KEPEDULIAN
KHULAFAURRASYIDIN TERHADAP KELESTARIAN CINCIN
RASULULLAH SAW
Imam
Bukhary meriwayatkan hadis yang sandanya sampai kepada Ibnu Umar, bahwa ia
berkata : “Rasulullah saw membuat cincin dari coin mata uang. Setelah beliau
saw wafat, cincin itu disimpan dan dipakai oleh khalifah Abu Bakar ash-Shiddiq
ra, lalu dipakai dan disimpan khalifah Umar bin Khatthab ra, kemudian dipakai
dan disimpan khalifah Usman bin Affan ra, sampai cincin itu jatuh kedalam sumur
Aris, sumur hasil galian tangan Rasulullah saw sendiri”.
Hadis
tersebut dituturkan oleh Bukhary didalam kitab Ash-Shahih-nya, di bawah
judul Al-Libas, bab Khatam al-Fidh-dhah. Imam Ibnu Hajar
Al-Asqalany mengatakan bahwa didalam riwayat an-Nasaiy terdapat teks : “Usman
bin Affan menyuruh orang untuk mencarinya, namun cincin itu tidak
ditemukannya”. Sementara didalam riwayat Ibnu Sa’ad terdapat teks : “Cincin
itu berada di tangan Usman selama enam tahun”. (Fathul Bariy, juz
10, halaman 313)
Al-‘Allamah
al-‘Ainy menjelaskan, bahwa sumur Aris terletak di sebuah kebun dekat
masjid Quba.(‘Umdatul Qary, juz 22; hal. 31) Sumur tersebut
terkenal dengan sebutan Sumur Cincin Rasulullah saw, disebabkan sebuah
cincin peninggalan beliau saw jatuh kedalam sumur tersebut di waktu
pemerintahan khalifah Usman bin Affan. Selama tiga hari cincin itu dicari
dengan berbagai usaha dan cara, namun tidak berhasil ditemukan. (Baca kitab Al-Maghanim
al-Muthalabah fi Ma’alim Thabah, halaman 26, karya Al-Fairuz Abady).
KEPEDULIAN
KHULAFAURRASYIDIN TERHADAP SENJATA BAYONET
Imam Bukhary meriwayatkan hadis yang sanadnya
sampai pada Zubair bin Awwam ra, bahwa ia berkisah : “Saya berperang tanding
melawan Ubaidah bin Sa’id bin al-‘Ash pada saat pertempuran Badar. Matanya
terkena tusukan senjata bayonetku. Dia dikenal dengan julukan Abu Dzatil
Karsy. “Sayalah Abu Dzatil Karsy”, katanya bersumbar kepadaku.
Kemudian dia aku serang dengan bayonetku, dan kedua matanya aku tusuk sampai ia
akhirnya mati. Hisyam memberitahukan kejadian ini kepada Rasulullah saw bahwa
aku benar-benar telah meletakkan kedua kakiku di atas tubuh Ubaidah, dan aku
bergumul dengannya di tempat itu. Sewaktu aku berusaha keras untuk membunuhnya
itulah maka kedua matanya terkena tusukan bayonetku”.
Urwah
menuturkan, “Rasulullah saw meminta bayonet tersebut dari tangan Zubair ra,
lalu diberikannya kepada beliau saw. Sewaktu beliau saw wafat, senjata itu
diambilnya kembali, namun Abu Bakar memintanya (= meminjamnya), lalu senjata
itu diberikannya. Setelah Abu Bakar wafart, senjata itu (diambilnya kembali),
lalu diminta (dipinjam) Umar bin Khatthab ra dan dia memberikan senjata itu
kepadanya. Sepeninggal Umar ra, senjata itu (diambilnya lagi) lalu diminta
(dipinjam) Usman bin Affan ra, dan dia memberikannya kepadanya. Maka pada saat
Usman wafat, senjata itu dikuasai oleh keluarga Ali bin Abi Thalib ra, lalu
diminta kembali oleh Abdullah bin Zubair, sampai ia wafat (dibunuh oleh Hajjaj
bin Yusuf, seorang panglima dari dinasti Bani Umaiyah). (HR Bukhary didalam Ash-Shahih-nya
di bawah judul Al-Maghazy, pada bab Syuhud al-Malaikat Badran).
Ringkas
cerita : Zubair membunuh ‘Ubaidah bin Sa’id bin Al-‘Ash pada saat perang tanding
di pertempuran Badar. Dia menusukkan bayonetnya pada kedua mata Ubaidah sampai
meninggal. Senjata itu diminta oleh Rasulullah saw dan ia memberikannya kepada
beliau saw. Sewaktu beliau saw wafat, senjata itu diambil kembali oleh Zubair,
lalu diminta oleh Abu Bakar sebagai barang pinjaman. Sewaktu Abu Bakar wafat,
senjata itu diambilnya kembali, lalu diminta oleh Umar bin Khatthab untuk
dipinjamnya, dan dia memberikan senjata itu kepada Umar sampai meninggalnya.
Kemudian senjata itu kembali lagi kepada Zubair, pemilik pertamanya.
Selanjutnya dipinjam oleh Usman bin Affan ra dan sewaktu wafatnya senjata itu
jatuh ke tangan keluarga Ali bin Abi Thalib ra, lalu diambil kembali oleh
Abdullah putra Zubair, kemudian senjata
itu berada di bawah kekuasaannya, sebagai pemilik pertamanya, sampai ia
meninggal dunia. (Lihat kitab Al-Fath, juz 7 halaman 314 dan kitab ‘Umdatul
Qary, juz 17 halaman 107).
Yang
perlu kami tanyakan di sini adalah, kenapa Bayonet milik Zubair bin
Awwam ra tersebut dinilai sangat penting untuk dijaga dan dipelihara sedemikian
rupa oleh Rasulullah saw, lalu oleh khulafaurrasyidin, padahal masih
banyak bayonet yang lain?
Barangkali
senjata bayonet tersebut memiliki keistimewaan tertentu yang tidak
dimiliki oleh senjata bayonet-bayonet
semisalnya. Apalagi senjata tersebut menjadi perhatian tersendiri dan
dipelihara sebagai barang pinjaman oleh keempat khulafaurrasyidin.
KEPEDULIAN
UMAR RA TERHADAP TALANG YANG DIPASANGKAN RASULULLAH
Satu
riwayat dari Abdullah bin Abbas, bahwa di atas rumah Abbas ra terpasang talang
atau saluran air hujan yang dipasangkan tepat di atas jalan menuju ke rumah Umar bin Khatthab oleh
tangan Rasulullah saw sendiri. Pada suatu hari, Umar berangkat ke masjid untuk
shalat Jum’at melewati jalan tersebut,
sementara saat itu dua ekor burung disembelih dan darahnya dialirkan lewat
talang tersebut. Tentu saja baju Umar kena cipratan darah itu, lalu ia
memerintahkan kepada orang yang ia jumpai untuk merusak dan mencabut talang
tersebut, kemudian ia pulang ke rumah untuk mengganti pakaiannya. Setelah itu
Umar berangkat ke Masjid lagi dan Abbas menghampirinya sambil berkata : “Hai
Umar ! Demi Allah. Talang yang engkau cabut tadi adalah dipasangkan oleh
Rasulullah saw sendiri”. Umar langsung menanggapinya: “Aku sangat
berharap agar engkau naik ke atas punggungku, sehingga engkau memasangnya
kembali ke tempat semula, sebagaimana yang dilakukan Rasulullah saw”.
Selanjutnya Abbas melaksanakan apa yang menjadi keinginan Umar bin Khatthab ra.
(Tersebut didalam kitab Al-Kanz juz 7, halaman 66).
Imam
Abu Muhammad Abdullah bin Ahmad bin Muhammad bin Qudamah didalam
kitabnya, Al-Mughny, menuliskan : “(Faslun) : Tidak boleh membongkar
saliran air atau talang yang dipasang di atas sebuah jalan besar dan tidak
boleh mengeluarkannya ke lorong jalan (gang) depan jendela, kecuali seijin
pemilik rumah”.
Imam
Abu Hanifah, Imam Malik dan Imam Syafi’I berpendapat : “Boleh mengeluarkan
talang ke jalan, berdasarkan kasus Umar bin Khatthab ra memotong talang milik
Abbas yang mengarah ke arah jalan secara paksa, lalu Abbas berkata kepada Umar
: “Engkau membongkarnya, padahal talang itu dipasangkan Rasulullah saw
dengan tangannya sendiri”. Umar menanggapinya : “Demi Allah! Aku tidak
akan memasangnya kembali, kecuali engkau sendiri yang memasangnya dengan cara
menaiki punggungku”. Maka Umar membungkukkan punggunya dan Abbas naik ke
atasnya sambil memasangkan kembali talang tersebut ke tempat semula. (Baca
kitab Al-Mughny juz 4 halaman 554).
IBNU
UMAR BUKAN SATU-SATUNYA ORANG YANG SUKA NAPAK TILAS
Ibnu
Umar terkenal sebagai orang yang memiliki kesenangan melakukan perjalanan dalam
rangka Napak Tilas dan termasuk orang yang sangat peduli terhadap
kelestarian petilasan atau bekas peninggalan sejarah masa lalu.
Sesepuh
Islam Ibnu Taimiyah menuturkan, bahwa Imam Ahmad bin Hambal pernah ditanya
tentang orang yang suka mendatangi Masyahid , lalu dijawabnya, bahwa
Ibnu Umar pernah menelusuri jejak petilasan perjalanan Rasulullah saw, sampai
ia terlihat menuangkan air di suatu tempat. Orang bertanya tentang kelakuannya
itu,lalu ia jawab : “Rasulullah saw pernah menuangkan air di tempat ini”
Imam
Bukhary mengetengahkan sebuah hadis yang sanadnya sampai kepada Musa bin Uqbah,
bahwa dia pernah menyaksikan Salim bin Abdullah menelusuri tempat-tempat yang
pernah dilalui Rasulullah saw di tengah perjalanannya dan beliau saw melakukan
shalat di situ. Dia menjelaskan bahwa ayahnya juga pernah melakukan shalat di
tempat itu , karena dia pernah menyaksikan Rasulullah saw melakukan shalat di
tempat itu. Dan Nafi’ pun pernah bercerita kepada Musa bin Uqbah bahwa Ibnu
Umar pernah melakukan shalat di tempat-tempat tersebut. (Iqtidhaus-Shirathil
Mustaqim, halaman 385).
Berdasarkan
riwayat di atas, ternyata Ibnu Umar bukanlah satu-satunya orang yang melakukan
penelusuran tersebut. Banyak para sahabat lain yang melakukan hal yang serupa,
sebagaimana yang telah kami jelaskan mengenai apa yang dilakukan oleh keempat khulafaurrasyidin,
di mana Rasulullah saw sendiri menetapkan tindakan mereka itu sebagai ‘Sunnah’
(perilaku) yang perlu diikuti dan beliau saw memerintahkan kepada kita agar
selalu berpegangan kepada perilaku mereka, serta mengembalikan semua persoalan
kepada keputusan mereka. Sudah kita maklumi bersama bahwa perilaku mereka
adalah identik dengan perilaku Rasulullah saw, disebabkan karena mereka tidak
pernah berbicara, berpendapat, berijtihad dan berpandangan melampaui dan
mendahului beliau saw. Apa yang ditetapkan dan dianggap benar oleh Rasulullah saw, mereka sekali-kali tidak
berani melanggarnya.
Di
muka telah kami paparkan pembahasan tentang bolehnya bertabarruk dengan
petilasan dan bekas-bekas peninggalan sejarah Rasulullah saw, disertai dengan
sejumlah nash-nash hadis Nabi yang layak dijadikan sebagai dalil dan memiliki
hubungan yang erat dengan persoalan ini. Dengan nash-nash tersebut akan
diperoleh suatu gambaran yang jelas dan gamblang, bagaimana para sahabat Nabi bertabarruk
dengan petilasan dan bekas peninggalan beliau saw itu. Di antara mereka
adalah Ibnu Umar dan para sahabat selainnya. Yang jelas, antara pembahasan ini
dengan persoalan tabarruk yang telah kami jelaskan di muka memiliki
keterkaitan yang sangat erat dan berdasarkan sumber atau dalil yang sama.
Karena bertabarruk dengan petilasan atau bekas peninggalan Rasulullah saw
merupakan bagian dari usaha melestarikan dan wujud dari kepedulian kita
terhadap bekas peninggalan sejarah masa lalu. Hanya saja bahwa persoalan yang
kedua lebih berkaitan dengan sejarah dan kebudayaan umat Islam, sementara
persoalan yang pertama lebih berkaitan dengan keimanan, rasa mahabbah (wujud
kecintaan) dan ikatan emosional.
KEPEDULIAN
IBNU ABBAS TERHADAP PENINGGALAN SEJARAH MASA LALU
Sewaktu
Abdullah bin Zubair bermaksud membangun kembali Ka’bah yang rusak akibat
serangan tentara Yazid bin Mua’awiyah, dia mengumpulkan para sahabat untuk diajaknya
bermusyawarah merealisir rencananya tersebut. Ibnu Abbas mengusulkan agar tidak
membongkar danmerobohkan seluruh tembok Ka’bah, akan tetapi sekedar merenovasi
beberapa bangunan tembok yang memerlukan perbaikan saja. Sedangkan bagian
tembok yang masih baik dan layak, agar tetap dipertahankan keasliannya. Hal ini
sekaligus sebagai wujud melestarikan batu-batu kuno yang terpasang sejak
pertama kali dibangun pada awal masa datangnya Islam (masa Nabi Ibrahim dan
Ismail) dan masa kebangkitan kembali Islam dengan diutusnya Rasulullah saw.
Diriwayatkan
dari Atha’, bahwa sewaktu Ka’bah terbakar akibat serangan yang dilakukan
tentara Yazid bin Mu’wiyah (khalifah kedua dari dinasti Umayyah yang
berkedudukan di Damaskus Syam), lalu Abdullah bin Zubair, yang saat itu menjadi
Khalifah tandingan yang berkedudukan di Makkah, membiarkan kondisi bangunan
Ka’bah dalam keadaan rusak, sampai datangnya musim Haji. Dia mengundang,
mengajak dan mendorong kaum muslimin yang sedang melakukan ibadah haji untuk
memikirkan kerusakan Ka’bah akibat serangan tersebut. Setelah mereka berkumpul,
maka berkata Abdullah bin Zubair : “Wahai saudaraku kaum muslimin! Berilah
kami masukan pendapatmu mengenai rencana kami membongkar Ka’bah dan
menggantinya dengan bangunan baru, atau sekedar merenovasi beberapa bagian yang
rusak?”. Ibnu Abbas ra lalu mengusulkan agar Ka’bah tidak dibongkar sama
sekali untuk diganti dengan bangunan baru, akan tetapi cukup direnovasi. (Baca
kitab Syarh Shahih Muslim tulisan Imam An-Nawawy, pada bagian Kitabul
Hajj, bab Naqdhul Ka’bah wa binaa-uhaa, juz 9; halaman 92-93).
GHIRAH UMAR
BIN KHATTHAB TERHADAP PETILASAN RASULULLAH SAW
Umar
bin Khatthab ra adalah seorang sahabat yang memiliki ghirah, semangat, antusias
dan kepedulian yang begitu besar dalam memelihara dan melestarikan bekas-bekas
peninggalan sejarah Rasulullah saw. Oleh karena itu, pada saat dia menyaksikan
orang-orang berkumpul di sekitar sebuah pohon yang mereka yakini sebagai Pohon
Ridhwan yang pernah dipakai Rasulullah saw mengambil sumpah setia (Bai’atur-Ridhwan)
dari para sahabatnya saat itu dan diabadikan didalam firman Allah swt :
لَقَدْ رَضِيَ اللَّهُ عَنِ الْمُؤْمِنِينَ إِذْ يُبَايِعُونَكَ
تَحْتَ الشَّجَرَةِ فَعَلِمَ مَا فِي قُلُوبِهِمْ فَأَنْزَلَ السَّكِينَةَ
عَلَيْهِمْ وَأَثَابَهُمْ فَتْحًا قَرِيبًا (18)
“Sesungguhnya
Allah telah ridha terhadap orang-orang mu'min ketika mereka berjanji setia
kepadamu di bawah pohon, maka Allah mengetahui apa yang ada dalam hati mereka
lalu menurunkan ketenangan atas mereka dengan memberi balasan kepada mereka dengan
kemenangan yang dekat (waktunya).”. (QS Al-Fath,[48] : 18)
Umar
bin Khatthab sangat marah, karena dia tahu secara pasti bahwa pohon tempat
mereka berkumpul tersebut adalah bukan pohon Ridhwan yang sebenarnya dan
tidak seorang pun yang mengetahui posisi pohon tersebut secara persis, apalagi
sampai menentukan pohon yang asli, tentu sangat mustahil. Demikian pula para
pelaku sejarah yang secara langsung menyaksikan dan berbai’at di bawah pohon
tersebut, mereka sama sekali tidak lagi mengetahui letak pohon secara pasti.
Karena itu, bagaimana mungkin orang-orang yang bukan pelaku sejarah dapat
mengetahuinya? Dan bagaimana mungkin mereka bisa menjelaskan bahwa pohon itulah
yang pernah dipakai Rasulullah saw membi’at para sahabat?!
Dalam
sebuah riwayat yang diketengahkan oleh Imam Bukhary dan Muslim dijelaskan bahwa
Ibnu Umar pernah mendatangi tempat terjadinya peristiwa pengucapan Bai’aturridhwan
setelah peristiwa itu berlangsung satu tahun. Kemudian dia membicarakan posisi
dan letak pohon tersebut dengan sahabat yang lain, namun setelah berusaha
mencari dan mengingat-ingat kembali, mereka berdua tidak berhasil menemukannya.
Dituturkan
dalam suatu riwayat, bahwa Al-Musayyab, ayahnya Sa’id bin Musayyab, mengatakan
: “Aku telah menyaksikan secara langsung dan ikut berbai’at di bawah pohon
ridhwan, tetapi setelah itu aku lupa di mana letak pohon tersebut dan aku
tidak tahu lagi di mana letaknya yang persis”.
Thariq
bin Abdurrahman berkata : “Aku berangkat melakukan ibadah haji dan aku melewati
sekelompok orang yang melakukan shalat di suatu tempat, lalu aku bertanya
kepada mereka: ‘Apakah tempat itu sebuah masjid?’. Mereka menjelaskan,
bahwa tempat itu adalah letak sebuah pohon Ridhwan yang pernah dipakai
Rasulullah saw menerima sumpah setia atau bai’atur-ridhwan.
Kemudian aku mendatangi Sa’id bin Al-Musayyab untuk menceritakan apa yang baru
saja aku saksikan dan meminta kepadanya penjelasan tentang peristiwa Ba’iat
tersebut. Sa’id mengatakan kepadaku: ‘Ayahku pernah bercerita kepadaku,
bahwa dia termasuk salah satu dari pelaku sejarahnya yang secara langsung ikut
mengucapkan sumpah setia itu di bawah pohon Ridhwan. Setelah tahun berganti, ia
lupa di mana persisnya letak pohon tersebut. Sekarang kamu datang kepadaku
sambil memberitahukan letak pohon tersebut. Hal ini berarti bahwa kamu lebih
mengetahuinya (daripada ayahku yang sekaligus menjadi pelaku sejarahnya)’.
(Baca kitab Shahih Al-Bukhary pada bagian Kitabul Maghazy, didalam
bab Ghazwah al-Hudaibiyah; dan kitab Shahih Muslim pada
bagian Kitabul Imarah, didalam bab Istihbab Mutabi’atil Imam).
Maksud
hadis di atas adalah bahwa dua orang tidak bersepakat paham dalam menentukan
letak Pohon Ridhwan secara persis, padahal keduanya sama-sama menjadi
pelaku sejarahnya, sama-sama berada pada tahun berikutnya dan masih dalam satu
periode. Sementara itu, para pelaku sejarah Bai’aturridhwan banyak yang
masih hidup dan masih bisa dihubungi untuk dikonfirmasi. Sekarang, bagaimana
pendapat Anda, seandainya ada orang yang hidup di masa kekhalifahan Umar bin
Khatthab ra, yang lebih dari sepuluh tahun dari peristiwa tersebut justru lebih
mengetahui letak pohon tersebut secara repat?!
Mengenai
diri Umar bin Khatthab ra, sebenarnya tidak masuk akal jika dikatakan bahwa dia
memotong pohon tersebut dengan tujuan agar orang-orang tidak bertabarruk dengan
pohon tersebut, atau dia tidak tahu menahu soal peristiwa tersebut. Pemahaman
seperti itu sebenarnya tidak pernah terbersit sedikit pun didalam pikiran Umar
dan dia tidak pernah memerintahkan orang untuk memotong pohon tersebut, karena
dia bukanlah orang yang bertipe anti tabarruk. Bahkan dia selalu mencari
keberkahan dari petilasan dan bekas peninggalan Rasulullah saw dan sejenisnya,
sebagaimana permintaannya kepada Abu Bakar mengenai senjata bayonet yang pernah
dipegang atau dikuasai oleh beliau saw yang dipinjamnya dari Zubair bin Awwam,
juga usahanya memelihara cincin stempel perak dari coin mata uang milik beliau
saw, dan beberapa contoh lainnya.
KEPEDULIAN
TERHADAP SANDAL RASULULLAH SAW
Di
antara bekas peninggalan sejarah yang mendapatkan perhatian cukup besar di
kalangan para cendekiawan muslim, para pakar dan ulama adalah Sandal atau Terompah Rasulullah saw. Bahkan
hal ini menjadi bahan penelitian dalam menentukan sifat-sifatnya, bentuk dan
modelnya, serta ukuran dan warnanya. Mereka melakukan kajian secara mendalam
yang hasilnya kemudian mereka bukukan didalam sebuah risalah tersendiri. Maksud
dan tujuan kajian mereka bukan semata-mata pada bentuk fisik sandal tersebut,
akan tetapi lebih diarahkan pada pemiliknya, yakni Rasulullah saw.
Apabila
kita sangat peduli terhadap bekas peninggalan para tokoh sejarah, misalnya baju
atau pakaian yang pernah mereka pakai dan peralatan-peralatan mereka, lalu
barang itu bisa kita peroleh dengan harga yang sangat mahal ataupun murah,
kemudian kita dirikan sebuah musium khusus yang mengoleksi benda-benda
tersebut, lantas kita undang para pakar yang ahli di bidang kepurbakalaan.
Sekiranya hal itu kita lakukan dengan mengorbankan jiwa raga dan harta demi
tujuan tersebut, tentu pengorbanan itu tidak ada artinya sama sekali jika
dibandingkan dengan pentingnya usaha memelihara kelestarian benda purbakala
tersebut, khususnya benda bekas peninggalan Rasulullah saw. Karena hal ini
sangat besar manfaatnya di masa depan bagi generasi yang akan datang.
==============================================
*)
Sumber : Diambil dari salah satu bagian dari kitab :
|
|
Judul
Asli
|
:
مفـاهـيم يجب أن تـصحح
|
Penulis
|
:
Prof. DR. Sayyid Muhammad Alawi Al-Maliki
|
Alih
Bahasa
|
:
Achmad Suchaimi
|
Judul
Terjemahan
|
:
Pemahaman Yang Perlu Diluruskan (PYPD)
|