Sabtu, 08 Juni 2013

PYPD - 16. Hakekat Tawassul



Oleh: Prof. DR. Sayyid Muhammad Alawi Abbas Al-Maliki





1. Pengertian Tawassul


Sebagian besar orang salah faham terhadap pengertian Tawassul. Berikut ini kami akan menjelaskan pemahaman yang benar tentang pengertian Tawassul menurut cara pandang kami. Untuk itu perlu kami jelaskan terlebih dahulu tentang hakekat maknanya.

Pertama : Tawassul adalah salah satu cara dan metode dalam berdoa, serta salah satu pintu dari beberapa pintu bertawajjuh (menghadap) kehadirat Allah swt. Tujuan yang paling pokok  dan hakiki adalah Allah swt, sedangkan “Mutawassal” atau semua amal shaleh dan apa saja yang dijadikan sebagai sarana tawassul, adalah semata-mata sebagai Wasithah atau Wasilah (Perantara, Pengantar atau Mediator) dalam rangka taqarrub (mendekatkan diri) kepada Allah swt. Jika ada orang yang berkeyakinan sebaliknya, yakni menjadikan “Mutawassal” (mediator) sebagai “Tujuan pokok”, maka bukanlah dipandang sebagai bentuk “Wasilah” atau Perantara,   berarti ia benar-benar telah melakukan kesyirikan.

Kedua : Orang yang bertawassul tidak melakukan tawassul kepada Allah swt dengan menggunakan suatu Wasithah atau “Perantara” tersebut, melainkan lebih disebabkan oleh kecintaannya atau “mahabbah”-nya kepadanya dan memiliki keyakinan bahwa Allah swt mencintai “Perantara” tersebut. Kalau tidak demikian, berarti ia adalah orang yang paling jauh dari dan sangat dibenci oelh Allah swt.

Ketiga : Sekiranya orang yang bertawassul tersebut berkeyakinan bahwa “perantara” atau “wasithah” itulah yang sebenarnya dapat mendatangkan manfaat dan menolak madharat, dan bukan Allah swt yang melakukannya, berarti ia melakukan kesyirikan.

Keempat : Tawassul bukanlah suatu keharusan. Terkabulnya suatu doa tidak tergantung kepada Tawassul tersebut. Tetapi tawassul semata-mata sekedar sebagai suatu doa secara mutlak kepada Allah swt, sebagaimana firman-Nya :
وَإِذَا سَأَلَكَ عِبَادِي عَنِّي فَإِنِّي قَرِيبٌ أُجِيبُ دَعْوَةَ الدَّاعِ إِذَا دَعَانِ فَلْيَسْتَجِيبُوا لِي وَلْيُؤْمِنُوا بِي لَعَلَّهُمْ يَرْشُدُونَ
Dan apabila hamba-Ku bertanya keadamu tentang Aku, maka (jawablah) bahwasanya Aku adalah dekat. Aku mengabulkan orang yang berdoa apabila ia berdoa kepada-Ku. Maka hendaklah mereka itu memenuhi segala perintah-Ku dan hendaklah mereka beriman kepada-Ku, agar mereka selalu berada dalam kebenaran” (QS Al-Baqarah,[2] : 186)
قُلِ ادْعُوا اللَّهَ أَوِ ادْعُوا الرَّحْمَنَ أَيًّا مَا تَدْعُوا فَلَهُ الْأَسْمَاءُ الْحُسْنَى
Katakanlah : “Serulah Allah, atau serulah Ar-Rahman. Dengan nama apa saja kamu seru, Dia mempunyai Al-Asmaul Husna”  (QS Al-Isra’,[17] : 110). 

2. Bebarapa Model Tawassul Yang Disepakati  

Tidak seorang muslim pun yang berselisih faham tentang disyariatkannya Tawassul kepada Allah swt dengan perantaraan “amal shaleh”-nya. Orang yang melakukan puasa, shalat, membaca Al Qur’an dan shadaqah, sesungguhnya ia telah bertawassul dengan puasanya, shalatnya, bacaan Al Qur’annya dan shadaqahnya. Bahkan tawassul model ini lebih makbul dalam kaitannya dengan berdoa memohon apa saja yang dikehendakinya. Dalam hal ini tidak ada perselisihan faham sedikit pun.

Dasar hukum yang dapat dijadikan pegangan adalah sebuah hadis Nabi yang menceritakan tentang tiga orang yang terkurung didalam sebuah gua. Mereka berdoa dengan cara bertawassul melalui amal shalehnya agar dikeluarkan dari dalam gua tersebut. Salah satu di antara mereka bertawassul dengan perantaraan amal shaleh andalannya, yakni berbakti kepada kedua orang tuanya. Orang yang kedua bertawassul dengan amal shaleh andalannya, yaitu berusaha menjauhkan diri dari perbuatan maksiat dan tercela pada saat ia mampu melakukannya. Orang yang ketika bertawassul dengan amal shaleh sifat amanah-nya, yakni kejujurannya dalam menjaga dan memelihara harta benda “gaji” pegawainya, lalu ia kembalikannya secara sempurna. Kemudian Allah swt mengabulkan permohonannya dan melenyapkan kesulitan yang sedang mereka alami. Bentuk dan model tawassul semacam ini dijelaskan secara detail disertai dalil-dalilnya oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam beberapa buku karangannya, terutama dalam bukunya yang berjudul Qa’idatul Jalilah Fittawassuli wal Wasilah .

3. Letak Perbedaan Pendapat
Perselisihan pendapat terletak pada praktek bertawassul dengan selain amal shalihnya sendiri. Misalnya bertawassul dengan sesuatu benda dan pribadi seseorang seperti dengan mengucapkan :
أَللَّـهُمَّ إِنِّيْ اَتَوَسَّلُ اِلَيْكَ بِنَبِيِّكَ مُحَمَّدٍ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ …
Ya Allah, aku bertawassul kepada-Mu dengan perantaraan Nabi-Mu Muhammad saw…
atau mengucapkan :
أَللَّـهُمَّ إِنِّيْ اَتَوَسَّلُ اِلَيْكَ بِاَبِيْ بَكْرٍ … بِعُمَرَ ابْنِ الْخَطَّابِ … بِعُثْمَانَ … بِعَلِيٍّ …
Ya Allah, aku bertawassul kepada-Mu dengan perantaraan Abu Bakar… dengan Umar bin Khatthab… dengan Usman … atau dengan Ali ….
Tawassul model seperti diatas menurut sebagian orang dilarang.
Menurut pandangan kami, perbedaan pendapat dalam persoalan ini lebih bersifat formalitas, hanya pada bentuk lahiriah saja dan bukan pada hal-hal yang bersifat essensial. Karena bertawassul dengan perantaraan manusia atau benda-benda tertentu pada hakekatnya akan berpulang pada tawassulnya seseorang pada amal shalihnya. Tentu saja model tawassul seperti ini disepakati kebolehannya. Sekiranya para penentang yang keras kepala tersebut memandang persoalan tawassul dengan mata hatinya, tentu akan semakin jelas bagi mereka duduk persoalan yang sebenarnya dan problem mengenai tawassul yang  segera terpecahkan, sehingga kita tidak akan mendengar lagi suara tuduhan kafir, syirik atau sesat.
Perlu kami jelaskan, bagaimana orang yang bertawassul dengan selain amal shalih (misalnya barang atau manusia), pada hakekatnya adalah bertawassul dengan amal perbuatan yang berkaitan dengannya, yang nota bene merupakan hasil dari usahanya sendiri. Sebenarnya  orang yang bertawassul dengan perantaraan pribadi seseorang, misalnya pribadi para auliya’, para Nabi, dan orang-orang shalih lainnya, memiliki suatu keyakinan bahwa mereka itu semua adalah para hamba kekasih Allah swt yang telah menghabiskan waktu hidupnya untuk berjihad di jalan-Nya. Atau ia berkeyakinan bahwa Allah swt telah mencintai mereka, sebagaimana yang disinggung didalam QS Al Maidah,[5] : 54, “Allah mencintai mereka, dan mereka mecintai Allah”.
Jika Anda merenungkan persoalan Tawassul ini, Anda akan berkesimpulan bahwa Tawassul merupakan wujud kecintaan orang yang bertawassul kepada orang yang dijadikan “Wasilah” (perantara) dalam bertawassul kepada Allah swt. Orang yang bertawassul tadi seakan-akan mengucapkan doa : “Ya Allah, aku mencintai si Fulan, dan aku yakin bahwa si Fulan tersebut mencintai-Mu. Ia termasuk orang yang ikhlas beribadah dan berjihad di jalan-Mu. Aku yakin bahwa Engkau mencintai dan ridha kepadanya. Oleh karena itu, aku bertawassul kepada-Mu melalui perantaraan “kecintaanku kepadanya”  dan melalui perantaraan “keyakinanku ini kepadanya”. Kiranya Engkau mau mengabulkan permohonanku ini ….
Hanya saja sebagian besar orang yang bertawassul tersebut biasanya membacanya secara singkat, dan tidak sampai seterinci seperti di atas. Akan tetapi mereka cukup toleran dan bersikap bijak dalam menjelaskan persoalan tawassulnya kepada saudaranya yang menentang, kurang memahami, atau bahkan tidak mengetahui rahasia Tuhan yang tersembunyi di balik bumi dan langit, maupun yang tersembunyi di balik dada setiap manusia.
Teks bacaan doa yang berbunyi : “Ya Allah, aku bertawassul kepada-Mu dengan perantaran Nabi-Mu….” Adalah sama nilainya dengan mengucapkan teks doa : “Ya Allah, aku bertawassul kepada-Mu dengan perantaraan amal shalihku yang berupa ‘kecintaanku kepada Nabi-Mu’ ….”. Kenapa demikian ? Karena orang yang bertawassul dengan bacaan teks doa yang pertama pada hakekatnya merupakan wujud kecintaannya dan keimanannya kepada Nabi Muhammad saw. Sekiranya ia tidak mencintai dan tidak mengimani beliau saw, tentu ia tidak akan bertawassul melalui perantaraan beliau tersebut. Demikian pula bertawassul dengan perantaraan pribadi-pribadi selain Nabi Muhammad saw, seperti para auliya’, ulama, dan kaum shalihin lainnya.
Dengan uraian di atas, maka akan semakin jelas persoalannya, bahwa letak perbedaan pendapat di kalangan ulama pada dasarnya hanya bersifat formal, terbatas pada permukaan atau kulitnya, dan tidak sampai pada persoalan yang essensial dan prinsipil. Oleh karena itu kami menghimbau agar persoalan tawassul ini tidak perlu diperpanjanglebarkan perdebatannya. Apalagi hal ini sampai menjadi pemicu perpecahan dan permusuhan antar sesama kaum muslimin, atau bahkan sampai keluar kata-kata tuduhan “kafir”, “musyrik”, “sesat”, “bid’ah”, dan sejenisnya. Na’udzubillahi min dzalik (Kami berlindung dari yang demikian itu). Sub-hanaka hadza buhtanun ‘azhim (Maha Suci Engkau, Ya Allah, ini benar-benar kebohongan yang besar).

4. Dalil Tawassul Yang Perlu Diketahui

Allah swt berfirman :
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَابْتَغُوا إِلَيْهِ الْوَسِيلَةَ
Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan carilah jalan yang mendekatkan diri kepada-Nya,” (QS Al Maidah[5] : 35) 

Kata “Al-Wasilah” didalam ayat di atas bermakna : “Segala sesuatu yang dijadikan Allah swt sebagai sebab, sarana atau perantara dalam rangka mendekatkan diri kepada-Nya dan sebagai sesuatu yang menghubungkan tercapainya segala hajat kebutuhan”. Dengan kata lain, “Wasilah” haruslah memiliki nilai, kemuliaan dan kehormatan tersendiri di hadapan Allah..
Kata “Wasilahdidalam ayat di atas memiliki pengertian yang umum, yakni meliputi tawassul dengan perantaraan “dzat”  (pribadi-pribadi orang) yang yang memiliki keutamaan di sisi Allah swt, seperti para Nabi, para Auliya’ dan kaum shalihin lainnya, baik sewaktu mereka masih hidup maupun sesudah wafatnya. Juga meliputi tawassul dengan perantaraan amal shalih sesuai dengan yang diperintahkan oleh agama. Tentu saja bentuk tawassul yang kedua ini baru boleh dilakukan setelah amal shalih tersebut dikerjakan.
Keumuman pengertian “wasilah” ini juga ditemukan dalam beberapa hadis Nabi dan atsar. Setelah Anda memahami, mendalami dan merenungkan isi kandungannya, maka Anda akan berkesimpulan bahwa Rasulullah saw benar-benar telah menginformasikan berbagai model dan bentuk tawassul melalui perantaraan beliau saw, baik sewaktu beliau “belum wujud” (belum lahir ke dunia),  sesudah wujud” (setelah lahir ke dunia), “sesudah wafat” (hidup di alam barzah), maupun sesudah  beliau dibangkitkan pada hari kiamat nanti

.
__________________________________________________________________
Sumber : diterjemahkan dari Kitab "مفاهيم يجب أن تصحح"

 

Tidak ada komentar: