Sekelompok kaum yang sesat berpegangan pada makna dan bunyi lahiriyah
ayat-ayat mutasyabihat, tidak dibarengi dengan memperhatikan qarinah-qarinah
(indikasi, pokok persoalan) dan maksud yang terkandung didalamnya, serta tidak
memandang ayat-ayat tersebut secara komprehenshif (menyeluruh) dalam kaitannya
dengan ayat-ayat lainnya. Misalnya kaum muktazilah memandang kemakhlukan
Al-Qur’an dengan mendasarkan diri pada firman Allah swt
“dan bukan kamu yang melempar ketika kamu melempar,
tetapi Allah-lah yang melempar.” (QS Al-Anfal,[8] 17)
Dari semuanya itu maka terbukalah tabir, bahwa setiap muslim selain
golongan Qadariyah berpendapat bahwa gerak-gerik perbuatan manusia adalah
diciptakan Allah swt, sebagaimana yang dijelaskan oleh QS Al-A’raf’[7] : 43 dan
Al-Anfal,[8] : 17. Meski demikian, manusia masih memiliki sifat menentukan
perbuatannya menurut segi ta’alluq-nya yang lain, yakni yang diungkapkan dalam
bentuk usaha, ikhtiar atau perbuatan, sebagaimana yang dijelaskan oleh QS
Al-Baqarah,[2] : 286
لَهَا مَا كَسَبَتْ وَعَلَيْهَا مَا اكْتَسَبَتْ
“Ia mendapat pahala (dari kebajikan) yang diusahakannya dan
ia mendapat siksa (dari kejahatan) yang dikerjakannya.” (QS Al-Baqarah,[2] :
286)
“Dan apa musibah yang menimpa kamu maka adalah disebabkan
oleh perbuatan tanganmu sendiri” (QS Asy-Syura,[42] : 30)
Dan masih banyak ayat lain yang secara tegas mengaitkan adanya otoritas
suatu perbuatan atau usaha pada diri manusia. Dari segi keharusan Ta’alluq-nya
sifat Qudrat terhadap makhluk, tidaklah dalam bentuk penciptaan (mengadakan
yang tiada dan meniadakan yang ada) semata, karena sifat Qudrat Allah pada
zaman azali telah berta’alluq dengan alam semesta ini sebelum ia diciptakan
dalam wujudnya seperti sekarang ini. Ta’alluq semacam ini disebut Ta’alluq
shuluhi qadim. Sifat Qudrat Allah sewaktu menciptakan alam ini adalah
berta’alluq dengannya dalam bentuk Ta’alluq yang lain, yakni Ta’alluq
tanjizi.
Hakekat Penisbatan Perbuatan
Pada Manusia
Dari sini jelaslah bahwa ta’alluqnya sifat Qudrat tidaklah
terkhusus atau tertentu dengan tercapainya Maqdur (makhluk, sesuatu yang
menjadi obyek sifat Qudrat). Perbuatan manusia dinisbatkan kepadanya adalah
atas dasar usaha-nya, bukan dalam pengertian bahwa usaha tersebut diciptakan
oleh manusia itu sendiri, karena Allah-lah pada hekekatnya yang menciptakan,
menentukan dan menghendaki perbuatan manusia tersebut. Penjelasan ini tidak
dapat disangkal dengan pernyataan bahwa, bagaimana mungkin Allah swt
menghendaki manusia untuk melakukan perbuatan apa saja yang dilarang-Nya,
seperti perintah-Nya kepada manusia agar tetap beriman, sementara di sisi lain
sebagian mereka tidak menghendaki keimanan tersebut,sebagaimana firman-Nya :
“Dan sebagian besar manusia tidak akan beriman --walaupun
kamu sangat menginginkannya.” (QS Yusuf,[12] : 103).
Untuk itu, penisbatan suatu perbuatan pada diri manusia adalah termasuk
menisbatkan musabbab (akibat) kepada sebab atau kepada perantara
(wasithah). Dan ini bukan sesuatu yang kontradiktif, oleh karena Penyebab
dari semua sebab (Causa Prima, Sumber Sebab), yakni Allah swt,
itulah yang menciptakan perantara dan yang menciptakan konsep keperantaraan
pada perantara atau wasithah tersebut. Sekiranya Allah swt tidak menitipkan Af’al-Nya
kepada perantara tersebut, maka tidaklah pantas perantara tersebut disebut
sebagai perantara, baik ia berupa benda tidak berakal seperti benda padat,
bintang-bintang di langit, hujan, api, dan lain-lain, maupun berupa benda-benda
berakal seperti malaikat,manusia dan
jin.