Tampilkan postingan dengan label wasilah. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label wasilah. Tampilkan semua postingan

Sabtu, 08 Juni 2013

PYPD - 16. Hakekat Tawassul



Oleh: Prof. DR. Sayyid Muhammad Alawi Abbas Al-Maliki





1. Pengertian Tawassul


Sebagian besar orang salah faham terhadap pengertian Tawassul. Berikut ini kami akan menjelaskan pemahaman yang benar tentang pengertian Tawassul menurut cara pandang kami. Untuk itu perlu kami jelaskan terlebih dahulu tentang hakekat maknanya.

Pertama : Tawassul adalah salah satu cara dan metode dalam berdoa, serta salah satu pintu dari beberapa pintu bertawajjuh (menghadap) kehadirat Allah swt. Tujuan yang paling pokok  dan hakiki adalah Allah swt, sedangkan “Mutawassal” atau semua amal shaleh dan apa saja yang dijadikan sebagai sarana tawassul, adalah semata-mata sebagai Wasithah atau Wasilah (Perantara, Pengantar atau Mediator) dalam rangka taqarrub (mendekatkan diri) kepada Allah swt. Jika ada orang yang berkeyakinan sebaliknya, yakni menjadikan “Mutawassal” (mediator) sebagai “Tujuan pokok”, maka bukanlah dipandang sebagai bentuk “Wasilah” atau Perantara,   berarti ia benar-benar telah melakukan kesyirikan.

Kedua : Orang yang bertawassul tidak melakukan tawassul kepada Allah swt dengan menggunakan suatu Wasithah atau “Perantara” tersebut, melainkan lebih disebabkan oleh kecintaannya atau “mahabbah”-nya kepadanya dan memiliki keyakinan bahwa Allah swt mencintai “Perantara” tersebut. Kalau tidak demikian, berarti ia adalah orang yang paling jauh dari dan sangat dibenci oelh Allah swt.

Ketiga : Sekiranya orang yang bertawassul tersebut berkeyakinan bahwa “perantara” atau “wasithah” itulah yang sebenarnya dapat mendatangkan manfaat dan menolak madharat, dan bukan Allah swt yang melakukannya, berarti ia melakukan kesyirikan.

Keempat : Tawassul bukanlah suatu keharusan. Terkabulnya suatu doa tidak tergantung kepada Tawassul tersebut. Tetapi tawassul semata-mata sekedar sebagai suatu doa secara mutlak kepada Allah swt, sebagaimana firman-Nya :
وَإِذَا سَأَلَكَ عِبَادِي عَنِّي فَإِنِّي قَرِيبٌ أُجِيبُ دَعْوَةَ الدَّاعِ إِذَا دَعَانِ فَلْيَسْتَجِيبُوا لِي وَلْيُؤْمِنُوا بِي لَعَلَّهُمْ يَرْشُدُونَ
Dan apabila hamba-Ku bertanya keadamu tentang Aku, maka (jawablah) bahwasanya Aku adalah dekat. Aku mengabulkan orang yang berdoa apabila ia berdoa kepada-Ku. Maka hendaklah mereka itu memenuhi segala perintah-Ku dan hendaklah mereka beriman kepada-Ku, agar mereka selalu berada dalam kebenaran” (QS Al-Baqarah,[2] : 186)
قُلِ ادْعُوا اللَّهَ أَوِ ادْعُوا الرَّحْمَنَ أَيًّا مَا تَدْعُوا فَلَهُ الْأَسْمَاءُ الْحُسْنَى
Katakanlah : “Serulah Allah, atau serulah Ar-Rahman. Dengan nama apa saja kamu seru, Dia mempunyai Al-Asmaul Husna”  (QS Al-Isra’,[17] : 110). 

2. Bebarapa Model Tawassul Yang Disepakati  

Tidak seorang muslim pun yang berselisih faham tentang disyariatkannya Tawassul kepada Allah swt dengan perantaraan “amal shaleh”-nya. Orang yang melakukan puasa, shalat, membaca Al Qur’an dan shadaqah, sesungguhnya ia telah bertawassul dengan puasanya, shalatnya, bacaan Al Qur’annya dan shadaqahnya. Bahkan tawassul model ini lebih makbul dalam kaitannya dengan berdoa memohon apa saja yang dikehendakinya. Dalam hal ini tidak ada perselisihan faham sedikit pun.

Dasar hukum yang dapat dijadikan pegangan adalah sebuah hadis Nabi yang menceritakan tentang tiga orang yang terkurung didalam sebuah gua. Mereka berdoa dengan cara bertawassul melalui amal shalehnya agar dikeluarkan dari dalam gua tersebut. Salah satu di antara mereka bertawassul dengan perantaraan amal shaleh andalannya, yakni berbakti kepada kedua orang tuanya. Orang yang kedua bertawassul dengan amal shaleh andalannya, yaitu berusaha menjauhkan diri dari perbuatan maksiat dan tercela pada saat ia mampu melakukannya. Orang yang ketika bertawassul dengan amal shaleh sifat amanah-nya, yakni kejujurannya dalam menjaga dan memelihara harta benda “gaji” pegawainya, lalu ia kembalikannya secara sempurna. Kemudian Allah swt mengabulkan permohonannya dan melenyapkan kesulitan yang sedang mereka alami. Bentuk dan model tawassul semacam ini dijelaskan secara detail disertai dalil-dalilnya oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam beberapa buku karangannya, terutama dalam bukunya yang berjudul Qa’idatul Jalilah Fittawassuli wal Wasilah .

3. Letak Perbedaan Pendapat
Perselisihan pendapat terletak pada praktek bertawassul dengan selain amal shalihnya sendiri. Misalnya bertawassul dengan sesuatu benda dan pribadi seseorang seperti dengan mengucapkan :
أَللَّـهُمَّ إِنِّيْ اَتَوَسَّلُ اِلَيْكَ بِنَبِيِّكَ مُحَمَّدٍ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ …
Ya Allah, aku bertawassul kepada-Mu dengan perantaraan Nabi-Mu Muhammad saw…
atau mengucapkan :
أَللَّـهُمَّ إِنِّيْ اَتَوَسَّلُ اِلَيْكَ بِاَبِيْ بَكْرٍ … بِعُمَرَ ابْنِ الْخَطَّابِ … بِعُثْمَانَ … بِعَلِيٍّ …
Ya Allah, aku bertawassul kepada-Mu dengan perantaraan Abu Bakar… dengan Umar bin Khatthab… dengan Usman … atau dengan Ali ….
Tawassul model seperti diatas menurut sebagian orang dilarang.
Menurut pandangan kami, perbedaan pendapat dalam persoalan ini lebih bersifat formalitas, hanya pada bentuk lahiriah saja dan bukan pada hal-hal yang bersifat essensial. Karena bertawassul dengan perantaraan manusia atau benda-benda tertentu pada hakekatnya akan berpulang pada tawassulnya seseorang pada amal shalihnya. Tentu saja model tawassul seperti ini disepakati kebolehannya. Sekiranya para penentang yang keras kepala tersebut memandang persoalan tawassul dengan mata hatinya, tentu akan semakin jelas bagi mereka duduk persoalan yang sebenarnya dan problem mengenai tawassul yang  segera terpecahkan, sehingga kita tidak akan mendengar lagi suara tuduhan kafir, syirik atau sesat.
Perlu kami jelaskan, bagaimana orang yang bertawassul dengan selain amal shalih (misalnya barang atau manusia), pada hakekatnya adalah bertawassul dengan amal perbuatan yang berkaitan dengannya, yang nota bene merupakan hasil dari usahanya sendiri. Sebenarnya  orang yang bertawassul dengan perantaraan pribadi seseorang, misalnya pribadi para auliya’, para Nabi, dan orang-orang shalih lainnya, memiliki suatu keyakinan bahwa mereka itu semua adalah para hamba kekasih Allah swt yang telah menghabiskan waktu hidupnya untuk berjihad di jalan-Nya. Atau ia berkeyakinan bahwa Allah swt telah mencintai mereka, sebagaimana yang disinggung didalam QS Al Maidah,[5] : 54, “Allah mencintai mereka, dan mereka mecintai Allah”.
Jika Anda merenungkan persoalan Tawassul ini, Anda akan berkesimpulan bahwa Tawassul merupakan wujud kecintaan orang yang bertawassul kepada orang yang dijadikan “Wasilah” (perantara) dalam bertawassul kepada Allah swt. Orang yang bertawassul tadi seakan-akan mengucapkan doa : “Ya Allah, aku mencintai si Fulan, dan aku yakin bahwa si Fulan tersebut mencintai-Mu. Ia termasuk orang yang ikhlas beribadah dan berjihad di jalan-Mu. Aku yakin bahwa Engkau mencintai dan ridha kepadanya. Oleh karena itu, aku bertawassul kepada-Mu melalui perantaraan “kecintaanku kepadanya”  dan melalui perantaraan “keyakinanku ini kepadanya”. Kiranya Engkau mau mengabulkan permohonanku ini ….
Hanya saja sebagian besar orang yang bertawassul tersebut biasanya membacanya secara singkat, dan tidak sampai seterinci seperti di atas. Akan tetapi mereka cukup toleran dan bersikap bijak dalam menjelaskan persoalan tawassulnya kepada saudaranya yang menentang, kurang memahami, atau bahkan tidak mengetahui rahasia Tuhan yang tersembunyi di balik bumi dan langit, maupun yang tersembunyi di balik dada setiap manusia.
Teks bacaan doa yang berbunyi : “Ya Allah, aku bertawassul kepada-Mu dengan perantaran Nabi-Mu….” Adalah sama nilainya dengan mengucapkan teks doa : “Ya Allah, aku bertawassul kepada-Mu dengan perantaraan amal shalihku yang berupa ‘kecintaanku kepada Nabi-Mu’ ….”. Kenapa demikian ? Karena orang yang bertawassul dengan bacaan teks doa yang pertama pada hakekatnya merupakan wujud kecintaannya dan keimanannya kepada Nabi Muhammad saw. Sekiranya ia tidak mencintai dan tidak mengimani beliau saw, tentu ia tidak akan bertawassul melalui perantaraan beliau tersebut. Demikian pula bertawassul dengan perantaraan pribadi-pribadi selain Nabi Muhammad saw, seperti para auliya’, ulama, dan kaum shalihin lainnya.
Dengan uraian di atas, maka akan semakin jelas persoalannya, bahwa letak perbedaan pendapat di kalangan ulama pada dasarnya hanya bersifat formal, terbatas pada permukaan atau kulitnya, dan tidak sampai pada persoalan yang essensial dan prinsipil. Oleh karena itu kami menghimbau agar persoalan tawassul ini tidak perlu diperpanjanglebarkan perdebatannya. Apalagi hal ini sampai menjadi pemicu perpecahan dan permusuhan antar sesama kaum muslimin, atau bahkan sampai keluar kata-kata tuduhan “kafir”, “musyrik”, “sesat”, “bid’ah”, dan sejenisnya. Na’udzubillahi min dzalik (Kami berlindung dari yang demikian itu). Sub-hanaka hadza buhtanun ‘azhim (Maha Suci Engkau, Ya Allah, ini benar-benar kebohongan yang besar).

4. Dalil Tawassul Yang Perlu Diketahui

Allah swt berfirman :
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَابْتَغُوا إِلَيْهِ الْوَسِيلَةَ
Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan carilah jalan yang mendekatkan diri kepada-Nya,” (QS Al Maidah[5] : 35) 

Kata “Al-Wasilah” didalam ayat di atas bermakna : “Segala sesuatu yang dijadikan Allah swt sebagai sebab, sarana atau perantara dalam rangka mendekatkan diri kepada-Nya dan sebagai sesuatu yang menghubungkan tercapainya segala hajat kebutuhan”. Dengan kata lain, “Wasilah” haruslah memiliki nilai, kemuliaan dan kehormatan tersendiri di hadapan Allah..
Kata “Wasilahdidalam ayat di atas memiliki pengertian yang umum, yakni meliputi tawassul dengan perantaraan “dzat”  (pribadi-pribadi orang) yang yang memiliki keutamaan di sisi Allah swt, seperti para Nabi, para Auliya’ dan kaum shalihin lainnya, baik sewaktu mereka masih hidup maupun sesudah wafatnya. Juga meliputi tawassul dengan perantaraan amal shalih sesuai dengan yang diperintahkan oleh agama. Tentu saja bentuk tawassul yang kedua ini baru boleh dilakukan setelah amal shalih tersebut dikerjakan.
Keumuman pengertian “wasilah” ini juga ditemukan dalam beberapa hadis Nabi dan atsar. Setelah Anda memahami, mendalami dan merenungkan isi kandungannya, maka Anda akan berkesimpulan bahwa Rasulullah saw benar-benar telah menginformasikan berbagai model dan bentuk tawassul melalui perantaraan beliau saw, baik sewaktu beliau “belum wujud” (belum lahir ke dunia),  sesudah wujud” (setelah lahir ke dunia), “sesudah wafat” (hidup di alam barzah), maupun sesudah  beliau dibangkitkan pada hari kiamat nanti

.
__________________________________________________________________
Sumber : diterjemahkan dari Kitab "مفاهيم يجب أن تصحح"

 

Selasa, 14 Mei 2013

Tawassul




Oleh KH Ali Ma’shum

PENGERTIAN
Kata Tawassul  berasal dari bahasa Arab “التوسل” artinya memakai perantara. Jadi Doa dengan cara tawassul adalah memohon kepada Allah  dengan perantaraan sesuatu. Sedangkan  sesuatu yang dipakai perantara itu disebut dengan Wasilah.

RAHASIA DAN LATAR BELAKANG TAWASSUL
Syaikh Abu Saif Al-Hammamiy, salah seorang Ulama Al-Azhar, menyatakan bahwa terdapat sekelompok orang yang mengatakan bahwa tawassul itu hukumnya musyrik (membawa kekafiran), dan karenanya maka orang yang bertawassul dengan Nabi dan para wali Allah telah menjadi halal darahnya.
Lebih lanjut Abu Saif Al-Hammamiy mengatakan bahwa orang yang bertawassul itu sama sekali tidak beri’tiqad, bahkan terlintas dalam hatinya bahwa Nabi dan para Wali yang ditawassuli itu tempat tujuan akhir  memohon, melainkan mereka yakin bahwa hanya Allah belaka yang mengabulkan permohonan. Demikianlah sesungguhnya keyakinan yang ada dalam benak hati orang-orang yang tawassul. Siapa saja, kapan saja, dan dimana saja.
Jika kita mau membaca diri sendiri, maka akan mengetahui bahwa diri kita ini penuh dosa, maksiat, dan kelaliman. Dan ini semua mengakibatkan terhalangnya pengabulan pengabdian kita. Dan karena doa itu termasuk pengabdian (ibadah), maka doapun akan tidak terkabulkan karena Allah berfirman :
...... إِنَّمَا يَتَقَبَّلُ اللَّهُ مِنَ الْمُتَّقِيْنَ
“ …… sesungguhnya Allah hanya menerima (pengabdian) dari orang-orang yang bertakwa”. (QS. Al- Maidah : 27)
Oleh Karena itu, maka selayaknya jika dalam mengajukan suatu permohonan perlu memakai perantara orang-orang yang dekat kepada Allah, yaitu para Nabi, Waliyullah, Ulama, dan Orang-orang yang Sholih. Sebab merekalah orang-orang yang paling berhak memperoleh kenikmatan dari Allah dan permohonannya selalu dikabulkan.
Dengan begitu, maka Tawassul itu sesungguhnya adalah salah satu cara yang lebih etis/sopan serta luwes dalam mengajukan suatu permohonan kepada Allah, Zat yang Maha Suci dan Maha Agung.
Allah adalah Maha Pengasih, Maha Penyayang, dan Maha Mengabulkan permohonan. Sedangkan manusia sebagai makhluk sudah pasti mempunyai aturan, sopan santun dan tata krama sendiri dalam upaya mendapatkan kemurahan tersebut. Memanglah kesopanan dan tata krama hanya dilakukan oleh orang yang mau sopan, tahu adab dan tidak sombong.
Dalam kenyataannya hampir seluruh anugerah Allah yang dicurahkan kepada makhlukNya itu pasti dengan perantaraan sesuatu. Obat menjadi perantara datangnya kesembuhan. Ulama / guru menjadi wasilah datangnya ilmu. Orang kaya menjadi wasilah datangnya rezeki Allah. Dan lain-lain. Semua itu sebagai wasilah. Sedangkan sumber pertama adalah Allah. Demikian pula dalam masalah doa, anugerah Allah yang wujudnya keterkabulan itu datangnya dengan wasilah para Nabi, Ulama dan Sholihin.

BENTUK TAWASSUL.
Tawassul itu bentuknya ada 2 ( dua ) macam :
1. Tawassul dengan orang lain. Tawassul bentuk ini ada 2 ( dua ) macam, yaitu ;
a). Meminta tolong kepada orang lain agar orang itu     memohonkan     sesuatu yang kita kehendaki kepada Allah. Hal ini telah terjadi pada zaman Nabi Muhammad SAW. Sebagaimana dinyatakan dalam ayat :
“ ……Dan kalaulah mereka telah berbuat lalim atas diri mereka, lalu datang kepadamu (Muhammad) untuk memohon ampunan kepada Allah, dan Rasulpun memohonkan ampun buat mereka, niscaya akan mereka dapati Allah Maha Penerima taubat dan Maha Penyayang “. (QS. An-Nisa : 64 )
Ayat ini dengan jelas mengajarkan kita untuk bertawassul. Dalam hal ini meminta tolong kepada Rasul agar beliau memohonkan ampun buat kita kepada Allah.
b.) Memohon kepada Allah dengan perantara / tawassul keagungan derajat  orang lain di sisi Allah. Misalnya membaca Shalawat Badar ; adalah memohonkan rahmat Nabi dengan perantaraan keagungan sahabat pahlawan Badar (Bi ahli Badri Ya Allah). Dalam suatu Hadits Nabi mengajarkan kepada seseorang yang buta dan ingin memohon agar sembuh dari butanya. Doa tersebut adalah memakai tawassul,  yaitu :
اَلّلهُمَّ إِنِّي أَسْأَلُكَ وَأَتَوَجَّهُ إِلَيْكَ بِنَبِيِّكَ مُحَمَّدٍ نَبِيِّ الرَّحْمَةِ، يَامحَمَّدُ إِنِّي تَوَجَّهْتُ بِكَ إِلَى رَبِّى فِى حَجَتِي هَدِهِ لِتَقْضِيَ، اَلّلهُمَّ فَشَفِّعْهُ فِيَّ. ( رواه الترمذى وغيره)

Ya Allah sesungguhnya aku memohon kepadaMu dan menghadap kepadaMu dengan perantaraan NabiMu, Muhammad Nabi Rahmah, Ya Muhammad sesungguhnya aku menghadap kepada Tuhanku dengan perantaraan engkau dalam hajatku ini agar engkau penuhi, Ya Allah Syafa’atkanlah dia buatku “. ( Riwayat At-Turmudzi, An-Nasa’i, Baihaqi, dan Thabarani).
Setelah selesai berdoa, maka sembuhlah penyakitnya dan bisa melihat seperti sedia kala. Demikian ajaran Nabi untuk tawassul.

2.    Tawassul dengan amal kebaikani. Hal ini berdasarkan sebuah hadits riwayat Bukhari dan Muslim. Haditsnya terlalu panjang untuk kita kutip di sini. Inti ceritanya sebagai berikut : “ Ada tiga ( 3 ) orang tertidur di dalam gua. Gua tersebut lalu pintunya tertutup. Dengan Tawassul amal kebaikan orang bertiga tersebut, ternyata dalam waktu singkat doanya terkabul dan pintu gua pun terbuka. ( Hadts ini termaktub juga dalam kitab syarah Hadits Dalilul Falihin Juz I, hal. 71 – 77 )

PRAKTEK PELAKSANAAN TAWASSUL
Pada dasarnya tawassul itu dilaksanakan dalam rangka mencari / menempuh jalan untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT. Sebagaimana firmanNya :
يَا أَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوْا اتَّقُوْا اللَّهَ وَابْتَغُوْا  إِلَيْهِ الْوَسِيْلَةَ ....
Wahai orang-orang yang beriman bertakwalah kamu kepada Allah dan carilah wasilah ( = jalan untuk mendekatkan ) kepada Allah …..”. ( QS. Al Maidah : 35 )
Ayat ini memerintahkan agar kita bertakwa dan mencari wasilah kepadaNya.

Dalam sejarah perjalanan Islam, tawassul selalu dilakukan oleh para Ulama, bahkan oleh Nabi dan sahabat beliau.
1. Rasulullah pernah tawassul dengan hak Sa-iliin (pemohon kepada Allah) dan hak perjalanan beliau sendiri. Yaitu beliau berdoa :
 اَلّلهُمَّ إِنِّي أَسْأَلُكَ بِحَقِّ السَّا ئِلِيْنَ لَكَ أَسْأَلُكَ بِحَقِّ مَمْشَايَ هَذَا إِلَيْكَ (رواه أحمد وغيره)       
Ya Allah kami memohon kepadaMu dengan tawassul pada hak para pemohon kepadaMu dan hak perjalanan kami ini…..”. (HR. Ahmad, Baihaqi, Thabrani ).
Beliau mendoakan pada jenazah Ummu Fathimah dan tawassul dengan para Nabi sebelum beliau :
إِغْفِرْ ِلأُمَّ فَاِطمَةِ بِنْتِ أَسَدٍ وَوَسِّعْ عَلَيْهَا مَدْخَلَهَا بِحَقِّ نَبِيِّكَ وَاْلأِ نْبِيَاءِ اّلَذِيْنَ مِنْ قَبْلِي ( رواه الطبراني وصححه إبن حبّان)
Ampunilah (dosa) Ummu Fathimah binti Asad dan luaskanlah tempatnya, dengan tawassul pada Nabi-Mu dan para Nabi sebelum aku “. ( Riwayat Ath-Thabrani, dan dinyatakan Shahih oleh Ibnu Hibban dan Al-Hakim, dari Anas bin Malik )
2.  Sahabat Umar pernah tawassul dengan Sayidina Abbas. Sebagaimana diriwayatkan oleh Bukhari :

إِنَّ عُمَرَاْبنَ الْخَطَّاب كَانَ إِذَا قحَطْوَا إِسْتَسْقَى بِاْلعَبَّاسِ بن عبدِ المُطَّلِب، فَقَالَ :اَلّلهُمَّ كُناَّ نَتَوَسَّلُ إِلَيْكَ بِنَبِيِّنَا وإنَا نَتَوَسَّلُ إِلَيْكَ بِعَمِّ بِنَبِيِّنَا فَاسْقِنَا – فَيَسْقَوْنَ. (رواه البخاري) 
Sesungguhnya Umar bin Khathab bila terjadi kemarau panjang memohon hujan dengan tawassul pada Saiyidina Abbas bin Abdul Mutholib dan doanya : Ya Allah, kami memohon kepadaMu dengan tawassul pada Nabi kami maka turunkanlah hujan dan tawassul dengan paman Nabi kami maka, turunkanlah hujan. Maka hujanpun turun dengan deras “. (HR. Bukhari ).
3.   Imam Syafi’i suka berziarah ke makam Imam Hanafi dan tawassul dengannya.
4.    Imam Hambali berziarah ke makam Imam Syafi’i  dan tawassul dengannya.
5.   Imam Abu Hasan Asy-Syazili menganjurkan agar tawassul dengan Imam Al-Ghozali bila  mempunyai hajat.
6.   Syaikh Al-Bakri bin Muhammad Syatha’ –penyusun kitab ‘I’anatuth thalibin- bertawassul dengan Rasulullah.
7.    Imam Abdul Rauf Al-Manawi, pengarang Faidhul Qadir kitab syarah hadts Al-Jamiush Shaghir, bertawassul dengan Rasulullah.
8.   Syaikh Tharabulusi, pengarang kitab Tauhid Al-Husunul Hamidiyah, bertawassul dengan Zat Allah, sifat Allah, dan Asma Allah serta Ruhaniyyah Rasulullah.
9.   Para Ulama dan Kyai di Indonesia semuanya hampir ahli ziarah kubur dan bertawassul dengan Rasulullah, waliyullah, dan para Ulama yang telah meninggal dunia.
10. Shalawat Badar yang biasa di baca oleh kaum Muslimin Indonesia adalah merupakan tawassul dengan para Syuhada’ Badar (Bi Ahlil Badri Ya Allah).

Melihat data tersebut, jika benar bahwa tawassul itu hukumnya musyrik sebagaimana yang didakwahkan oleh sekelompok orang, maka berarti Rasulullah, para sahabat, dan para Ulama tersebut semuanya masuk neraka. Sebab musyrik itu merupakan dosa besar yang tidak bisa diampuni. Lalu, siapa gerangan yang akan masuk sorga?. Adakah surga yang seluas langit dan bumi itu hanya disediakan untuk beberapa gelintir manusia yang memusyrikkan tawassul ?

TAWASSUL DENGAN ORANG MATI
Melihat uraian di atas, maka diketahui bahwa tawassul dapat dilakukan dengan orang-orang yang dekat pada Allah, baik yang masih hidup maupun yang sudah meninggal dunia.
Apabila berwasilah itu dengan Rasulullah, maka ada sebuah Hadits yang menyatakan bahwa para Nabi itu masih tetap hidup setelah dikubur, bahkan melakukan shalat. Bunyi Haditsnya :
اْلأَ نْبِيَاءُ أَحْيَاءٌ فِى قُبُوْرِهِمْ يُصَلُّوْنَ (رواه البيهقى)

“ Para Nabi adalah masih tetap hidup di kubur mereka dan melakukan shalat “. (Riwayat Al-Baihaqi)
Apabila berwasilah itu dengan para Ulama dan Shalihin, maka dinyatakan suatu ayat bahwa mereka tetap hidup setelah matinya dan mendapat kenikmatan dari Allah :
وَلاَ تَحْسَبَنَّ الَّذِيْنَ قُتِلُوْا فِي سَبِيْلِ اللَّهِ أَمْوَاتًا,  بَلْ أَحْيَاءٌ عِنْدَ رَبِّهِمْ يُرْزَقُوْنَ  
Dan janganlah kamu mengira bahwa orang-orang yang mati di jalan Allah itu mati, melainkan mereka hidup di sisi Tuhannya dengan memperoleh rezeki “.
(QS. Ali Imran : 169 )
Ayat ini menyatakan bahwa orang mati di jalan Allah, atau orang mati dalam keadaan Shalih pada hakekatnya tetap hidup. Sudah barang tentu hidupnya bukan di alam dunia lagi tetapi di alam Barzah. Mereka mendapat kenikmatan dan keutamaan di sana termasuk keutamaan mereka adalah mampu digunakan sebagai wasilah
Disamping itu, Mazhab empat telah sepakat memperbolehkan tawassul dengan orang-orang Sholih, baik yang masih hidup maupun yang sudah meninggal dunia. Bahkan menganjurkan untuk melakukannya. Ulama Salaf dan Khalaf dari Ahlilmadzhab empat,  Madzahibil Arba’ah mensunnahkan bagi penziarah ke makam Nabi agar memohon syafa’at dan tawassul dengan Nabi. sebagai berikut :
يَارَسُوْلَ اللهِ إِنِّي قَدْ جِئْتَكَ مُسْتَغْفِرًامِنْ ذَنْبِى مُتَشَفِّعًا بِكَ إِلَى رَبِّى
Ya Rasulullah sesungguhnya aku datang menghadap engkau seraya memohon syafa’atmu guna memohon ampun kepada Tuhanku dari dosaku”.

Jumat, 10 Mei 2013

PYPD - 8. Tolok Ukur Kekufuran dan Keimanan Seseorang




Prof. DR. Sayyid Muhammad Alawi Al-Maliki



Sekelompok kaum yang sesat berpegangan pada makna dan bunyi lahiriyah ayat-ayat mutasyabihat, tidak dibarengi dengan memperhatikan qarinah-qarinah (indikasi, pokok persoalan) dan maksud yang terkandung didalamnya, serta tidak memandang ayat-ayat tersebut secara komprehenshif (menyeluruh) dalam kaitannya dengan ayat-ayat lainnya. Misalnya kaum muktazilah memandang kemakhlukan Al-Qur’an dengan mendasarkan diri pada firman Allah swt

إِنَّا جَعَلْنَاهُ قُرْءَانًا عَرَبِيًّا لَعَلَّكُمْ تَعْقِلُونَ

Sesungguhnya Kami menjadikan Al Qur'an dalam bahasa Arab supaya kamu memahami (nya).” (QS Az-Zukhruf,[43] : 3)

Golongan Qadariyah memandang kebebasan manusia dalam berkehendak dan bertindak, dengan mendasarkan diri pada firman Allah swt :

وَمَا أَصَابَكُمْ مِنْ مُصِيبَةٍ فَبِمَا كَسَبَتْ أَيْدِيكُمْ

Dan apa musibah yang menimpa kamu maka adalah disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri.” (QS Asy-Syura,[42] : 30)

وَنُودُوا أَنْ تِلْكُمُ الْجَنَّةُ أُورِثْتُمُوهَا بِمَا كُنْتُمْ تَعْمَلُونَ

Dan diserukan kepada mereka: "Itulah surga yang diwariskan kepadamu, disebabkan apa yang dahulu kamu kerjakan." (QS Al-A’raf,[7] : 43)

dan ayat-ayat lainnya. Sementara golongan Jabbariyah memandang keserbaterpaksaan manusia, dengan berpegangan pada firman Allah swt :

وَاللَّهُ خَلَقَكُمْ وَمَا تَعْمَلُونَ

Padahal Allah-lah yang menciptakan kamu dan apa yang kamu perbuat itu". (QS As-Shaffat,[37] : 96)

وَمَا رَمَيْتَ إِذْ رَمَيْتَ وَلَكِنَّ اللَّهَ رَمَى

dan bukan kamu yang melempar ketika kamu melempar, tetapi Allah-lah yang melempar.” (QS Al-Anfal,[8] 17)

Dari semuanya itu maka terbukalah tabir, bahwa setiap muslim selain golongan Qadariyah berpendapat bahwa gerak-gerik perbuatan manusia adalah diciptakan Allah swt, sebagaimana yang dijelaskan oleh QS Al-A’raf’[7] : 43 dan Al-Anfal,[8] : 17. Meski demikian, manusia masih memiliki sifat menentukan perbuatannya menurut segi ta’alluq-nya yang lain, yakni yang diungkapkan dalam bentuk usaha, ikhtiar atau perbuatan, sebagaimana yang dijelaskan oleh QS Al-Baqarah,[2] : 286

لَهَا مَا كَسَبَتْ وَعَلَيْهَا مَا اكْتَسَبَتْ

“Ia mendapat pahala (dari kebajikan) yang diusahakannya dan ia mendapat siksa (dari kejahatan) yang dikerjakannya.” (QS Al-Baqarah,[2] : 286)

وَمَا أَصَابَكُمْ مِنْ مُصِيبَةٍ فَبِمَا كَسَبَتْ أَيْدِيكُمْ

“Dan apa musibah yang menimpa kamu maka adalah disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri” (QS Asy-Syura,[42] : 30)

Dan masih banyak ayat lain yang secara tegas mengaitkan adanya otoritas suatu perbuatan atau usaha pada diri manusia. Dari segi keharusan Ta’alluq-nya sifat Qudrat terhadap makhluk, tidaklah dalam bentuk penciptaan (mengadakan yang tiada dan meniadakan yang ada) semata, karena sifat Qudrat Allah pada zaman azali telah berta’alluq dengan alam semesta ini sebelum ia diciptakan dalam wujudnya seperti sekarang ini. Ta’alluq semacam ini disebut Ta’alluq shuluhi qadim. Sifat Qudrat Allah sewaktu menciptakan alam ini adalah berta’alluq dengannya dalam bentuk Ta’alluq yang lain, yakni Ta’alluq tanjizi.

 

Hakekat Penisbatan Perbuatan Pada Manusia

Dari sini jelaslah bahwa ta’alluqnya sifat Qudrat tidaklah terkhusus atau tertentu dengan tercapainya Maqdur (makhluk, sesuatu yang menjadi obyek sifat Qudrat). Perbuatan manusia dinisbatkan kepadanya adalah atas dasar usaha-nya, bukan dalam pengertian bahwa usaha tersebut diciptakan oleh manusia itu sendiri, karena Allah-lah pada hekekatnya yang menciptakan, menentukan dan menghendaki perbuatan manusia tersebut. Penjelasan ini tidak dapat disangkal dengan pernyataan bahwa, bagaimana mungkin Allah swt menghendaki manusia untuk melakukan perbuatan apa saja yang dilarang-Nya, seperti perintah-Nya kepada manusia agar tetap beriman, sementara di sisi lain sebagian mereka tidak menghendaki keimanan tersebut,  sebagaimana firman-Nya :

وَمَا أَكْثَرُ النَّاسِ وَلَوْ حَرَصْتَ بِمُؤْمِنِينَ

Dan sebagian besar manusia tidak akan beriman --walaupun kamu sangat menginginkannya.” (QS Yusuf,[12] : 103).

Untuk itu, penisbatan suatu perbuatan pada diri manusia adalah termasuk menisbatkan musabbab (akibat) kepada sebab atau kepada perantara (wasithah). Dan ini bukan sesuatu yang kontradiktif, oleh karena Penyebab dari semua sebab (Causa Prima, Sumber Sebab), yakni Allah swt, itulah yang menciptakan perantara dan yang menciptakan konsep keperantaraan pada perantara atau wasithah tersebut. Sekiranya Allah swt tidak menitipkan Af’al-Nya kepada perantara tersebut, maka tidaklah pantas perantara tersebut disebut sebagai perantara, baik ia berupa benda tidak berakal seperti benda padat, bintang-bintang di langit, hujan, api, dan lain-lain, maupun berupa benda-benda berakal seperti malaikat,  manusia dan jin.