Kamis, 20 Juni 2013

PYPD - 23. Persoalan Istighotsah




Oleh: Sayyid Muhammad Alawi Al-Maliki




1. Beribadah dan memohon bantuan hanya kepada Allah swt

Allah swt berfirman didalam QS Al-Fatihah,[1] : 5

إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ(5)
Hanya kepada-Mu lah kami menyembah dan hanya kepada Engkaulah kami memohon pertolongan"

Kami yakin sepenuhnya dan tiada keraguan sedikit pun, bahwa memohon pertolongan (Istighatsah,   إستغاثة),memohon bantuan (Isti’anah, استعانة), memohon sesuatu perlindungan (Isti’adzah, استعاذة) dan berdoa, pada prinsipnya hanyalah ditujukan kepada Allah swt, karena hanya Dia -lah sebenarnya yang menentukan, memutuskan, menolong dan mengabulkan semua permohonan.

Allah swt berfirman :

وَلَا تَدْعُ مِنْ دُونِ اللَّهِ مَا لَا يَنْفَعُكَ وَلَا يَضُرُّكَ فَإِنْ فَعَلْتَ فَإِنَّكَ إِذًا مِنَ الظَّالِمِينَ(106)وَإِنْ يَمْسَسْكَ اللَّهُ بِضُرٍّ فَلَا كَاشِفَ لَهُ إِلَّا هُوَ وَإِنْ يُرِدْكَ بِخَيْرٍ فَلَا رَادَّ لِفَضْلِهِ يُصِيبُ بِهِ مَنْ يَشَاءُ مِنْ عِبَادِهِ وَهُوَ الْغَفُورُ الرَّحِيمُ(107)
Dan janganlah kamu menyembah apa-apa yang tidak memberi manfaat dan tidak pula memberi madharat kepadamu selain Allah swt. Sebab jika kamu berbuat (yang demikian) itu, maka Sesungguhnya kamu kalau begitu termasuk orang-orang yang zhalim. Jika Allah menimpakan sesuatu kemadharatan kepadamu, maka tidak ada yang dapat menghilangkannya kecuali Dia. Dan jika menghendaki kebaikan bagi kamu, maka tidak ada yang dapat menolak karunia-Nya. Dia memberikan kebaikan itu kepada siapa saja yang dikehendaki-Nya di antara hamba-hamba-Nya dan Dialah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang” (QS Yunus,[10]: 106-107)

Allah swt berfirman :

فَابْتَغُوا عِنْدَ اللَّهِ الرِّزْقَ وَاعْبُدُوهُ وَاشْكُرُوا لَهُ 
Maka mintalah rizki itu di sisi Allah, dan sembahlah Dia, dan bersyukurlah kepada-Nya” (QS Al-Ankabut,[29] : 17)

Allah swt berfirman didalam surat Al-Ahqaf.[46] : 5

وَمَنْ أَضَلُّ مِمَّنْ يَدْعُو مِنْ دُونِ اللَّهِ مَنْ لَا يَسْتَجِيبُ لَهُ إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ وَهُمْ عَنْ دُعَائِهِمْ غَافِلُونَ(5)
Dan siapakah yang lebih sesat daripada orang yang menyembah sembahan-sembahan selain Allah yang tiada dapat memperkenankan (do`a) nya sampai hari kiamat dan mereka lalai dari (memperhatikan) do`a mereka?”

Allah swt berfirman didalam surat An-Naml,[27] : 62

أَمَّنْ يُجِيبُ الْمُضْطَرَّ إِذَا دَعَاهُ
Atau siapakah yang memperkenankan (do`a) orang yang dalam kesulitan apabila ia berdo`a kepada-Nya,” 

Segala bentuk peribadatan harus ditujukan hanya kepada Allah swt, tidak boleh untuk sesuatu selain-Nya. Allah swt berfirman :

قُلْ إِنَّ صَلَاتِي وَنُسُكِي وَمَحْيَايَ وَمَمَاتِي لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ(162)لَا شَرِيكَ لَهُ وَبِذَلِكَ أُمِرْتُ وَأَنَا أَوَّلُ الْمُسْلِمِينَ(163)
“Katakanlah: "Sesungguhnya shalatku, ibadatku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam, tiada sekutu bagi-Nya; dan demikian itulah yang diperintahkan kepadaku dan aku adalah orang yang pertama-tama menyerahkan diri (kepada Allah)". (QS Al-An’am,[6] : 162-163)

Atas dasar ayat di atas, maka tidak boleh bernadzar kecuali karena Allah swt; tidak boleh berdoa selain kepada-Nya; tidak ada kurban persembahan kecuali karena Allah swt; tidak boleh istighatsah (mengajukan keluh kesah untuk memohon pertolongan), isti’anah (memohon bantuan), isti’adzah (memohon perlindungan) dan bersumpah kecuali dengan atas nama-Nya. Dan tidak boleh bertawakkal (pasrah) kecuali kepada Allah swt.
Kami berkeyakinan bahwa Allah swt adalah Pencipta bagi hamba-Nya, termasuk perbuatannya. Tiada kekuatan dan otoritas bagi manusia kecuali Allah swt, baik ia masih hidup maupun sudah wafat. Tiada seorang pun yang menyertai Allah swt dalam semua perbuatan-Nya, juga dalam hal memberi rizki, menghidupkan, mematikan dan perbuatan lainnya. Tiada seorang pun makhluk yang mampu secara mutlak berbuat dan meninggalkannya sendiri lepas dari bantuan yang lain, kecuali atas bantuan Allah swt.
 Allah swt adalah Tuhan yang mengatur, menguasai, dan mengendalikan alam semesta ini. Tiada seorang pun yang memiliki kekuasaan, kecuali jika Allah swt memberikannya kepadanya dan memberikan izin kepadanya untuk meraihnya.
Tiada seorang pun yang mampu mendatangkan manfaat, madharat, mati dan hidup kepada dirinya sendiri, apalagi kepada orang lain, kecuali atas kehendak dan izin Allah swt. Datangnya kemanfaatan dan kemadharatan ketika itu terbatas dan tergantung pada izin-Nya.
Dengan kata lain, penisbatan (hubungan keterkaitan) Allah swt  dalam memberikan kemanfaatan dan kemadharatan atau lainnya kepada makhluk-Nya hanyalah melalui jalan tasabbub (melalui proses sebab-akibat) dan usaha, bukan dengan cara penciptaan, pengadaan, memberi pengaruh, atau menciptakan sebab dan daya.  Jadi, penisbatan tersebut pada hakekatnya adalah bersifat Majazi (kiasan, tidak sebenarnya) dan bukan bersifat Hakiki. Akan tetapi banyak orang yang berbeda pandangan dalam memahami dan mengungkapkan hakekat kenyataan ini.
Di antara mereka ada yang berpegangan  pada makna majazi ini secara berlebihan, sehingga menyebabkan mereka terjebak melakukan pen-Tasybihan (penyerupaan) secara lafzhiyah (dalam bentuk kata-kata), yakni seakan-akan Allah swt menyamai makhluk-Nya atau immanen pada makhluk-Nya. Padahal didalam hati mereka tidak ada maksud dan niatan untuk melakukan yang demikian itu. Hati mereka tetap bersih, selamat, dan konsisten berpegang pada kesempurnaan tauhid, serta masih mengakui ketransendenan (kemahasucian) Allah swt.
Sebaliknya di antara mereka ada yang berpegangan pada makna hakiki secara ekstrim, melebihi batas moderat, sehingga menyebabkan mereka keras kepala dan bertindak sewenang-wenang terhadap orang lain yang tidak sefaham dengan mereka. Hal ini ditunjukkan oleh sikap mereka yang dengan seenaknya memutarbalikkan suatu keyakinannya, membelokkan suatu pemahaman kepada suatu makna yang sama sekali tidak mereka maksudkan, dan suka menjatuhkan vonis atau tuduhan (kafir, musyrik, bid’ah, sesat dan lain-lain) kepada orang lain yang sebenarnya ia bebas darinya.
Sikap yang seharusnya kita miliki adalah I’tidal (moderat, jalan tengah), menjauhkan diri dari semua sikap  ekstrim   seperti berlebih-lebihan   berpegang  pada makna majazi atau secara kaku berpegang pada makna hakiki, sebagaimana penjelasan di atas. Sikap inilah yang lebih menyelamatkan kemurnian agama dan lebih berhati-hati dalam menjaga  posisi kemurnian tauhid.  Wallahu a’lam.
Sesepuh Islam Ibnu Taimiyah telah menuturkan suatu ringkasan pendapat yang penting dan bermanfaat dalam menjelaskan apa saja yang secara spesifik merupakan hak mutlak Allah swt. Dalam hal ini sebenarnya sesuai dengan inti keyakinan/akidah kami dan sikap kami dalam beragama. Karena akidah kami pada dasarnya sejalan dengan akidah salaf, dan berkat anugerah Allah swt , jalan yang kami tempuh pun sesuai dengan sunnah Rasulullah saw. Oleh karena itu kami pun sejalan dengan pendapat Ibnu Taimiyah seperti di bawah ini.
Ibnu Taimiyah berpendapat, bahwa Allah swt telah menetapkan suatu Hak bagi diri-Nya yang tidak  boleh disekutui oleh seorang pun makhluk. Di antaranya adalah bahwa, tidak  selayaknya beribadah kecuali ditujukan kepada Allah swt;  tidak boleh berdoa kecuali kepada-Nya; tidak boleh bertawakkal kecuali kepada-Nya; tiada berharap dan cemas melainkan kepada-Nya; tiada tempat berlindung kecuali berlindung kepada-Nya; tiada yang mampu mendatangkan kebaikan dan menghilangkan keburukan melainkan Dia; serta tiada daya dan kekuatan melainkan dengan pertolongan-Nya.

Allah swt berfirman :

وَلَا تَنْفَعُ الشَّفَاعَةُ عِنْدَهُ إِلَّا لِمَنْ أَذِنَ لَهُ
Tiadalah berguna suatu syafaat di sisi Allah swt kecuali bagi orang yang telah diizinkan-Nya untuk memperolehnya” (QS Saba’,[34] : 23).

مَنْ ذَا الَّذِي يَشْفَعُ عِنْدَهُ إِلَّا بِإِذْنِهِ
Tiada yang mampu memberikan syafaat di sisi Allah swt tanpa izin-Nya” (QS Al-Baqarah,[2] : 255).

   إِنْ كُلُّ مَنْ فِي السَّمَوَاتِ وَالْأَرْضِ إِلَّا ءَاتِي الرَّحْمَنِ عَبْدًا(93)لَقَدْ أَحْصَاهُمْ وَعَدَّهُمْ عَدًّا(94)وَكُلُّهُمْ ءَاتِيهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ فَرْدًا(95)
Tidak ada seorangpun di langit dan di bumi, kecuali akan datang kepada Tuhan Yang Maha Pemurah selaku seorang hamba. Sesungguhnya Allah telah menentukan jumlah mereka dan menghitung mereka dengan hitungan yang teliti. Dan tiap-tiap mereka akan datang kepada Allah pada hari kiamat dengan sendiri-sendiri.” (QS Maryam,[19] : 93-95)

وَمَنْ يُطِعِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ وَيَخْشَ اللَّهَ وَيَتَّقْهِ فَأُولَئِكَ هُمُ الْفَائِزُونَ(52)
Dan barangsiapa yang taat kepada Allah dan rasul-Nya dan takut kepada Allah dan bertakwa kepada-Nya, maka mereka adalah orang-orang yang mendapat kemenangan.” (QS An-Nur,[24] : 52)

Ayat teresebut menjerlaskan bahwa Allah swt menetapkan Ketaatan hanya untuk diri-Nya dan Rasul-Nya, serta menjadikan rasa Takut dan Takwa hanya untuk diri-Nya sendiri. Demikian pula, yang berhak menerima ketaatan adalah Allah swt dan Rasulullah saw , sementara yang berhak menerima tawakkal dan pengharapan dari semua makhluk hanya Allah swt, sebagaimana yang dijelaskan didalam firman-Nya :

وَلَوْ أَنَّهُمْ رَضُوا مَا ءَاتَاهُمُ اللَّهُ وَرَسُولُهُ وَقَالُوا حَسْبُنَا اللَّهُ سَيُؤْتِينَا اللَّهُ مِنْ فَضْلِهِ وَرَسُولُهُ إِنَّا إِلَى اللَّهِ رَاغِبُونَ(59)
  Jikalau mereka sungguh-sungguh ridha dengan apa yang diberikan Allah dan Rasul-Nya kepada mereka, dan berkata: "Cukuplah Allah bagi kami, Allah akan memberikan kepada kami sebahagian dari karunia-Nya dan demikian (pula) Rasul-Nya, sesungguhnya kami adalah orang-orang yang berharap kepada Allah", (tentulah yang demikian itu lebih baik bagi mereka).” (QS At-Taubah,[9] : 59)

Demikianlah yang dituturkan oleh Ibnu Taimiyah didalam kitab Al-Fatawa, juz  11, hal. 98.



2. Memohon pertolongan dan mengajukan permintaan kepada Rasulullah

Sebagaimana yang telah kami sampaikan di muka, kami benar-benar berkeyakinan, dan tidak ada syak serta keraguan sedikit pun, bahwa memohon pertolongan, perlindungan, berdoa dan mengajukan suatu permohonan, pada prinsipnya, merupakan Hak yang harus ditujukan hanya kepad Allah swt. Karena Dia-lah sebenarnya yang mampu menentukan , memutuskan, menolong dan mengabulkan semua permohonan hamba-Nya.

Sebagaimana firman-Nya :

وَقَالَ رَبُّكُمُ ادْعُونِي أَسْتَجِبْ لَكُمْ إِنَّ الَّذِينَ يَسْتَكْبِرُونَ عَنْ عِبَادَتِي سَيَدْخُلُونَ جَهَنَّمَ دَاخِرِينَ(60)
Dan Tuhanmu berfirman: "Berdo`alah kepada-Ku, niscaya akan Kuperkenankan bagimu. Sesungguhnya orang-orang yang menyombongkan diri dari menyembah-Ku akan masuk neraka Jahannam dalam keadaan hina dina". (QS Al-Mukmin,[40] : 60).

Oleh karenanya, jika seseorang berdoa memohon pertolongan, perlindungan atau mengajukan suatu permintaan kepada seorang makhluk, baik yang masih hidup maupun yang sudah mati, disertai suatu keyakinan bahwa makhluk yang diserunya itulah yang secara mutlak  mengabulkan, memberi manfaat dan menolak bahaya, lepas dari bantuan dan izin Allah swt, maka ia benar-benar melakukan perbuatan syirik.
Meskipun demikian, Allah swt memperbolehkan bagi sebagian makhluk-Nya untuk meminta bantuan dan pertolongan kepada sebagian yang lain. Bahkan Allah swt memerintahkan kepada orang yang dimintai pertolongan, permohonan, perlindungan dan bantuan, agar ia mengabulkan permohonan orang tersebut.
Banyak hadis Nabi yang menjelaskan persoalan semacam di atas. Rasulullah saw sendiri sering didatangi para sahabat yang bermaksud meminta bantuan dan pertolongan kepada  beliau dalam memecahkan problem dan memenuhi kebutuhan hidup mereka. Kemudian beliau pun mengabulkan permintaan mereka. Di antaranya mereka mengadukan persoalan hidupnya seperti masalah kemiskinan, sakit, musibah yang menimpanya, lilitan hutang, dan berbagai macam kesulitan hidup yang lain. Semua itu mereka lakukan dengan suatu keyakinan bahwa beliau tiada lain adalah sebagai “Wasilah”, perantara untuk berdoa kepada Allah swt dalam rangka mendatangkan kemanfaatan dan menolak kemadharatan, sedangkan “Pelaku” yang hakiki yang sebenarnya mampu mengabulkabn semua permintaan mereka adalah Allah swt.
  
1). Abu Hurairah ra mengadukan kelalaiannya kepada Rasulullah saw.  Imam Bukhary menuturkan sebuah hadis dari riwayat Abu Hurairah yang menjelaskan tentang seringnya ia lupa dan daya ingatnya lemah setiap kali mendengar sabda Rasulullah saw. Ia mengadukan persoalannya tersebut kepada beliau dengan harapan agar daya ingatnya kuat dan tidak sering lupa: “Wahai Rasulullah ! Cukup banyak hadis yang aku dengar dari engkau, akan tetapi banyak hadis yang aku sudah lupa. Aku ingin agar daya ingatku kuat sehingga tidak mudah lupa” . Beliau saw bersabda, “Beberkanlah kain sorbanmu”. Abu Hurairah ra lalu membeberkan kainnya, lalu tangan beliau yang mulia (seakan-akan) menangkap sesuatu di udara dan diletakkan didalam kain sorban Abu Hurairah seraya bersabda, “Dekaplah (sesuatu itu)”. Segeralah ia mendekapnya. Abu Hurairah ra berkata, “Setelah peristiwa itu, aku tidak pernah lupa lagi” (HR Bukhary, pada bagian Kitabul’ilmi, bab Menghafal ilmu, hadis nomor 119)
 Itulah cara Abu Hurairah ra meminta kepada Rasulullah saw agar penyakit “lupa” hilang dari dirinya. Keajaiaban semacam ini sebenarnya merupakan suatu kejadian yang tidak mampu dilakukan oleh siapa pun kecuali atas izin Allah swt. Dan Rasulullah saw ternyata mengabulkan permintaan Abu Hurairah tersebut, tidak menolaknya dan tidak menuduhnya Syirik, karena beliau saw tahu bahwa memohon bantuan kepada orang-orang yang memiliki kedudukan dan kemuliaan di sisi Allah swt adalah bukan berarti menghendaki atau meminta mereka untuk menciptakan sesuatu (seperti layaknya yang dilakukan Allah swt ) , dan si pemohon pun tidak memiliki keyakinan seperti itu kepada mereka, akan tetapi ia sekedar menghendaki untuk menjadikan mereka sebagai Wasilah atau menjadi penyebab Allah swt dalam mengabulkan permintaannya, disebabkan mereka memiliki keutamaan dan kedudukan di sisi Allah swt , baik berupa kemanjuran doa, maupun keistimewaan mendatangkan keajaiban yang lain.
Nah, dari hadis di atas, Anda melihat bahwa Rasulullah saw mengabulkan permintaan Abu Hurairah ra dan tidak dijelaskan didalam kisah tersebut bahwa beliau mendoakannya. Akan tetapi yang beliau lakukan adalah tangan beliau seakan menangkap sesuatu di udara, lalu diletakkan didalam kain sorban Abu Hurairah, kemudian memerintahkan kepadanya agar mendekapnya ke dadanya. Sehingga Allah swt menjadikan hal itu sebagai “sebab”  terpenuhinya permintaan atau hajat Abu Hurairah.
Rasulullah saw tidak mengatakan kepada Abu Hurairah “Kenapa kamu meminta kepadaku, padahal Allah swt lebih dekat kepada kalian dariada aku!”.

2). Qatadah ra memohon bantuan   untuk mengobati matanya. Dituturkan didalam sebuah hadis, bahwa Qatadah bin Nu’man ra tertimpa penyakit mata. Pupil matanya keluar seakan menggantung di atas pipinya. Para sahabat menyarankan agar pupil matanya diputuskan saja. “Oh, jangan”, jawab Qatadah ra, sehingga ia meminta persetujuan Rasulullah saw . Namun beliau saw tidak menyetujuinya, lalu telapak tangan beliau memegang pupil mata Qatadah dan memasukkannya ke kelopak matanya seperti semula, sehingga matanya menjadi sembuh, bahkan kondisinya lebih baik lagi.
Hadis di atas diriwayatkan oleh Al-Baghawy dan Abu Ya’la. Imam ad-Daruquthny, Ibnu Syahin dan Al-Baihaqy mengetenaghkan hadis ini didalam kitab Ad-Dalail, yang kemudian dinukil oleh Al-Hafizh Ibnu Hajar didalam kitab Al-Ishabah pada juz 3, hal. 225. Juga dinukil oleh Al-Haitsamy didalam kitab Majma’ al-Zawaid pada juz 4, hal. 297. Kemudian juga dinukil oleh As-Suyuthy didalam kitab Al-Khashaish al-Kubra.

3). Meminta Rasulullah saw untuk menghilangkan bisul.  Hadis dari Muhammad bin Uqbah bin Syurahbil, dari kakeknya, Abdurrahman, dari ayahnya, bahwa ia berkata: “Aku sowan menemui Rasulullah saw untuk mengadukan bisul di telapan tanganku, “Wahai Nabi Allah! Bisul ini menyusahkanku sewaktu memedang pedang dan kendali kuda”. Rasulullah saw bersabda,  Mendekatlah kepadaku”. Lantas aku mendekat dan beliau meniup telapak tanganku, terus meletakkan tangannya   ke atas bisul. Sehabis itu, bisulku hilang tanpa bekas”. (HR At-Thabrany dan dinukil oleh Al-Haitsamy didalam kitabnya Majma’ al-Zawaid, juz 8, hal. 298).

4). Mu’adz bin Amr meminta agar lengan tangannya yang terputus disambungkan. Di tengah-tengah pertempuran Badar, Ikrimah bin Abu Jahal berhasil menebas lengan tangan Mu’adz bin Amr bin Jamuh ra. Ia bercerita, “Dia (Ikrimah) menebas tanganku, namun ia masih menggantung di badanku disebabkan ada kulit yang tidak sempat putus. Aku terus berperang sepanjang hari itu dan aku selipkan tanganku tersebut di balik punggungku. Namun hal itu mengganggu gerakanku, lalu aku   lenganku itu.”
Didalam kitab Al-Mawahib diceritakan bahwa Mu’adz datang menemui Rasulullah saw sambil membawa potongan lengannya  akibat tebasan pedang Ikrimah tersebut, seperti yang dituturkan oleh Al-Qadhi ‘Iyadh dari Ibnu Wahab. Kemudian beliau saw meludahi lengan tersebut dan meletakannya ke tempat semula, sehingga menjadi tersambung kembali seperti keadaan sebelumnya.
Kisah di atas dituturkan juga oleh Az-Zarqany dan menyandarkannya kepada Ibnu Ishak. Di antara sanad-nya itu ada nama  imam Al-Hakim.  

5). Meminta bantuan dan pertolongan sewaktu tertimpa bencana. Cukup banyak nash hadis shahih yang menceritakan bahwa sewaktu tertimpa bencana atau cobaan berupa kemarau panjang akibat lama tidak turun hujan, para sahabat meminta bantuan kepada Rasulullah saw .
Seorang A’raby meminta pertolongan kepada Rasulullah saw sewaktu beliau sedang berkhutbah jum’at, “Wahai Rasulullah saw ! Harta benda (sawah ladang, ternak dll) rusak berantakan dan kembang mayang pohon-pohon berguguran. Doakanlah kami, agar Allah swt menurunkan hujan kepada kami”.   Rasulullah saw kemudian berdoa, maka turunlah hujan yang sangat deras terus menerus selama satu pekan. Pada hari jum’at berikutnya, A’raby tersebut datang menemui Rasulullah saw seraya melaporkan, “Ya Rasulullah saw ! Dengan turunnya hujan kemarin, banyak rumah yang roboh, kembang mayang berguguran, dan banyak ternak yang mati …”  Maka Rasulullah saw berdoa lagi kepada Allah swt agar hujan diredakan dan dialihkan ke daerah sekitarnya. Tidak lama berselang, arakan awan tebal pecah dan menyebar, sehingga hujan turun di sekitar kota Madinah saja. (HR Bukhary didalam kitab Shahih-nya, pada bagian “Kitab al-Istisqa’”, bab “Permintaan masyarakat kepada imam untuk shalat istisqa’  sewaktu tertimpa bencana kekringan”.)
Abu Dawud meriwayatkannya dengan sanad jayyid (sanad baik) dari ‘Aisyah ra. Aisyah bercerita, bahwa Orang-orang mengadu kepada Rasulullah saw mengenai musim kering yang melanda mereka. Hadis ini dinukil oleh Abu Dawud didalam kitabnya pada bagian “Kitabus shalat”, bab “Shalat Istisqa’”.
Anas bin Malik ra menceritakan, bahwa seorang A’raby datang menemui Rasulullah saw seraya mengadu, “Wahai Rasulullah saw ! Saya datang menemui engkau dalam keadaan unta-unta kami tidak lagi dapat berdiri dan bayi-bayi tidak dapat tidur nyenyak” Kemudian ia mendendangkan syair yang isinya melaporkan keadaan akibat musim kemarau panjang, bahwa harta benda (ternak, bahan makanan, dll) rusak berantakan, masyarakat banyak yang  lemah dan terserang penyakit, sehingga tidak mampu lagi mengatasi bencana yang sedang terjadi. Pada bagian akhir syairnya, ia memohon kepada Rasulullah saw : “Tidak ada lagi tempat bergantung bagi kami selain engkau, Wahai Rasulullah saw ! Mau kemana lagi orang-orang akan bergantung, kalau tidak kepada Rasulullah saw !” .
Kemudian Rasulullah saw segera mengambil kain sorbannya dan naik ke atas mimbar, lalu berdoa :

اللـهمّ اسقنا غيثاً مُغيثا مريـئاً مريـعاً غَدَقاً طِبْقاً نافعا غير ضارّ عاجلا غير رائِثٍ تملاء به الضرعُ, و تنبت به الزرعُ, و تحيي به الارض بعد موتـها
Ya Allah! Turunkanlah hujan yang deras kepada kami, yang mudah, baik, cocok, bermanfaat, tidak membahayakan, sekarang juga dan tidak perlu ditunda, yang menyebabkan hewan-hewan ternak penuh air susunya, tetumbuhan tumbuh subur, dan dapat menyuburkan tanah yang sesudah lama mengering”.

Beliau saw belum sampai menarik tangan yang sedang ditengadahkannya ke atas, maka  hujan turun dengan derasnya. Tidak lama kemudian orang-orang datang sambil ribut karena banjir, kemudian beliau saw berdoa :

حـواليـنا و لا عـلـيـنا
Ya Allah, turunkanlah hujan hanya di sekitar kami dan jangan sampai mencelakakan kami”.
Mendung tebal lalu pecah dan menyebar dari kota Madinah ke daerah sekitarnya.

Anda perhatikan, bagaimana para sahabat menisbatkan memohon pertolongan dan kemanfaatan kepada Rasulullah saw secara majazi. Demikian pula seorang A’raby di atas, pada ujung syairnya ia mengatakan, “Tidak ada lagi tempat bergantung bagi kami selain kepada engkau…”. Namun Rasulullah saw tidak menuduh mereka telah melakukan kesyirikan, karena penisbatan tersebut adalah bersifat Idhafy atau Majazy, bukan Hakiky.
 


3. Tiada perbedaan mati dan hidup : Kasus kematian Hamzah

 Hadis riwayat Ibnu Syadzan yang bersumber dari Ibnu Mas’ud ra, ia menceritakan : “Kami tidak pernah melihat Rasulullah saw menangis dengan begitu kerasnya melebihi tangisannya sewaktu Hamzah bin Abdulmuthalib wafat. Beliau membaringkan jenazahnya menghadap ke arah kiblat, lalu memandanginya sambil menangis meratapi kepergiannya, “Wahai Hamzah, pamannya Rasulullah saw, Singanya Allah swt dan Rasul-Nya. Wahai Hamzah, si Pelaku kebaikan. Wahai Hamzah, si Pelipur lara, si Pembebas bencana.!”.  (Tertulis didalam kitab Al-Mawahib al-Laduniyah, juz 1; hal. 212)
Tiada bedanya antara mati dan hidup. Ada segelintir orang yang mengatakan bahwa memohon pertolongan, mengadukan problem, memohon syafaat dan bantuan, serta permohonan lainnya kepada Rasulullah saw , hanyalah diperbolehkan selama beliau masih hidup. Setelah beliau wafat, permohonan semacam ini termasuk perbuatan “kufur”, menurut golongan ekstrim. Barangkali istilah yang lebih sopan dan toleran: “tidak disyariatkan” atau “tidak diperbolehkan”.
Kami berpendapat, bahwa hal semacam itu boleh-boleh saja dilakukan, sekalipun Rasulullah saw sudah wafat. Karena para Nabi dan juga para kaum shalihin yang sudah meninggal dunia, pada hakekatnya, mereka adalah hidup, yakni hidup di alam barzah, atau hidup secara ruhani, meskipun jasad mereka sudah hancur menyatu dengan tanah.
Seandainya ada seorang Faqih (Ahli Fikih) yang belum menemukan dalil yang mensahkan keboleh bertawassul dan istighatsah (mohon pertolongan) dengan perantaraan Rasulullah saw setelah wafatnya, kecuali jika hal itu dilakukan semasa hidup beliau, maka cukuplah sebagai dalil. Karena beliau saw pada kenyataannya adalah senantiasa hidup, baik di dunia maupun di akhirat, yang selalu memberikan pertolongan kepada umatnya, dan dengan Izin Allah swt beliau membantu memecahkan problematika mereka, diperlihatkan kepada beliau tentang kondisi mereka, serta shalawat-salam yang diucapkan mereka dihaturkan Allah swt kepada beliau dan ucapan tersebut sampai kepada beliau.
Orang-orang yang memiliki wawasan keilmuan yang luas tentang hal ihwal kehidupan roh-roh beserta keistimewaannya, tentu hati mereka akan terbuka untuk meyakini keberadaan roh-roh tersebut. Terutama tentang kehidupan “Ruhul Arwah”  (Roh dari segala arwah) dan “Nurul Anwar” (Cahaya dari segala cahaya), yakni Nabi Muhammad saw.
 Seandainya memohon syafaat, istighatsah, atau tawassul dengan perantaran Rasulullah saw itu termasuk perbuatan Syirik dan Kufur, sebagaimana yang mereka bayangkan, tentu beliau saw sejak awal tidak akan membolehkan permohonan semacam itu dalam berbagai situasi dan kondisi, baik yang dilakukan mereka kepada beliau semasa hidupnya di dunia, hidup di alam barzah setelah wafatnya, hidup di akhirat setelah hari kiamat, maupun sebelum kiamat, karena yang namanya perbuatan syirik itu sangat dibenci Allah swt dalam berbagai situasi dan kondisi.


4. Anggapan dan Tuduhan yang keliru

Anggapan yang menyatakan bahwa orang yang sudah mati tidak mampu berbuat sedikit pun, adalah anggapan yang batil lagi keliru, apalagi mayit tersebut dianggap sudah hancur lebur menjadi debu. Semua anggapan tersebut menunjukkan kebodohan mereka terhadap apa yang pernah disabdakan Rasulullah saw dan yang telah difirmankan Allah swt, di mana roh yang ditinggalkan oleh jasadnya pada hakekatnya adalah masih hidup.
Rasulullah saw pernah memanggil roh-roh orang yang sudah mati sewaktu perang Badar selesai, “Hai Amr bin Hisyam!  Hai ‘Utbah bin Rabi’ah! Hai Fulan bin fulan! … Sesungguhnya kami sudah menemukan apa-apa yang telah dijanjikan Allah swt kepada kami. Apakah kalian sudah menemukan apa-apa yang telah dijanjikan tuhan-tuhan kalian?”. Ada sahabat yang bertanya kepada beliau saw, “Apa yang sedang engkau lakukan, wahai Rasulullah saw !”. Jawab beliau, “Kalian tidak lebih mendengar terhadap apa yang baru saja aku katakan kepada mereka (roh-roh)”.
Rasulullah saw mengajari kita cara mengucapkan Salam kepada penghuni kubur, yakni ucapan Assalamu ‘alaikum, ya Ahladdiyaril mukminin… (“Salam sejahtera semoga dilimpahkan Allah kepada kalian, wahai penghuni kubur dari kalangan kaum mukminin).
Demikian pula banyak dalil-dalil atau argumentasi  yang menjelaskan adanya siksa dan kenikmatan yang diterima oleh orang yang meninggal dunia didalam kuburnya, juga pendapat mengenai datang dan perginya roh, ternyata dibenarkan oleh para filosof, baik filosof klasik maupuin filosof modern.
Semua riwayat di atas menunjukkan bahwa roh-roh yang telah berpisah dengan jasadnya, pada dasarnya, adalah masih hidup.
Yang perlu kami tanyakan kepada orang-orang yang mengingkari persoalan ini, adalah: “Apakah mereka mempercayai bahwa para syuhada’ yang gugur di medan perang itu hidup di sisi Tuhannya, sebagaimana yang difirmankan didalam Al-Qur’an, ataukah tidak!”.  
Jika mereka menjawab: “Tidak percaya”, maka tidak ada gunanya berbicara dan berdialog dengan mereka. Karena hal itu mereka berarti jelas-jelas membohongi ayat-ayat Al-Qur’an :

وَلَا تَقُولُوا لِمَنْ يُقْتَلُ فِي سَبِيلِ اللَّهِ أَمْوَاتٌ بَلْ أَحْيَاءٌ وَلَكِنْ لَا تَشْعُرُونَ(154)
Dan janganlah kamu mengatakan terhadap orang-orang yang gugur di jalan Allah, (bahwa mereka itu) mati; bahkan (sebenarnya) mereka itu hidup, tetapi kamu tidak menyadarinya.” (QS Al-Baqarah,[2] : 154)

وَلَا تَحْسَبَنَّ الَّذِينَ قُتِلُوا فِي سَبِيلِ اللَّهِ أَمْوَاتًا بَلْ أَحْيَاءٌ عِنْدَ رَبِّهِمْ يُرْزَقُونَ(169)
Janganlah kamu mengira bahwa orang-orang yang gugur di jalan Allah itu mati; bahkan mereka itu hidup di sisi Tuhannya dengan mendapat rezki.” (QS Ali Imran,[3] : 169).
Namun jika jawaban mereka adalah “Percaya”, maka perlu kami tegaskan kepada mereka, bahwa para Nabi dan sebagian besar kaum shalihin yang tidak tergolong Syuhada’, seperti para tokoh dari kalangan generasi sahabat, tentu mereka semua lebih mulia daripada para syuhada’ tersebut. Jika roh para syuhada’  saja diterima dan hidup di sisi Allah saw, apalagi rohnya para Nabi dan para tokoh sahabat Nabi yang jelas memiliki kedudukan yang lebih mulia daripada mereka, tentu lebih diterima dan hidup di sisi Allah swt. Sebagaimana hal ini dijelaskan didalam beberapa hadis shahih.
Sangat tidak benar jika ada yang mengatakan bahwa meminta bantuan kepada Allah swt dengan perantaraan roh-roh para Nabi, kaum shalihin dan para syuhada’, merupakan tindakan yang tidak rasional. Apanya tidak rasional?.
 Pemahaman terhadap persoalan “meminta bantuan” semacam ini tidak jauh dengan pemahaman kita terhadap “meminta bantuan” kepada “Makhluk Ruhani”, yakni para malaikat, dalam rangka lesuksesan usaha dan hajatnya. Sama juga halnya dengan “meminta bantuan” kepada sesama manusia, karena hakekat manusia adalah Roh-nya, bukan jasad-nya.
Aktifitas kehidupan para Roh orang yang meninggal dunia pada dasarnya sama saja dengan aktifitas kehidupan para malaikat, yakni sama-sama tidak membutuhkan sarana materi, tidak terikat oleh kaidah, aturan atau hukum alam seperti yang Anda kenal didalam dunia fisik.Karena merekam hidup di alam lain, yakni alam barzah, yang berbeda sama sekali dengan alam dunia ini.

Allah swt berfirman :

وَيَسْأَلُونَكَ عَنِ الرُّوحِ قُلِ الرُّوحُ مِنْ أَمْرِ رَبِّي وَمَا أُوتِيتُمْ مِنَ الْعِلْمِ إِلَّا قَلِيلًا(85)
Dan mereka bertanya kepadamu tentang roh. Katakanlah: "Roh itu termasuk urusan Tuhan-ku, dan tidaklah kamu diberi pengetahuan melainkan sedikit". (QS Al-Isra’,[17] : 85)
Apa yang mereka pahami tentang aktifitas para malaikat atau jin di alamnya ini?. Tentu tidak ada yang mampu memahami dan mengetahuinya secara pasti. Yang jelas, para Roh memiliki gerak hidup yang bebas, tidak terikat oleh ruang dan waktu, serta sangat mungkin menjawab orang yang memanggilnya dan menolong orang yang meminta bantuannya. Mereka tidak jauh berbeda dengan aktifitas orang-orang yang hidup di dunia ini,  bahkan  para Roh tersebut jauh lebih leluasa, lebih hebat dan lebih mampu dalam beraktifitas.
Jika yang mereka yakini, percayai dan akui itu adalah sesuatu yang bersifat empiris, kongrit dan dapat diraba dengan panca indera, persetan dengan segala sesuatu yang bersifat Ruhani, berarti sikap mereka tersebut tak ubahnya seperti sikap kaum materialis, empiris atau naturalis.  Sikap semacam ini tidak menunjukkan sikap orang yang beriman, karena sebagian besar obyek yang diimani kaum mukminin adalah hal-hal yang bersifat Ghaib dan tidak mampu diraba dengan indera manusia.
Dengan sikap yang empiristis dan materialistis tersebut mereka berpendapat, bahwa Roh-roh di alam barzah yang sudah terpisah dengan jasadnya teresebut tidak mampu lagi berbuat banyak. Perlu kami tegaskan, bahwa pertolongan yang diberikan oleh Roh para Nabi dan Auliya’ yang sudah wafat kepada orang-orang yang memintanya, tidaklah sama dengan pertolongan yang diberikan oleh sesamanya sewaktu masih hidup. Akan tetapi yang mereka berikan tersebut adalah pertolongan yang berwujud Doa kepada orang-orang yang menziarahinya atau yang memintanya, sama seperti Doa orang shaleh yang memiliki kedudukan mulia di sisi Allah swt  kepada orang-orang yang lebih rendah pangkat derajatnya, atau paling sedikit seperti Doa seseorang kepada saudaranya. Dan Anda benar benar telah mengetahui bahwa Roh-roh di alam barzah sebenarnya adalah Hidup, mereka dapat merasakan dan mengetahui, bahkan lebih peka perasaannya daripada kita yang hidup di alam dunia ini. Halm ini disebabkan bahwa Roh-roh tersebut telah bebas dan lepas dari kekangan jasad dan nafsu syahwat kemanusiaannya.
Dijelaskan oleh beberapa hadis Nabi, bahwa amal-amal perbuatan yang sedang kita lakukan di alam dunia ini dihaturkan Allah swt kepada Rasulullah saw. Jika beliau memandangnya baik, maka beliau saw bersyukur kepad Allah swt. Jika beliau pandang jelek, maka beliau akan memohonkan maaf untuk kita.
Perlu kami tegaskan lagi, bahwa yang berhak dimintai pertolongan , permohonan, syafaat dan permintaan lainnya hanyalah Allah swt semata. Hanya saja didalam memohon kepada Allah swt, orang yang memohon tersebut  meminta agar Rasulullah saw dijadikan sebagai Wasilah (perantara) untuk terkabulnya suatu hajat.   Pelaku”  (yang mengabulkan pertolongan, syafaat dan permohonan lainnya) pada dasarnya adalah tetap Allah swt, akan tetapi orang yang berdoa tersebut berkeinginan untuk meminta sesuatu kepada Allah swt dengan perantaraan sebagian orang-orang yang memiliki kedekatan dengan-Nya dan memiliki kedudukan yang mulia di sisi-Nya, sehingga sewaktu berdoa ia seakan-akan mengatakan: “Kami adalah salah seorang    pencinta Rasulullah saw. Karena itu,  berilah kami rahmat”. 










PYPD - 22. Persoalan Syafa'at Nabi Muhammad SAW


Oleh : Sayyid Muhammad Alawi Al-Maliki

1. Pengertian Syafaat
Sebagian orang beranggapan bahwa kita tidak boleh mencari syafaat Rasulullah saw di dunia ini.Bahkan sebagian yang lain dari kalangan mereka berpendapat bahwa mencari syafaat semacam itu syirik dan sesat, didasarkan atas firman Allah swt :
قُلْ لِلَّهِ الشَّفَاعَةُ جَمِيعًا
 “Katakanlah, ‘Hanya kepunyaan Allah-lah syafaat itu semua” (QS Az-Zumar,[39]:44)
Konklusi dan penyimpluan mereka terhadap ayat di atas adalah  batil dan tidak benar, sekaligus menunjukkan kerancuan dan kekacauan pemahaman mereka, disebabkan dua alasan :
1.    Tidak ada satu pun nash, baik berupa ayat Al-Qur’an maupun Hadis Nabi, yang melarang memohon syafaat kepada Rasulullah saw  di dunia ini.
2.   Ayat 44 QS Az-Zumar[39] di atas tidak menunjukkan adanya larangan tersebut. Sebaliknya ayat di atas menjelaskan tentang pengkhususan Allah swt sebagai Pemilik Syafaat. Dengan pengertian bahwa Allah-lah yang berhak memberi syafaat.  Hal ini tidak berarti menafikan keberadaan orang-orang yang diberi izin oleh Allah swt untuk memberikan dan membagi-bagikan syafaat. Oleh karena bahwa Allah swt adalah Pemilik Kerajaan, Dia berhak memberikan “Kerajaan” itu kepada siapa saja yang dikehendaki-Nya dan mencabutnya dari siapa saja yang dikehendaki-Nya, sebagaimana firman-Nya :
لَهُ الْمُلْكُ وَلَهُ الْحَمْدُ
Hanya Allah-lah yang memiliki kerajaan dan semua puji-pujian” (QS At-Taghabun,[64]:1)
Allah menyatakan diri-Nya sebagai “Malikul Mulki”, (Raja Diraja, Pemiliki Kerajaan). Namun di bagian lain Dia berfirman :
 تُؤْتِي الْمُلْكَ مَنْ تَشَاءُ وَتَنْزِعُ الْمُلْكَ مِمَّنْ تَشَاءُ
Engkau berikan kerajaan kepada aorang yang Engkau kehendaki dan mencabut kerajaan dari orang yang Engkau kehendaki” (QS Ali Imran,[3] : 26)
Allah swt berfirman :
 مَنْ كَانَ يُرِيدُ الْعِزَّةَ فَلِلَّهِ الْعِزَّةُ جَمِيعًا
“Barangsiapa yang menghendaki kemuliaan, maka bagi Allah-lah kemuliaan itu semua” (QS Fathir,[39] : 10)
Selain itu Dia berfirman :
وَلِلَّهِ الْعِزَّةُ وَلِرَسُولِهِ وَلِلْمُؤْمِنِينَ وَلَكِنَّ الْمُنَافِقِينَ لَا يَعْلَمُونَ(8)
“Padahal kekuatan/kemuliaan itu hanyalah bagi Allah, bagi Rasul-Nya dan bagi orang-orang mu'min, tetapi orang-orang munafik itu tiada mengetahui. ” (QS Al-Munafiqun,[63] : 8)
Adapun tentang “Syafaat”, Allah swt berfirman :
 قُلْ لِلَّهِ الشَّفَاعَةُ جَمِيعًا
“Katakanlah, ‘Hanya kepunyaan Allah-lah syafaat itu semua” (QS Az-Zumar,[39]:44)
Bersamaan dengan itu Allah swt berfirman :
 لَا يَمْلِكُونَ الشَّفَاعَةَ إِلَّا مَنِ اتَّخَذَ عِنْدَ الرَّحْمَنِ عَهْدًا(87)
Mereka tidak berhak mendapatkan syafaat kecuali orang yang telah mengadakan perjanjian di sisi Tuhan Yang Maha Pemurah” (QS Maryam.[19] : 87)
 وَلَا يَمْلِكُ الَّذِينَ يَدْعُونَ مِنْ دُونِهِ الشَّفَاعَةَ إِلَّا مَنْ شَهِدَ بِالْحَقِّ وَهُمْ يَعْلَمُونَ(86)
Dan sembahan-sembahan yang mereka sembah selain Allah swt tidak dapat memberi syafaat; akan tetapi (orang yang dapat memberi syafaat ialah) orang yang mengakui yang hak (tauhid) dan mereka yang meyakininya” (QS Az-Zukhruf,[43]:86)
Allah swt memberikan Apa saja yang dikehendaki-Nya kepada Siapa saja yang dikehendaki-Nya. Bersamaan dengan itu Dia  menjadikan “Kemuliaan” yang merupakan milik-Nya tersebut kepada Rasulullah saw dan kaum mukminin (QS Al-Munafiqun,[63]:8). Demikian pula dalam soal “Syafaat”, semuanya milik-Nya, dan Dia berhak memberikannya kepada para Nabi dan para hamba-Nya yang shaleh, bahkan kepada sebagian besar kaum mukminin pada umumnya, sebagaimana hal ini dijelaskan oleh beberapa hadis shahih lagi mutawatir secara maknawy.
Apa sulitnya seseorang meminta sesuatu kepada orang lain yang memilikinya. Apalagi jika pemiliknya itu seorang dermawan, sementara si peminta memang sangat membutuhkannya. Syafaat hanyalah suatu doa. Sementara suatu doa akan didengar dan dikabulkan Allah swt, terutama doanya para Nabi dan kaum shalihin, baik sewaktu mereka hidup di dunia, di alam barzah, maupun di hari kiamat nanti. Syafaat akan diberikan kepada orang yang mengadakan perjanjian di sisi Allah swt dan diterima di sisi-Nya, dari setiap orang yang mati di atas dasar tauhid.

2. Para Sahabat Memohon Syafaat Rasulullah saw
Dijelaskan dalam beberapa riwayat bahwa sebagian sahabat meminta syafaat kepada Rasulullah saw. Dan beliau pun tidak pernah menegurnya, misalnya : “Meminta syafaat kepadaku itu syirik. Mintalah syafaat langsung kepada Allah swt. Jangan menyekutukan Allah swt dengan sesuatu yang lain”.
Anas bin Malik ra berkata,:”Wahai Rasulullah ! Berilah aku syafaat pada hari kiamat nanti!”. Kemudian beliau bersabda, “Akan aku lakukan. Insya Allah”. (HR At-Thurmudzi, didalam kitab Sunan-nya pada bab “Penjelasan tentang ciri-ciri shirath” dan ia menilainya sebagai hadis hasan.)
Selain Anas bin Malik, ternyata masih ada sahabat yang meminta syafaat kepada Rasulullah saw, seperti Sawad bin Qarib ra. Dia pernah membacakan bait-bait syairnya di hadapan beliau saw : “Aku bersaksi bahwa tiada tuhan selain Allah dan bahwa Engkau adalah orang yang terpercaya bagi setiap mukmin yang wafat. Engkau adalah “wasilah” (perantara) yang terdekat kepada Allah swt daripada seluruh Nabi dan Rasul-Nya. Wahai putra orang yang terhormat lagi suci …” dan seterusnya sampai pada bait syair terakhir yang berbunyi : “Jadilah engkau sebagai penolong yang memberi syafaat kepadaku di hari kiamat, saat tidak seorang pun yang mampu memberi syafaat kecuali engkau, terutama syafaat kepada Sawad bin Qarib”.
 Riwayat tersebut diketengahkan oleh imam al-Baihaqy didalam kitabnya Dalailun Nubuwwah. Juga diketengahkan oleh Ibnu Abdil Barr didalam kitabnya Al-Isti’ab dan oleh al-Hafizh Ibnu Hajar didalam kitabnya Fathul Bary: Syarh Shahih al-Bukhary,   juz 7, halaman 180, pada bab “Islamnya Umar”. Dengan perbuatan Sawad tersebut, Rasulullah saw ternyata membenarkannya dan tidak menolak permintaannya.
‘Akasah bin Mahshan pernah meminta syafaat kepada Rasulullah saw, sewaktu ia mendengarkan sabda beliau yang menjelaskan bahwa ada 70.000 orang yang akan masuk surga tanpa di-hisab. ‘Akasah memohon kepada beliau saw , “Doakanlah aku agar Allah swt memasukkanku termasuk salah satu diantara mereka”. Kemudian beliau saw bersabda, “Anda termasuk salah satu diantara mereka”.
Yang pasti, seseorang tidak akan memperoleh prioritas syafaat seperti di atas kecuali setelah terjadinya peristiwa “Syafaat Kubra”, dimana orang-orang antri menantinya pada hari kiamat nanti, sebagaimana yang dijelaskan didalam beberapa hadis mutawatir.
Persoalan ini banyak dijelaskan didalam kitab-kitab Hadis, yang kesemuanya memperbolehkan pencarian syafaat sewaktu Rasulullah saw  masih hidup di dunia. Di antara para sahabat, ada yang mencarinya secara khusus dan terus terang dengan permohonannya, “Berilah aku syafaat, Ya Rasulullah !”. Di antara mereka ada yang meminta jaminan masuk surga; ada yang meminta dimasukkan kedalam golongan orang yang pertama kali memasuki surga; ada yang menginginkan agar dimasukkan kedalam golongan orang yang mendapatkan telaga Kautsar ; ada yang meminta agar bersama-sama dengan beliau saw di surga, sebagaimana permintaan Rabi’ah al-Aslamy: “Aku memohon kiranya aku bisa bersamamu di surga”, dan beliau memberikan saran: “Kekanglah hawa nafsumu dengan cara memperbanyak sujud”.
Dalam menanggapi permohonan para sahabat tersebut, Rasulullah saw tidak pernah mengatakan kepada mereka: “Ini haram ! Tidak boleh meminta sekarang. Waktunya belum tiba. Tunggu saja nanti sampai Allah swt memberikan izin untuk memberikan syafaat, atau setelah masuk kedalam surga; atau  pada waktu meminum di telaga Kautsar…dan seterusnya”. Padahal semuanya itu tidak akan terjadi selama kita hidup di dunia, kecuali setelah waktu Syafaat uzhma kelak.
Semuanya ini merupakan persoalan permohonan syafaat , dimana kedudukan Rasulullah saw saat itu adalah sebagai Pemberi kabar gembira kepada mereka, yakni menjanjikan hal-hal yang membuat hati mereka  senang dan tentram penuh harapan.
Jika mencari syafaat selama Rasulullah saw hidup di dunia adalah dibenarkan, hal ini berarti bahwa permohonan mereka tersebut akan diterima nanti secara hakiki pada waktu hari kiamat nanti, dan setelah ada izin dari Allah swt untuk memberikan syafaat kepada para pemohonnya. Bukannya permohonan mereka dikabulkan di dunia ini, sebelum datangnya waktu yang sebenarnya.
Dengan kata lain, bahwa apa yang diperbuat Rasulullah saw dalam menanggapi para sahabat tersebut, pada hakekatnya, merupakan kabar gembira tentang keadaan kaum mukimin yang nantinya akan masuk surga setelah waktunya tiba dan setelah mendapatkan izin dari Allah swt pada waktu yang ditentukan. Bukan dalam pengertian bahwa mereka akan surga pada saat mereka hidup di dunia ini, atau hidup di alam barzakh. Saya tidak percaya bahwa orang yang berakal dari kalangan kaum muslimin awam memiliki keyakinan yang sebaliknya.
Jika memohon syafaat kepada Rasulullah saw semasa hidupnya di dunia ini adalah dibenarkan, maka menurut pendapat kami, tidak mengapa memohon syafaat kepada beliau saw setelah wafatnya. Hal ini berdasarkan akidah atau keyakinan yang telah ditetapkan oleh kelompok Ahlussunnah wal Jamaah, bahwa para Nabi adalah masih hidup di alam barzah dan Nabi kita Muhammad saw merupakan orang yang paling sempurna dan agung dalam kehidupan tersebut. Di mana dalam kehidupan di alam barzah ini, beliau mampu mendengarkan pembicaraan umatnya; amal perbuatan mereka diperlihatkan kepada beliau; mereka dimintakan ampunan kepada Allah swt oleh beliau (jika amal mereka dinilainya jelek) dan beliau memuji Allah swt (jika amal mereka dilihatnya baik); setiap bacaan shalawat dari mereka disampaikan Allah swt kepada beliau, walaupun datang dari pelosok dunia. Sebagaimana yang dijelaskan didalam hadis yang dinilai shahih oleh banyak ahli hadis:
حياتـي خير لكم تحدّثون و يحدّث لكم. و مـماتي خير لكم, تـعـرض أعمـالكم عـلـيّ, فإن وجدت خيرا حمدت الله, و إن وجدت شـرّا اسـتغـفـرت الله لكم
Hidupku adalah baik untuk kalian, dimana kalian dapat berbicara denganku (rohku) dan matiku pun baik bagimu, dimana amal-amalmu diperlihatkan Allah swt kepadaku. Jika aku lihat baik, maka aku memuji syukur kepada Allah swt dan jika aku lihat jelek, maka aku memohonkan maaf kepada Allah swt untukmu”.
Hadis di atas dinilai shahih oleh para ahli hadis seperti Al-‘Iraqy, al-Haitsamy, al-Qasthalany, as-Suyuthy dan Isma’il al-Qadhy.
Oleh karenanya, sekiranya beliau saw yang sekarang ini hidup di alam barzah dimintai syafaat oleh umatnya, tentu beliau akan mendoakan mereka agar Allah swt mengabulkan permohonan mereka, sama seperti yang beliau lakukan kepada para sahabat semasa hidup beliau di dunia ini. Selanjutnya mereka akan mendapatkan syafaat tersebut pada waktunya nanti dan setelah mendapatkan izin dari Allah swt.
Demikian pula surga yang pernah dijanjikan beliau kepada kaum mukminin semasa hidupnya di dunia, maka mereka tentu akan masuk surga pada waktunya nanti dan setelah mendapatkan izin dari Allah swt.
Itulah akidah yang kami yakini dan kami tanamkan didalam hati kami.

3. Penafsiran Ibnu Taimiyah terhadap ayat-ayat mengenai syafaat
Ibnu Taimiyah didalam kitabnya Al-Fatawa mengemukakan interpretasi dan analisisnya yang indah terhadap ayat-ayat mengenai syafaat yang dijadikan alasan oleh sekelompok orang yang menentang permohonan syafaat kepada Rasulullah saw di dunia ini, untuk menolak setiap usaha mencari syafaat, tidak bermanfaatnya syafaat, serta larangan memohon syafaat.
Dari hasil analisis dan interpretasinya itu menunjukkan bahwa orang yang mengingkari dan menolak syafaat tersebut pada dasarnya tidak sesuai dengan konteksnya dan sangat menyimpang dari tema dan isi kandungan ayat.
Ibnu Taimiyah mengatakan, “Orang yang mengingkari adanya syafaat dan melarang memohon syafaat kepada Rasulullah saw di dunia ini berhujjah dengan firman Allah swt :
1. QS Al-Baqarah,[2] : 48
 وَاتَّقُوا يَوْمًا لَا تَجْزِي نَفْسٌ عَنْ نَفْسٍ شَيْئًا وَلَا يُقْبَلُ مِنْهَا عَدْلٌ وَلَا تَنْفَعُهَا شَفَاعَةٌ وَلَا هُمْ يُنْصَرُونَ(123)
Dan jagalah dirimu dari (azab) di hari (kiamat yang pada hari itu) seseorang tidak dapat membela orang lain, walau sedikitm pun; dan (begitu pula) tidak diterima syafaat dan tebusan daripadanya, dan tidaklah mereka akan ditolong”  
2. QS Al-Baqarah,[2] : 123
 وَلَا يُقْبَلُ مِنْهَا عَدْلٌ وَلَا تَنْفَعُهَا شَفَاعَةٌ وَلَا هُمْ يُنْصَرُونَ(123)
… Dan tidak akan diterima suatu tebusan daripadanya dan tidak akan memberi manfaat suatu syafaat kepadanya dan tidak pula mereka akan ditolong”.
3. QS Al-Mukmin,[40] : 18
 مَا لِلظَّالِمِينَ مِنْ حَمِيمٍ وَلَا شَفِيعٍ يُطَاعُ(18)
Orang-orang yang zhalim tidak mempunyai teman setia seorang pun dan tidak pula mempunyai seorang pemberi syafaat yang diterima syafaatnya”
4. QS Al-Muddats-tsir,[74] : 48
فَمَا تَنْفَعُهُمْ شَفَاعَةُ الشَّافِعِينَ(48)
Maka tidak berguna lagi bagi mereka syafaat dari orang-orang yang memberinya syafaat”
Menurut pandangan ulama Ahlussunnah wal Jamaah, ada dua alasan, mengapa ayat-ayat syafaat di atas tidak tepat dijadikan sebagai hujjah bagi orang-orang yang mengingkari syafaat!
Pertama. Syafaat tidak berguna bagi kaum musyrikin, sebagaimana yang dijelaskan oleh ayat 42-48 QS Al-Muddatstsir,[74] tentang identitas mereka sebagai berikut :                           
مَا سَلَكَكُمْ فِي سَقَرَ(42)قَالُوا لَمْ نَكُ مِنَ الْمُصَلِّينَ(43)وَلَمْ نَكُ نُطْعِمُ الْمِسْكِينَ(44)وَكُنَّا نَخُوضُ مَعَ الْخَائِضِينَ(45)وَكُنَّا نُكَذِّبُ بِيَوْمِ الدِّينِ(46)حَتَّى أَتَانَا الْيَقِينُ(47)فَمَا تَنْفَعُهُمْ شَفَاعَةُ الشَّافِعِينَ(48)
Apakah (sebabnya) yang memasukkan kamu kedalam neraka saqar? Mereka menjawab : ‘Kami dahulu tidak termasuk orang-orang yang mengerjakan shalat, dan kami tidak pula memberi makan orang miskin, dan adalah kami membicarakan yang batil bersama-sama dengan orang-orang yang membicarakannya, dan adalah kami mendustakan hari pembalasan, hingga datang kepada kami kematian’. Maka tidak berguna lagi bagi mereka syafaat dari orang-orang yang memberikan syafaat”.
Ayat di atas menjelaskan tentang tidak bergunanya syafaat disebabkan oleh kekafiran mereka.
                   
Kedua. Syafaat tidak berguna bagi orang yang ahli syirik dan yang serupa dengannya, seperti ahli bid’ah dari kalangan ahli kitab dan kaum muslimin yang berprasangka bahwa makhluk memiliki otoritas, kekuasaan dan kemampuan secara mutlak di samping Allah swt, dan atau bahwa makhluk mampu memberi syafaat di samping-Nya dengan tanpa melalui izin-Nya, seperti sebagian orang mampu memberikan syafaat kepada sebagian yang lain, kemudian diterima oleh orang yang membutuhkannya dengan senang hati.
Kaum musyrikin telah menjadikan para malaikat, para Nabi dan kaum shalihin sebagai pemberi syafaat di samping Allah swt. Kemudian mereka membuatkan patung-patungnya, Kepada patungnya malaikat, para Nabi dan kaum shalihin itulah mereka memohon syafaat, seraya berkomentar: “Mereka itu semua adalah orang-orang pilihan Allah swt”
Demikianlah kutipan dari pendapatnya Ibnu Taimiyah yang secara tegas dan jelas menguraikan makna hakiki yang terkandung didalam ayat-ayat di atas, yang kemudian oleh orang-orang yang mengingkari adanya syafaat dijadikan sebagai hujjah untuk melarang memohon syafaat kepada Rasulullah saw semasa di dunia ini, dengan pendapatnya yang cukup keras bahwa mencari   syafaat yang dilakukan orang semasa di dunia ini adalah syirik dan sesat.
Secara singkat, pendapat Ibnu Taimiyah di atas dapat dirumuskan sebagai berikut: Syafaat tidak bermanfaat bagi kaum musyrikin. Ayat-ayat Al-Qur’an yang dikemukakannya menjelaskan tidak berlakunya syafaat bagi orang yang ahli syirik yang berkeyakinan bahwa Pemberi Syafaat (secara mutlak) mampu memberikan syafaat tanpa izin Allah swt terlebih dahulu. Ibnu Taimiyah menegaskan: “Kami tidak berkeyakinan seperti itu, berkat anugerah Allah swt”.
Menurut hemat kami (Sayyid Muhammad Alwy al-Maliky), jika pencari syafaat Rasulullah saw tersebut telah berkeyakinan atau berprasangka bahwa beliau saw dapat memberikan syafaat kepada siapa saja tanpa melalui izin Allah swt, maka keyakinan seperti itulah yang masuk kategori syirik lagi sesat. Ketika memohon syafaat, kita seharusnya memiliki suatu keyakinan yang sempurna, bahwa tiada seorang pun yang memberikan syafaat – termasuk diri Rasulullah saw – melainkan dengan melalui izin Allah swt. Segala sesuatu semestinya tidak akan terjadi, melainkan berkat ridha dan bantuan-Nya. 
Demikian pula harapan dan keinginan untuk masuk surga, meminum air di telaga Kautsar, menyeberangi shirat dengan selamat, dan semisalnya, kesemuanya itu akan tercapai dengan melalui izin Allah swt dan terjadi  pada waktu yang sudah ditentukan Allah swt, yakni hari kiamat.








PYPD - 21. Daftar Para Ulama Besar Yang Mempraktekkan Tawassul


Oleh Sayyid Muhammad Alawi Al-Maliki


Ringkasan
 
Tidak perlu diragukan bahwa Rasulullah saw memiliki kedudukan, martabat dan kehormatan yang agung di sisi Allah swt. Sekarang tunjukkan, mana dalil syar’iy dan ‘aqly yang melarang seseorang bertawassul dengan perantaraan beliau? Lebih-lebih banyak dalil yang menetapkan kebolehan bertawassul baik selama beliau hidup di dunia maupun di akhirat nanti.
Sewaktu bertawassul, kita sebenarnya tidak memohon kepada selain Allah swt dan tidak berdoa kecuali hanya kepada-Nya. Kita berdoa kepada-Nya dengan perantaraan apa saja yang Dia cintai, apapun bentuknya. Terkadang kita berdoa tawassul dengan perantaraan amal shalih kita, karena Dia tentu mencintai amal tersebut. Terkadang bertawassul dengan seseorang dari sekalian makhluk yang dicintai Allah swt, sebagaimana yang dijelaskan didalam hadis tentang tawassulnya Nabi Adam, hadis tentang Fathimah binti Asad, dan hadisnya Usman bin Hunaif. Terkadang kita bertawassul dengan perantaraan Al-Asmaul Husna, sebagaimana yang pernah dipraktekkan Rasulullah saw didalam salah satu doanya:
 
أَسْأَلُكَ بِأَنَّكَ أَنْتَ اللَّـهَ ….
Aku memohon kepada-Mu dengan perantaraan bahwa Engkaulah Allah ….

Atau dengan perantaraan Sifat dan Af’al Allah, seperti yang dipraktekkan beliau saw dalam doanya:
 
أَعُوْذُ بِرِضَاكَ مِنْ سَخَطِكَ وَ بِمُعَافَتِكَ مِنْ عُقُوْبَتِكَ
Aku berlindung kepada-Mu dari kebencian-Mu dengan perantaraan ridha-Mu, dan dari siksa-Mu dengan perantaraan sifat Pemaaf-Mu”.

Dan ini pun tidak terbatas pada lingkup persoalan yang sempit sebagaimana yang dituduhkan oleh mereka yang sinis terhadap praktek tawassul.
Rahasia di balik itu semua adalah, apa saja yang dicintai Allah swt, maka bertawassul dengannya adalah sah-sah saja.  Begitu pula setiap orang yang dicintai Allah swt, baik ia seorang Nabi, wali, maupun kaum shalihin pada umumnya, jelas diperbolehkan bertawassul dengan mereka bagi setiap orang yang memiliki fitrah yang selamat. Dan ini tidak bertentangan dengan dalil Nash dan akal waras. Bahkan akal dan nash-nash tersebut saling bantu membantu dan saling melengkapi didalam memperbolehkan praktek bertawassul, dengan catatan harus disertai suatu keyakinan bahwa yang dituju dan dimintai permohonannya adalah hanya Allah swt, dan bukan minta bantuan baik kepada para Nabi, auliya’, orang yang masih hidup, maupun yang sudah mati.
Allah swt berfirman :
 
  قُلْ كُلٌّ مِنْ عِنْدِ اللَّهِ فَمَالِ هَؤُلَاءِ الْقَوْمِ لَا يَكَادُونَ يَفْقَهُونَ حَدِيثًا(78)
Katakanlah: ‘Semuanya (datang) dari sisi Allah swt’ . Maka, mengapa orang-orang (munafik) itu hampir-hampir tidak memahami pembicaraan (nasehat,pelajaran) sedikitpun?” (QS An-Nisa’,[4] : 78)

Jika bertawassul kepada Allah swt dengan perantaraan amal-amal shaleh saja diperbolehkan, apalagi dengan perantaraan Rasulullah saw, tentu lebih diperbolehkan. Karena beliau saw adalah makhluk Allah swt  yang paling utama, sementara amal-amal shaleh adalah bagian dari makhluk Allah swt tersebut. Selain itu, Allah swt sangat mencintai beliau daripada amal shaleh dan selainnya.
 Yang jelas, Rasulullah saw memiliki kedudukan yang tinggi di sisi Allah swt, sementara  orang yang bertawassul itu telah bertawassul dengan perantaraan beliau saw adalah disebabkan oleh kedudukan beliau yang terhormat dan sangat dekat kepada Allah swt. Siapa saja yang mengingkari Posisi atayu kedudukan beliau yang terhormat ini, berarti ia tergolong kafir, sebagaimana penjelasan kami di muka.
Selanjutnya, praktek tawassul menunjukkan kebesaran dan keagungan Dzat Tuhan yang dimintai pertolongan, serta menunjukkan bukti betapa besarnya kecintaan orang yang bertawassul kepada Allah swt. Oleh karena itu, berdoa dengan cara bertawassul dengan Rasulullah saw hanyalah menunjukkan keagungan dan kemuliaan beliau di sisi Allah swt.
Tawassul dengan amal shaleh  telah disepakati kebolehannya oleh para ulama. Kenapa kita tidak mengatakan bahwa orang yang bertawassul dengan para Nabi, Rasul, atau kaum shalihin sama artinya dengan bertawassul dengan perantaraan amal-amal shaleh mereka yang dicintai Allah swt itu? Padahal sudah dijelaskan oleh hadis mengenai ketiga orang yang terjebak didalam gua, sehingga persoalan tawassul semacam ini seharusnya disepakati kebolehannya?
 Dan tidak dapat dipungkiri lagi, bahwa orang yang bertawassul dengan para kaum shalihin tersebut sebenarnya hanyalah bertawassul dengan mereka disebabkan kedudukan mereka sebagai orang-orang yang ahli beramah shaleh. Maka persoalannya adalah kembali kepada Amal Shaleh yang disepakati kebolehannya untuk bertawassul dengannya.  Dengan kata lain, bertawassul dengan kaum shalihin pada dasarnya bertawassul dengan amal shaleh itu sendiri. Sebagaimana hal ini telah kami jelaskan di muka.
Tanggapan atas kekeliruan pandangan orang bodoh
 
Banyak hadis Nabi dan atsar sahabat yang menetapkan diperbolehkan tawassul . Jika dikatakan bahwa tawassul hanya dilakukan khusus pada waktu Rasulullah saw masih hidup, maka pengkhususan tersebut, menurut kami, tidaklah berdasar dan tidak ada dalil tertentu yang mendukungnya. Tawassul boleh saja dilakukan kapan saja, meskipun sesudah Rasulullah saw wafat atau hidup di alam barzah, karena Roh tidak mengenal mati dan yang mengenal mati adalah Jasad-nya. Ruh, meskipun ditinggalkan jasad-nya, ia masih bisa merasakan, merespon dan mengetahui.
Madzhab Ahlussunnah wal jamaah berpendapat bahwa orang yang sudah wafat sebenarnya itu masih bisa mendengar, melihat, merespon dan merasakan. Ia masih bisa mengambil manfaat dari amal shalehnya, dapat merasakan kegembiraan, serta dapat merasakan susah sakit akibat amal jeleknya.Keadaan semacam ini berlaku untuk semua orang, tanpa kecuali. Kenyataan ini terlihat pada saat usai perang Badar, Rasulullah saw memanggil arwah para tokoh kafir quraisy yang tewas di medan perang: “Hai “Utbah…!. Hai Syaibah …! Hai Rabi’ah…!”  Dan seterusnya. Para sahabat bertanya,: “Bagaimana mungkin engkau bisa memanggil mereka yang sudah tewas, padahal mereka sudah menjadi bangkai?”. Beliau saw bersabda, “Sesungguhnya kalian tidak lebih mendengar daripada mereka. Hanya saja mereka tidak mampu menjawab”.
Arwah semua orang yang wafat saja mampu mendengar, apalagi Ruh makhluk yang paling utama, mulia dan terhormat Rasulullah saw. Meskipun sudah wafat, beliau tentu lebih sempurna perasaannya, pemahamannya dan kesensitifannya. Hal ini secara tegas dijelaskan oleh banyak Hadis Nabi. Di antara hadis tersebut menjelaskan bahwa Rasulullah saw mendengar pembicaraan dan menjawab shalat-salam dari umatnya, serta memohonkan ampunan atas perbuatan jelek dan memuji kepada Allah swt atas perbuatan dari umatnya.
Nilai manusia, pada hakekatnya, hanyalah terletak pada kemampuan merasa, memahami dan merespon, bukan pada terletak pada hidup dan mati-nya. Karena itu, kita sering menyaksikan orang-orang yang tidak memiliki perasaan, pemahaman, pengertian, insting dan respon disebabkan mereka tidak berguna, lalu mereka digolongkan tidak obahnya seperti orang yang mati, yakni mati di saat hidupnya. Semoga Allah swt senantiasa melindungi kita. Amin.
Di antara mereka yang tergolong Mati di saat hidupnya, -- dalam pengertian bahwa mereka sebenarnya masih hidup, akan tetapi karena mereka tidak bermanfaat, dan tidak mau mempergunakan perasaan, pikiran dan hatinya, maka tak obahnya mereka seperti orang yang mati – adalah mereka yang menganggap bahwa Ruh Rasulullah saw tidak mampu mendengar dan melihat kita, serta tidak mampu mendoakan kita yang masih hidup di dunia. Kecerobohan dan kebodohan apalagi yang jelek daripada anggapan mereka tersebut? Padahal banyak sekali hadis Nabi dan atsar sahabat yang saling mendukung, memperkuat dan menyatakan bahwa mayit itu masih mampu mendengarkan, melihat, merasakan dan mengetahui keadaan orang yang masih hidup, baik mayit tersebut muslim maupun kafir.
Ibnul Qayyim, didalam kitabnya Ar-Ruh, mengatakan: “Ulama salaf sepakat atas keadaan mayit tersebut. Dan atsar-atsar dari mereka yang menjelaskan keadaan ini mutawatir”.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah pernah ditanya seseorang mengenai persoalan ini, kemudian ia mengeluarkan fatwa yang memperkuat kebenaran persoalan ini. (Al-Fatawa, jilid 24; hal. 331 dan 362).
Bila keadaan mayit tersebut berlaku bagi manusia pada umumnya, lalu bagaimana dengan keadaan yang menyangkut seluruh umat  Islam, khususnya kaum shalihin, dan terutama lagi Nabi Muhammad saw ?
Persoalan ini akan kami jelaskan didalam pembahasan secara khusus dan rinci didalam buku ini, dengan tema : “Kehidupan di alam barzah merupakan kehidupan yang hakiki” dan “Kehidupan Khas Rasulullah saw di alam barzah”.

 
Daftar Para Ulama Yang Mempraktekkan Tawassul
 
Berikut ini adalah daftar para tokoh ulama besar dan para ahli hadis yang mempraktekkan dan memperbolehkan tawassul :
1. Al-Imam al-Hafizh Abu Abdillah al-Hakim, dalam kitabnya Al-Mustadrak ‘ala ash-Shahihain menyebutkan hadis yang dinilainya shahih tentang tawassulnya Nabi Adam dengan perantaraan Rasulullah saw.
2. Imam al-Hafizh Abu Bakar al-Baihaqy, didalam kitabnya Dalailun Nubuwwah, menuturkan  tawassulnya Nabi Adam dan selainnya.
3. Imam al-Hafizh Jalaluddin as-Suyuthy, didalam kitabnya Al-Khashaishul Kubra, menuturkan hadis tawassulnya Nabi Adam.
4. Imam al-Hafizh Abul Faraj ibn al-Jauzy, didalam kitabnya Al-Wafa, juga demikian.
5. Imam al-Hafizh al-Qadhy ‘Iyadh, didalam kitabnya Asy-Syifa’ fit Ta’rif Bihuquq al-Musthafa SAW, menuturkan dalam bab “Ziarah” dan bab “Fadhlun Nabiy saw”, yang sebagian besar isinya membahas tentang persoalan tawassul.
6. Imam asy-Syaikh Nuruddin al-Qary, yang terkenal dengan julukan Mulla ‘Ali Qary, didalam komentarnya terhadap kitab Asy-Syifa’.
7. Al-‘Allamah Ahmad Syihabuddin, didalam komentarnya terhadap kitab Asy-Syifa’ dengan judul Nasimur-Riyadh.
8. Imam al-Hafizh al-Qasthalany, didalam kitabnya Al-Mawahib al-Laduniyyah, membicarakan persoalan tawassul pada bagian pertama kitabnya.
9. Al-‘Allamah asy-Syaikh Muhammad Abdul Baqy Az-Zarqany, didalam komentarnya terhadap kitab Al-Mawahib al-Laduniyyah, pada juz 1; hal. 44.
10, Imam Syaikhul Islam Abu Zakariya Yahya an-Nawawy, didalam kitabnya Al-Idhah, pada bab keenam, hal. 498.
11. Al-‘Allamah Ibnu Hajar al-Haitamy, didalam kitab hasyiyah-nya atas kitab Al-Idhah halaman 499. Dia menulis sebuah Risalah yang secara khusus membahas tentang persoalan tawassul dengan judul Al-Jauharul Muanzh-zham.
12. Al-Hafizh  Syihabuddin Muhammad bin Muhammad bin al-Jauzy ad-Dimasqy, didalam kitabnya ‘Iddatul Hashnil Hashin, pada bab “Keutamaan doa”.
13. Al-‘Allamah al-Imam Muhammad ‘Aly asy-Syaukany, didalam kitabnya Tuhfatudz-Dzakirin pada halaman 161.
14. Al-‘Allamah al-Imam al-Muhaddits ‘Ali bin Abdulkafi as-Subky, didalam kitabnya Syifaus Saqam fi Ziyaratil Khairil Anam.
15. Al-Hafizh ‘Imaduddin Ibn Katsir, didalam kitab Tafsirnya terhadap ayat 64 QS An-Nisa’. Beliau menuturkan kisah Al-‘Utba bersama seorang A’rabi yang datang menziarahi makam Rasulullah saw dengan maksud memohon syafaatnya. Juga  menuturkan tentang tawassulnya Nabi Adam dengan Rasulullah saw didalam kitabnya Al-Bidayah wan-Nihayah, dan tidak menilainya sebagai hadis maudhu’ (pada juz 1; hal. 180), serta menuturkan “Sandi” tentara Islam “Ya Muhammadaah” (pada juz 6; hal. 324)
16. Al-Imam al-Hafizh Ibnu Hajar menuturkan kisah seorang lelaki yang menziarahi makam Rasulullah saw dan bertawassul dengannya di dalam kitabnya Fathul Bary, juz 2; hal. 495. Sanadnya shahih.
17. Al-Imam al-Muhaddits Abu Abdillah al-Qurthuby menafsirkan ayat 64 QS An-Nisa’, didalam kitabnya Tafsir Al-Qurthuby, juz 5; hal. 265.