Minggu, 09 Juni 2013

PYPD - 17. Bertawassul Dengan Rasulullah SAW Sebelum Lahir ke Dunia



Oleh: Prof. DR.Sayyid Muhammad Alawi Al-Maliki


Nabi Adam as pernah bertawassul dengan perantaraan Rasulullah saw sebelum beliau terlahir ke dunia. Berdasarkan hadis yang diketengahkan oleh  Al-Hakim dalam kitabnya Al-Mustadrak : “Telah bercerita kepada kami Abu Sa’id Amer bin Muhammad bin Manshur, seorang yang adil. Bercerita kepada kami Abul Hasan Muhammad bin Ishaq bin Ibrahim al-Hanzhali. Bercerita kepada kami Abul Haris Abdullah bin Muslim al-Fihri. Bercerita kepada kami Ismail bin Maslamah. Bercerita kepada kami Abdurrahman bin Zaid bin Aslam. Dari bapaknya, dari kakeknya, dari Umar bin Khatthab ra, bahwa Rasulullah saw bersabda : “Sewaktu Nabi Adam melakukan kesalahan, lalu beliau berdoa : “Ya Rabb ! Aku memohon kepada-Mu dengan perantaraan Muhammad, agar Engkau memaafkanku”. Allah swt berfirman kepadanya: “Hai Adam ! Bagaimana Anda tahu nama Muhammad, sementara Aku belum menciptakannya ke dunia ?”. Adam menjawab: “Ya Rabb ! Sewaktu Engkau menciptakan aku dengan Tangan-Mu sendiri dan Engkau tiupkan sebagian ruh-Mu kedalam tubuhku, saat itu aku mengangkat wajahku ke ‘Arasy, lalu aku melihat bahwa di antara tiang-tiang penyangga ‘Arasy itu tertulis kalimat  La ilaha Illallah, Muhammadur Rasulullah (Tiada Tuhan selain Allah. Muhammad adalah utusan Allah), sehingga aku menjadi tahu bahwa Engkau tidak akan menyandarkan seorang makhluk kepada Asma’-Mu melainkan ia tentu seseorang yang paling Engkau cintai”. Allah swt berfirman : “Anda benar, hai Adam ! Sesungguhnya dia (Muhammad) adalah orang yang paling Aku cintai. Karena itu, berdoalah kepadaku dengan perantaraan hak dia, tentu Aku akan memaafkan dosa-dosa Anda. Sekiranya bukan karena Muhammad, tentu Aku tidak akan menciptakan Anda”. (HR Al-Hakim dalam kitab Al-Mustadrak, juz 2; hal.615. Beliau menilainya Shahih).
Al-Hafizh As-Suyuthy meriwayatkan hadis di atas dalam kitab Al-Khashaishun Nabawiyyah dan menilainya sebagai hadis shahih. Al-Qasthalany, Al-Zarqany dalam kitab Al-Mawahib al-Laduniyyah (juz 1; hal. 62) dan As-Subky dalam kitab Syifa-us Saqam, ketiga imam hadis tersebut menilainya sebagai hadis shahih. Sementara Al-Hafizh al-Haitsamy mengatakan : “Imam At-Thabrany meriwayatkan hadis tersdebut dalam kitab Al-Ausath, dan didalamnya ada rawy-rawy yang tidak aku kenal” (Majma’ al-Zawaid,  juz 8; hal. 253)
Teks hadis lainnya bersumber dari Ibnu Abbas ra : “Sekiranya bukan karena Muhammad, tentu Aku tidak menciptakan Adam, surga dan neraka”. Hadis ini diriwayatkan Al-Hakim dalam kitab Al-Mustadrak (juz 2 ; hal. 615), dengan diberi komentar : “Hadis ini sanadnya shahih”.
Hadis tersebut juga dinilai shahih oleh Syaikhul Islam Al-Baqilany dalam kitabnya Al-Fatawy. Syaikh Ibnu al-Jauzy mengutip hadis tersebut pada awal tulisannya dalam kitab Al-Wafa. Demikian pula Ibnu Katsir mengutip hadis tersebut dalam kitab Al-Bidayah juz 1; hal. 180.
Sebagian Ulama ada yang memperselisihkan kebasahan hadis di atas. Setelah membicaraan derajat hadis tersebut, mereka lalu menolaknya dan menempatkannya sebagai hadis maudhu’ (hadis palsu). Seperti Al-Dzahaby dan ulama lainnya. Sebagian mereka menilainya sebagai hadis dha’if (hadis lemah), dan sebagian lagi menilainya sebagai hadis munkar.
 Dari keterangan di atas maka tahulah kita bahwa mereka sangat berbeda dalam menilai derajat hadis tawassulnya Nabi Adam tersebut. Atas kenyataan itu, maka persoalannya sekrang adalah berkisar pada masalah penetapan (itsbat), penolakan, penerimaan dan pembekuan atau penundaan pembahasan terhadap hadis tersebut, disebabkan perselisihan mereka terletak pada menentukan derajat sebuah hadis. Perselisihan mereka terbatas pada pandangan mereka dari sudut sanad dan ketetapan hadis. Sementara dari sudut isi kandungannya, marilah kita tengok bagaimana komentar Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah 

  
1. Bukti kebenaran hadis tentang tawassulnya Nabi Adam

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengemukakan dua buah hadis sebagai bukti dan argumentasi tentang kebenaran adanya hadis tawassulnya Nabi Adam sebagaimana yang dikemukakan di atas :
Bukti Pertama : Abul Faraj bin al-Jauzy meriwayatkan hadis yang sanadnya sampai kepada Maisarah ra. Ia pernah bertanya kepada Rasulullah saw, “Sejak kapan engkau menjadi Nabi ?”. Beliau saw menjawab: Setelah Allah swt menciptakan bumi, Dia lalu menuju penciptaan langit dan membentangkannya menjadi tujuh lapis, kemudian menciptakan ‘arasy seraya menuliskan kalimat : La ilaha illallah. Muhammadur Rasulullah, Khatamun Nabiyyin (Tiada Tuhan selain Allah. Muhammad adalah utusan Allah, Penutup para Nabi) diatas tiang penyanggahnya. Selanjutnya Allah swt menciptakan sorga, tempat tinggal Nabi Adam dan Hawa’, lalu menuliskan namaku di atas pintu-pintunya, dedaunan, kubah-kubahnya tenda-tenda dan bangunan-bangunan di sorga. Sementara itu Nabi Adam masih berwujud antara ruh dan jasad. Sewaktu Allah swt menghidupkannya, lalu beliau melihat ke arah ‘arsy dan dilihatnya  namaku terpamppang di sana, kemudian Allah swt memberi tahu kepadanya bahwa nama Muhammad adalah  pemimpin anak keturunannya. Tatkala syetan berhasil menjerumuskan atau menipu Nabi Adam dan Hawa’, mereka berdua kemudian bertaubat dan memohon bantuan syafa’at kepada Allah swt dengan perantaraan namaku”.
Bukti Kedua : Abu Na’im al-Hafizh dalam kitab Dalailun Nubuwwah menyebutkan sebuah hadis dari jalur syaikh Abul Faraj: Telah bercerita kepada kami Sulaiman bin Ahmad; bercerita kepada kami Ahmad bin Rasyid; bercerita kepada kami Ahmad bin Sa’id al-Fihry; bercerita kepada kami Abdullah bin Isma’il al-Madany, dari Abdurrahman bin Zaid bin Aslam, dari ayahnya, dari sahabat Umar bin Khatthab ra, bahwa Rasulullah saw bersabda, “Sewaktu Nabi Adam as melakukan kesalahan, ia mengangkat kepalanya ke atas seraya berdoa: ‘Ya Rabb ! Berkat kebenaran Muhammad, ampunilah dosa-dosaku’. Kemudian Allah swt berfirman kepadanya :‘ Apa dan siapa Muhammad itu ?’. Beliau jawab : ‘Ya Rabb ! Sewaktu Engkau menyempurnakan penciptaan atas diriku, aku angkat kepalaku ke arah arasy-Mu, tidak tahunya di sana tertulis kalimat La ilaha illallah, Muhammadur Rasulullah, sehingga aku menjadi tahu bahwa dia adalah makhluk-Mu yang  paling mulia, disebabkan Engkau telah menyandingkan namanya dengan Nama-Mu’. Allah swt berfirman : ‘Benar, katamu ! Sekarang Aku ampuni dosa-dosamu. Memang dia adalah Nabi terakhir dari anak keturunanmu. Seandinya bukan karena dia, tentu Aku tidak akan menciptakanmu”.
Hadis di atas memperkuat hadis sebelumnya. Kedua hadis di atas adalah seperti tafsir terhadap hadis-hadis shahih. (Dikutip dari kitab Al-Fatawa, juz 2; hal.150 karya Ibnu Taimiyah).
Kami berpendapat, penjelasan tersebut menunjukkan bahwa hadis tawassul sebagaimana di atas, menurut Ibnu Taimiyah, pantas dijadikan sebagai dalil, argumentasi dan I’tibar. Karena hadis maudhu’  atau bathil tidak dapat dijadikan sebagai argumentasi menurut pendapat muhadditsin (para pakar di bidang ilmu hadis). Dengan demikian, Anda sekarang telah mengetahui bahwa Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah saja mau mengambil hadis tawassul tersebut sebagai argumentasi dan dijadikan sebagai penafsir atau penjelas terhadap hadis-hadis shahih lainnya.
Koreksi Ibnu Taimiyah mengenai pemahaman terhadap khushusiyyah Rasulullah saw . Dalam kitab Al-Fatawa, juz 11; hal. 96 beliau mengatakan, “Nabi Muhammad adalah pemuka para seluruh anak keturunan Nabi Adam. Dia seorang makhluk yang paling utama dan  mulia. Dari kekhususan Rasulullah saw tersebut, ada orang yang mengatakan bahwa Sesungguhnya Allah swt menciptakan alam semesta ini adalah karena Muhammad. Atau dengan kata lain : Seandainya bukan karena Muhammad, tentu Allah swt tidak akan menciptakan arasy, kursy, langit, bumi, matahari dan bulan. Akan tetapi  ini bukanlah sebuah hadis dari Rasulullah saw, baik shahih ataupun dha’if. Tidak seorang ahli hadis pun yang pernah meriwayatkannya. Tidak diketahui dari sahabat siapa. Bahkan tidak diketahui, siapa yang mengucapkannya pertama kali. Mungkin ini merupakan penafsiran terhadap firman Allah swt :
أَلَمْ تَرَوْا أَنَّ اللَّهَ سَخَّرَ لَكُمْ مَا فِي السَّمَوَاتِ وَمَا فِي الْأَرْض ِأَلَمْ تَرَوْا أَنَّ اللَّهَ سَخَّرَ لَكُمْ مَا فِي السَّمَوَاتِ وَمَا فِي الْأَرْضِ
“Tidakkah kamu perhatikan sesungguhnya Allah telah menundukkan untuk (kepentingan) mu apa yang di langit dan apa yang di bumi”  (QS Luqman,[31] : 20)
اللَّهُ الَّذِي خَلَقَ السَّمَوَاتِ وَالْأَرْضَ وَأَنْزَلَ مِنَ السَّمَاءِ مَاءً فَأَخْرَجَ بِهِ مِنَ الثَّمَرَاتِ رِزْقًا لَكُمْ وَسَخَّرَ لَكُمُ الْفُلْكَ لِتَجْرِيَ فِي الْبَحْرِ بِأَمْرِهِ وَسَخَّرَ لَكُمُ الْأَنْهَارَ(32)وَسَخَّرَ لَكُمُ الشَّمْسَ وَالْقَمَرَ دَائِبَيْنِ وَسَخَّرَ لَكُمُ اللَّيْلَ وَالنَّهَارَ(33)وَءَاتَاكُمْ مِنْ كُلِّ مَا سَأَلْتُمُوهُ وَإِنْ تَعُدُّوا نِعْمَةَ اللَّهِ لَا تُحْصُوهَا إِنَّ الْإِنْسَانَ لَظَلُومٌ كَفَّارٌ(34)
 Allah-lah yang telah menciptakan langit dan bumi dan menurunkan air hujan dari langit, kemudian Dia mengeluarkan dengan air hujan itu berbagai buah-buahan menjadi rezki untukmu, dan Dia telah menundukkan bahtera bagimu supaya bahtera itu berlayar di lautan dengan kehendak-Nya, dan Dia telah menundukkan (pula) bagimu sungai-sungai. Dan Dia telah menundukkan (pula) bagimu matahari dan bulan yang terus menerus beredar (dalam orbitnya); dan telah menundukkan bagimu malam dan siang. Dan Dia telah menundukkan (pula) bagimu matahari dan bulan yang terus menerus beredar (dalam orbitnya); dan telah menundukkan bagimu malam dan siang. Dan Dia telah memberikan kepadamu (keperluanmu) dari segala apa yang kamu mohonkan kepadanya. Dan jika kamu menghitung ni`mat Allah, tidaklah dapat kamu menghinggakannya. Sesungguhnya manusia itu, sangat zalim dan sangat mengingkari (ni`mat Allah).” (QS Ibrahim, [14] : 32-34)
Juga penafsiran terhadap ayat-ayat Al Qur’an yang sejenis yang menjelaskan bahwa Allah swt menciptakan seluruh makhluk-Nya adalah untuk keperluan anak keturunan Adam. Dan kita tahu bahwa Allah swt  melakukan yang demikian itu tentu ada hikmah lain yang besar, selain untuk kepentingan anak Adam. Bahkan hikmah lain tersebut justru lebih besar lagi. Namun secara khusus Allah swt menjelaskan kepada anak Adam sesuatu hikmah dan manfaat yang terkandung didalamnya, serta suatu nikmat yang dianugerahkan kepada mereka.
Jika ada yang mengatakan bahwa Allah swt berbuat begini dan begitu untuk ini dan itu, maka ini bukan berarti bahwa hal itu tidak terkandung suatu hikmah untuk yang lain. Demikian pula perkataan orang bahwa seandainya tidak karena ini dan itu, tentu Allah swt tidak akan menciptakan ini dan itu, adalah bukan berarti tiadanya tujuan dan hikmah lain yang lebih besar. Akan tetapi, Allah swt tetapi makna yang dikehendaki dari perkataan di atas adalah bahwa jika manusia yang paling saleh dari seluruh keturunan Adam adalah Muhammad, dan penciptaannya merupakan tujuan dan hikmah terbesar bila dibanding dengan penciptaan makhluk lainnya, maka berarti bahwa kesempurnaan penciptaan Allah swt dan puncak keutamaannya hanya tercapai dengan penciptaan Muhammad saw. Demikianlah yang diuraikan Ibnu Taimiyah dalam kitabnya Al-Fatawa.
 Analisis dan hasil kajian Ibnu Taimiyah yang dilupakan para pengikutnya:  Uraian selanjutnya merupakan hasil kajian beliau yang raib dari pengetahuan para pendukungnya yang menjelaskan tentang bukti-bukti kebenaran tawassulnya Nabi Adam, yakni bukti ketiga dan keempat, selain dua bukti di atas. Juga mengenai Khushushiyyah (keistimewaan dan kekhususan) yang dimiliki Rasulullah saw. Dalam persoalan ini Ibnu Taimiyah berkomentar, “Sesungguhnya pembicaraan ini ada segi-segi kebenarannya”.  
 Bukti Ketiga : Ibnu Mundzir didalam buku tafsirnya meriwayatkan hadis dari Muhammad bin Ali bin Husain bin Ali ra : “Sewaktu Nabi Adam melakukan kesalahan, ia benar-benar susah, kecewa dan menyesal. Datanglah malaikat Jibril kepadanya seraya berkata, “Hai Adam! Maukah Anda saya tunjukkan pintu taubatmu, sehingga Allah swt akan menerima taubatmu ?”. Nabi Adam menjawab, “Tentu saja aku mau, wahai Jibril !”. Malaikat Jibril berkata, “Bangkitlah dan carilah tempat untuk mermunajat kepada Tuhanmu. Muliakanlah Dia, karena tidak ada yang lebih Dia sukai kecuali ungkapan puji-pujian”. Beliau bertanya, “Bagaimana caranya, wahai Jibril!”. Jawab Jibril, “Bacalah doa dzikir ini
لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيْكَ لَهُ, لَهُ الْمُلْكُ وَ لَهُ الْحَمْدُ يُحْيِ وَ يُمِيْتُ وَ هُوَ حَيُّ لَا يَمُوْتُ, بِيَدِهِ الْخَيْرُ كُلُّهُ, وَ هُوَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيْرٌ.
Tiada tuhan selain Allah, Yang Maha Esa, tiada sekutu bagi-Nya. Bagi-Nya kerajaan dan bagi-Nya segala puji. Dialah Yang Menghidupkan dan mematikan. Dia Maha Hidup, tidak   akan mati. Dalam genggaman Kekuasaan-Nya lah seluruh kebaikan. Dan Dia Maha Kuasa atas segala sesuatu
Setelah itu, Anda akui semua kesalahanmu. Kemudian diteruskan membaca doa :
سُبْحَانَكَ اللَّهُمَّ وَ بِحَمْدِكَ, لَا اِلَهَ إِلاَّ اَنْتَ, رَبِّ إِنِّي ظَلَمْتُ نَفْسِي وَ عَمِلْتُ السُّوْءَ, فَاغْفِرْ لِي , إِنَّهُ لَا يَغْفِرُ الذُّنُوْبَ إِلَّا اَنْتَ. اَللَّهُمَّ إِنِّي أَسْأَلُكَ بِـجَاهِ مُحَمَّدٍ عَبْدِكَ وَ كَرَامَتِهِ عَلَيْكَ, أَنْ تَغْفِرَ لِي خَطِيْئَتِي.
Maha Suci Engkau, Ya Allah dan dengan segala puji bagi-Mu. Tiada tuhan selain Engkau. Ya Rabb ! Sesungguhnya aku telah menzalimi diriku sendiri dan telah melakukan kejelekan. Karena itu, ampunilah aku. Karena tiada yang mampu memgampuni dosa-dosa kecuali Engkau. Ya Allah ! Sesungguhnya aku memohon kepada-Mu dengan perantaraan kehormatan Muhammad, hamba-Mu, dan berkat kemuliaannya di sisi-Mu, kiranya Engkau berkenan memaafkan segala kesalahanku”.
 Selanjutnya Nabi Adam melaksanakan apa yang diperintahkan malaikat Jibril tersebut. Kemudian Allah swt berfirman kepadanya, “Hai Adam! Siapa yang mengajarimu ?”. Beliau menjelaskan, “Ya Rabb! Sewaktu Engkau meniupkan ruh kedalam jasadku, lalu aku menjadi hidup sebagaimana manusia pada umumnya. Aku mampu melihat, mendengar dan berfikir. Saat itu aku melihat ke atas tiang-tiang penyanggah arasy dan di sana tertulis : 
بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ. لَا إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيْكَ لَهُ. مُحَمَّدٌ رَسُوْلُ اللَّهِ
Dengan menyebut Asma Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Tiada tuhan selain Allah, Yang Maha Esa lagi tiada sekutu bagi-Nya. Muhammad utusan Allah”.
Sementara tidak terlihat nama seorang malaikat Muqarrabin pun yang disandingkan dengan Nama-Mu, dan juga tiada nama salah seorang Nabi dan Rasul selain nama Muhammad, sehingga tahulah aku sekarang, bahwa dia merupakan makhluk-Mu yang termulia” Selanjutnya Allah swt berfirman kepadanya, “Kamu benar! Taubatmu sekarang Aku terima dan dosa-dosamu Aku maafkan”. (Ad-Durrul Mantsur, karya As-Suyuthy, juz 1; hal. 146).
Muhammad bin Ali bin al-Husain adalah ayahnya Ja’far al-Baqir. Beliau salah seorang tabi’in yang sangat “tsiqah” (dapat dipercaya) dan menjadi pemimpin mereka. Enam Imam ahli hadis meriwayatkan hadis darinya. Cerita di atas juga diriwayatkan dari Ja’far bin Sa’id ra, Ibnu Umar ra, dan sahabat-sahabat lainnya.
Bukti Keempat : Abu Bakar al-Ajiri menjelaskan tentang tawassulnya Nabi Adam as didalam kitab Asy-Syari’ah : ”Bercerita kepada kami Harun bin Yusuf at-Tajir; bercerita kepada kami Abu Marwan al-Usmany; bercerita kepada kami Abu Usman al-Khalil, dari Andurrahman bin Abi al-Zanad, dari ayahnya, bahwa ia berkata tentang kalimat-kalimat doa yang menyebabkan Allah swt menerima taubatnya Nabi Adam as. Doa yang beliau baca adalah : “Allahumma inni as-aluka bihaqqi Muhammadin ‘alaika …” Allah swt berfirman kepada Nabi Adam, “Apa yang Anda ketahui tentang nama Muhammad?”. Beliau menjawab, “Ya Rabb ! Sewaktu aku mengangkat kepalaku ke atas, aku melihat sebuah tulisan di atas arasy-Mu yang berbunyi La ilaha illallah. Muhammadur Rasulullah. Sehingga tahulah aku sekarang, bahwa Muhammad adalah makhluk-Mu yang paling mulia”.
Atsar di atas bila dikombinasikan dan dihubungkan dengan hadisnya Abdurrahman bin Zaid akan semakin memperkuat kebenaran tawassul-nya Nabi Adam as kepada Allah swt dengan perantaraan “Nama” Nabi Muhammad saw.


2. Surga Terlarang  Bagi Para Nabi Sebelum Dimasuki Nabi Muhammad
 
Ini merupakan contoh penghormatan Allah swt kepada diri Nabi Muhammad saw, sebagaimana yang pernah dijelaskan didalam sebuah hadis Nabi dari Umar bin Khatthab ra. Rasulullah saw bersabda, “Surga diharamkan atas sekalian para Nabi sampai aku memasukinya terlebih dahulu dan diharamkan pula atas semua umat manusia sampai ummatku memasukinya terlebih dahulu.” (HR At-Thabrany dalam kitab Al Ausath). Al-Haitamy berkomentar bahwa sanadnya hasan. (Majma’ al-Zawaid juz 10; hal. 69).


3. Hubungan alam semesta dengan nama Nabi Muhammad.
Di antara wujud penghormatan dan pemuliaan Allah swt kepada Nabi Muhammad saw adalah tersebarnya nama Nabi Muhammad saw di surga. Ka’ab al-Akhbar mengatakan, “Sesungguhnya Allah swt menurunkan tongkat sebanyak jumlah para Nabi dan Rasul kepada Nabi Adam as. Kemudian beliau mendatangi putranya, Syits, seraya berkata : ‘Hai anakku! Engkau adalah penggantiku setelah aku wafat. Ambillah tongkat ini dengan penuh ketakwaan dan ikatan agama yang kuat. Setiiap kamu berdzikir menyebut nama Allah, sebut pula nama Muhammad untuk mengiringi Nama-Nya. Karena aku pernah melihat namanya tertulis di atas tiang-tiang penyanggah ‘arasy sewaktu aku masih berwujud antara ruh dan jasad. Aku menjelajahi semua sudut langit, tidak ada satu tempat pun melainkan di atasnya tertulis nama Muhammad. Tuhanku menempatkanku di sorga, dan akun tidak melihat satu pun istana, gedung, dan kamar-kamarnya melainkan tertulis di atasnya namanya. Sunguh aku melihat namanya tertulis di atas bagian dada para bidadari, di atas daun pohon “thuba” (khuldi), daun pintu “Sidratul Muntaha”, sudut-sudut tirai penutup “hijab”, dan di antara mata para malaikat. Oleh karenanya, perbanyaklah menyebut nama Muhammad, sebab para malaikat selalu menyebut namanya setiap saat’. (Al-Mawahib al-Laduniyyah, juz 1; hal. 186). Az-Zarqani memberikan komentarnya, “Atsar tersebut diriwayatkan oleh Ibnu Asakir”.
Ibnu Taimiyah menyebutkan khabar yang serupa dengan atsar di atas, yang menjelaskan bahwa Allah swt  menuliskan nama Nabi Muhammad di atas arasy, juga di atas pintu-pintu, kubah dan dedaunan sorga. Selain itu, masih banyak lagi atsar lainnya yang sesuai dan memperkuat kedudukan hadis-hadis tawassul di atas.
Ibnu al-Jauzy meriwayatkan dari Maisarah ra,  pernah ditanyakan kepada Rasulullah saw  : “Ya Rasulullah !  Sejak kapan Anda menjadi Nabi ?” “Sejak Allah swt menciptakan bumi. Dia lalu menuju ke langit dan membentangkannya menjadi tujuh lapis, kemudian Dia menciptakan ‘arasy dan menuliskan kalimat Muhammadurrasulullah, Khatamul Ambiya’ di atas tiang penyanggahnya. Dia menciptakan sorga tempat tinggal Nabi Adam dan Hawa’, lalu menuliskan namaku di atas pintu-pintu, dedaunan, istana, gedung dan kamar-kamarnya. Saat itu Nabi Adam dalam keadaan berupa antara ruh dan jasad. Sewaktu Allah swt menghidupkannya, ia melihat ke arah ‘arasy dan dilihatnya namaku. Kemudian Allah swt memberitahukannya bahwa Muhammad adalah adalah pemimpin anak-anak keturunannya. Setelah Iblis menipu dan menggelincirkan Nabi Adam dan Hawa’, keduanya lalu bertaubat dengan perantaraan menyebut namaku”. (Al-Fatawa, karya Ibnu Taimiyah, juz 2; hal. 150)
Berdasarkan hadis-hadis mengenai tawassulnya Nabi Adam melalui perantaraan menyebut nama Nabi Muhammad saw tersebut dapatlah diambil suatu pemahaman : inti dari sahnya tawassul antara lain adalah bahwa orang yang dijadikan sarana tawassul haruslah orang yang memiliki kedudukan yang terpuji, terhormat lagi berderajat tinggi di hadapan Allah swt , seperti para Nabi dan Rasul, khususnya Nabi Muhammad saw, ulama, auliya dan kaum shalihin lainnya. Baik mereka itu masih hidup maupun sesudah wafatnya.
Berdasarkan uraian di atas dapatlah diambil suatu pemahaman bahwa pendapat yang menyatakan : “Tawassul dengan perantaraan seseorang tidak sah kecuali semasa masih hidupnya di dunia” adalah pendapat orang yang menurutkan hawa nafsu dan tidak memperoleh hidayah Allah swt.

4. Kesimpulan Derajat Hadis Tawassul.
 Pada prinsipnya, hadis tawassulnya Nabi Adam di atas berderajat shahih  disertai dengan pembuktian dan argumentasi yang kuat, serta sering dinukil oleh kebanyakan ulama terkenal, para imam hadis, para hafizh (penghafal hadis) dan pakar hadis yang tidak perlu diragukan lagi reputasi, status dan keahliannya di bidang hadis. Bahkan mereka adalah orang-orang yang jujur lagi terpercaya dalam memelihara dan mengemban sunnah nabawiyyah, seperti Al-Hakim, as-Suyuthi, as-Subky dan al-Bulqiny.
Al-Baihaqy menukil hadis tawassul tersebut didalam kitabnya yang dinilai tidak pernah memuat hadis palsu, yang dikomentari oleh Adz-Dzahaby : “Ambillah kitab Al-Baihaqy, karena seluruh isinya merupakan petunjuk dan cahaya” . Demikianlah yang tertera didalam kitab Al-Mawahib al-Laduniyyah dan kitab-kitab lainnya.
Sementara itu, Ibnu Katsir menukil hadis tersebut didalam kitab Al-Bidayah  yang oleh Ibnu Taimiyah dijadikannya sebagai saksi atau penguat didalam kitabnya Al-Fatawa.
Di antara para ulama adalah yang berselisih pendapat tentang status hadis ini, lalu ditolaknya, dan sebagian yang lain menerimanya. Hal ini lumrah dan tidak aneh, karena sebagian hadis Nabi memang tidak lepas dari adanya perbedaan pendapat, bahkan malah lebih besar dan hebat, serta kritikannya lebih tajam daripada terhadap hadis tawassul ini. Oleh sebab itu, lahirlah karya-karya besar berupa kitab-kitab yang memuat istidlal, komentar, rujukan dan lainnya.
Namun yang perlu kita ingat adalah bahwa kitab-kitab tersebut tidak ditemukan adanya kalimat atau kata-kata yang menjurus kepada tuduhan “syirik”, “kufur”, “sesat”, “bid’ah”, dan “murtad”, hanya disebabkan perbedaan pendapat dalam menentukan status derajat suatu hadis, termasuk terhadap hadis tawassulnya Nabi Adam.


5. Tawassulnya orang Yahudi dengan Nabi akhir zaman
 
Allah swt berfirman :
وَلَمَّا جَاءَهُمْ كِتَابٌ مِنْ عِنْدِ اللَّهِ مُصَدِّقٌ لِمَا مَعَهُمْ وَكَانُوا مِنْ قَبْلُ يَسْتَفْتِحُونَ عَلَى الَّذِينَ كَفَرُوا فَلَمَّا جَاءَهُمْ مَا عَرَفُوا كَفَرُوا بِهِ فَلَعْنَةُ اللَّهِ  عَلَى الْكَافِرِينَ(89)
Dan setelah datang kepada mereka Al-Qur’an dari Allah yang membenarkan apa yang ada pada mereka, padahal sebelumnya mereka biasa memohon (kedatangan Nabi saw) untuk mendapatkan kemenangan atas orang-orang kafir, maka setelah datang kepada mereka apa yang telah mereka ketahui, mereka ingkar kepadanya. Maka laknat Allah-lah atas orang-orang yang ingkar itu”. (QS Al-Baqarah,2 : 89)
Al-Qurthuby menafsirkan potongan ayat : “Dan setelah datang kepada mereka”, maksudnya adalah orang-orang Yahudi. “Sebuah kitab”, maksudnya adalah Al-Qur’an. “Dari  Allah yang membenarkan apa yang ada pada mereka”, maksudnya dari Allah yang membenarkan kitab Taurat dan Injil yang membenarkan kabar kepada mereka tentang akan datangnya seorang Nabi akhir jaman, yakni Nabi Muhammad saw, “padahal mereka sebelumnya biasa memohon (kedatangan Nabi tersebut) untuk mendapatkan kemenangan ….”
Ibnu Abbas rs mengatakan, “Orang Yahudi Khaibar pernah memerangi orang kafir Ghathafan. Setelah berperang dengan mereka, kaum Yahudi kalah dan lari, lalu berdoa :
إِنَّا نَسْأَلُكَ بِحَقِّ النَّبِيِّ الْأُمِّيِّ الَّذِي وَعَدْتَنَا أَنْ تُخْرِجَهُ فِيْ أَخِرِ الزَّمَانِ أَنْ تَنْصُرَنَا عَلَيْهِمْ
“Ya Allah, Aku memohon kepada-Mu dengan perantaraan kebenaran seorang Nabi yang ummy (buta huruf) yang pernah Engkau janjikan kepada kami untuk dimunculkan pada akhir jaman. Kiranya Engkau menolong kami untuk mengalahkan mereka…”
Ibnu Abbas mengatakan lagi, bahwa kaum Yahudi ketika bertemu dengan kaum kafir Ghathafan, mereka berdoa seperti bacaan di atas, sehingga musuhnya lari berantakan. Namun setelah Nabi yang mereka idam-idamkan tersebut, yakni Nabi Muhammad saw,  benar-benar diutus, mereka mengingkari kenabian beliau saw. Karena itu, maka turunlah ayat :
   وَكَانُوا مِنْ قَبْلُ يَسْتَفْتِحُونَ عَلَى الَّذِينَ كَفَرُوا
… padahal sebelumnya mereka biasa memohon (kedatangan Nabi) untuk mendapatkan kemenangan atas orang-orang kafir…” (QS Al-Baqarah,[2]: 89)

dan seterusnya sampai akhir ayat. (Tafsir Al-Qurthuby, juz 2; hal: 26-27).



_____________________________________________________________
Sumber : diterjemahkan dari kitab "مفاهيم يجب ان تصحح". 


Sabtu, 08 Juni 2013

PYPD - 16. Hakekat Tawassul



Oleh: Prof. DR. Sayyid Muhammad Alawi Abbas Al-Maliki





1. Pengertian Tawassul


Sebagian besar orang salah faham terhadap pengertian Tawassul. Berikut ini kami akan menjelaskan pemahaman yang benar tentang pengertian Tawassul menurut cara pandang kami. Untuk itu perlu kami jelaskan terlebih dahulu tentang hakekat maknanya.

Pertama : Tawassul adalah salah satu cara dan metode dalam berdoa, serta salah satu pintu dari beberapa pintu bertawajjuh (menghadap) kehadirat Allah swt. Tujuan yang paling pokok  dan hakiki adalah Allah swt, sedangkan “Mutawassal” atau semua amal shaleh dan apa saja yang dijadikan sebagai sarana tawassul, adalah semata-mata sebagai Wasithah atau Wasilah (Perantara, Pengantar atau Mediator) dalam rangka taqarrub (mendekatkan diri) kepada Allah swt. Jika ada orang yang berkeyakinan sebaliknya, yakni menjadikan “Mutawassal” (mediator) sebagai “Tujuan pokok”, maka bukanlah dipandang sebagai bentuk “Wasilah” atau Perantara,   berarti ia benar-benar telah melakukan kesyirikan.

Kedua : Orang yang bertawassul tidak melakukan tawassul kepada Allah swt dengan menggunakan suatu Wasithah atau “Perantara” tersebut, melainkan lebih disebabkan oleh kecintaannya atau “mahabbah”-nya kepadanya dan memiliki keyakinan bahwa Allah swt mencintai “Perantara” tersebut. Kalau tidak demikian, berarti ia adalah orang yang paling jauh dari dan sangat dibenci oelh Allah swt.

Ketiga : Sekiranya orang yang bertawassul tersebut berkeyakinan bahwa “perantara” atau “wasithah” itulah yang sebenarnya dapat mendatangkan manfaat dan menolak madharat, dan bukan Allah swt yang melakukannya, berarti ia melakukan kesyirikan.

Keempat : Tawassul bukanlah suatu keharusan. Terkabulnya suatu doa tidak tergantung kepada Tawassul tersebut. Tetapi tawassul semata-mata sekedar sebagai suatu doa secara mutlak kepada Allah swt, sebagaimana firman-Nya :
وَإِذَا سَأَلَكَ عِبَادِي عَنِّي فَإِنِّي قَرِيبٌ أُجِيبُ دَعْوَةَ الدَّاعِ إِذَا دَعَانِ فَلْيَسْتَجِيبُوا لِي وَلْيُؤْمِنُوا بِي لَعَلَّهُمْ يَرْشُدُونَ
Dan apabila hamba-Ku bertanya keadamu tentang Aku, maka (jawablah) bahwasanya Aku adalah dekat. Aku mengabulkan orang yang berdoa apabila ia berdoa kepada-Ku. Maka hendaklah mereka itu memenuhi segala perintah-Ku dan hendaklah mereka beriman kepada-Ku, agar mereka selalu berada dalam kebenaran” (QS Al-Baqarah,[2] : 186)
قُلِ ادْعُوا اللَّهَ أَوِ ادْعُوا الرَّحْمَنَ أَيًّا مَا تَدْعُوا فَلَهُ الْأَسْمَاءُ الْحُسْنَى
Katakanlah : “Serulah Allah, atau serulah Ar-Rahman. Dengan nama apa saja kamu seru, Dia mempunyai Al-Asmaul Husna”  (QS Al-Isra’,[17] : 110). 

2. Bebarapa Model Tawassul Yang Disepakati  

Tidak seorang muslim pun yang berselisih faham tentang disyariatkannya Tawassul kepada Allah swt dengan perantaraan “amal shaleh”-nya. Orang yang melakukan puasa, shalat, membaca Al Qur’an dan shadaqah, sesungguhnya ia telah bertawassul dengan puasanya, shalatnya, bacaan Al Qur’annya dan shadaqahnya. Bahkan tawassul model ini lebih makbul dalam kaitannya dengan berdoa memohon apa saja yang dikehendakinya. Dalam hal ini tidak ada perselisihan faham sedikit pun.

Dasar hukum yang dapat dijadikan pegangan adalah sebuah hadis Nabi yang menceritakan tentang tiga orang yang terkurung didalam sebuah gua. Mereka berdoa dengan cara bertawassul melalui amal shalehnya agar dikeluarkan dari dalam gua tersebut. Salah satu di antara mereka bertawassul dengan perantaraan amal shaleh andalannya, yakni berbakti kepada kedua orang tuanya. Orang yang kedua bertawassul dengan amal shaleh andalannya, yaitu berusaha menjauhkan diri dari perbuatan maksiat dan tercela pada saat ia mampu melakukannya. Orang yang ketika bertawassul dengan amal shaleh sifat amanah-nya, yakni kejujurannya dalam menjaga dan memelihara harta benda “gaji” pegawainya, lalu ia kembalikannya secara sempurna. Kemudian Allah swt mengabulkan permohonannya dan melenyapkan kesulitan yang sedang mereka alami. Bentuk dan model tawassul semacam ini dijelaskan secara detail disertai dalil-dalilnya oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam beberapa buku karangannya, terutama dalam bukunya yang berjudul Qa’idatul Jalilah Fittawassuli wal Wasilah .

3. Letak Perbedaan Pendapat
Perselisihan pendapat terletak pada praktek bertawassul dengan selain amal shalihnya sendiri. Misalnya bertawassul dengan sesuatu benda dan pribadi seseorang seperti dengan mengucapkan :
أَللَّـهُمَّ إِنِّيْ اَتَوَسَّلُ اِلَيْكَ بِنَبِيِّكَ مُحَمَّدٍ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ …
Ya Allah, aku bertawassul kepada-Mu dengan perantaraan Nabi-Mu Muhammad saw…
atau mengucapkan :
أَللَّـهُمَّ إِنِّيْ اَتَوَسَّلُ اِلَيْكَ بِاَبِيْ بَكْرٍ … بِعُمَرَ ابْنِ الْخَطَّابِ … بِعُثْمَانَ … بِعَلِيٍّ …
Ya Allah, aku bertawassul kepada-Mu dengan perantaraan Abu Bakar… dengan Umar bin Khatthab… dengan Usman … atau dengan Ali ….
Tawassul model seperti diatas menurut sebagian orang dilarang.
Menurut pandangan kami, perbedaan pendapat dalam persoalan ini lebih bersifat formalitas, hanya pada bentuk lahiriah saja dan bukan pada hal-hal yang bersifat essensial. Karena bertawassul dengan perantaraan manusia atau benda-benda tertentu pada hakekatnya akan berpulang pada tawassulnya seseorang pada amal shalihnya. Tentu saja model tawassul seperti ini disepakati kebolehannya. Sekiranya para penentang yang keras kepala tersebut memandang persoalan tawassul dengan mata hatinya, tentu akan semakin jelas bagi mereka duduk persoalan yang sebenarnya dan problem mengenai tawassul yang  segera terpecahkan, sehingga kita tidak akan mendengar lagi suara tuduhan kafir, syirik atau sesat.
Perlu kami jelaskan, bagaimana orang yang bertawassul dengan selain amal shalih (misalnya barang atau manusia), pada hakekatnya adalah bertawassul dengan amal perbuatan yang berkaitan dengannya, yang nota bene merupakan hasil dari usahanya sendiri. Sebenarnya  orang yang bertawassul dengan perantaraan pribadi seseorang, misalnya pribadi para auliya’, para Nabi, dan orang-orang shalih lainnya, memiliki suatu keyakinan bahwa mereka itu semua adalah para hamba kekasih Allah swt yang telah menghabiskan waktu hidupnya untuk berjihad di jalan-Nya. Atau ia berkeyakinan bahwa Allah swt telah mencintai mereka, sebagaimana yang disinggung didalam QS Al Maidah,[5] : 54, “Allah mencintai mereka, dan mereka mecintai Allah”.
Jika Anda merenungkan persoalan Tawassul ini, Anda akan berkesimpulan bahwa Tawassul merupakan wujud kecintaan orang yang bertawassul kepada orang yang dijadikan “Wasilah” (perantara) dalam bertawassul kepada Allah swt. Orang yang bertawassul tadi seakan-akan mengucapkan doa : “Ya Allah, aku mencintai si Fulan, dan aku yakin bahwa si Fulan tersebut mencintai-Mu. Ia termasuk orang yang ikhlas beribadah dan berjihad di jalan-Mu. Aku yakin bahwa Engkau mencintai dan ridha kepadanya. Oleh karena itu, aku bertawassul kepada-Mu melalui perantaraan “kecintaanku kepadanya”  dan melalui perantaraan “keyakinanku ini kepadanya”. Kiranya Engkau mau mengabulkan permohonanku ini ….
Hanya saja sebagian besar orang yang bertawassul tersebut biasanya membacanya secara singkat, dan tidak sampai seterinci seperti di atas. Akan tetapi mereka cukup toleran dan bersikap bijak dalam menjelaskan persoalan tawassulnya kepada saudaranya yang menentang, kurang memahami, atau bahkan tidak mengetahui rahasia Tuhan yang tersembunyi di balik bumi dan langit, maupun yang tersembunyi di balik dada setiap manusia.
Teks bacaan doa yang berbunyi : “Ya Allah, aku bertawassul kepada-Mu dengan perantaran Nabi-Mu….” Adalah sama nilainya dengan mengucapkan teks doa : “Ya Allah, aku bertawassul kepada-Mu dengan perantaraan amal shalihku yang berupa ‘kecintaanku kepada Nabi-Mu’ ….”. Kenapa demikian ? Karena orang yang bertawassul dengan bacaan teks doa yang pertama pada hakekatnya merupakan wujud kecintaannya dan keimanannya kepada Nabi Muhammad saw. Sekiranya ia tidak mencintai dan tidak mengimani beliau saw, tentu ia tidak akan bertawassul melalui perantaraan beliau tersebut. Demikian pula bertawassul dengan perantaraan pribadi-pribadi selain Nabi Muhammad saw, seperti para auliya’, ulama, dan kaum shalihin lainnya.
Dengan uraian di atas, maka akan semakin jelas persoalannya, bahwa letak perbedaan pendapat di kalangan ulama pada dasarnya hanya bersifat formal, terbatas pada permukaan atau kulitnya, dan tidak sampai pada persoalan yang essensial dan prinsipil. Oleh karena itu kami menghimbau agar persoalan tawassul ini tidak perlu diperpanjanglebarkan perdebatannya. Apalagi hal ini sampai menjadi pemicu perpecahan dan permusuhan antar sesama kaum muslimin, atau bahkan sampai keluar kata-kata tuduhan “kafir”, “musyrik”, “sesat”, “bid’ah”, dan sejenisnya. Na’udzubillahi min dzalik (Kami berlindung dari yang demikian itu). Sub-hanaka hadza buhtanun ‘azhim (Maha Suci Engkau, Ya Allah, ini benar-benar kebohongan yang besar).

4. Dalil Tawassul Yang Perlu Diketahui

Allah swt berfirman :
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَابْتَغُوا إِلَيْهِ الْوَسِيلَةَ
Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan carilah jalan yang mendekatkan diri kepada-Nya,” (QS Al Maidah[5] : 35) 

Kata “Al-Wasilah” didalam ayat di atas bermakna : “Segala sesuatu yang dijadikan Allah swt sebagai sebab, sarana atau perantara dalam rangka mendekatkan diri kepada-Nya dan sebagai sesuatu yang menghubungkan tercapainya segala hajat kebutuhan”. Dengan kata lain, “Wasilah” haruslah memiliki nilai, kemuliaan dan kehormatan tersendiri di hadapan Allah..
Kata “Wasilahdidalam ayat di atas memiliki pengertian yang umum, yakni meliputi tawassul dengan perantaraan “dzat”  (pribadi-pribadi orang) yang yang memiliki keutamaan di sisi Allah swt, seperti para Nabi, para Auliya’ dan kaum shalihin lainnya, baik sewaktu mereka masih hidup maupun sesudah wafatnya. Juga meliputi tawassul dengan perantaraan amal shalih sesuai dengan yang diperintahkan oleh agama. Tentu saja bentuk tawassul yang kedua ini baru boleh dilakukan setelah amal shalih tersebut dikerjakan.
Keumuman pengertian “wasilah” ini juga ditemukan dalam beberapa hadis Nabi dan atsar. Setelah Anda memahami, mendalami dan merenungkan isi kandungannya, maka Anda akan berkesimpulan bahwa Rasulullah saw benar-benar telah menginformasikan berbagai model dan bentuk tawassul melalui perantaraan beliau saw, baik sewaktu beliau “belum wujud” (belum lahir ke dunia),  sesudah wujud” (setelah lahir ke dunia), “sesudah wafat” (hidup di alam barzah), maupun sesudah  beliau dibangkitkan pada hari kiamat nanti

.
__________________________________________________________________
Sumber : diterjemahkan dari Kitab "مفاهيم يجب أن تصحح"

 

Selasa, 04 Juni 2013

PYPD - 15. Kenyataan Yang Tidak Perlu Diperdebatkan *)

_____________________________________________
Penulis : Prof. DR. Sayyid Muhammad Alawi Abbas Al-Maliki



Perdebatan tetap berlangsung di kalangan para ulama mengenai kenyataan dan kebenaran yang menyangkut persoalan Aqidah Islamiyah yang sebenarnya tidak diwajibkan Allah swt kepada kita untuk diperdebatkan. Kami memandang bahwa pembahasan dan perdebatan tersebut justru menghilangkan kredibilitas, keagungan dan keluhuran hakekat kebenaran agama yang bersifat dogmatik tersebut. Misalnya perdebatan mengenai masalah melihatnya Rasulullah saw kepada Dzat Allah swt. Bagaimana peristiwa  itu bisa terjadi sehingga menimbulkan perselisihan pendapat yang berkepanjangan ?! Di antara mereka ada yang berpendapat bahwa Rasulullah saw melihat Allah swt adalah dengan Hati Nuraninya, bukan melihat-Nya dengan mata telanjang. Yang lain berpendapat, beliau saw memang benar-benar melihat-Nya dengan mata kepala. Masing-masing kelompok menyertakan argumentasi, dalil dan segala upaya mereka dalam mempertahankan pendapatnya. Apa yang mereka lakukan itu sebenarnya adalah sekedar sandiwara, tanpa guna, sia-sia dan tidak ada manfaat sedikit pun yang mereka peroleh. Bahkan lebih besar bahayanya daripada kemanfaatannya, jika hal itu didengar oleh orang-orang awam. Karena  hati mereka akan semakin ragu-ragu terhadap kebenaran akidah yang terkandung didalamnya.
Kami memandang bahwa persoalan tersebut adalah termasuk persoalan yang bersifat dogmatik, suatu kebenaran agama yang tidap perlu diperdebatkan lagi. Kita yakin bahwa Rasulullah saw benar-benar telah melihat Tuhannya tanpa perlu memperdebatkan tentang bagaimana caranya dan dalam kondisi seperti apa. Hal ini disebabkan oleh keterbatsan akal pikiran manusia untuk menguak hakekat kebenaran yang sesungguhnya hanya Allah swt dan Rasulullah saw saja yang lebih mengetahui.
Di antara beberapa persoalan akidah yang bersifat dogmatik, yang memiliki kebenaran mutlak dan tidak perlu diperdebatkan lagi adalah sebagai berikut :


1. Allah Berdialog dengan Nabi Musa as
 
Allah swt befirman :
 
وَكَلَّمَ اللَّهُ مُوسَى تَكْلِيمًا(164)
Dan Allah telah berbicara kepada Nabi Musa secara langsung” (QS An-Nisa’,[4] : 164)

Yang menjadi sumber perselisihan pendapat di kalangan para ulama adalah mengenai hakekat “kalam” (pembicaraan) Allah swt itu sendiri. Di antara mereka ada yang berpendapat bahwa yang dimaksud dengan “Kalam” adalah Firman Allah swt itu sendiri, atau Dia benar-benar berbicara  sendiri secara langsung. Yang lain berpendapat, bahwa “Kalam”-Nya itu berbentuk huruf dan suara. Kami berkeyakinan bahwa masing-masing pendapat tersebut dikemukakan dalam rangka mencari hakekat “Tanzih” (transendensi, kesucian) bagi Allah swt dan jauh dari syirik dalam berbagai bentuknya.
Persoalan “Kalam” merupakan suatu kenyataan yang pasti, tetap dan bersifat dogmatik. Tidak ada jalan untuk mengingkarinya. Karena dilihat dari satu sisi, mengingkarinya tidak otomatis menghilangkan kesempurnaan Allah swt, dan dari sisi yang lain, bahwa sifat-sifat Allah swt yang disebutkan didalam Al-Qur’an harus diimani keberadaannya, disebabkan tiada seorang pun yang mampu mengenal hakekat Allah swt dengan sebenarnya melainkan Dia sendiri.
Orang-orang yang mencoba memandang dan membahas “Kalam” Allah swt sekedar sebagai usaha menetapkan keberadaan kebenaran “Kalam-Nya” kepada Nabi Musa as. Tidak sampai pada usaha untuk menyelami secara mendalam tentang bagaimana peroses kejadian dan bentuknya. Tujuan akhir dari penjelajahannya itu adalah untuk menetapkan bahwa Allah swt benar-benar memiliki sifat “Kalam”,  sehingga kita dapat mengatakan: “Ini adalah Kalam Allah, dan bahwa Allah swt adalah Dzat yang Berfirman”.
Kalau sudah tercapai demikian, sekarang marilah kita tinggalkan penyelaman dan penelitian secara mendalam tentang bagaimana keberadaan “Kalam” Allah itu, apakah ia bersifat “Kalam Nafsi” (berfirman secara pribadi), ataukah “Kalam Ghairu Nafsi” (Berfirman bukan secara pribadi). Apakah “Kalam”-Nya itu berupa huruf dan suara, ataukah bukan. Karena hal itu belum pernah dibahas oleh Rasulullah saw itu sendiri. Oleh karena itu, kenapa masih ada saja orang yang membahas sesuatu masalah yang belum pernah dibahas Rasulullah saw, atau bahkan membahas sesuatu yang didiamkan oleh beliau saw. Apakah hal ini tidak berarti membuat-buat tambahan terhadap apa yang dibawa oleh Rasulullah saw ? Bukankah ini berarti Bid’ah yang paling jelek ? Subhanaka hadza buhtanun ‘azhim, “Maha Suci Engkau – Ya Allah -, ini benar-benar kebohongan besar”.

 
2. Kemampuan Rasulullah Melihat dari Arah Belakang
 
Perdebatan panjang terjadi di  kalangan para ulama mengenai hakekat kebenaran Hadis Nabi yang berbunyi :
 
إِنّيْ اَرَاكُمْ مِنْ خَلْفِيْ كَمَا اَرَاكُمْ مِنْ اَمَامِيْ
Sesungguhnya aku mampu melihatmu dari arah belakangku, sebagaimana aku melihatmu dari arah depanku”.

Segolongan ulama berpendapat: “Sesungguhnya Allah swt menjadikan Nabi Muhammad saw sepasang mata dari arah belakangnya”. Ada yang mengatakan bahwa Allah swt menjadikan kedua belah mata Rasulullah saw yang ada di depan memiliki kekuatan “tembus pandang” ke arah belakangnya. Sementara segolongan yang lain berpendapat : “Sesungguhnya Allah swt menjadikan apa saja yang ada di belakang Rasulullah saw seakan-akan berada di depan pandangannya, sehingga hal tersebut dapat dilihat beliau dengan jelas”.  Semua pendapat tersebut justru menurunan “Nilai” keluhuran hakiki yang terkandung didalamnya.
Kemampuan Rasulullah saw melihat sesuatu obyek dari arah depan dan belakangnya merupakan hakekat kebenaran yang tidak dapat diingkari, karena hal itu beliau ceritakan sendiri dalam hadis shahihnya. Namun kita tidak perlu memperdebatannya lebih jauh sampai pada persoalan bagaimana proses dan bentuknya. Kita sebaiknya meyakini kejadian itu sebagai suatu kemukjizatan, sehingga hukum “kausalitas” atau sebab akibat tidak berlaku untuk hal ini. Kita meyakini sepenuh hati bahwa kejadian semacam itu menunjukkan Kemahakuasaan Allah swt melalui perilaku Rasulullah saw.
 

3. Malaikat Jibril Menjelma Menjadi Seorang Lelaki
 
Para ulama berselisih faham mengenai kebenaran malaikat Jibril yang mampu merubah bentuk aslinya menjadi seorang lelaki sewaktu ia menyampaikan wahyu. Ada yang berpendapat bahwa pada saat itu Allah swt menghilangkan kelebihan-kelebihan yang dimiliki seorang malaikat, yakni kelebihan “tidak mampu dilihat manusia, namun mampu melihat manusia”. Ada yang berpendapat lain, bahwa Allah swt menggabungkan sebagian wujud dan bentuk jasad Jibril dengan wujud dan bentuk jasad manusia, sehingga ia (Jibril) menjadi mengecil.
Kami berpandangan bahwa masing-masing pendapat tersebut bisa dikatakan sia-sia, tidak ada faedahnya, bahkan melecehkan dirinya sendiri.  Kita selaku pengikut Ahlussunnah wal Jamaah beri’tiqad, bahwa Allah swt Berkuasa melakukan apa saja sesuai dengan Kehendak-Nya, termasuk dalam persoalan penjelmaan malaikat Jibril tersebut.
Kejadian di atas memang benar-benar terjadi secara nyata dan dapat disaksikan dengan mata kepala. Sebagian besar para sahabat benar-benar menyaksikan malaikat Jibril menjelmakan dirinya menjadi seorang lelaki yang berwajah bersih dan ganteng. Kita tidak perlu susah-susah membahas dan memperdebatkan tentang tetek bengek proses penjelmaan tersebut. Kita hanya dituntut untuk mempercayai dan meyakini secara apa adanya, bahwa peristiwa tersebut merupakan suatu kenyataan yang benar-benar terjadi. Kita tidak dituntut untuk memperdebatkan, membahasnya secara mendalam dan menentangnya, apalagi mengingkarinya.



_____________________________________
*).  Sumber : diterjemahkan dari kitab "", karya DR. Sayyud Muhammad Alawi Abbas Al-Maliki