Sabtu, 20 Juli 2013

PYPD - 39. HAKEKAT KEHIDUPAN BARZAKHIYAH *)



Oleh Sayyid Muhammad Alawi Al-Maliki




KEHIDUPAN DI ALAM BARZAKH

Kehidupan di alam barzakh sebagai suatu kehidupan yang hakiki diisyaratkan oleh beberapa nash Al-Qur’an dan Hadis Shahih. Kehidupan hakiki di alam barzakh ini tidak bertentangan dengan   persoalan kematian manusia, sebagaimana firman Allah swt

وَمَا جَعَلْنَا لِبَشَرٍ مِنْ قَبْلِكَ الْخُلْدَ أَفَإِنْ مِتَّ فَهُمُ الْخَالِدُونَ(34)
Kami tidak menjadikan hidup abadi bagi seorang manusiapun sebelum kamu (Muhammad), maka jikalau kamu mati, apakah mereka akan kekal?” (QS Al-Anbiya’,[21] : 34)

إِنَّكَ مَيِّتٌ وَإِنَّهُمْ مَيِّتُونَ(30)
Sesungguhnya kamu akan mati dan sesungguhnya mereka akan mati (pula).” (QS Az-Zumar,[39] : 30)

Yang dimaksud dengan kehidupan barzakhiyah sebagai kehidupan Hakiki adalah suatu kehidupan yang benar-benar nyata, dan  bukan suatu kehidupan yang bersifat utopia, khayalan atau hanya ada di angan-angan, sebagaimana yang diyakini oleh kaum atheis dan materialis yang berpikiran sempit yang hanya percaya kepada hal-hal yang bersifat empiris,  serba nampak dan langsung dapat ditangkap indera manusia, yang tidak percaya pada hal-hal yang bersifat ghaib dan yang tidak dapat ditangkap oleh pikiran serta indera manusia.

Banyak Hadis Nabi dan Atsaryang menjelaskan tentang kemampuan pendengaran, pengelihatan, pengetahuan dan perasaan orang-orang yang sudah wafat, baik yang mukmin maupun yang kafir.

Imam Bukhary dan Muslim didalam kitab Ash-Shahihain mengetengahkan Hadis Nabi dari jalur sanad yang beragam, dari Abu Thalhah, dari Umar dan juga dari Ibnu Umar, yang menjelaskan bahwa Rasulullah saw memerintahkan para sahabat agar kedua puluh empat mayat tentara kafir Quraisy yang tewas di tengah pertempuran Badar dilemparkan saja kedalam salah satu sumur di situ. Selanjutnya beliau saw memanggil nama mereka satu persatu : “Hai Umayyah bin Khalaf…! Hai Utbah bin Rabi’ah…! Hai Syaibah bin Rabi’ah…! Hai Fulan bin Fulan…! …(dan seterusnya) …Apakah kalian sudah menemukan apa yang telah dijanjikan “tuhan-tuhan”  yang kalian sembah? Sementara aku benar-benar sudah menemukan apa-apa yang dijanjikan Tuhanku (Allah swt ) kepadaku !”.

Menyaksikan prilaku “aneh” Rasulullah saw tersebut, Umar bin Khatthab ra bertanya: “Apakah engkau berbicara dengan jasad-jasad yang sudah tidak bernyawa lagi ?”. Beliau saw menjawab : “Demi Allah yang jiwaku berada didalam kekuasaan-Nya! Sesungguhnya kalian tidak lebih mampu mendengar terhadap apa yang telah aku ucapkan kepada mereka tadi. Hanya saja mereka tidak mampu menjawabnya”.

Demikianlah Hadis yang diketengahkan oleh imam Bukhary dan Muslim dari jalur Ibnu Umar. Senada dengan di atas, ada beberapa hadis lagi yang diriwayatkan oleh Imam Bukhary dari jalur Anas bin Malik ra, dari Thalhah; Imam Muslim meriwayatkannya dari jalur  Anas bin Malik ra, dari Umar bin Khatthab; At-Thabrany meriwayatkannya dari Ibnu Mas’ud dengan sanad yang shahih dan dari Abdullah bin Saidan,  yang didalamnya terdapat teks hadis : “Ya Rasulullah! Apakah mungkin mereka mampu mendengar!”. “Mereka mampu mendengar sebagaimana kalian mendengar. Hanya saja mereka tidak mampu menanggapi atau menjawabnya”, jawab beliau saw. 

Al-Bazzar meriwayatkan hadis yang dinilai shahih oleh Ibnu Hibban, bersumber dari Ismail bin Abdurrahman as-Sadiy, dari ayahnya, dari Abu Hurairah ra, bahwa Rasulullah saw bersabda : “Sesungguhnya mayit itu dapat mendengarkan suara ketukan sandal para pelayat yang pulang dari penguburannya”.

Imam Bukhary meriwayatkan hadis didalam kitab Shahih-nya pada bab Al-Mayyit Yasma’u Khalqan-ni’al, dari jalur Anas bin Malik ra, bahwa Rasulullah saw bersabda : “seorang mayit jika sudah diletakkan di liang kuburnya, dia dapat mendengar suara ketukan sandal para pelayat yang pulang meninggalkannya. Sementara ia didatangi oleh dua malaikat (Munkar dan Nakir) dan didudukkannya”.

Kemampuan mayit mendengar suara ketukan sandal para pelayat yang kembali dari penguburan tersebut diisyaratkan oleh bebarapa hadis selain di atas, di antaranya hadis yang menceritakan tentang adanya pertanyaan kubur, disertai materi pertanyaan dan jawabannya. Juga diisyaratkan oleh beberapa hadis yang memerintahkan para peziarah kubur agar mengucapkan Salam kepada ahli kubur dengan ucapan : 

السَّـلاَمُ عَـلَيْـكُمْ   دَارَ قَـوْمٍ مُـؤْمِنِـيْنَ
Salam sejahtera semoga dilimpahkan Allah swt kepada kalian, wahai penghuni kubur kaum mukminin!”.

Ibnu al-Qayyim mengatakan bahwa ucapan Salam dengan lafazh seperti di atas hanya disampaikan kepada orang yang bisa mendengar lagi berakal. Jika tidak demikian, berarti ucapan Salam itu sama dengan disampaikan kepada orang dan barang (benda padat) yang tidak ada. Hal ini jelas tidak masuk akal. Dengan kata lain, Ahli Kubur yang diberi ucapan Salam seperti ucapan di atas jelas menunjukkan bahwa ia bisa mendengar. Jika tidak mampu mendengar, tentulah tidak ada perintah salam kepada Ahli Kubur dengan shighat salam seperti di atas. Para ulama Salaf bersepakat terhadap persoalan ini. Banyak Atsar-atsar yang mutawatir dari mereka yang menjelaskan bahwa mayit mampu mengetahui dan mendoakan baik kepada setiap orang yang menziarahinya.


Abdurrazzaq meriwayatkan hadis tentang persoalan ini dari Zaid bin Aslam, ia  menjelaskan bahwa  Abu Hurairah ra bersama-sama dengan temannya melewati sebuah pekuburan, kemudian ia bilang kepada temannya: “Ucapkan salam!”. Temannya bertanya : “Apakah aku akan mengucapkan salam kepada penghuni kubur?”. Jawab  Abu Hurairah ra : “Jika ia diberi kesempatan kembali hidup di dunia ini barangkali sehari saja, tentu ia akan mengenalimu sekarang ini!”. (HR Abdurrazzaq didalam kitabnya, Al-Mushannif , juz 3, hal. 577).

Itulah keyakinan dan akidah yang dimiliki oleh kaum Salaf, yakni golongan Ahlussunnah wal Jamaah. Hanya saja saya tidak mengerti, kenapa orang-orang yang mengaku dirinya sebagai kelompok dan pengikut ulama salaf, justru lupa, melupakan, atau mungkin pura-pura lupa terhadap kenyataan adanya  kehidupan Barzakhiyah ini.

Ibnul Qayyim secara panjang lebar menguraikan persoalan ini didalam kitabnya yang berjudul Ar-Ruh. Dan pada kesempatan ini, kami mencoba menukil fatwa-fatwa Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dari bukunya, Al-Fatawa al-Kubra”, yang menjelaskan bahwa ia pernah ditanya orang : “Apakah mayit-mayit itu mengetahui dan mengenal orang yang sedang menziarahi kuburannya? Apakah mereka juga mengenal mayit yang baru saja datang dari alam dunia ini, apakah ia masih keluarganya ataukah bukan?”  Dan pertanyaan-pertanyaan lain yang sejenis.

Ibnu Taimiyah menjawab : “Alhamdulillah. Benar, bahwa mereka mengenal. Banyak Atsar-atsar yang menjelaskan kebenaran tentang bertemunya mayit yang sudah lama menghuni alam barzah dengan mayit yang baru saja datang dari alam dunia dan menjadi penghuni baru alam barzah. Mayit-mayit yang sudah lama bertanya kepada mayit yang baru saja datang, tentang keadaan keluarga mereka yang masih hidup di alam dunia, dan juga diceritakan kepadanya tentang kiriman doa dan pahala amal shaleh dari keluarganya yang masih hidup di alam dunia. Sebagaimana yang diriwayatkan oleh Ibnul Mubarok yang bersumber dari Abu Ayyub al-Anshary: “Bila seorang mukmin wafat, sesampainya di alam kubur, ia ditemui orang-orang yang sudah lama wafat, sama halnya seperti mereka yang bertemu secara langsung di alam dunia. Mereka menyambut kedatangan mayit yang baru datang dan menanyakan segala hal kepadanya. Sebagian di antara mereka ada yang mengatakan kepada sebagian yang lain : “Lihatlah saudaramu yang baru saja datang ini! Dia nampaknya sedang istirahat”, atau ada yang mengatakan : “Sesungguhnya ia sedang bingung dan nampaknya sangat susah sekali”. Selanjutnya mereka sama mendatanginya dan menanyakan tentang keadaan keluarga mereka yang masih hidup di alam dunia, tentang keadaan teman-teman yang mereka kenal di alam dunia, atau juga, tentang apakah si Fulan atau Fulanah sudah menikah ataukan belum”.

Mengenai persoalan apakah mayit dapat mengenal siapa yang datang menziarahi kuburannya dan mengucapkan Salam kepadanya, telah dijelaskan oleh hadis yang bersumber dari Ibnu Abbas ra , bahwa Rasulullah saw bersabda : “Tiada seorang pun yang melewati suatu pekuburan saudara mukminnya yang pernah ia kenal di dunia, lalu  mengucapkan salam kepadanya, melainkan saudaranya (yang sudah wafat) itu tentu mengenalnya dan akan menjawab salamnya”.

Ibnul Mubarok mengatakan: “Hadis tersebut benar-benar berasal dari Rasulullah saw. Abdul Haq, seorang penulis kitab Al-Ahkam menilainya Shahih”. (Majmu’  Fatawa asy-Syaikh Ibnu Taimiyah, juz 24, hal. 331).

Pada kesempatan yang berbeda, Ibnu Taimiyah pernah ditanya : “Apakah mayit dapat mendengarkan pembicaraan dan melihat pribadi orang yang menziarahinya? Apakah saat itu ruh si mayit dikembalikan kepada jasadnya? Ataukah pada saat itu dan pada saat yang lain ruhnya bergerak-gerak dan mengepak-epakkan di atas  kuburannya? Apakah ruh orang yang baru saja wafat akan bertemu dan berkumpul atau bergaul dengan ruh-ruh para karib kerabatnya yang sudah lama wafat?”

Jawaban Ibnu Taimiyah : “Alhamdulillahi rabbilalamiin. Benar katamu. Secara global, mayit itu mampu mendengar, sebagaimana yang dijelaskan didalam kitab hadis “Ash-Shahihain”, dari Rasulullah saw : “Mayit mampu mendengar suara sandal para pelayat yang kembali dari penguburannya”.

Selanjutnya Ibnu Taimiyah mengemukakan beberapa hadis yang menjelaskan persoalan kehidupan barzakhiyah ini, dan ia menambahkan : “Nash-nash hadis ini menjelaskan bahwa mayit mampu mendengar secara global pembicaraan orang yang masih hidup di alam dunia. Namun hal ini bukan suatu kemestian. Terkadang mayit tersebut dapat mendengar pada suatu saat dan tidak dapat mendengar pada saat yang lain, disebabkan terhalang oleh hal-hal tertentu. Yang dimaksud dengan “Mendengar” dalam persoalan ini adalah dalam pengertian “memahami apa yang didengarnya”, bukan dalam pengertian “mendengar secara khayalan atau kiasan”. Hanya saja, pendengaran mayit tersebut tidak diikuti dengan kemampuannya untuk menyahuti atau membalas dengan suatu ucapan tertentu, sehingga orang lain (yang masih hidup) balik dapat mendengar ucapan si mayit.

Allah swt berfirman :

إِنَّكَ لَا تُسْمِعُ الْمَوْتَى

Sesungguhnya kamu tidak dapat menjadikan orang-orang yang mati mendengar “ (QS An-Naml,[27] : 80)

Yang dmaksud “mendengar” didalam ayat di atas adalah  dalam pengertian mendengar untuk menyambut dan mentaati perintah Allah swt, karena Allah swt menjadikan orang Kafir sama seperti Mayit yang tidak dapat menyahuti dan menuruti ajakan orang yang mengajaknya, dan bagaikan Hewan yang tidak mampu mendengarkan suara orang dan tidak mampu menangkap makna pemahaman yang terkandung didalamnya. Sementara Mayit, kalaupun ia dapat mendengar, ia pun juga dapat memahaminya, hanya saja ia tidak mampu menjawab orang yang mengajaknya bicara dan tidak mampu mentaati apa yang diperintahkan kepadanya dan menjauhi apa yang dilarang untuknya, sehingga tidak berguna  mengajak ber-amar makruf dan nahi munkar kepada mayit, sebagaimana tidak bergunanya mengajak orang  Kafir untuk beramar makruf dan nahi munkar, meskipun ia mampu mendengar pembicaraan atau ucapan ajakan dan mampu memahami isi pembicaraan orang.

Allah swt berfirman :

وَلَوْ عَلِمَ اللَّهُ فِيهِمْ خَيْرًا لَأَسْمَعَهُمْ وَلَوْ أَسْمَعَهُمْ لَتَوَلَّوْا وَهُمْ مُعْرِضُونَ(23)
Kalau kiranya Allah mengetahui kebaikan ada pada mereka, tentulah Allah menjadikan mereka dapat mendengar. Dan jikalau Allah menjadikan mereka dapat mendengar, niscaya mereka pasti berpaling juga, sedang mereka memalingkan diri (dari apa yang mereka dengar itu).” (QS Al-Anfal,[8] : 23)

Sedangkan persoalan kemampuan mayit untuk dapat “Melihat”, dijelaskan didalam beberapa Atsar yang bersumber dari Aisyah ra dan sahabat lainnya.

Pertanyaan mengenai Apakah Ruh si mayit dikembalikan ke jasadnya pada waktu itu, ataukah Ruhnya itu bergerak-gerak dan mengepak-epakkan di atas pekuburannya pada waktu itu dan pada waktu yang lain?, Ibnu Taimiyah menjawab, bahwa Ruh si mayit saat itu dan pada saat yang lain memang dikembalikan kepada jasadnya, sebagaimana yang dijelaskan didalam beberapa hadis Nabi. Ruh dan badan si mayit dapat bersatu kapan saja, bila Allah swt menghendakinya, yakni pada saat malaikat hendak menemuinya, atau sewaktu ia hendak mengembara di atas bumi, atau pada saat ia menemui dalam mimpi orang yang sedang tidur.

Beberapa Atsar menjelaskan tentang keberadaan Ruh-ruh orang yang sudah wafat didalam kuburnya. Mujahid mengatakan : “Ruh-ruh berada didalam liang kuburnya selama tujuh hari sejak dimakamkannya, dan tidak lepas dari itu. Namun hal ini terkadang tidak demikian, sebagaimana yang pernah dijelaskan oleh Malik bin Anas : “Telah sampai kepadaku suatu riwayat bahwa para arwah keluar dari kuburnya dan mengembara sekehendaknya. Dan hanya Allah swt yang lebih tahu”. (Majmu’ Fatawa asy-Syaikh Ibnu Taimiyah, juz 24, hal. 362)

Ibnu Taimiyah pada suatu kesempatan mengatakan, bahwa kehidupan para syuhada’ dan kenikmatan yang mereka terima, sebenarnya telah dijelaskan oleh beberapa nash Al-Qur’an dan Hadis Nabi. Di antaranya adalah sebuah hadis Shahih yang menjelaskan  bahwa Arwah mereka keluar-masuk sorga. Segolongan ulama berpendapat, bahwa para syuhada’ memang benar-benar diberi kesempatan memasuki calon surganya. Dan ini hanya khusus para syuhada. Sedangkan bagi kaum shalihin, shiddiqin dan lainnya, mereka tidak diberi kesempatan untuk memasukinya. Pendapat yang benar adalah pendapatnya para Imam dan mayoritas pengikut Ahlussunnah wal jamaah yang menyatakan, bahwa kehidupan, rizki, kenikmatan dan kesempatan memasuki surga, bukanlah monopoli para syuhada’ saja. Bisa jadi hal itu juga diberikan kepada selain mereka, sebagaimana yang dijelaskan oleh beberapa nash-nash yang ada. (Majmu’ Fatawa asy-Syaikh Ibnu Taimiyah, juz 24, hal. 332).



JANGAN SAKITI MAYIT

Rasulullah saw pernah melihat seseorang yang sedang menyandarkan tubuhnya di atas suatu makam, lalu beliau saw  bersabda : “Anda jangan menyakiti penghuni kubur itu”.

Hadis tersebut diketengahkan oleh Ibnu Taimiyah didalam bukunya, Al-Muntaqa, juz 2, hal. 104 dan ia mengaitkannya dengan sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad bin Hambal dalam Musnad-nya. Demikian pula Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-Asqalany menyebutkannya didalam kitabnya, Fathul Bary, juz 3, hal. 178 dengan sanad Shahih.

Ath-Thahawy mengetengahkan sebuah hadis didalam bukunya, Ma’anil Atsar, juz 1, hal 296 yang bersumber dari Ibnu ‘Amr bin Hazm yang artinya : “Rasulullah saw melihat aku yang sedang berada di atas pekuburan seseorang, lalu bersabda : ‘Turunlah dari kuburan itu! Jangan sakiti penghuninya (mayit), karena ia tidak menyakitimu’”. (Majma’ az-Zawaid, juz 3, hal. 61).



MAKNA KEHIDUPAN BARZAKHIYYAH

Perlu kami jelaskan bahwa yang dimaksud dengan kehidupan barzakhiyah adalah suatu kehidupan yang sama sekali berbeda dengan kehidupan duniawiyah, bahkan merupakan suatu kehidupan yang khas yang sangat sesuai dengan kondisi para penghuninya (para arwah).

Dalam kehidupan duniawi, manusia masih diharuskan melakukan aktifitas-aktifitas seperti ibadah, adab sopan santun, adat istiadat, berbudaya, bernegara, ketaatan, serta melaksanakan Hak dan Kewajiban tertentu, baik terhadap diri sendiri, keluarganya, masyarakat, maupun terhadap Tuhannya. Dalam kehidupan duniawi, suatu saat manusia dalam keadaan suci dan pada saat lain dalam keadaan yang sebaliknya; suatu saat ia berada di masjid, dan pada saat yang berbeda ia didalam kamar kecil. Manusia tidak mengetahui, kapan ia berakhir menjalani hidup di dunia ini. Terkadang jarak antara dirinya dan surga hanya sehasta. Tadinya ia mukmin dan tergolong calon penghuni surga, lalu tiba-tiba berbalik menjadi Kafir dan menjadi calon penghuni neraka. Begitu sebaliknya, sepanjang hidupnya ia nampak seperti calon penghuni neraka, dan tanpa diduga beberapa saat menjelang kematiannya, ia justru berbalik menjadi orang yang beriman dan bertaubat, sehingga ia menjadi calon ahli surga.

Sementara selama dalam kehidupan Barzakhi ini, jika termasuk orang yang beriman, ia akan melewati tahapan-tahapan ujian dan cobaan, yakni siksa kubur yang tidak akan selamat melewatinya kecuali Ahlus-Sa’adah. Dia pun bebas dari beban menjalankan syariat. Dia menjadi Ruh yang bercahaya, suci, dapat berfikir, dapat berkelana ke tempat-tempat yang dikehendakinya, bahkan berjalan dan  berkeliling ke seluruh wilayah Kerajaan Allah swt , yang meliputi alam syahadah dan alam ghaib. Dia selalu riang gembira,  serta tidak mengenal susah payah dan sedih, karena ia tidak terikat atau butuh kepada dunia, harta, emas dan perak, sehingga dia tidak mengenal irihati, hasud, melakukan kejahatan, dan juga tidak mengenal dendam antara yang satu dengan lainnya.

 

==============================================

*) Sumber : Diambil dari salah satu bagian dari kitab :
Judul Asli
: مفـاهـيم يجب أن تـصحح
Penulis
: Prof. DR. Sayyid Muhammad Alawi Al-Maliki
Alih Bahasa
: Achmad Suchaimi
Judul Terjemahan
: Pemahaman Yang Perlu Diluruskan (PYPD)


Jumat, 19 Juli 2013

PYPD - 38. INGIN MENDAPATKAN KEBERKAHAN DARI ROSULULLOH SAW *)



Oleh Sayyid Muhammad Alawi Al-Maliki


Kita mendengar banyak orang yang berkata bahwa mereka ingin mendapatkan keberkahan dari Rasulullah saw.  Ibnu Taimiyah pernah ditanya tentang kenyataan tersebut, lalu ia jawab bahwa perkataan mereka tersebut bisa dibilang “benar” dan juga bisa “salah”.

Dikatakan “benar” jika yang mereka maksudkan itu adalah bahwa Rasulullah saw telah memberi arahan, bimbingan, petunjuk, berita serta memerintahkan agar kita selalu melakukan amar makruf dan nahi munkar. Posisi kita di sini adalah mengharap keberkahan dari beliau saw dengan cara melakukan, mengikuti dan mentaati perintah beliau saw tersebut, sehingga kita akan mendapatkan kebaikan darinya. Sama halnya dengan penduduk Madinah yang mendapatkan keberkahan dari beliau saw disebabkan keimanan dan ketaatan mereka, sehingga mereka mendapatkan kebahagiaan hidup di dunia dan di akhirat. Bahkan setiap kaum muslimin yang beriman dan taat kepada beliau saw pun juga akan mendapatkan keberkahan dari beliau saw, disebabkan keimanan dan ketaatan mereka itu, sehingga mereka akan mendapatkan kebaikan dan kebahagiaan hidup di dunia dan di akhirat. Hanya saja, seberapa besar kebaikan dan keberkahan tersebut, tidak ada yang tahu kecuali Allah swt.

Atau yang mereka maksudkan dengan “keinginan untuk mendapatkan keberkahan dari Rasulullah saw” adalah bahwa dengan keberkahan doa beliau saw itu maka Allah swt menghilangkan kejelekan dan mereka berhasil memperoleh rizki dan pertolongan dari-Nya. Dengan demikian, hal ini dapat dibenarkan. Sebagaimana yang disinggung beliau saw didalam sabdanya : “Kalian tidak akan mendapatkan pertolongan dan rizki, melainkan dengan perantaraan kaum dhu’afa’ (kaum fakir miskin) di antara kalian, yakni sebab doa mereka, shalat mereka dan keikhlasan mereka”.

Allah swt terkadang mengurungkan siksa-Nya kepada kaum kafir dan orang yang durhaka di suatu kampung agar siksa-Nya itu tidak merembet atau mengenai kaum mukminin di situ atau biar tidak menimpa orang-orang yang sebenarnya tidak berhak disiksa. Dengan kata lain, keberadaan kaum mukminin di suatu tempat dapat mendatangkan keberkahan bagi seluruh penduduk di sekitarnya, meskipun mayoritas mereka adalah tidak beriman, sehingga mereka yang seharusnya mendapatkan siksaan Allah swt lalu tidak jadi terkena siksaan. Allah swt berfirman :

وَلَوْلَا رِجَالٌ مُؤْمِنُونَ وَنِسَاءٌ مُؤْمِنَاتٌ لَمْ تَعْلَمُوهُمْ أَنْ تَطَئُوهُمْ فَتُصِيبَكُمْ مِنْهُمْ مَعَرَّةٌ بِغَيْرِ عِلْمٍ لِيُدْخِلَ اللَّهُ فِي رَحْمَتِهِ مَنْ يَشَاءُ لَوْ تَزَيَّلُوا لَعَذَّبْنَا الَّذِينَ كَفَرُوا مِنْهُمْ عَذَابًا أَلِيمًا(25)

  Dan kalau tidaklah karena laki-laki yang mu'min dan perempuan-perempuan yang mu'min yang tiada kamu ketahui, bahwa kamu akan membunuh mereka yang menyebabkan kamu ditimpa kesusahan tanpa pengetahuanmu (tentulah Allah tidak akan menahan tanganmu dari membinasakan mereka). Supaya Allah memasukkan siapa yang dikehendaki-Nya ke dalam rahmat-Nya. Sekiranya mereka tidak bercampur baur, tentulah Kami akan mengazab orang-orang kafir di antara mereka dengan azab yang pedih”. (QS Al-Fath : 25)

Ayat di atas secara ringkas menjelaskan, sekiranya di Makkah tidak ada kaum mukminin yang dhu’afa’ (lemah, fakir-miskin) yang hidup di tengah masyarakat kafir quraisy, tentu Allah swt sudah menurunkan adzab kepada kaum kafir di kota itu sejak dulu. Kehadiran kaum muslimin di Makkah mambawa keberkahan tersendiri bagi kaum Kafir, sehingga Allah swt urung menurunkan siksa-Nya kepada mereka.

 

Pada kesempatan yang lain Rasulullah saw bersabda : “Sekiranya tidak karena kaum wanita dan anak-anak kecil di suatu rumah, tentu sudah aku perintahkan agar shalat jamaah benar-benar ditegakkan, kemudian berangkatlah bersamaku beberapa orang lelaki yang membawa kayu bakar menuju ke suatu kaum yang tidak shalat berjamaah bersama kami, lalu akan aku bakar rumah-rumah mereka”.

 

Demikian pula wanita yang hamil akibat perbuatan zinanya terhindar dari hukuman Rajam disebabkan keberkahan adanya janin yang ada didalam perutnya.
Nabi Isa as berkata :

وَجَعَلَنِي مُبَارَكًا أَيْنَ مَا كُنْتُ

dan Dia menjadikan aku seorang yang diberkati di mana saja aku berada” (QS Maryam,[19] : 31)

Keberkahan dari adanya para auliya’ dan kaum shalihin adalah disebabkan keberadaan mereka yang selalu memberikan kemanfaatan kepada semua makhluk, yakni ajakan mereka agar bertakwa dan kepada Allah swt, doa mereka dan rahmat yang diberikan Allah swt kepada mereka.  Allah swt urung menurunkan siksa-Nya kepada kaum kafir, munafiq, dan pendurhaka disebabkan di situ ada orang yang shalih adalah sesuatu yang benar adanya. Orang yang menginginkan sesuatu keberkahan dengan pemahaman seperti itu dapatlah dibenarkan.

Adapun ucapan atau keinginan mendapatkan keberkahan yang dinilai salah, tidak benar atau menyimpang adalah seperti seseorang menginginkan suatu keberkahan dengan cara-cara yang menjurus kepada perbuatan syirik. Misalnya suatu anggapan bahwa ia menjadi terhormat, mulia, kaya dan sejenisnya adalah disebabkan keberkahan orang mati yang ada didalam kuburan, meskipun orang mati tersebut selama hidupnya tidak taat kepada Allah swt dan Rasul-Nya. Mencari keberkahan dengan cara semacam ini merupakan suatu kebodohan.

Rasulullah saw adalah Sayyidu Waladi Adam (tuan, pemimpin seluruh umat manusia) yang jenazahnya dimakamkan di Madinah. Namun penduduk Madinah tetap tertimpa musibah pembunuhan, perampokan dan intimidasi pada masa-masa setelah periode Khulafaurrasyidin. Hal ini disebabkan pada masa itu mereka banyak yang melakukan perbuatan bid’ah. Padahal  selama periode Khulafaurrasyidin, mereka tidak pernah mengalami peristiwa seperti itu. Bahkan Allah swt memelihara, melindungi dan memberi keamanan kepada mereka, disebabkan keimanan dan ketaatan mereka yang kuat. Apalagi para khalifah mendorong mereka agar meningkatkan ketakwaan dan ketaatan mereka. Maka dengan keberkahan mentaati perintah para Khalifah tersebut, serta keberkahan amal usaha Khulafaurrasyidin bersama-sama dengan mereka itulah, kemudian Allah swt memberikan pertolongan-Nya dan mengokohkan kedudukan mereka.

 Nabi Ibrahim telah wafat dan jenazahnya dimakamkan di kota Damaskus, toh para penduduknya tetap dilanda kekacauan dan kejahatan merejalela di sana sini. Adalah suatu kebodohan jika ada suatu anggapan bahwa orang mati yang dikubur di suatu kota atau desa dapat mendatangkan keselamatan bagi penduduknya. Demikian pula anggapan bahwa keberkahan dapat diterima oleh orang yang mensyirikkan Allah swt  dan orang yang tidak mentaati Allah swt dan Rasul-Nya. Misalnya persangkaan bahwa bersujud kepada selain Allah swt, mencium bumi dan sejenisnya dapat mendatangkan keberkahan atau kebaikan pada pelakunya, meskipun ia tidak pernah mentaati Allah swt dan Rasul-Nya; atau anggapan bahwa seseorang dapat memberikan syafaat kepadanya dan dapat memasukkannya ke surga, disebabkan kecintaannnya kepada orang itu . Kesemuanya itu merupakan perbuatan kaum musyrikin dan ahli bid’ah, dan apa yang mereka sangka tersebut adalah batil dan tidak boleh dipegangi.



IMAM AHMAD BIN HAMBAL BERTABARRUK DAN ADZ-DZAHABI MENDUKUNG

Abdullah bin Ahmad bin Hambal menceritakan : “Aku melihat ayahku, Ahmad bin Hambal, mengambil selembar rambut peninggalan Rasulullah saw , lalu menciumnya. Aku juga melihat  ayahku meletakkan rambut tersebut di atas matanya, setelah itu ia mencelupkannya kedalam air, kemudian airnya ia minum untuk pengobatan. Aku pernah melihat lagi ayahku mengambil sebuah mangkok peninggalan Rasulullah saw dan dicelupkannya kedalam air, lalu airnya ia minum. Ayah juga pernah meminum air zamzam untuk pengobatan dan mengusapkan air itu pada kedua tangan dan wajahnya”.

Saya tegaskan di sini, apakah masih ada orang yang mengingkari cara bertabarruk seperti yang dilakukan oleh Imam Ahmad bin Hambal di atas? Abdullah bin Ahmad bin Hambal pernah bertanya kepada ayahnya mengenai orang-orang yang bertabarruk dengan cara menyentuh rumanah pada mimbar Rasulullah saw dan mengusap-usap Hajar Aswad. Imam Ahmad menjawab: “Menurut saya, hal itu tidak apa-apa”.

Pendapat Imam Ahmad bin Hambal dan perilakunya tersebut ternyata disetujui dan didukung oleh Adz-Dzahaby. Semoga Allah swt selalu melindungi kita semua dari perbuatan kaum khawarij dan ahli bid’ah. (Baca juga kitab Siyaru A’lam an-Nubala’, juz 11, hal. 812).



Penutup

Kesimpulan yang dapat kita ambil dari beberapa Atsar dan Hadis Nabi di atas adalah bahwa Bertabarruk pada diri Rasulullah saw, petilasan, benda bekas peninggalan, dan apa saja yang berkaitan dengan Rasulullah saw, merupakan Sunnah Marfu’ah dan perbuatan terpuji yang disyariatkan. Hal ini ditunjukkan oleh tindakan dan perbuatan para tokoh sahabat yang diperkuat oleh tindakan Rasulullah saw sendiri. Bahkan suatu ketika beliau saw memerintahkan bertabarruk, dan pada kesempatan yang lain beliau saw mengisyaratkan tentang diperbolehkannya bertabarruk.

Berdasarkan nash-nash yang kami kutip di atas, nampak sekali kebohongan dari orang-orang yang beranggapan bahwa tidak seorang sahabat pun yang memiliki perhatian, kepedulian dan anggapan tentang pentingnya bertabarruk, selain Abdullah bin Umar. Bahkan Tabarruk yang dipraktekkan Abdullah bin Umar tersebut tidak seorang pun di antara sahabat yang menyetujuinya. Anggapan dan persangkaan mereka semacam itu menunjukkan kebodohan dan kebohongan mereka, sekaligus merupakan usaha mereka menutupi kenyataan dan kebenaran yang ada.

Sebenarnya banyak sekali sahabat, selain Ibnu Umar, yang mempraktekkan Tabarruk, dan menganggapnya sangat penting. Di antara mereka adalah Khulafaur Rasyidin, Ummu Salamah, Khalid bin Walid, Watsilah bin al-Asqa’, Salamah bin al-Akwa’, Anas bin Malik ra, Abdullah bin Salam, Ummu Sulaim, Usaid bin Hudhair, Sawad bin Ghaziyah, Sawad bin Amr, Abu Musa al-Asy’ary, Sufainah, Sarah, Malik bin Sinan, Asma’ binti Abu Bakar, dan juga dari kalangan ulama generasi sesudahnya seperti Imam Malik bin Anas beserta para gurunya di Madinah seperti Sa’id bin al-Musayyab dan Yahya bin Sa’id.

 

==============================================

*) Sumber : Diambil dari salah satu bagian dari kitab :
Judul Asli
: مفـاهـيم يجب أن تـصحح
Penulis
: Prof. DR. Sayyid Muhammad Alawi Al-Maliki
Alih Bahasa
: Achmad Suchaimi
Judul Terjemahan
: Pemahaman Yang Perlu Diluruskan (PYPD)