khairat; aku dibilangnya pernah melarang membaca shalawat Nabi yang disusun dalam bentuk syi-ir atau nazham yang ditulis oleh para ulama; dan tuduhan lainnya yang semisal. Semuanya itu adalah rekayasa dan kebohongan belaka. Sebagai seorang muslim, tidak boleh menyangka…/tidak boleh ada persangkaan, bahwa di dalam hatinya terdapat sesuatu yang lebih terhormat daripada Kitabullah, Al-Qur’an”.

Pada halaman 64 dari isi Risalah-nya, Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab mengungkapkan, “Apa yang anda katakan tentang diriku, yaitu bahwa diriku pernah mengkafirkan orang yang bertawassul kepada kaum shalihin; mengkafirkan Al-Busyiry; melarang berziarah ke makam Rasulullah saw dan ke makam kedua orang tua serta makam kaum muslimin lainnya; mengkafirkan orang yang bersumpah dengan nama selain Allah swt, dan lain-lain, kesemuanya itu hanya aku komentari dengan ucapan: Sub-haanaka haadzaa buhtaanun ‘azhiim (QS An-Nur [24] : 16), Maha Suci Engkau, Ya Allah.  Ini dusta besar”.






PYPD - 1. Resiko Mengkafirkan Kaum Muslimin



Oleh Prof. DR. Sayyid Muhammad Alawi Abbas Al-Maliki

 
Prof. DR. Sayyid Muhammad Alawi Abbas Al-Maliki

 

KATA PENGANTAR

Kitab berjudul مفاهيم يجب ان تصحح  [ Terj. Pemahaman --salah/menyimpang-- yang Perlu Diluruskan]**), karya Prof. DR. Sayyid Muhammad Alawi Abbas Al-Maliki Al-Hasaniy, merupakan kitab penting yang perlu dibaca oleh kaum muslimin yang mengaku dirinya sebagai pengikut setia faham Ahlussunnah Waljama’ah ala NU, agar dijadikan sebagai pedoman, pegangan dan benteng aqidah yang lurus untuk menangkis berbagai pemahaman keagamaan (aqidah) yang selama ini dipahami secara keliru oleh segelintir “santri baru” Salafi Wahabi dan gerombolannya, sehingga kaum muslimin “selamat” dari ketersesatan aqidah dan tidak mudah melontarkan tuduhan syirik, bid’ah, kafir, munafiq dan semisalnya kepada sesama saudara muslim yang nantinya justru berujung pada rusaknya aqidah dan ukhuwwah islamiyah.

Mengingat pentingnya persoalan tersebut, kami akan mempublikasikan hasil terjemahan terhadap kitab tersebut secara lengkap di blog ini secara bersambung.

Kami persilahkan para sahabat dan siapa saja yang membutuhkannya untuk mengkopi, memanfaatkan, dan menyebarluaskannya kepada kaum muslimin demi tegaknya aqidah Ahlussunnah Waljama’ah di muka bumi dan terciptanya kehidupan yang aman, tentram, saling menghormati dan penuh toleransi, baik dalam kehidupan beragama, bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Asalkan disertai dengan menyebutkan sumber pengambilannya dan tidak digunakan untuk mencari keuntungan duniawi.

Akhirul kalam. Kami menyadari bahwa al-insanul mahallul khotho` wan nis-yan. Karenanya, sumbang saran, nasehat, pembetulan dan kritik yang konstruktif sangat diharapkan demi kesempurnaan postingan ini di masa mendatang. (Pentjm.)

  ________________________________________

 

 

RESIKO MENGKAFIRKAN SESAMA MUSLIM



Kebanyakan orang melakukan kesalahan dalam memahami hakekat sebab-sebab yang dapat mengeluarkan pelakunya dari ruang lingkup agama Islam, dan ia wajib dihukumi kafir. Anda dapat menyaksikan orang-orang yang mudah menuduh “kafir” seorang muslim hanya disebabkan dia berbeda pendapat dengannya, sehingga dengan pengkafiran tersebut jumlah kaum muslimin secara kuantitatif di seluruh dunia akan tinggal sedikit. Kami husnuzhan ( berbaik sangka ) kepada mereka yang suka mengkafirkan itu adalah lebih didasari oleh niat yang baik, yakni ingin melaksanakan kewajiban amar ma’ruf dan nahi munkar . Akan tetapi mereka lupa bahwa kewajiban beramar ma’ruf dan nahi munkar tersebut seharusnya dilakukan dengan cara yang bijaksana (bil hikmah) dan dengan nasehat yang baik (wal mau’izhatul hasanah). Kalaupun akan dilakukan dengan metode diskusi dan dialog (mujadalah), hendaklah dilakukan dengan cara yang baik lagi sopan, sebagaimana yang telah diperintahkan Allah dalam Al-Qur’an surat An-Nahl, [16] : 125
ادْعُ إِلَى سَبِيلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ وَجَادِلْهُمْ بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ
“Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan nasehat  pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik.”

Apabila Anda ingin mengajak seseorang agar melaksanakan shalat, menunaikan perintah-perintah Allah swt, menjauhi semua larangan-Nya, menyebarluaskan dakwah islamiyah, membangun masjid dan lembaga-lembaga pendidikan Islam seperti sekolah pesantren, dan lain-lain, sampai pada persoalan yang menurut pandangan Anda merupakan suatu kebenaran, sedangkan menurut pandangan orang lain bukanlah suatu kebenaran, disebabkan para ulama dalam persoalan ini berbeda pendapat, kemudian orang yang tidak setuju dengan pendapat Anda tersebut, lalu Anda tuduh kafir hanya karena berbeda pendapat dengan anda, maka Anda benar-benar telah melakukan kemungkaran yang besar.

 Al-‘Allamah al-Imam Sayyid Ahmad Masyhur al-Haddad mengatakan:

“Telah disimpulkan adanya kesepakatan di kalangan para ulama Ahlussunnah wal Jamaah tentang larangan mengkafirkan seorang ahli kiblat (muslim), kecuali terhadap seseorang yang benar-benar atheis yang mengingkari adanya Allah swt, atau yang secara jelas melakukan perbuatan syirik tanpa perlu ditakwili lagi, atau mengingkari keberadaan para Nabi dan Rasul, atau mengingkari prinsip-prinsip ajaran Islam yang bernilai qath’iy (dogmatik), atau mengingkari kemutawatiran suatu hadis Nabi saw, atau mengingkari ajaran Islam yang sudah disepakati (ijmak) kepastiannya”

Prinsip-prinsip ajaran Islam yang bernilai dogmatik (qath’iy), antara lain ajaran tentang tauhid (Keesaan Allah), kenabian, keparipurnaan Risalah dengan diutusnya Nabi Muhammad saw, adanya kebangkitan dari kematian (yaumul ba’ts) pada hari kiamat nanti, hisab (penghitungan amal), pembalasan amal, kepastian adanya surga dan neraka. Maka menjadi kafir-lah orang yang mengingkari prinsip-prinsip ajaran Islam tersebut.

Hadis mutawatir adalah hadis yang diriwayatkan oleh sekelompok orang yang tidak mungkin bersepakat untuk melakukan kebohongan daripada sekelompok orang yang semisal dengan mereka. Tingkat kemutawatiran suatu hadis ada kalanya ditentukan oleh  segi isnad, seperti hadis Nabi saw berikut :

من كـذب  عليّ مـتـعمـدا  فـلـيتـبوّء مقـعد ه مـن الـنـار
Barangsiapa yang berdusta atas namaku, maka hendaklah dia menduduki tempat duduknya di neraka
Dari sudut isnad-nya, hadis  mutawatir tersebut diriwayatkan oleh para rawi (periwayat hadis) yang tidak mungkin bersepakat melakukan kebohongan. Dan ada kalanya ditentukan oleh segi thabaqat-nya (lapisan), yakni sekelompok rawi dalam setiap thabaqat atau lapisan, cukup banyak jumlahnya. Misalnya pada thabaqat atau lapisan pertama yang terdiri dari para rawi kalangan sahabat yang secara langsung meriwayatkan hadis dari Rasulullah saw . Kemudian disusul sekelompok rawi pada lapisan kedua yang terdiri dari para rawi kalangan tabi’in yang meriwayatkan hadis dari para sahabat Nabi. Dan seterusnya sampai pada lapisan atau   thabaqat terbawah.
Kemutawatiran hadis dari segi thabaqat ini adalah seperti kemutawatiran Al-Qur’an, disebabkan hadis tersebut diriwayatkan secara merata oleh lapisan masyarakat luas, baik di daerah timur maupun barat, baik mengenai isi ajarannya, bacaannya, maupun lafazhnya, serta mempertemukan dari lapisan satu ke lapisan berikutnya, sehingga tidak diperlukan lagi adanya pengkajian, penelitian terhadap isnadnya.
 Dan terkadang pula bahwa kemutawatiran atau keterurutan dan kontinyuitas suatu hadis adalah dalam segi pengamalan dan pewarisan tradisi, seperti keterurutan suatu amal perbuatan dan tradisi mulai dari masa hidup Rasulullah saw sampai sekarang, atau keterurutan dalam ilmu pengetahuan seperti mutawatirnya hadis tentang mukjizat Nabi, meskipun secara detailnya sebagian hadis tersebut adalah pada derajat Hadis Ahad  (yakni suatu hadis shahih yang tidak sampai pada derajat hadis mutawatir), akan tetapi bertemu pada titik persamaan isinya, sehingga bernilai mutawatir secara qath’iy (pasti kebenarannya) di dalam pengetahuan setiap muslim.
Menuduh dan menghukumi seorang muslim dengan tuduhan kafir di luar kategori yang sudah dijelaskan di atas adalah sangat berbahaya dan gawat. Dalam sebuah hadis, Rasulullah saw bersabda :
إذا قال الرجل لأخيه يا كافر فقد باء بها أحدهما
Barangsiapa yang mengatakan kepada saudaranya : “Hai si Kafir”, maka kembalilah hukum kafir tersebut pada salah satu di antara keduanya”. (HR Bukhari, dari Abu Hurairah ra).
Maksudnya, jika yang dipanggail itu benar-benar kafir, maka hal itu tidak jadi masalah. Namun jika yang dipanggil dengan kata “si Kafir”  tersebut – menurut pandangan Allah – bukan orang kafir, maka orang yang memanggilnya atau menuduhnya demikian  itulah yang kafir.
Tuduhan tersebut tidak dibenarkan diucapkan kecuali oleh orang yang dengan pancaran syari’at telah mengetahui tempat masuk-nya kedalam atau keluar-nya dari kekafiran seseorang, serta mengetahui batas-batas  pembeda antara kekufuran dan keimanan seseorang  menurut ukuran syari’at Islam. Oleh karenanya, seseorang tidak boleh melibatkan diri dalam persoalan ini, lalu saling kafir mengkafirkan orang lain lebih atas dasar khayalannya, rekayasa atau persangkaan semata, dan bukan atas dasar keyakinan dan ilmu yang benar. Misalnya mengkafirkan seseorang hanya disebabkan oleh perbuatan maksiatnya, padahal orang tersebut masih memiliki keimanan yang lurus dan masih berpegang teguh pada dua kalimat syahadat.
Sebuah hadis dari Anas bin Malik ra, bahwa Rasulullah saw bersabda:
ثلاث من أصل الإيمان : الكفء عمن قال لا إله إلا الله لا نكفره بذنب ولا نخرجه عن الإسلام بالعمل, والجهاد ماض منذ بعثني الله إلى أن يقاتل آخر أمتي الدجال لا يبطله جور جائر و لا عدل عادل و الإيمان بالأقدار
Tiga hal yang menjadi prinsip keimanan : 1) menghindarkan diri dari orang yang mengucapkan La ilaha illallah, dan kami tidak mengkafirkan orang tersebut disebabkan amal perbuatannya;  2) jihad itu berlaku terus sejak Allah swt mengutusku sampai umatku yang terakhir memerangi Dajjal. Jihad ini tidak dapat dibatalkan oleh kelalimannya orang yang zhalim dan keadilannya orang yag berbuat adil;  3) Meyakini takdir Allah “ (HR Abu Dawud).
Oleh karena itu, kami memperingatkan agar jangan sampai kalian mudah mengkafirkan seseorang bukan pada tempatnya, disebabkan resikonya sangat besar.


Kalo antum nuduh tahlilan syirik,dan tuduhan antum salah
bisa2 antum sendiri yang justru menjadi musyrik.


  _________________________

Ket.
**) Pemahaman --"salah/menyimpang"-- Yang Perlu Diluruskan, untuk selanjutnya disingkat "PYPD"