Rabu, 22 Mei 2013

MKTS - 4. Tempat Penting dan Bersejarah di Kawasan Kota Makkah

__________________________
Oleh : Achmad Suchaimi


Ramai-ramai ke Gua Hira'

GUA HIRA'

Gua Hira' adalah gua kecil di jabal Nur yang tingginya sekitar 621 m dari permukaan laut atau 281 m dari permukaan tanah. Gua Hira' berjarak 5 km arah timur laut dari Masjidil Haram, arah sebelah kiri perjalanan menuju ke Arafah. 

Shalat didalam Gua Hira'
Jabal Nur
 Luas Gua Hira' kira-kira cukup untuk sholat dua orang. Panjangnya 3 m, lebarnya antara 1,30 m  sampai 2 m, dan tingginya 2 m. Pintunya menghadap ke utara, dan di bagian kanannya terdapat teras dari batu yang hanya cukup untuk shalat satu orang sambil duduk. Jika ingin sampai ke sana, diperlukan waktu antara satu sampai dua jam jalan mendaki, melewati jalan setapak yang sempit selebar 60 cm diantara dua batu.

Sejarah. Sebelum diangkat menjadi Nabi, di gua Hira' ini Rosululloh bertahannus, tafakur, menyepi, dan mengasingkan diri dari kehidupan jahiliyah kafir quraisy dalam rangka mendekatkan diri kepada Alloh. Sampai pada suatu hari, tanggal 17 Romadhon tahun ke-13 sebelum hijrah (6 Agustus 610 M), malaikat Jibril menemui beliau dalam wujud aslinya sambil menyampaikan wahyu pertama kali, yakni ayat 1-5 surat Al-'Alaq.


GUA  TSUR
Pintu masuk Gua Tsur
Gua Tsur terletak di Jabal Tsur, 4 km arah tenggara dari Masjidil Haram, arah menuju ke Thoif. Gua Tsur yang berada diatas ketinggian 748 m dari permukaan laut atau 458 m dari permukaan tanah ini bentuknya unik, mirip bentuk kuali yang ditelungkupkan. Panjang dan lebarnya sekitar 3,5 m x 3,5 m, tinggi 1,25 m.
Gua ini memiliki dua pintu masuk : satu di sebelah barat dan satu di timur. Pintu barat inilah yang dilewati masuk oleh Nabi dan Abu Bakar dalam persembunyiannya dari kejaran pemuda kafir Quraisy, dalam perjalanan hijrahnya.
Untuk sampai ke sana diperlukan waktu antara 1,5 sampai 2,5 jam. Karena Jabal Tsur cukup tinggi, pemerintah Arab Saudi melarang para jamaah haji menaikinya untuk menghindari kecelakaan yang sering terjadi pada setiap musim haji.
Sejarah. setelah lolos dari kepungan pemuda kafir Quraisy, Rasululloh segera ke rumah Abu Bakar dan menyusun rencana rute perjalanan hijrahnya ke Madinah. Sebelum berangkat ke Madinah,  beliau dan Abu Bakar bersembunyi di Gua Tsur. Di Gua inilah Alloh menyelamatkan Nabi dengan menempatkan laba-laba dan burung merpati yang sedang bertelur di mulut gua. Menyaksikan keadaan ini, para pemuda kafir quraisy urung memeriksanya karena dipandang mustahil digunakan bersembunyi. Setelah tiga hari di Gua, beliau dan Abu Bakar melanjutkan perjalanan hijrahnya ke Madinah. Alloh mengabadikan peristiwa ini didalam QS At-Taubah,[9] : 40



MAULIDURROSUL : Rumah Kelahiran Rasululloh


Perpustakaan Makkah, di sinilah dahulu Rasulullah lahir
Rumah kelahiran beliau di kampung Suqul Lail Makkah, 150 m sebelah timur Masjidil Haram dari arah depan pintu Babussalam.
Di atas rumah ini didirikan sebuah masjid oleh al-Khaizuran, ibunda Harun ar-Rasyid al-Abbasi. Kemudian dipugar dan di atasnya dibangun Perpustakaan Umum Al-Maktabah Makkah al-Mukarromah oleh Syaikh Abbas Qatthan pada tahun 1950 M.
Saat ini, tempat tersebut rencananya dirobohkan untuk proyek perluasan Masjidil Haram, namun urung dilakukan karena diprotes oleh Negara-negara Dunia Islam.



RUMAH SITI KHADIJAH
Penggalian situs Rumah Yang Ditempati Siti Khadijah dan Nabi
Rumah Siti Khodijah dulunya terletak di belakang rumah Abu Sufyan. Lokasinya di gang Al-Hajar yang sempit, di kampung Suqul Laili (samping pasar seng, dulu), + 150 meter sebelah utara (timur laut) Masjidil Haram dan berjarak + 50 meter dari rumah tempat kelahiran Nabi.
Reruntuhan Rumah Siti Khadijah
Rumah yang ditinggali Nabi Muhammad dan Siti Khadijah selama + 28 tahun pada 14 abad yang lalu tersebut telah ditemukan oleh para peneliti yang berhasil menggali dan mengidentifikasi sehingga berhasil menemukan sisa reruntuhan rumah tersebut. (Lihat foto di atas).

Beliau pernah tinggal di rumah ini + 28 tahun setelah menikah dengan Khadijah sampai beliau hijrah ke Madinah. Di rumah ini, putra-putri beliau lahir. Dan di tempat ini pula surat Al-Muddats-tsir ayat 1-8 dan beberapa ayat/surat yang lainnya diturunkan. Di rumah ini pula  beliau lolos dari kepungan pemuda quraisy yang hendak membunuhnya pada malam keberangkatannya berhijrah ke Madinah.  
Pintu Masuk Rumah Khadijah, sebelum menjadi Toilet Umum
Mihrab Rosulullah di Rumah Khadijah
Ruang kamar Siti Fatimah dilahirkan
Kamar Rosulullah dan Siti Khadijah












 Setelah dibeli oleh Mu'awiyah, rumah ini dijadikan Masjid, lalu dipugar dan disatukan dengan bangunan baru, kemudian dibuatkan pintu tembus ke rumah Abu Sufyan.
Bangunan ini mengalami renovasi terus menerus, sampai pada tahun 1379 H / 1959 M dijadikan sebagai Madrasah Al-Qur'an khusus putri atas sponsor Syaikh Abbas al-Qatthan, hingga akhirnya dipugar untuk proyek perluasan Masjidil Haram, dan sekarang diatasnya didirikan bangunan toilet dan tempat wudhu. Na'udzu billahi min dzalik.


DARUL  ARQAM

Rumah sahabat Al-Arqam, yang lebih dikenal dengan sebutan Darul Arqam ini pada awal perkembangan Islam pernah dijadikan Nabi sebagai pusat dakwah dan pengajaran secara sembunyi-sembunyi, untuk mengajari dan membina keimanan para sahabat. Di rumah ini pula Sayyidina Umar bin Khotthob berikrar masuk Islam, mengucapkan dua kalimat syahadat di hadapan Nabi.
Darul Arqam  yang terletak di seberang Masjidil Haram, 36 m sebelah timur Shofa, diluar tempat sa'iy, pada tahun 787 M / 171 H dirobohkan, kemudian dibangun masjid di atasnya oleh al-Khaizuran. Pada tahun 1955 M, masjid tersebut dipugar dalam rangka proyek perluasan Masjidil Haram.
Untuk mengenangnya, pintu pertama di tempat sa'iy di samping Shofa dinamakan Bab Dar al-Arqam, yang berarti pintu Rumah Al-Arqam.


DARUN  NADWAH

Darun Nadwah merupakan tempat pertemuan dan permusyawaratan kaum quraisy yang dibangun oleh Qusay bin Kilab pada tahun 200 sebelum hijrah.
Pada awal perkembangan Islam, tempat ini dipakai kafir Quraisy merencanakan usaha menghalangi gerakan dakwah Islamiyah. Menjelang Rosululloh hijrah ke Madinah, kafir Quraisy bermusyawarah di tempat ini untuk merencanakan pembunuhan terhadap beliau.
Umar bin Khatthab pernah mengunjungi dan tinggal beberapa saat di tempat ini ketika menjadi  khalifah. Demikian pula beberapa Khalifah sesudahnya.
Pada masa khalifah Al-Mu'tadhid Al-Abbasiy, Darun Nadwah yang luasnya 37 x 36 m ini dipugar dalam rangka perluasan Masjidil Haram  pada tahun 897 M / 284 H. Posisinya kira-kira di dekat tempat thawaf sebelah utara. Untuk memperingatinya, pintu di sana dinamakan Bab Dar an-Nadwah.


PEKUBURAN  MA'LA
 
Kondisi Kuburan Ma'la saat ini

Pemakaman Ma'la yang berada di kawasan Hujun ini merupakan pemakaman umum untuk penduduk Makkah dan para jamaah haji yang wafat di Makkah. Posisinya sekitar 600 meter sebelah utara Masjidil Haram. 

Makam Siti Aminah dan Siti Khadijah jaman dahulu
Sebelum masa Islam, Ma'la sudah dijadikan sebagai lokasi pemakaman keluarga besar Bani Hasyim. Sejak masa Nabi sampai sekarang, pekuburan Ma'la dijadikan lokasi pemakaman kaum muslimin Makkah. Di pekuburan ini terdapat makam Siti Khadijah, Qosim dan Abullah (putra Nabi), Abd. Mutholib, Abu Tholib.
Menurut penuturan Sayyid Muhammad bin Abbas Al-Maliki (yang wafat tahun 2005 dan juga dikubur di sini), kurang lebih ada 45 sahabat Nabi yang dikubur di Ma'la seperti Abdullah bin Umar, Abdullah bin Zubair, Yasir bin Amar, Asma' bin Abu Bakar, Abdullah bin Amr bin 'Ash, dan lain-lain. 
Makam Siti Khadijah di  Ma'la saat ini
Saat ini, pemakaman Ma'la diatur sedemikian rupa. Di atas makam tidak ada bangunan dan nisan, hanya ditandai bongkahan batu. Di sini tersedia ratusan lubang kubur yang sudah siap pakai. Mayat-mayat yang sudah lama dikubur dan tinggal tulang-belulang diambil lalu dipindah dan dikumpulkan di satu lubang besar. Sehingga lubang kubur tersebut dapat dipakai untuk menguburkan mayat-mayat baru secara bergantian.


JABAL QUBAISY
Dulu : Masjidil Haram, berlatar belakang jabal Abi Qubais
Jabal Qubais, bukit kecil yang berada dan berhadapan dengan Masjidil Haram sebelah timur ini dulu adalah perkampungan kumuh. Sekarang di atasnya dibangun istana kerajaan Saudi yang megah, mewah dan tinggi, melebihi ketinggian menara Masjidil Haram. Di kaki-kaki bukitnya dibangun banyak jalan terowongan menembus bebatuan bukit, menghubungkan kota Makkah dengan daerah lain seperti Aziziyah, Mina, dan lain-lain.
Dengan berdirinya Istana ini, pemandangan kota Makkah yang dulunya terkesan kumuh, tandus dan gersang menjadi hilang.
Sekarang : Istana Kerajaan di atas Jabal Abi Qubais
Sejarah. Menurut riwayat dari Ibnu Abbas, Makkah disebut Ummul Qura (induk kota) disebabkan Makkah adalah permukaan bumi tertua, sedangkan Jabal Qubais adalah permukaan gunung yang pertama kali muncul ketika bumi pada umumnya masih berupa lumpur, lalu berevolusi menjadi gunung. Hal ini sesuai hasil penyelidikan para ahli seperti yang dikemukakannya di seminar internasional tentang Mukjizat Al-Qur'an dan As-Sunnah pada 29 agustus - 1 September 1994 di IPTN Bandung, bahwa lapisan bumi dan gunung yang terdapat di sekitar jazirah arab merupakan lapisan bumi yang diperkirakan berusia lebih tua daripada bagian bumi lainnya. Maka tidak heran jika di kawasan Makkah (Bakkah) ini Alloh I membangun tempat ibadah yang tertua dan pertama kali di bumi, yakni Ka'bah. (Baca QS Ali Imran : 96). Dan tidak heran pula jika Makkah  merupakan perkampungan tua, karena di tempat ini Nabi Adam dan Hawa' hidup pertama kali di bumi dan mengembangkan keturunannya.

Kamis, 16 Mei 2013

MKTS - 2. Kawasan Tanah Haram Makkah

Penulis : Achmad Suchaimi




Alloh SWT mensucikan tanah suci haram Makkah sejak diciptakannya bumi sampai hari kiamat, sebagaimana Dia mensucikan kota Makkah itu sendiri.
Menurut riwayat, Nabi Adam pernah berdoa kepada Alloh agar diselamatkan dari gangguan Iblis yang pernah mencelakakannya di surga. Doa beliau dikabulkan, lalu Alloh menurunkan para malaikat turun ke bumi untuk menjaga, mengelilingi dan memagari tanah tempat Nabi Adam dan anak keturunannya tinggal agar terhindari dari gangguan Iblis.  Tempat para malaikat berjaga itulah yang kemudian menjadi batas-batas Tanah Suci Haram Makkah. 

Dikisahkan, malaikat Jibril memberitahu-kan kepada Nabi Ibrahim tentang batas-batas tanah Haram Makkah dan menyuruhnya untuk menandainya dengan menancapkan batu-batu. Hal ini dilaksanakan Nabi Ibrahim  maka pantaslah jika beliau dipandang sebagai orang yang pertama kali menandai batas-batas kawasan kota suci  Makkah, yakni batas yang memisahkan antara tanah suci (tanah haram) dengan lainnya.
Setelah Fat-hu Makkah (Pembebasan kota Makkah), Rosululloh SAW menugaskan Tamim bin Asad al-Khaza'iy untuk memperbaiki dan memperbaharui tanda-tanda batas tanah haram tersebut. Kemudian diteruskan para khalifah sesudahnya, sehingga mencapai 943 buah tanda yang ditancapkan di atas gunung, bukit, lembah dan tempat-tempat tinggi lainnya. 

Tugu Batas Tanah Haram
Panjang Tanah Haram 127 km, dan luasnya kurang lebih 550 km persegi. Di dalam kawasan ini Alloh menjadikannya sebagai tempat kembali dan tempat bertemunya semua manusia (matsabah, ketika ber-hajji) dan tempat yang aman (amna). 
Di kawasan ini dilarang melakukan kejahatan,  zhalim, membunuh, mencabut dan merusak tanamannya, berburu hewannya, mengambil /  memindahkan tanah-batunya ke luar Tanah Haram, dan berbuat dosa besar lainnya.
Alloh berfirman : 

"Sungguh, orang-orang  yang kafir dan menghalangi manusia dari jalan Allah dan Masjidilharam yang telah kami jadikan untuk semua manusia, baik yang bermukim di situ maupun di padang pasir dan siapa yang bermaksud di dalamnya melakukan kejahatan secara zalim, niscaya akan kami rasakan kepadanya sebahagian siksa yang pedih". (QS Al-Hajj: 25)
Setelah peristiwa Fat-hu Makkah, orang kafir, musyrik, Yahudi dan Nasrani dilarang memasuki kawasan Tanah Haram. (QS At-Taubah,[9] : 28).
Tabel di bawah ini menjelaskan jarak antara Masjidil Haram dan daerah batas-batas tanah suci Makkah.

Tan’im
Nakhlah
Adlat Laban
Ji’rana
Hudaibi-yah
Bukit Arafah
7,5 km
13 km
16 km
22 km
22 km
22 km


Rabu, 15 Mei 2013

PYPD - 12. Bid'ah Syar'iyyah dan Bid'ah Lughawiyah



Pake Peci, Bid'ah nggak?

Sebagian orang mengecam adanya pembagian Bid’ah Hasanah dan Bid’ah Sayyiah disertai pengingkarannya terhadap orang yang melakukan pembagian tersebut. Bahkan ada yang berani menuduhnya fasiq dan sesat, dengan alasan karena bertentangan dengan sabda Rasulullah saw :
كُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ
Setiap Bid’ah adalah sesat
Secara umum, teks hadis tersebut sudah jelas, yakni menjelaskan bahwa setiap Bid’ah adalah sesat. Dari sini, Anda akan menyaksikan komentar orang, “Apakah dapat dibenarkan, setelah Rasulullah saw mengatakan bahwa setiap bid’ah adalah sesat, lalu ada mujtahid atau ahli fikih yang lebih rendah tingkatannya bila dibanding dengan kedudukan Rasulullah saw selaku Pemilik Syari’at, berkata: “Tidak…! Tidak begitu maksudnya… ! Tidak setiap bid’ah itu sesat, akan tetapi bid’ah itu ada yang sesat, ada yang hasanah (baik), dan ada yang sayyiah (buruk)…”.


Banyak orang yang terpedaya dengan propaganda mereka tersebut, lalu tertarik dan ikut-ikutan menolak konsep pembagian Bid’ah “Hasanah” dan “Sayyiah”. Padahal sebagian besar mereka tidak paham terhadap maksud dan tujuan syariat itu sendiri. Bahkan mereka belum pernah merasakan manisnya ruh Islam. Mereka kemudian mengalami kesulitan sendiri sewaktu tengah memecahkan problem kehidupan yang dirasa tidak sesuai dengan apa yang mereka kehendaki, yaitu yang menyatakan bahwa segala sesuatu yang tidak ada padanannya dan tidak ditemukan dalilnya dalam sunnah Rasulullah saw adalah suatu perbuatan “Bid’ah”, termasuk juga misalnya dalam soal tata cara makan, minum, berpakaian, bergaul di tengah masyarakat dan keluarga, sementara yang namanya bid’ah adalah sesat. Untuk keluar dari lingkaran syetan tersebut, mereka lalu terpaksa mendefinisikan ulang tentang pengertian “Bid’ah” dan membaginya menjadi dua macam : 1) Bid’ah Diniyyah, yakni  bid’ah yang berkaitan dengan prilaku hidup dalam beragama, dan 2) Bid’ah Dunyawiyyah, yakni bid’ah yang berkaitan dengan urusan kehidupan duniawi.
Subhanallah ! Mereka mencela dan memaki orang yang mengatakan: “Tidak setiap bid’ah itu sesat. Akan tetapi bid’ah itu ada yang Hasanah (baik) dan ada yang Sayyiah (buruk)”. Namun di sisi lain, mereka membuat-buat sesuatu yang baru, yaitu secara terang-terangan membagi  pengertian “Bid’ah” kedalam “bid’ah diniyyah” dan “bid’ah dunyawiyyah”. Atau paling tidak mereka jelas-jelas telah “menciptakan” istilah baru dalam agama.


Menurut pemahaman kami, istilah “Bid’ah” sudah ada sejak masa tasyri’ nabawy, yakni periode awal pembentukan syari’at, periode Rasulullah saw masih hidup. Hanya saja, istilah baru “Bid’ah Diniyyah” dan “Bid’ah Dunyawiyyah” yang mereka ciptakan itu, secara qath’iy, tidak pernah ada pada awal periode tersebut. Yang menjadi persoalan sekarang adalah, dari mana asal usul pembagian bid’ah semacam itu ? Dan dari mana asal usul istilah baru tersebut ?

Kalau mereka mengatakan bahwa pembagian bid’ah kedalam bid’ah Hasanah dan Sayyiah adalah tidak berasal dari Pembuat Syari’at, yakni Rasulullah saw, maka demikian juga pembagian bid’ah sebagaimana yang mereka, yakni bid’ah Diniyyah yang dilarang atau tidak diterima,  dan bid’ah Dunyawiyyah yang diperbolehkan atau diterima. Karena pembagian semacam itu, pada hakekatnya,  secara otomatis termasuk perbuatan Bid’ah itu sendiri. Bukankah yang dinamakan Bid’ah adalah mengada-adakan sesuatu hal yang baru ? Salah satu contohnya adalah mengada-adakan istilah baru (“bid’ah diniyyah” dan “dunyawiyyah”) dalam persoalan agama.

Bid'ah Dunyawiyah : Raja Saudi dan Inggris menjalin persahabatan.
Rasulullah saw bersabda, “Setiap bid’ah adalah sesat”. Tanpa kecuali, segala bentuk bid’ah apa saja, semuanya adalah sesat. Dengan demikian, mereka yang membagi pengertian bid’ah kedalam bid’ah diniyyah dan bid’ah dunyawiyyah pun juga sesat.
Kami perlu menjelaskan persoalan penting yang berkaitan dengan pemahaman terhadap pengertian Bid’ah. Hal ini dimaksudkan agar semakin jelas duduk persoalannya dan memudahkan untuk melacak di mana letak kemusykilannya, sehingga kesimpangsiuran perbedaan pendapat selama ini dengan sendirinya akan hilang. Insya Allah.
 
Sebenarnya orang yang paling berhak berbicara merumuskan makna Bid’ah adalah Rasulullah saw, si Pembuat Syari’at yang sangat bijaksana, di mana ucapannya adalah ucapan syari’at, pemahaman dan pembicaraannya pun tentu saja berdasarkan pertimbangan syar’iy. Jika sekarang Anda sudah tahu bahwa yang disebut “Bid’ah” pada prinsipnya adalah segala sesuatu yang diada-adakan, dibuat-buat dan diciptakan atas dasar tidak ada padanan dan dalilnya dalam nash Al-Qur’an dan hadis Nabi, tentu Anda masih ingat, bahwa yang dimaksud dengan mengada-adakan sesuatu yang baru sebagai tambahan syariat yang sangat dicela oleh agama adalah sesuatu yang berkaitan dengan urusan agama, agar ia menjadi bagian dari syari’at agama itu sendiri, serta dinisbatkan kepada Pemilik Syari’at. Pemahaman semacam ini sesuai dengan apa yang dikhawatirkan Rasulullah saw dalam sabdanya :
مَنْ اَحْدَثَ فِى اَمْرِنَا هَـذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ
Barangsiapa yang mengada-adakan dalam perkara Agama kami ini sesuatu yang bukan termasuk bagian dari agama, maka tertolak lah ia”.
Ringkas kata. Menurut hadis di atas, bahwa sesuatu yang menjadi “garis pemisah” antara mengada-adakan sesuatu baru yang ditolak dan yang diterima, atau antara bid’ah yang sesat dan yang tidak sesat, adalah teks hadis : فِيْ اَمْرِنَا هَذَا  ,“dalam perkaran Agama kami ini (Islam)”.

Mengenai pembagian Bid’ah yang kami tetapkan, yakni “bid’ah sayyiah” dan “bid’ah hasanah”, menurut pemahaman kami adalah sekedar pembagian bid’ah secara “lughawy” (etimologis, bahasa), bukan secara “syar’iy” dan terlepas sama sekali dari keterkaitannya dengan mengada-adakan sesuatu baru dalam perkara agama. Kami tidak meragukan sama sekali, bahwa segala bentuk bid’ah dalam pengertian “syar’iy” adalah sesat, akan menimbulkan fitnah, serta dicela, ditolak dan dibenci oleh Agama Islam. Sekiranya mereka yang ingkar tersebut memahami secara benar pengertian “Bid’ah” di atas, tentu tidak akan terjadi lagi pertentangan di kalangan kaum muslimin seperti sekarang ini, dan pertentangan tersebut akan mudah didamaikan. Insya Allah.

Perlu kami tegaskan di sini, demi mendekatkan, mempertemukan dan mendamaikan berbagai faham-faham di atas, bahwa mereka yang menolak dan mengingkari pembagian istilah “Bid’ah” semacam ini sebenarnya hanya mengingkari adanya pembagian istilah bid’ah secara “syar’iy”. Hal ini jelas ditunjukkan dari sikap mereka yang membagi pengertian bid’ah kedalam “bid’ah diniyyah” dan “bid’ah dunyawiyah”. Walaupun pembagian tersebut mereka lakukan lebih disebabkan oleh keterpaksaan yang mengharuskan mereka untuk mendefinisikan ulang dan membuat pembagian semacam itu.
Orang-orang yang membagi Bid’ah kedalam bid’ah hasanah dan bid’ah sayyiah memandang bahwa pembagian semacam itu hanya sekedar pembagian secara “lughawy” , bukan secara “syar’iy”, dengan alasan bahwa mengada-adakan dan membuat-buat tambahan baru dalam syariat adalah sangat buruk dan sesat. Dengan demikian, perbedaan pendapatnya hanya bersifat formalistik.

Senada dengan pandangan di atas, kami berpendapat bahwa teman-teman kita yang menentang dan menolak pembagian bid’ah hasanah dan sayyiah, kemudian mereka melakukan pembagian bid’ah sendiri kedalam bid’ah diniyyah dan bid’ah dunyawiyyah, sebenarnya tidak mendapatkan keuntungan dari kedalaman interpretasinya itu. Karena pada saat mereka merumuskan bahwa bid’ah diniyyah adalah sesat, sedangkan bid’ah dunyawiyyah tidak sesat dan boleh-boleh saja dilakukan,  mereka benar-benar menetapkan rumusan yang buruk, disebabkan bahwa mereka berarti telah mengidentikkan setiap bid’ah dunyawiyyah dengan kebolehan. Ketetapan mereka semacam ini sangat berbahaya, akan menimbulkan fitnah dan musibah. Seharusnya ketika itu mereka terlebih dahulu memerinci dan  membuat klasifikasi bahwa bid’ah dunyawiyyah itu ada yang baik (hasanah) dan ada yang buruk (sayyiah). Perincian semacam itu akan sesuai dengan kenyataan yang terjadi dan tidak dapat diingkari, kecuali oleh orang-orang yang buta dan bodoh lagi dungu.

Kesimpulan yang dapat kita rumuskan di sini adalah hahwa pembagian pengertian “bid’ah” kedalam bid’ah hasanah dan bid’ah sayyiah adalah sekedar pembagian secaralughawy”, yakni suatu pembagian yang ditafsirkan oleh orang-orang yang mengingkarinya sebagai bagian dari kategori bid’ah dunyawiyyah. Pendapat berikut ini merupakan puncak dari ketelitian dan kehati-hatian, yaitu yang memandang bahwa setiap sesuatu yang baru hendaknya patuh kepada tata aturan hukum syar’iyyah. Kaum muslim setiap kali membuat-buat sesuatu baru yang yang berkaitan dengan urusan keduniawian, baik yang bersifat umum maupun khusus, dan apapun bentuknya (hasanah atau sayyiah), dimana urusan tersebut yang belum pernah terjadi di masa Rasulullah saw, seharusnya mereka mengembalikan, menggiring dan mencari dasar-dasarnya dari hukum syar’iyyah. Namun demikian, hal ini tidak akan mungkin terwujud kecuali bila dilakukan oleh para ulama yang ahli di bidang ushul.

Selasa, 14 Mei 2013

PYPD - 10. Waspadai Srigala Berbulu Domba



Srigala berbulu domba
Para propagandis, gerombolan "santri baru" Salafi-wahabi dan orang-orang yang kekanak-kanakan dalam mencari kebenaran sangat banyak jumlahnya. Sementara kebenaran yang mereka cari lepas dari tangan mereka dan tidak ada hubungannya dengannya sama sekali. Seorang penyair mengatakan, “Semua orang mengaku menjadi kekasih Laila. Namun Laila sendiri tidak pernah memperdulikan mereka”. Hal ini disebabkan karena mereka suka merekayasa, mengelabui suatu kebenaran dan membuat merah telinga orang yang mendengarnya. Karena itu, mereka lebih pantas dimasukkan kedalam kelompok “Pemakai Baju Palsu” atau "SRIGALA BERBULU DOMBA", sebagaimana yang digambarkan Rasulullah saw dalam salah satu sabdanya, “Orang yang pura-pura puas atau kenyang dengan apa yang belum ia peroleh, bagaikan seorang pemakai baju palsu”.

Kaum muslimin sering mendapatkan fitnahan, cobaan dan ujian dari mereka, disebabkan mereka selalu berusaha memperkeruh suasana, memecah belah persatuan umat dan mewariskan pertentangan atau permusuhan di antara sesama saudara muslim, atau antara anak dan bapaknya.
Dari pintu kedurhakaan, mereka masuk kedalam barisan umat Islam untuk ber-PURA-PURA membawa missi meluruskan pemahaman-pemahaman keislaman dan Seolah-olah menempuh cara atau metode salafus shalih. Sikap penuh“hikmah” (sikap bijaksana dalam berdakwah), nasehat yang baik, kelembutan dan kasih sayang, mereka ganti dengan sikap keras kepala, angkuh, su-ul adab (tidak bermoral) dan tidak mengenal sikap toleransi / tenggang rasa.

Kalau ini, babi berbulu domba
 Diantara mereka tersebut ada seseorang yang mengaitkan dirinya kedalam golongan kaum sufi. Padahal mereka jauh sama sekali dari hakekat dan inti ajaran tasawuf itu sendiri. Kemudian mereka berusaha merubah corak dan bentuk ajaran tasawuf. Mereka menodai kehormatan ajaran tasawuf, merusak jalan sejarahnya dan menyerangnya secara bertubi-tubi dan membabi-buta. Mereka mencaci para tokoh sufi,  para imam yang ‘Arif Billah, para syaikh, mursyid dan pendidik spiritual yang sejati.

Kita sebenarnya tidak mengenal dalam Kamus, bahwa Tasawuf adalah ajaran yang  penuh dengan  khurafat, kebatilan, dajjal dan kepalsuan. Kita tidak memandang Tasawwuf sebagai teori filsafat, hasil pemikiran asing, akidah syirik, ajaran pantheistik dan manunggaling kawula-gusti. Oleh karena itu, kami melepaskan diri dari semua pendapat dan tuduhan mereka. Kami memandang bahwa segala ajaran yang bertentangan dengan ajaran Al-Qur’an dan Hadis Nabawi, serta tidak menerima takwil (interpretasi/tafsir) adalah suatu kebohongan, atau barang selundupan yang dimasukkan oleh orang-orang (Salafi-Wahabi) yang lemah pikiran dan penuh dosa.

Sebaliknya, kita memandang Tasawwuf  sebagai Madrasah Ilmiah. Semua yang ada didalamnya, baik itu metode, sistem dan tata caranya, menggambarkan puncak tertinggi pemikiran Islam, serta  wajah peradaban dan idealisme kita yang paling sempurna. Tasawwuf menggambarkan kesempurnaan keimanan dan kesempurnaan dalam segi-segi kehidupan. Tasawwuf menggambarkan ketulusan dan kesucian dalam rangka mendekatkan diri kepada Tuhan. Tasawwuf adalah suatu kejujuran, amanah, menepati janji, mementingkan orang lain dan mengikis sifat egois, berani dalam mempertahankan kebenaran, dermawan, menolong yang lemah, membantu orang yang tertimpa kemalangan, bantu membantu dalam kebajikan dan ketakwaan, saling nasehat menasehati dalam rangka menegakkan kebenaran dan kesabaran, berlomba-lomba untuk melakukan kebajikan, dan semua perilaku yang tergambar dan terwujud dalam Akhlaqul Karimah.

Dengan perilaku dan akhlak yang harum lagi suci ini, maka tampillah pahlawan-pahlawan, para pemimpin dan para imam kaum muslimin pada generasi awal Islam. Sehingga nampak dengan jelas puncak kecemerlangan kepribadian Islam, kesempurnanan sifat, serta ketinggian dan kesucian karakter. Sebagaimana hal ini dilukiskan dalam sejarah kita tentang kemuliaan dan kebesaran Islam, kepemimpinan dan kegagungan Islam, semangat jihad dan kemenangannya, serta ketinggian peradaban Islam.

Dari sejarah ini pula, kita mengetahui dan memahami dengan seyakin-yakinnya bahwa kebangkitan umat Islam tidak akan tercipta melainkan selalu berdiri di atas Risalah-risalah spiritual Islam dan Inspirasi keimanan kaum muslimin. Kebangkitan tersebut juga tidak akan terjadi kecuali di atas fondasi Akhlaqul Karimah yang berakar dari Aqidah Islamiyah yang suci lagi bersih dari segala bentuk kesyirikan.



Sesungguhnya sifat, karakter, kepribadian, kejiwaan dan kekuatan spiritual merupakan modal suatu bangsa, modal utama membangun suatu bangsa dan mendorong mereka untuk meraih cita-cita yang tertinggi. Orang yang mengkaji sejarah perjalanan hidup kaum Salafus Shalih dan para pemimpin muslim yang arif bijaksana, tentu akan melihat bagaimana fondasi tersebut mampu menjadi penyebab langsung kebangkitan umat Islam yang sangat terkenal dalam sejarah itu. Bagi kaum muslimin, tidak sesuatu kekuatan yang mampu membangkitkan mereka selain keimanan dalam bentuknya paling tinggi, yakni keimanan yang hangat yang mampu membakar semangat, suatu keimanan yang hidup yang muncul dari rasa rindu dan cinta. Itulah keimanan yang tertancap dalam hati pemeluknya yang senantiasa menumbuhkan kehangatan dan semangat menuju kepada Allah swt. Itulah keimanan yang membuat kaum Salafus Sholih selalu hidup dalam Maqam Ihsan, di mana mereka selalu merasa seakan-akan menayaksikan Allah swt didalam segala sesuatu dan merasa bahwa Allah swt selalu mengawasi gerak-gerik mereka, bahkan mengawasi dalam setiap tarikan nafas dan denyut jantungnya. Bukan Ihsan dalam pengertian Hulul dan Ittihad (pantheistik, manunggaling kawula-gusti) serta Ilhad (atheistik, peniadaan Tuhan). Dan itulah keimanan yang mampu membangkitkan keadaran yang menyeluruh dalam kehidupan mereka. Suatu keimanan yang mampu memberikan kepekaan yang mendalam terhadap makna Ketuhanan yang berlaku di alam raya, yang hidup di bawah alam bawah sadar, yang mengetahui apa yang terlintas dalam hati, yang senantiasa mendengar bisikan terhalus lagi tersembunyi di dalam dada.