Selasa, 23 Juli 2013

PYPD - 51. MELESTARIKAN TRADISI PERINGATAN HARI BESAR ISLAM (PHBI) *)




 
Oleh Sayyid Muhammad Alawi Al-Maliki


PENTINGNYA MAJLIS TA'LIM PHBI

Tradisi dan adat istiadat yang berlaku di kalangan kita adalah bahwa kita sering berkumpul mengadakan acara peringatan dalam rangka mengenang peristiwa-peristiwa sejarah tertentu, seperti perayaan Maulid Nabi (peristiwa kelahiran Rasulullah saw), Peringatan Isra’ dan Mi’raj, peringatan Nishfu Sya’ban, peringatan Hijrah Rasulullah saw, peringatan Nuzulul-Qur’an , peringatan Perang Badar, dan peringatan-peringatan peristiwa keagamaan yang lain.

Menurut pandangan kami, persoalan tradisi semacam di atas tidak ada kaitannya dengan persoalan akidah dan keyakinan, sehingga tidak dapat dikatakan sebagai melakukan perbuatan syirik ataupun sunnah. Mengkaitkan tradisi tersebut dengan persoalan akidah berarti sangat bertentangan dengan salah satu prinsip agama dan bahkan dapat merusak akidah itu sendiri. Menurut kami, aktifitas semacam adat kebiasaan pada umumnya, tidak dapat dikatakan sebagai perbuatan yang lebih disenangi atau lebih dibenci oleh Pembuat syariat, yakni Allah swt dan Rasulullah saw. Kami kira, ketentuan seperti ini sudah menjadi kesepakatan para ulama.

Segelintir orang mengatakan, bahwa kaum muslimin  mentradisikan kegiatan berkumpul pada malam tanggal 27 Rajab dalam rangka memperingati peristiwa Isra’ dan Mi’raj, serta berkumpul pada malam tanggal 12 Rabiul Awwal dalam rangka memperingati hari lahirnya Rasulullah saw, padahal para ulama berselisih pendapat dalam menentukan kepastian waktu kedua peristiwa bersejarah tersebut.

Kami perlu menegaskan, bahwa ketidaksepakatan mereka dalam menentukan waktu suatu peristiwa, sebenarnya tidaklah penting. Karena kami memandang bahwa syariat agama tidak pernah mengatur bahwa mengadakan perkumpulan dan pertemuan semacam di atas harus pada waktu-waktu tertentu. Menurut kami, hal itu bukan urusan syariat agama, akan tetapi menjadi urusan tradisi dan adat istiadat masyarakat Islam. Yang paling penting dan agaknya menjadi titik perhatian kami adalah bagaimana kita mampu memanfaatkan Tradisi Perkumpulan dan Pertemuan dalam rangka mengadakan suatu acara peringatan tersebut untuk diarahkan kepada hal-hal yang baik. Mengadakan acara malam peringatan, di mana pada saat itu kaum muslimin berkumpul untuk merayakannya secara besar-besaran dan dalam jumlah yang banyak, baik kegiatan mereka itu tepat dengan waktu terjadinya suatu peristiwa bersejarah maupun tidak tepat, tidaklah menjadi masalah. Bukankah aktifitas seperti itu hanya sekedar Tradisi ?. Oleh karena itu, aktifitas mereka tersebut yang biasanya diisi dengan acara berdzikir kepada Allah swt dan cinta kepada Rasulullah saw adalah sudah cukup sebagai sarana untuk mendapatkan rahmat dan anugerah dari Allah swt.

Kami berpandangan, selama majlis pertemuan tersebut dilakukan semata-mata karena Allah swt dan dimanfaatkan untuk diisi dengan melakukan ibadah kepada-Nya tentu hal itu akan diterima-Nya,meskipun waktu yang mereka gunakan untuk acara tersebut tidak sama persis dengan waktu terjadinya suatu peristiwa yang diperingatinya. Agar mudah dipahami, perlu kami illustrasikan di sini. Misalnya ada seseorang yang mengundang Anda untuk menghadiri Acara Resepsi pada hari, tanggal dan jam yang sudah ditetapkan didalam surat undangannya. Orang-orang yang mendapatkan undangan tersebut, termasuk juga Anda, datang ke rumah orang yang mengundang bukan pada hari, tanggal dan jam yang sudah ditetapkan dalam surat undangan, dengan persangkaan bahwa yang tertera didalam undangan itu hanya sekedar penentuan waktu pelaksanaannya. Setelah hadir, apakah Anda menyaksikan bahwa tuan rumah menolak kehadiran Anda dan mengusir Anda secara paksa seraya mengatakan : “Pulang saja kamu, karena hari dan tanggal ini bukanlah waktu pelaksanaan resepsi sebagaimana yang tertulis didalam surat undangan kami”. Ataukah Anda menyaksikan bahwa tuan rumah justru menerima kehadiran Anda dengan senang hati, dia membukakan pintu rumahnya untuk menyambut kedatangan Anda dan mengucapkan berterima kasih kepada Anda, lalu mempersilahkan Anda masuk kedalam rumahnya dan meminta kepada Anda agar tidak merasa kapok untuk mengunjungi rumahanya lagi pada kesempatan lain ?

Jika hendak mengadakan majlis pertemuan dalam rangka acara peringatan semacam Isra’ dan Mi’raj, Maulid Nabi dan peringatan-peringatan peristiwa bersejarah lainnya, kami tidak terpancang pada keharusan menepatkan waktumya dengan peristiwa yang kami peringati. Hanya saja, jika waktu pelaksanaanya kebetulan tepat dengan waktu terjadinya peristiwa yang kami peringati, kami akan mengucapkan Alhamdulillah. Jiika tidak tepat, kami pun tidak merasa kecewa dan kami berkeyakinan bahwa Allah swt tidak mungkin menolak amal kami dan juga tidak mungkin mengunci pintu-pintu rahmat-Nya untuk kami.

Menurut pandangan kami, bahwa memanfaatkan kesempatan penyelenggaraan Majlis Perkumpulan tersebut untuk diisi dengan kegiatan berdoa dan bertawajjuh kepada Allah swt sambil mengharap keberkahan, adalah justru lebih luhur dan lebih penting daripada manfaat acara peringatan itu sendiri. Memanfaat kesempatan berkumpulnya kaum muslimin tersebut untuk diberi siraman rohani (pengajian), bimbingan, nasehat dan mengarahkan mereka agar melakukan kebajikan, adalah lebih utama daripada sekedar menentang dan melarang mereka berkumpul, atau mungkin membubarkan mereka yang sedang berkumpul. Karena didalam kenyataan di lapangan, sikap yang kontra produktif tersebut justru tidak efektif dan tidak ada manfaatnya sama sekali. Dengan sekap anti pati seperti itu, justru masyarakat akan semakin bersemangat untuk mengokohkan, melestarikan dan mempertahankan tradisi tersebut, seiring dengan semangat pelarangan terhadap mereka. Secara tidak disadari, seakan-akan bahwa orang yang melarang mereka berkumpul tadi, justru dipandang  telah memerintahkan untuk mengadakan kegiatan tersebut.

Para pakar, cendekiawan, ulama dan muballigh atau juru dakwah sangatmenginginkan agar semua teori, konsep, misi, ajaran dan hasil pemikiran mereka dapat disosialisasikan dan diterima oleh masyarakat luas. Untuk keperluan itu, mereka berusaha mengajak masyarakat bergabung dan berkumpul dengan mereka di suatu tempat. Anda mungkin sering menyaksikan para muballigh juru dakwah dan para pakar sering kali datang ke kebun-kebun, kerumunan orang banyak, organisasi-organisasi, dan kalau perlu mendatangi tempat-tempat umum yang sekiranya di sana banyak orang, hanya sekedar untuk menyampaikan misi, ajakan, konsep dan teori yang dikehendakinya. Sementara itu, kami pun juga menyaksikan kaum muslimin berkumpul mengadakan  semacam acara PHBI atau lainnya pada banyak kesempatan secara berulang-ulang, dengan kesadaran sendiri, penuh gairah dan suka cita. Lalu apa yang harus kita lakukan untuk memanfaatkan kesempatan yang sangat baik seperti ini?

Jika yang Anda lakukan adalah melarang dan menentang, langkah Anda semacam itu sia-sia belaka, bahkan merupakan tindakan bodoh. Sikap Anda semacam ini sama artinya dengan menyia-nyiakan “harta karun” yang tiada ternilai harganya dan juga sama artinya dengan membuang kesempatan yang sangat berharga. Karena zaman tidak akan memberikannya secara gratis, kecuali dalam kesempatan berkumpulnya masyarakat kaum muslimin yang sedang mengadakan acara semacam PHBI tersebut.

  
==============================================

*) Sumber : Diambil dari salah satu bagian dari kitab :
Judul Asli
: مفـاهـيم يجب أن تـصحح
Penulis
: Prof. DR. Sayyid Muhammad Alawi Al-Maliki
Alih Bahasa
: Achmad Suchaimi
Judul Terjemahan
: Pemahaman Yang Perlu Diluruskan (PYPD)

PYPD - 50. KEPEDULIAN PEMERINTAH SAUDI TERHADAP PENINGGALAN SEJARAH ISLAM




 
Oleh Sayyid Muhammad Alawi Al-Maliki


SIKAP KERAJAAN ARAB SAUDI TERHADAP BENDA PENINGGALAN SEJARAH

Semoga Allah swt tetap memberikan taufiq dan anugerah-Nya kepada Pemerintahan kami (Kerajaan Arab Saudi) yang sangat peduli dan mencurahkan perhatiannya terhadap benda-benda purbakala atau bekas peninggalan sejarah masa lalu, sebagai wujud usahanya dalam menjaga kelestarian warisan sejarah kebudayaan dunia Islam. Untuk kepentingan ini, Pemerintah mendirikan sebuah Kantor Urusan Peninggalan Sejarah yang secara khusus menangani persoalan bekas peninggalan sejarah dan kepurbakalaan  berdasarkan Undang-undang khusus yang mengacu pada Surat Keputusan Kerajaan Nomor : M/26, tertanggal : 23/2/1398 H.

Kemudian dibentukkan sebuah Majlis atau Dewan dengan nama Al-Majlis al-A’la lil Atsar (Majlis Tinggi Urusan Peninggalan Sejarah) yang secara khusus menangani hal-hal yang berkaitan dengan peninggalan sejarah dan kepurbakalaan berdasarkan Keputusan Dewan Menteri Nomor : 235, tanggal : 21/2/1398 H, yang diketuai oleh Direktorat Kementerian Pendidikan, dengan anggota terdiri dari Direktorat Kementeri Dalam Negeri, Direktorat Kementerian Keuangan, Kementerian Wakaf dan Haji, serta Kementerian Penerangan dan Peninggalan Sejarah.

Di antara maksud dan tujuan dibentuknya Majlis tersebut, sebagaimana yang dirumuskan didalam didalam Perundang-undangan, adalah mengkolekasi dan pengumpulan secara besar-besaran benda purbakala berdasarkan informasi yang tersedia demi terjaminnya kelestarian situs sejarah/kepurbakalaan sampai pada tujuan akhir yang diharapkan.



KELESTARIAN PENINGGALAN SEJARAH

Substansi pasal 6 dari Perundang-undangan tersebut berisi uraian tentang pengambilalihan dan penguasaan situs atau daerah yang terdapat bekas-bekas peninggalan sejarah-kepurbakalaan, bekerjasama dengan instansi-instansi lain di seluruh negeri sesuai dengan kekhasan urusan masing-masing; melestarikan benda-benda peninggalan sejarah dan lokasi-lokasi yang memiliki nilai historis, seperti menguasai benda-benda peninggalan sejarah, bangunan-bangunan yang memiliki nilai historis, lokasi monumental, dan peninggalan sejarah lainnya yang oleh Pemerintah dipandang memiliki nilai historis dan artistik yang tinggi, yang perlu dilindungi, diteliti dan dipublikasikan sesuai dengan ketentuan hukum yang ditetapkan perundang-undangan ini.


MASJID DAN TEMPAT PERIBADATAN : PENINGGALAN SEJARAH YANG PENTING

Substansi pasal 7 berisi ketentuan tentang peninggalan sejarah yang bersifat permanen dan yang dapat dipindahkan :

1.  Benda-benda peninggalan sejarah yang bersifat permanen adalah benda yang menempel di bumi seperti goa alam; goa buatan yang secara khusus dibuat untuk perlindungan arau hunian manusia purba; prasasti atau  bebatuan yang berisi lukisan manusia, hewan, tulisan kitab-kitab kuno dan lukisan-lukisan lainnya. Demikian pula puing-puing bekas reruntuhan bangunan kota kuno, perkakas rumah tangga dan instalasi lainnya yang terkubur didalam bumi; bangunan-bangunan kuno yang memiliki nilai historis yang dibangun untuk tujuan-tujuan yang beragam, seperti bangunan masjid, tempat peribadatan non muslim, istana dan kraton kerajaan jaman dahulu, rumah sakit, benteng pertahanan, gelanggang, pemandian umum, makam-makam kuno, bendungan/dam, dan puing-puing reruntuhan lainnya, serta hal-hal yang berkairtan dengannya seperti pintu, jendela,  tiang penyanggah bangunan, tangga, balkon, atap, pagar, mahkota dan sejenisnya.
2.  Benda-benda peninggalan sejarah yang dapat dipindahkan adalah benda-benda yang sengaja diciptakan manusia yang pada tabiatnya terpisah dengan bumi, atau terpisah dengan bangunan-bangunan bersejarah, atau sesuatu yang mungkin dapat dipindahkan tempatnya, seperti patung, arca, pahatan, serta barang produksi apapun bahannya, tujuan pembuatannya dan fungsinya.


BILIK MAKAM RASULULLAH SAW, MASJID NABAWI DAN AL-QUBBATUL HADHRA’

Sebagian provokator memiliki rencana dan usulan pemikiran untuk memindahkan atau menggeser letak makam Rasulullah saw agar keluar dari bangunan Masjid Nabawi. Sewaktu  almarhum Raja Khalid bin Abdul Aziz mendengar ide tersebut, dia benar-benar marah, bahkan hal ini memancing pro dan kotra di kalangan kaum muslimin, serta mendorong munculnya fanatisme keagamaan mereka demi mempertahankan bilik makam tersebut agar tetap menyatu dengan bangunan Masjid Nabawi serta berusaha keras untuk merintangi maksud dan tujuan tersembunyi dari pengusulnya.

Semoga Allah swt memberkati para Raja penggantinya, yakni Raja Fahd bin Abdul Azizi. Semoga Allah swt menolong agama Islam, melindungi tempat-tempat bersejarah, peninggalan purbakala, tempat-tempat peribadatan dan negara ini. Amin.

Para provokator tersebut mendasarkan usulannya pada fatwa Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab yang intinya agar bilik makam Rasulullah saw dikeluarkan dari bangunan Masjid Nabawi. Namun perlu diketahui, bahwa syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab sendiri menolak dan mengingkari penyandaran tersebut, sebagaimana yang dia nyatakan didalam sebuah makalah yang dibacakannya di hadapan para peserta kongres:

“Penyandaran persoalan keagamaan yang dialamatkan kepadaku berikut ini merupakan suatu kebohongan yang sangat keji. Bahwa aku dituduh meninggalkan kitab-kitab para imam madzhab; aku tituduh mengatakan bahwa kaum muslimin sejak enam ratus tahun yang lalu tidak berada di atas ajaran agama yang benar; aku dikatakan mereka telah mempropagandakan diri untuk berijtihad secara mandiri; aku dituduh menolak taqlid dan keluar darinya; aku dikatakan pernah mengatakan bahwa perbedaan pendapat di kalangan para ulama adalah laknat dan dibenci Allah swt; aku dituduh  telah mengkafirkan orang yang bertawassul dengan kaum shalihin jaman dahulu, seperti para sahabat, tabiin, auliya’ dan para Nabi; aku dituduh mengkafirkan Al-Busyiry karena ucapannya ‘Ya Akramal Khalqi’ (Wahai makhluk termulia, yakni Nabi Muhammad saw); aku dikatakan pernah mengatakan, ‘Sekiranya aku mampu menghnacurkan bilik makam Rasulullah saw, tentu aku sudah menghancurkannya. Sekiranya aku mampu menghancurkan Ka’bah, tentu akan aku hancurkan talang emas lalu aku ganti dengan talang dari kayu’; aku dituduh melarang orang menziarahi makam Rasulullah saw, makam kedua orang tua dan makam-makam lainnya; aku dituduh mengkafirkan orang yang bersumpah dengan Nama selain Allah swt. Perlu kami tegaskan, bahwa keduabelas  tuduhan keji di atas hanya aku tanggapi dengan satu jawaban : “Subhanaka, hadza buhtanun ‘azhim, Maha Suci Engkau, Ya Allah, ini benar-benar kebohongan yang besar.” (Dikutip dari Surat-surat Pribadi   syaikh Muhammad bin Abdulwahhab, edisi khusus, pada halaman 63. Dan dituturkan juga didalam buku Ad-Durarus-Saniyyah juz 1, halaman 52).

Al-Qubbatul Hadhra’. Sebagian orang mengkaitkan usaha penghancuran Al-Qubbatul Hadhra’, yakni kubah hijau di atas Masjid Nabawi, dengan Fatwa syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab. Akan tetapi, sekalilagi dia menangkis dan menolak dengan keras pengkaitan tersebut didalam beberapa makalah, risalah dan suratnya.

Surat syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab yang ditujukan kepada Al-Qashim antara lain berisi penolakannya terhadap berbagai persoalan rawan dan menyimpang yang dialamatkan kepadanya, sebagaimana yang disebutkan di muka dengan beberapa tambahan, yaitu bahwa dia dituduh pernah : 1) mengkafirkan Ibnu al-Faridh dan Ibnu ‘Araby;  2) mengatakan bahwa Al-Qubbatul Hadhra’ perlu dihancurkan;  3) membakar kitab Dalailul Khairat dan kitab Raudhur-Riyahin lalu diganti dengan judul Raudhus-Syayathin. Terhadap tuduhan-tuduhan mereka tersebut, hanya dia jawab dengan satu kalimat : “Subhanaka, hadza buhtanun ‘azhim, Maha Suci Engkau. Ya Allah, ini benar-benar kebohongan yang besar”. (Baca buku Kumpulan Karangan Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab, volume 5, surat pertama dari kumpulan surat-surat pribadinya, halaman 12. Keterangan tersebut juga disebutkan didalam kitab Ad-Durarus-Saniyyah juz 1 pada halaman 28).

Suratnya yang lain pernah dia kirimkan kepada masyarakat di Irak, yang dialamatkan kepada syaikh As-Suwaidy, salah seorang ulama di Irak, sebagai tanggapannya terhadap beberapa pertanyaan seputar tuduhan sebagian orang kepadanya. Isi surat tersebut antara lain, bahwa Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab menepis tuduhan pernah melakukan sesuatu, padahal dia belum pernah melakukannya, kemudian dia tanggapi sebagai kebohongan dan fitnah yang tidak ada buktinya : “Semuanya itu adalah sekedar desas-desus dan rekasa bohong yang semestinya tidak pantas dilontarkan oleh orang yang berakal sehat. Misalnya aku dituduh pernah mengkafirkan kaum muslimin yang tidak mengikuti ajakanku dan bahwa pernikahan mereka batal. Aku heran, bagaimana mungkin persoalan seperti itu masuk kedalam pikiran orang yang berakal sehat?! Apakah desas-desus dan rekayasa bohong tersebut diucapkan orang Islam ataukah Kafir, orang berilmu ataukah bodoh?. Demikian pula tuduhan mereka bahwa aku pernah mengatakan, ‘Sekiranya aku mamp[u menghancurkan Al-Qubbatul Hadhra’ (Kubah Hijau) di masjid Rasulullah saw, tentu aku hancurkan’. Mengenai kasus kitab Dalailul Khairat, memang ada penyebabnya, yaitu bahwa aku memandang jelek setiap orang yang beranggapan bahwa membaca kitab Dalailul Khairat itu lebih mulia dan penting daripada membaca kitab suci Al-Qur’an.  Mengenai tuduhan mereka tentang perintah pembakaran terhadap kitab Dalailul Khairat dan larangan bershalawat kepada Rasulullah saw dengan shighat dan lafazh yang bermacam-macam adalah suatu kebohongan”. (Majmu’ al-Mu-allafat, Kumpulan karangan syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab, volume 5, pada bagian surat-surat pribadi, halaman 37).

 

==============================================

*) Sumber : Diambil dari salah satu bagian dari kitab :
Judul Asli
: مفـاهـيم يجب أن تـصحح
Penulis
: Prof. DR. Sayyid Muhammad Alawi Al-Maliki
Alih Bahasa
: Achmad Suchaimi
Judul Terjemahan
: Pemahaman Yang Perlu Diluruskan (PYPD)






Senin, 22 Juli 2013

PYPD - 49. KEPEDULIAN PARA SAHABAT TERHADAP PENINGGALAN SEJARAH




 
Oleh Sayyid Muhammad Alawi Al-Maliki


KEPEDULIAN KHULAFAURRASYIDIN TERHADAP KELESTARIAN CINCIN  RASULULLAH  SAW

Imam Bukhary meriwayatkan hadis yang sandanya sampai kepada Ibnu Umar, bahwa ia berkata : “Rasulullah saw membuat cincin dari coin mata uang. Setelah beliau saw wafat, cincin itu disimpan dan dipakai oleh khalifah Abu Bakar ash-Shiddiq ra, lalu dipakai dan disimpan khalifah Umar bin Khatthab ra, kemudian dipakai dan disimpan khalifah Usman bin Affan ra, sampai cincin itu jatuh kedalam sumur Aris, sumur hasil galian tangan Rasulullah saw sendiri”.

Hadis tersebut dituturkan oleh Bukhary didalam kitab Ash-Shahih-nya, di bawah judul Al-Libas, bab Khatam al-Fidh-dhah. Imam Ibnu Hajar Al-Asqalany mengatakan bahwa didalam riwayat an-Nasaiy terdapat teks : “Usman bin Affan menyuruh orang untuk mencarinya, namun cincin itu tidak ditemukannya”. Sementara didalam riwayat Ibnu Sa’ad terdapat teks : “Cincin itu berada di tangan Usman selama enam tahun”. (Fathul Bariy, juz 10, halaman 313)

Al-‘Allamah al-‘Ainy menjelaskan, bahwa sumur Aris terletak di sebuah kebun dekat masjid Quba.(‘Umdatul Qary, juz 22; hal. 31) Sumur tersebut terkenal dengan sebutan Sumur Cincin Rasulullah saw, disebabkan sebuah cincin peninggalan beliau saw jatuh kedalam sumur tersebut di waktu pemerintahan khalifah Usman bin Affan. Selama tiga hari cincin itu dicari dengan berbagai usaha dan cara, namun tidak berhasil ditemukan. (Baca kitab Al-Maghanim al-Muthalabah fi Ma’alim Thabah, halaman 26, karya Al-Fairuz Abady).


KEPEDULIAN KHULAFAURRASYIDIN TERHADAP SENJATA BAYONET

 Imam Bukhary meriwayatkan hadis yang sanadnya sampai pada Zubair bin Awwam ra, bahwa ia berkisah : “Saya berperang tanding melawan Ubaidah bin Sa’id bin al-‘Ash pada saat pertempuran Badar. Matanya terkena tusukan senjata bayonetku. Dia dikenal dengan julukan Abu Dzatil Karsy.Sayalah Abu Dzatil Karsy”, katanya bersumbar kepadaku. Kemudian dia aku serang dengan bayonetku, dan kedua matanya aku tusuk sampai ia akhirnya mati. Hisyam memberitahukan kejadian ini kepada Rasulullah saw bahwa aku benar-benar telah meletakkan kedua kakiku di atas tubuh Ubaidah, dan aku bergumul dengannya di tempat itu. Sewaktu aku berusaha keras untuk membunuhnya itulah maka kedua matanya terkena tusukan bayonetku”.

Urwah menuturkan, “Rasulullah saw meminta bayonet tersebut dari tangan Zubair ra, lalu diberikannya kepada beliau saw. Sewaktu beliau saw wafat, senjata itu diambilnya kembali, namun Abu Bakar memintanya (= meminjamnya), lalu senjata itu diberikannya. Setelah Abu Bakar wafart, senjata itu (diambilnya kembali), lalu diminta (dipinjam) Umar bin Khatthab ra dan dia memberikan senjata itu kepadanya. Sepeninggal Umar ra, senjata itu (diambilnya lagi) lalu diminta (dipinjam) Usman bin Affan ra, dan dia memberikannya kepadanya. Maka pada saat Usman wafat, senjata itu dikuasai oleh keluarga Ali bin Abi Thalib ra, lalu diminta kembali oleh Abdullah bin Zubair, sampai ia wafat (dibunuh oleh Hajjaj bin Yusuf, seorang panglima dari dinasti Bani Umaiyah). (HR Bukhary didalam Ash-Shahih-nya di bawah judul Al-Maghazy, pada bab Syuhud al-Malaikat Badran).

Ringkas cerita : Zubair membunuh ‘Ubaidah bin Sa’id bin Al-‘Ash pada saat perang tanding di pertempuran Badar. Dia menusukkan bayonetnya pada kedua mata Ubaidah sampai meninggal. Senjata itu diminta oleh Rasulullah saw dan ia memberikannya kepada beliau saw. Sewaktu beliau saw wafat, senjata itu diambil kembali oleh Zubair, lalu diminta oleh Abu Bakar sebagai barang pinjaman. Sewaktu Abu Bakar wafat, senjata itu diambilnya kembali, lalu diminta oleh Umar bin Khatthab untuk dipinjamnya, dan dia memberikan senjata itu kepada Umar sampai meninggalnya. Kemudian senjata itu kembali lagi kepada Zubair, pemilik pertamanya. Selanjutnya dipinjam oleh Usman bin Affan ra dan sewaktu wafatnya senjata itu jatuh ke tangan keluarga Ali bin Abi Thalib ra, lalu diambil kembali oleh Abdullah  putra Zubair, kemudian senjata itu berada di bawah kekuasaannya, sebagai pemilik pertamanya, sampai ia meninggal dunia. (Lihat kitab Al-Fath, juz 7 halaman 314 dan kitab ‘Umdatul Qary, juz 17 halaman 107).

Yang perlu kami tanyakan di sini adalah, kenapa Bayonet milik Zubair bin Awwam ra tersebut dinilai sangat penting untuk dijaga dan dipelihara sedemikian rupa oleh Rasulullah saw, lalu oleh khulafaurrasyidin, padahal masih banyak bayonet yang lain?

Barangkali senjata bayonet tersebut memiliki keistimewaan tertentu yang tidak dimiliki oleh senjata  bayonet-bayonet semisalnya. Apalagi senjata tersebut menjadi perhatian tersendiri dan dipelihara sebagai barang pinjaman oleh keempat khulafaurrasyidin.


KEPEDULIAN UMAR RA TERHADAP TALANG YANG DIPASANGKAN RASULULLAH

Satu riwayat dari Abdullah bin Abbas, bahwa di atas rumah Abbas ra terpasang talang atau saluran air hujan yang dipasangkan tepat di atas  jalan menuju ke rumah Umar bin Khatthab oleh tangan Rasulullah saw sendiri. Pada suatu hari, Umar berangkat ke masjid untuk shalat Jum’at melewati  jalan tersebut, sementara saat itu dua ekor burung disembelih dan darahnya dialirkan lewat talang tersebut. Tentu saja baju Umar kena cipratan darah itu, lalu ia memerintahkan kepada orang yang ia jumpai untuk merusak dan mencabut talang tersebut, kemudian ia pulang ke rumah untuk mengganti pakaiannya. Setelah itu Umar berangkat ke Masjid lagi dan Abbas menghampirinya sambil berkata : “Hai Umar ! Demi Allah. Talang yang engkau cabut tadi adalah dipasangkan oleh Rasulullah saw sendiri”. Umar langsung menanggapinya: “Aku sangat berharap agar engkau naik ke atas punggungku, sehingga engkau memasangnya kembali ke tempat semula, sebagaimana yang dilakukan Rasulullah saw”. Selanjutnya Abbas melaksanakan apa yang menjadi keinginan Umar bin Khatthab ra. (Tersebut didalam kitab Al-Kanz juz 7, halaman 66).

Imam Abu Muhammad Abdullah bin Ahmad bin Muhammad bin Qudamah didalam kitabnya, Al-Mughny, menuliskan : “(Faslun) : Tidak boleh membongkar saliran air atau talang yang dipasang di atas sebuah jalan besar dan tidak boleh mengeluarkannya ke lorong jalan (gang) depan jendela, kecuali seijin pemilik rumah”.

Imam Abu Hanifah, Imam Malik dan Imam Syafi’I berpendapat : “Boleh mengeluarkan talang ke jalan, berdasarkan kasus Umar bin Khatthab ra memotong talang milik Abbas yang mengarah ke arah jalan secara paksa, lalu Abbas berkata kepada Umar : “Engkau membongkarnya, padahal talang itu dipasangkan Rasulullah saw dengan tangannya sendiri”. Umar menanggapinya : “Demi Allah! Aku tidak akan memasangnya kembali, kecuali engkau sendiri yang memasangnya dengan cara menaiki punggungku”. Maka Umar membungkukkan punggunya dan Abbas naik ke atasnya sambil memasangkan kembali talang tersebut ke tempat semula. (Baca kitab Al-Mughny juz 4 halaman 554).


IBNU UMAR BUKAN SATU-SATUNYA ORANG YANG SUKA NAPAK TILAS

Ibnu Umar terkenal sebagai orang yang memiliki kesenangan melakukan perjalanan dalam rangka Napak Tilas dan termasuk orang yang sangat peduli terhadap kelestarian petilasan atau bekas peninggalan sejarah masa lalu.

Sesepuh Islam Ibnu Taimiyah menuturkan, bahwa Imam Ahmad bin Hambal pernah ditanya tentang orang yang suka mendatangi Masyahid , lalu dijawabnya, bahwa Ibnu Umar pernah menelusuri jejak petilasan perjalanan Rasulullah saw, sampai ia terlihat menuangkan air di suatu tempat. Orang bertanya tentang kelakuannya itu,lalu ia jawab : “Rasulullah saw pernah menuangkan air di tempat ini”

Imam Bukhary mengetengahkan sebuah hadis yang sanadnya sampai kepada Musa bin Uqbah, bahwa dia pernah menyaksikan Salim bin Abdullah menelusuri tempat-tempat yang pernah dilalui Rasulullah saw di tengah perjalanannya dan beliau saw melakukan shalat di situ. Dia menjelaskan bahwa ayahnya juga pernah melakukan shalat di tempat itu , karena dia pernah menyaksikan Rasulullah saw melakukan shalat di tempat itu. Dan Nafi’ pun pernah bercerita kepada Musa bin Uqbah bahwa Ibnu Umar pernah melakukan shalat di tempat-tempat tersebut. (Iqtidhaus-Shirathil Mustaqim, halaman 385).

Berdasarkan riwayat di atas, ternyata Ibnu Umar bukanlah satu-satunya orang yang melakukan penelusuran tersebut. Banyak para sahabat lain yang melakukan hal yang serupa, sebagaimana yang telah kami jelaskan mengenai apa yang dilakukan oleh keempat khulafaurrasyidin, di mana Rasulullah saw sendiri menetapkan tindakan mereka itu sebagai ‘Sunnah’ (perilaku) yang perlu diikuti dan beliau saw memerintahkan kepada kita agar selalu berpegangan kepada perilaku mereka, serta mengembalikan semua persoalan kepada keputusan mereka. Sudah kita maklumi bersama bahwa perilaku mereka adalah identik dengan perilaku Rasulullah saw, disebabkan karena mereka tidak pernah berbicara, berpendapat, berijtihad dan berpandangan melampaui dan mendahului beliau saw. Apa yang ditetapkan dan dianggap benar  oleh Rasulullah saw, mereka sekali-kali tidak berani melanggarnya.

Di muka telah kami paparkan pembahasan tentang bolehnya bertabarruk dengan petilasan dan bekas-bekas peninggalan sejarah Rasulullah saw, disertai dengan sejumlah nash-nash hadis Nabi yang layak dijadikan sebagai dalil dan memiliki hubungan yang erat dengan persoalan ini. Dengan nash-nash tersebut akan diperoleh suatu gambaran yang jelas dan gamblang, bagaimana para sahabat Nabi bertabarruk dengan petilasan dan bekas peninggalan beliau saw itu. Di antara mereka adalah Ibnu Umar dan para sahabat selainnya. Yang jelas, antara pembahasan ini dengan persoalan tabarruk yang telah kami jelaskan di muka memiliki keterkaitan yang sangat erat dan berdasarkan sumber atau dalil yang sama. Karena bertabarruk dengan petilasan atau bekas peninggalan Rasulullah saw merupakan bagian dari usaha melestarikan dan wujud dari kepedulian kita terhadap bekas peninggalan sejarah masa lalu. Hanya saja bahwa persoalan yang kedua lebih berkaitan dengan sejarah dan kebudayaan umat Islam, sementara persoalan yang pertama lebih berkaitan dengan keimanan, rasa mahabbah (wujud kecintaan) dan ikatan emosional.


KEPEDULIAN IBNU ABBAS TERHADAP PENINGGALAN SEJARAH MASA LALU

Sewaktu Abdullah bin Zubair bermaksud membangun kembali Ka’bah yang rusak akibat serangan tentara Yazid bin Mua’awiyah, dia mengumpulkan para sahabat untuk diajaknya bermusyawarah merealisir rencananya tersebut. Ibnu Abbas mengusulkan agar tidak membongkar danmerobohkan seluruh tembok Ka’bah, akan tetapi sekedar merenovasi beberapa bangunan tembok yang memerlukan perbaikan saja. Sedangkan bagian tembok yang masih baik dan layak, agar tetap dipertahankan keasliannya. Hal ini sekaligus sebagai wujud melestarikan batu-batu kuno yang terpasang sejak pertama kali dibangun pada awal masa datangnya Islam (masa Nabi Ibrahim dan Ismail) dan masa kebangkitan kembali Islam dengan diutusnya Rasulullah saw.

Diriwayatkan dari Atha’, bahwa sewaktu Ka’bah terbakar akibat serangan yang dilakukan tentara Yazid bin Mu’wiyah (khalifah kedua dari dinasti Umayyah yang berkedudukan di Damaskus Syam), lalu Abdullah bin Zubair, yang saat itu menjadi Khalifah tandingan yang berkedudukan di Makkah, membiarkan kondisi bangunan Ka’bah dalam keadaan rusak, sampai datangnya musim Haji. Dia mengundang, mengajak dan mendorong kaum muslimin yang sedang melakukan ibadah haji untuk memikirkan kerusakan Ka’bah akibat serangan tersebut. Setelah mereka berkumpul, maka berkata Abdullah bin Zubair : “Wahai saudaraku kaum muslimin! Berilah kami masukan pendapatmu mengenai rencana kami membongkar Ka’bah dan menggantinya dengan bangunan baru, atau sekedar merenovasi beberapa bagian yang rusak?”. Ibnu Abbas ra lalu mengusulkan agar Ka’bah tidak dibongkar sama sekali untuk diganti dengan bangunan baru, akan tetapi cukup direnovasi. (Baca kitab Syarh Shahih Muslim tulisan Imam An-Nawawy, pada bagian Kitabul Hajj, bab Naqdhul Ka’bah wa binaa-uhaa, juz 9; halaman 92-93).


GHIRAH UMAR BIN KHATTHAB TERHADAP PETILASAN RASULULLAH SAW

Umar bin Khatthab ra adalah seorang sahabat yang memiliki ghirah, semangat, antusias dan kepedulian yang begitu besar dalam memelihara dan melestarikan bekas-bekas peninggalan sejarah Rasulullah saw. Oleh karena itu, pada saat dia menyaksikan orang-orang berkumpul di sekitar sebuah pohon yang mereka yakini sebagai Pohon Ridhwan yang pernah dipakai Rasulullah saw mengambil sumpah setia (Bai’atur-Ridhwan) dari para sahabatnya saat itu dan diabadikan didalam firman Allah swt :

لَقَدْ رَضِيَ اللَّهُ عَنِ الْمُؤْمِنِينَ إِذْ يُبَايِعُونَكَ تَحْتَ الشَّجَرَةِ فَعَلِمَ مَا فِي قُلُوبِهِمْ فَأَنْزَلَ السَّكِينَةَ عَلَيْهِمْ وَأَثَابَهُمْ فَتْحًا قَرِيبًا  (18)

Sesungguhnya Allah telah ridha terhadap orang-orang mu'min ketika mereka berjanji setia kepadamu di bawah pohon, maka Allah mengetahui apa yang ada dalam hati mereka lalu menurunkan ketenangan atas mereka dengan memberi balasan kepada mereka dengan kemenangan yang dekat (waktunya).”. (QS Al-Fath,[48] : 18)

Umar bin Khatthab sangat marah, karena dia tahu secara pasti bahwa pohon tempat mereka berkumpul tersebut adalah bukan pohon Ridhwan yang sebenarnya dan tidak seorang pun yang mengetahui posisi pohon tersebut secara persis, apalagi sampai menentukan pohon yang asli, tentu sangat mustahil. Demikian pula para pelaku sejarah yang secara langsung menyaksikan dan berbai’at di bawah pohon tersebut, mereka sama sekali tidak lagi mengetahui letak pohon secara pasti. Karena itu, bagaimana mungkin orang-orang yang bukan pelaku sejarah dapat mengetahuinya? Dan bagaimana mungkin mereka bisa menjelaskan bahwa pohon itulah yang pernah dipakai Rasulullah saw membi’at para sahabat?!

Dalam sebuah riwayat yang diketengahkan oleh Imam Bukhary dan Muslim dijelaskan bahwa Ibnu Umar pernah mendatangi tempat terjadinya peristiwa pengucapan Bai’aturridhwan setelah peristiwa itu berlangsung satu tahun. Kemudian dia membicarakan posisi dan letak pohon tersebut dengan sahabat yang lain, namun setelah berusaha mencari dan mengingat-ingat kembali, mereka berdua tidak berhasil menemukannya.

Dituturkan dalam suatu riwayat, bahwa Al-Musayyab, ayahnya Sa’id bin Musayyab, mengatakan : “Aku telah menyaksikan secara langsung dan ikut berbai’at di bawah pohon ridhwan, tetapi setelah itu aku lupa di mana letak pohon tersebut dan aku tidak tahu lagi di mana letaknya yang persis”.

Thariq bin Abdurrahman berkata : “Aku berangkat melakukan ibadah haji dan aku melewati sekelompok orang yang melakukan shalat di suatu tempat, lalu aku bertanya kepada mereka: ‘Apakah tempat itu sebuah masjid?’. Mereka menjelaskan, bahwa tempat itu adalah letak sebuah pohon Ridhwan yang pernah dipakai Rasulullah saw menerima sumpah setia atau bai’atur-ridhwan. Kemudian aku mendatangi Sa’id bin Al-Musayyab untuk menceritakan apa yang baru saja aku saksikan dan meminta kepadanya penjelasan tentang peristiwa Ba’iat tersebut. Sa’id mengatakan kepadaku: ‘Ayahku pernah bercerita kepadaku, bahwa dia termasuk salah satu dari pelaku sejarahnya yang secara langsung ikut mengucapkan sumpah setia itu di bawah pohon Ridhwan. Setelah tahun berganti, ia lupa di mana persisnya letak pohon tersebut. Sekarang kamu datang kepadaku sambil memberitahukan letak pohon tersebut. Hal ini berarti bahwa kamu lebih mengetahuinya (daripada ayahku yang sekaligus menjadi pelaku sejarahnya)’. (Baca kitab Shahih Al-Bukhary pada bagian Kitabul Maghazy, didalam bab Ghazwah al-Hudaibiyah; dan kitab Shahih Muslim pada bagian Kitabul Imarah, didalam bab Istihbab Mutabi’atil Imam).

Maksud hadis di atas adalah bahwa dua orang tidak bersepakat paham dalam menentukan letak Pohon Ridhwan secara persis, padahal keduanya sama-sama menjadi pelaku sejarahnya, sama-sama berada pada tahun berikutnya dan masih dalam satu periode. Sementara itu, para pelaku sejarah Bai’aturridhwan banyak yang masih hidup dan masih bisa dihubungi untuk dikonfirmasi. Sekarang, bagaimana pendapat Anda, seandainya ada orang yang hidup di masa kekhalifahan Umar bin Khatthab ra, yang lebih dari sepuluh tahun dari peristiwa tersebut justru lebih mengetahui letak pohon tersebut secara repat?!

Mengenai diri Umar bin Khatthab ra, sebenarnya tidak masuk akal jika dikatakan bahwa dia memotong pohon tersebut dengan tujuan agar orang-orang tidak bertabarruk dengan pohon tersebut, atau dia tidak tahu menahu soal peristiwa tersebut. Pemahaman seperti itu sebenarnya tidak pernah terbersit sedikit pun didalam pikiran Umar dan dia tidak pernah memerintahkan orang untuk memotong pohon tersebut, karena dia bukanlah orang yang bertipe anti tabarruk. Bahkan dia selalu mencari keberkahan dari petilasan dan bekas peninggalan Rasulullah saw dan sejenisnya, sebagaimana permintaannya kepada Abu Bakar mengenai senjata bayonet yang pernah dipegang atau dikuasai oleh beliau saw yang dipinjamnya dari Zubair bin Awwam, juga usahanya memelihara cincin stempel perak dari coin mata uang milik beliau saw, dan beberapa contoh lainnya.


KEPEDULIAN TERHADAP SANDAL RASULULLAH SAW

Di antara bekas peninggalan sejarah yang mendapatkan perhatian cukup besar di kalangan para cendekiawan muslim, para pakar dan ulama adalah Sandal  atau Terompah Rasulullah saw. Bahkan hal ini menjadi bahan penelitian dalam menentukan sifat-sifatnya, bentuk dan modelnya, serta ukuran dan warnanya. Mereka melakukan kajian secara mendalam yang hasilnya kemudian mereka bukukan didalam sebuah risalah tersendiri. Maksud dan tujuan kajian mereka bukan semata-mata pada bentuk fisik sandal tersebut, akan tetapi lebih diarahkan pada pemiliknya, yakni Rasulullah saw.

Apabila kita sangat peduli terhadap bekas peninggalan para tokoh sejarah, misalnya baju atau pakaian yang pernah mereka pakai dan peralatan-peralatan mereka, lalu barang itu bisa kita peroleh dengan harga yang sangat mahal ataupun murah, kemudian kita dirikan sebuah musium khusus yang mengoleksi benda-benda tersebut, lantas kita undang para pakar yang ahli di bidang kepurbakalaan. Sekiranya hal itu kita lakukan dengan mengorbankan jiwa raga dan harta demi tujuan tersebut, tentu pengorbanan itu tidak ada artinya sama sekali jika dibandingkan dengan pentingnya usaha memelihara kelestarian benda purbakala tersebut, khususnya benda bekas peninggalan Rasulullah saw. Karena hal ini sangat besar manfaatnya di masa depan bagi generasi yang akan datang.


==============================================

*) Sumber : Diambil dari salah satu bagian dari kitab :
Judul Asli
: مفـاهـيم يجب أن تـصحح
Penulis
: Prof. DR. Sayyid Muhammad Alawi Al-Maliki
Alih Bahasa
: Achmad Suchaimi
Judul Terjemahan
: Pemahaman Yang Perlu Diluruskan (PYPD)