Kamis, 18 Juli 2013

PYPD - 31. NABI SAW BERSABDA : "JANGAN KAU KULTUSKAN AKU" *)



Oleh Sayyid Muhammad Alawi Al-Maliki


Rasulullah saw bersabda :

لاَ تُـطْـرُونِـيْ كَـمَا أطْـرَتْ النّـصَارَى عِـيْسَى ابْنَ مَـرْيَـمَ
Jangan kau kultuskan aku, sebagaimana yang pernah dilakukan oleh kaum nasrani kepada Nabi Isa bin Maryam”

Sebagian orang memahami sabda Rasulullah saw di atas sebagai bentuk larangan untuk memuji, memuliakan dan menyanjung Rasulullah saw. Penghormatan seperti itu mereka anggap sebagai wujud pengkultusan, pendewa-dewaan atau penyanjungan secara berlebihan, yang dapat menyebabkan pelakunya terjerumus kedalam jurang  kesyirikan. Demikian pula sikap meninggikan, mengagungkan dan memberi sifat kepada Rasulullah saw dengan sifat-sifat istimewa melebihi yang lain, mereka anggap sebagai perbuatan Bid’ah dan menyalahi Sunnah Nabi.

Pemahaman semacam itu tidak proporsional dan tidak sepantasnya mereka lakukan, bahkan menunjukkan kekerdilan pandangan mereka. Karena yang dilarang Rasulullah saw didalam sabdanya di atas adalah pengkultusan dan pendewa-dewaan seperti yang dilakukan kaum Nasrani kepada Nabi Isa bin Maryam, yakni mengkultuskannya sebagai Putra Allah. Dengan kata lain, orang yang mengkultuskan Rasulullah saw dan memberinya dengan sifat-sifat tertentu sama seperti yang dilakukan kaum Nasrani kepada Nabi Isa as, berarti ia sama dengan mereka. Sikap dan tindakan itulah yang sebenarnya dilarang Rasulullah saw.

 Mengenai orang yang memuji, menyanjung dan memberi sifat-sifat yang tidak keluar dari hakekat kemanussian kepada Rasulullah saw, disertai dengan suatu keyakinan bahwa beliau adalah seorang hamba dan utusan Allah swt, serta jauh dari pemahaman akidah kaum Nasrani, maka hal semacam itu boleh-boleh saja dilakukan, dan bahkan menunjukkan  kesempurnaan ketauhidannya.

Allah swt menyatakan sanjungan-Nya kepada Rasulullah saw :

وَإِنَّكَ لَعَلى خُلُقٍ عَظِيمٍ(4)
Dan sesungguhnya kamu benar-benar berbudi pekerti yang agung.” (QS Al-Qalam,[68] : 4)

Allah swt memerintahkan agar bersikap sopan kepada Rasulullah saw sewaktu berbicara dan menjawan pertanyaannya :

(1)يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا لَا تَرْفَعُوا أَصْوَاتَكُمْ فَوْقَ صَوْتِ النَّبِيِّ وَلَا تَجْهَرُوا لَهُ بِالْقَوْلِ كَجَهْرِ بَعْضِكُمْ لِبَعْضٍ أَنْ تَحْبَطَ أَعْمَالُكُمْ وَأَنْتُمْ لَا تَشْعُرُونَ(2)

Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu meninggikan suaramu lebih dari suara Nabi, dan janganlah kamu berkata kepadanya dengan suara keras sebagaimana kerasnya (suara) sebahagian kamu terhadap sebahagian yang lain, supaya tidak hapus (pahala) amalanmu sedangkan kamu tidak menyadari.” (QS Al-Hujurat [  ]: 2)

Allah swt melarang kita memperlakukan Rasulullah saw seperti layaknya memperlakukan seorang teman, atau memanggilnya seperti layaknya memanggil sesama teman :

لَا تَجْعَلُوا دُعَاءَ الرَّسُولِ بَيْنَكُمْ كَدُعَاءِ بَعْضِكُمْ بَعْضًا

“Janganlah kamu jadikan panggilan Rasul di antara kamu seperti panggilan sebahagian kamu kepada sebahagian (yang lain)” (QS An-Nur,[24] : 63).

Para sahabat sangat memuliakan dan memuji Rasulullah saw sebagaimana yang mereka nyatakan didalam bait-bait syairnya, misalnya yang dilakukan oleh Hissan bin Tsabit, Shafiyyah binti Abdulmutthalib, Ka’ab bin Zuhair, dan lain-lain. Bahkan Rasulullah saw sendiri pun pernah memuji dirinya dalam beberapa sabdanya, seperti :

أنَـا خَـيْرُ أصْحَابِ الـيَمِـيْنِ
“Aku adalah sebaik-baik golongan kanan”

أنَـا خَـيْرُ السَّـا بِـقِيْنَ
“Aku adalah sebaik-baik orang yang terdahulu (masuk surga)”.

أنَا أتْـقَى وَلَدِ أدَمَ وَ أكْـرَمُهُمْ عَلَى اللّـهِ, وَ لاَ فَخْـرَ
“Aku adalah orang yang paling bertakwa dari sekalian manusia dan paling mulia di antara mereka di sisi Allah swt. Tiada kebanggaan sedikit pun” (HR At-Thabrany dan Al-Baihaqy)

أنَـا أكْـرَمُ الاَوَّلِـيْنَ وَ الآخِـرِيْنَ وَ لاَ فَـخْرَ
Aku adalah yang termulia dari sekalian orang-orang terdahulu dan yang terkemudian. Tiada kebanggaan sedikit pun” (HR At-Thabrany dan Ad-Darimy).

Malaikat Jibril pernah mengatakan: “Selama bolak balik berkeliling dunia, mulai dari ujung timur sampai ujung barat, aku belum pernah melihat seseorang yang lebih mulia melebihi kemuliaan Muhammad dan belum pernah melihat anak keturunan seorang manusia yang lebih utama melebihi keturunan Bani Hasyim”. (HR Al-Baihaqy dan Abu Na’im, dari Aisyah)

 Dalam riwayat Abu Sa’id dituturkan, bahwa Rasulullah saw pernah bersabda : “Aku adalah Sayyid (junjungan, pemuka) anak keturunan Adam pada hari kiamat nanti. Dan di tanganku lah panji pujian. Ini bukan kebanggaan. Tiada seorang Nabi pun, melainkan mereka berada didalam panjiku. Akulah orang yang pertama kali menghirup udara bumi”.

Rasulullah saw bersabda : “Aku adalah orang yang paling mulia dari sekalian manusia di hadapan Allah swt. Seribu pelayan mengelilingiku. Mereka bagaikan mutiara yang berserakan”. (HR At-Tirmidzy dan Ad-Darimy).



_________________________________________________



*) Sumber : Diambil dari salah satu bagian dari kitab :
Judul Asli
: مفـاهـيم يجب أن تـصحح
Penulis
: Prof. DR. Sayyid Muhammad Alawi Al-Maliki
Alih Bahasa
: Achmad Suchaimi
Judul Terjemahan
: Pemahaman Yang Perlu Diluruskan (PYPD)






PYPD - 26. Pandangan Para Ulama Tentang Keistimewaan Nabi Muhammad SAW. *)



Oleh Sayyid Muhammad Alawi Al-Maliki




Para ulama menaruh perhatian yang cukup besar terhadap kekhususan, keistimewaan dan kemukjizatan Nabi Muhammad saw dalam beberapa tulisan, komentar dan kajian mereka. Kitab yang terkenal dan terlengkap mengenai persoalan ini adalah yang ditulis oleh imam Jalaluddin as-Suyuthy, berjudul Al-Khashaish al-Kubra.
Nabi Muhammad saw memiliki kekhususan dan keistimewaan yang cukup banyak. Sandaran pengambilannya pun beragam. Ada yang shahih dan ada yang tidak, bahkan ada yang masih diperselisihkan keabsahannya di kalangan para ulama. Di antara mereka ada memandangnya shahih dan ada yang memandangnya masih diperselisihkan, sehingga menjadi persoalan khilafiyah.
Pembahasan ini sekitar pandangan para ulama jaman dahulu mengenai soal benar-salahnya dan sah-batalnya, bukan soal kufur tidaknya. Mereka berselisih tentang sebagian besar Hadis Nabi yang menjelaskan masalah kekhususan dan keistimewaan yang dimiliki Nabi Muhammad saw. Sebagian mereka membantah dan menolak sebagian ulama lain dalam masalah shahih dan dha’ifnya suatu hadis. Penolakan mereka didasarkan atas hasil kajian mereka terhadap sanad dan status para perawinya. Di antara mereka ada yang menshahihkan hadis yang dha’if dan mendha’ifkan hadis yang shahih; menetapkan hadis yang mardud (seharusnya ditolak) dan memardudkan yang sudah ditetapkan, disertai dengan berbagai alasan, penakwilan dan lain-lain, melalui metode pembahasan yang mereka tetapkan. Hal itu terjadi disebabkan adanya ketidaksamaan visi, pandangan dan kemampuan dalam menangkap pemahaman makna yang terkandung, dan dalam keluasan ilmu mereka.
Para ulama cukup toleran dalam mengutip dan menerjemahkan keistimewaan Nabi Muhammad saw, lalu memandangnya masuk kedalam kategori Fadhailul A’mal (keutamaan amal) dan tidak ada kaitannya dengan persoalan halal-haramnya. Atas dasar ini, mereka menyusun dan merumuskan kaidah-kaidah yang berkaitan dengan pengamalan Hadis-hadis Dha’if dalam persoalan Fadhailul A’mal, selama hadis tersebut tidak bernilai “Maudhu’” (hadis palsu) dan “Batil” dengan syarat-syarat yang mu’tabar (terkenal, absah), sesuai dengan yang mereka tentukan.
Jika kita tengok kitab-kitab susunan para ulama Salaf, tentu kita akan menemukan sebagian besar diantara mereka, khususnya para fuqaha’ (ahli fiqh), telah menyebutkan kedalam kitab-kitab mereka sejumlah keistimewaan  Rasulullah saw. Semuanya mereka susun dan mereka nukil berdasarkan kaidah-kaidah serta prinsip-prinsip tertentu yang mereka tetapkan.


Pandangan Ibnu Taimiyah

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah terkenal sebagai seorang ulama yang sangat teguh, kuat dan keras pendiriannya. Beliau menukil beberapa keistimewaan Rasulullah saw dalam beberapa kitab karangannya, yang sanad-nya terkadang kurang shahih, namun kemudian ia jadikan sebagai dalil pada sebagian besar persoalan, lalu ia simpulkan dan ia ambil suatu I’tibar (pelajaran), sambil menyandarkannya pada penjelasan hadis, atau ia melakukan interpretasi terhadap hadis tersebut. Misalnya didalam kitabnya, Al-Fatawa al-Kubra, disebutkan sebuah hadis yang menjelaskan tentang dituliskannya nama “Muhammad” di atas tiang penyangga ‘Arasy,  di atas pintu-pintu, kubah-kubah, ruangan dan dedaunan di sorga. Di samping juga diriwayatkan sejumlah Atsar  yang isinya sesuai dan mendukung isi kandungan hadis yang sebenarnya merupakan jawaban Rasulullah saw atas pertanyaan sahabat Maisarah ra : ”Sejak kapan engkau menjadi Nabi?” Beliau mejawab, “Sejak Nabi Adam masih berwujud antara ruh dan jasad”.
Abul Husain bin Busyran meriwayatkan hadis melalui syaikh Abul Faraj Ibnul Jauzy didalam kitab Al-Wafa bi Fadhailul Musthafa saw : Telah bercerita kepada kami Abu Ja’far Muhammad bin Amr, dari Ahmad bin Ishaq, dari Muhammad shalih, dari Muhammad bin Sinan al-Aufy, dari Ibrahim bin Thahman, dari Yazid bin Maisarah, dari Abdullah bin Sufyan, dari Maisarah ra, bahwa dia berkata: “Ya Rasulullah saw ! Sejak kapan engkau menjadi Nabi?”. Beliau menjawab: “Setelah menciptakan bumi, Allah swt menuju ke langit lalu menjadikannya tujuh lapis. Kemudian Dia menciptakan ‘Arasy. Di atas tiang penyangga ‘arsy itu dituliskan kalimat : Muhammadurrasulullah, penutup para Nabi. Selanjutnya Dia menciptakan surga tempat tinggal Nabi Adam dan Hawa’, dan di sana dituliskan namaku di atas pintu-pintu, dedaunan, kubah, kamar, dan bangunan istananya. Sementara saat itu Nabi Adam baru berwujud antara Ruh dan Jasad. Sewaktu Dia menghidupkannya, Nabi Adam memandang ke ‘arasy dan dilihatnya namaku tertulis di sana. Allah swt memberitahukan kepadanya bahwa Muhammad adalah penghulu anak keturunannya. Sewaktu syetan berhasil mengoda, memperdayai dan membujuk Nabi Adam dan Hawa’, mereka berdua lalu bertaubat dan meminta syafaat kepada Allah swt dengan perantaraan namaku”. (Al-Fatawa Al-Kubra, juz 2; hal. 151).

Pandangan Ibnu Taimiyah tentang Karamah. Dilihat dari segi hukumnya, antara keistimewaan atau Mukjizat yang dimiliki Rasulullah saw dan para Nabi pada umumnya dengan keistimewaan para auliya’, sebenarnya adalah sejenis. Hanya saja bahwa keistimewaan yang dimiliki para Nabi disebut Mukjizat, sementara yang dimiliki para auliya’ disebut Karamah.
Pandangannya tentang Karamah-nya para auliya’ sama dengan pandangannya tentang Mukjizat-nya para Nabi. Didalam beberapa kitabnya, dia mengutip sejumlah Karamah atau Khawariqul ‘Adah (kejadian luar biasa, diluar kemampuan manuia pada umumnya) yang pernah terjadi para awal-awal periode Islam. Bila hal ini kita kaji dari sudut derajat, sanad dan metode penetapan sebuah riwayat, tantu akan kita temukan status dari riwayat tersebut, yakni ada yang berstatus shahih, dha’if, maqbul (diterima), mardud (ditolak), munkar, dan ada yang Syadz.
Berikut ini adalah beberapa contoh Karamah dan Khawariqul ‘adah yang pernah dialami oleh sebagian sahabat Nabi, yang pernah dijelaskan oleh Ibnu Taimiyah didalam beberapa kitabnya. Semuanya dapat diterima (Maqbul), bahkan sering kali dinukil oleh para ulama.

1). Ummul Aiman ra. Pada waktu berangkat hijrah ke Madinah, ia tidak membawa bekal makanan dan minuman sedikit pun. Ia hampir saja mati kehausan di tengah perjalanannya, sementara ia harus meneruskan puasanya. Pada saat fajar tiba, ia mendengar suara sayup-sayup dari atas kepalanya, terus saja ia angkat wajahnya ke langit, tiba-tiba dilihatnya sebuah ember berisi air menggantung di atasnya. Kemudian ia ambil ember tersebut dan ia minum airnya sampai kenyang. Sejak saat itu ia tidak pernah merasakan haus sepanjang hidupnya.

2). Al-Barra’ bin Malik ra. Bila sudah menyatakan sumpah atas nama Allah swt, ia akan menepati dan melaksanakan sumpahnya itu. Pada suatu pertempuran jihad yang sangat menyudutkan posisi tentara Islam, mereka berseru: “Hai Barra’! Bersumpahlah kepada Tuhanmu!”. Kemudian ia bersumpah: “Ya Allah! Aku bersumpah kepada-Mu untuk mengalahkan musuh-musuhku”.  Setelah itu ia konsisten dengan sumpahnya, ia wujudkan sumpahnya itu untuk menumpas  para musuh dengan gagah beraninya, sampai tentara musuh dapat dikalahkan. Pada kesempatan yang lain, ia mengikuti pertempuran Kadisia dan saat itu pula ia bersumpah: “Aku bersumpah kepada-Mu, Ya Allah, untuk mengalahkan mereka. Dan aku memohon kiranya Engkau mematikan aku dalam keadaan mati Syahid  yang sebaik-baiknya”. Sumpahnya itu menjadi kenyataan, di mana tentara Persia dapat dikalahkan kaum muslimin dan dia sendiri gugur di medang perang tersebut sebagai Syuhada’.

3). Khalid bin Walid ra. Dalam suatu pertempuran, ia pernah mengepung tentara musuh dengan sangat ketatnya, sehingga mereka mengatakan: “Hai Khalid, kami tidak akan menyerah sebelum kamu meminum racun ini!”. Selanjutnya ia turuti kehendak musuh tersebut dengan meminum racun, namun ia tidak apa-apa.

4). Umar bin Khatthab ra. Ia pernah mengirim pasukan perang ke kota Nahawand Persia dibawah pimpinan Sariyah bin Zanin al-Khulaji, dalam rangka membabantu pasukan Islam yang lebih dahulu sudah ada di sana, untuk berperang melawan tentara Persia. Sementara itu posisi Umar di Madinah. Pada saat tengah berkhutbah, tiba-tiba ia berteriak keras memanggil pasukannya: “Hai Sariyah! Naiklah ke atas gunung. Hai Sariyah! Naiklah ke gunung”. Nampaknya ia melihat jalannya pertempuran yang terjadi di Persia tersebut dengan jelas, dari jarak yang cukup jauh, yakni Madinah. Setelah pertempuran berakhir, seorang utusan tentara menemui Umar seraya menceritakan peristiwa ajaib yang mereka alami, “Wahai Amirul Mukminin! Kami menghadapi musuh yang sangat kuat. Kami sempat terdesak mundur, tiba-tiba kami mendengar teriakan engkau: “Hai Sariyah! Naiklah ke atas gunung!”, maka kami pun mundur dan naik ke atas gunung, sehingga berkat bantuan Allah swt, kami dapat mengalahkan mereka”.

5). Al-‘Ala’ al-Hadhramy ra. Ia seorang sahabat Nabi yang ditugasi Rasulullah saw menarik zakat mal di negeri Bahrain. Ia terkenal sangat makbul doanya dan lafazh doa yang biasa ia ucapkan berbunyi: “YaAlim, Ya Halim, Ya ‘Aliyyu, Ya ‘Azhiim…” (Wahai Allah Yang Maha Mengetahui, Maha Pemurah, Maha Tinggi, Maha Agung …), sehingga apa aja yang ia kehendaki terkabul. Dia pernah berdoa di tengah masyarakat yang sedang tertimpa musim kemarau panjang dan krisis pangan, sehingga sulit sekali menemukan air minum. Dia berdoa agar diturunkan hujan dari langit, agar masyarakat bisa minum dan berwudhu, maka tidak lama kemudian,  turunlah hujan dengan sangat derasnya. Pada kesempatan lain, ia berjalan memimpin pasukan berkuda kaum muslimin menuju ke suatu tempat, namun terhalang lautan, lalu ia berdoa agar bisa menyeberanginya tanpa mengalami kesulitan. Doanya terkabul dan ia bersama kaum muslimin dapat berjalan di atas air lautan tanpa membasahi pelana kudanya. Dia juga pernah berdoa, jika suatu ketika ia meninggal dunia, hendaklah jasadnya musnah (Moksa) dan tidak dapat dilihat orang. Ternyata doanya terkabul, semua orang benar-benar tidak menemukan jasadnya di liang kuburnya saat liang kuburnya digali kembali.

6). Abu Muslim al-Khaulany. Dia pernah dilemparkan oleh Al-Aswad al-Ansy (salah seorang nabi palsu) ke tengah api unggun disebabkan ia menolak murtad dari agama Islam, namun tidak merasakan panas sedikit pun, bahkan ia merasa dingin dan sempat melakukan shalat di tengah api tersebut. Setelah wafatnya Rasulullah saw, ia berkunjung ke kota Madinah dan disambut dengan penuh kehormatan. Sahabat Umar bin Khatthab mendudukkannya di tempat duduk di antara dia dan khalifah Abu Bakar as-Shiddiq, seraya berkata, “Alhamdulillah! Segala puji bagi Allah swt yang tidak mematikan aku sampai aku sempat melihat salah seorang umat Muhammad yang melakukan sesuatu sebagaimana yang pernah dilakukan oleh Nabi Ibrahim”. Karamahnya yang lain, ia pernah memakan makanan yang diberi racun oleh seorang jariyah yang membencinya, namun ia tidak apa-apa. Dia juga pernah ditipu oleh isterinya sendiri, kemudian ia berdoa memasrahkan perbuatan isterinya itu kepada Allah swt dan tidak berapa lama, mata isterinya menjadi buta. Setelah isterinya meminta maaf dan bertaubat, lalu ia berdoa agar isterinya disembuhkan dari kebutaan dan doanya terkabul, sehingga isterinya dapat melihat kembali seperti semula.

7). Sa’id Ibn al-Musayyab. Pada suatu hari di musim panas, ia pernah mendengar suara adzan yang datang dari arah dalam makam Rasulullah saw setiap kali masuk waktu shalat. Padahal tidak ada satu pun orang di didalam masjid Nabawi, selain dirinya seorang. 
Dan masih banyak lagi kisah-kisah Karamah kaum shalaf pada awal periode Islam. (Al-Fatawa al-Kubra, juz 11; hal. 281).



Pandangan Penulis kitab Kasy-syaful Qana’

Al-‘Alim al-‘Allamah syaikh Manshur bin Yunus al-Bahuty didalam kitabnya, Kasy-syaful Qana’, menyebutkan sejumlah kekhususan, keistimewaan atau mukjizat Rasulullah saw. Tidak sedikit dari orang-orang yang pendek akalnya memandang hal ini sangat aneh dan tidak masuk akal. Di antara keistimewaan beliau saw sebagai berikut:

1). Kesuian air seni dan darah Rasulullah saw. Barang najis bagi kita merupakan sesuatu yang suci bagi Rasulullah saw dan sekalian para Nabi as. Sehingga  tidak sedikit para sahabat yang pernah meminum air seni dan darah beliau saw.
Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan imam Ad-Daruquthny dikisahkan, bahwa Ummu Aiman ra pernah meminum air seni Rasulullah saw, lalu beliau bersabda kepadanya, “Kalau begitu, perutmu tidak akan tersentuh api neraka”.  Hanya saja hadis ini dha’if.
Ibnu Hibban meriwayatkan sebuah hadis, bahwa ada seorang budak lelaki yang membekam (hijamah, menyedot dan mengeluarkan darah kotor) Rasulullah saw. Setelah selesai, ia minum darah bekaman tersebut. Beliau bersabda kepadanya, “Celaka kamu ini, apakah kamu minum darah tadi?”. Benar Ya Rasulullah saw! Aku telan kedalam perutku”, jawabanya. Beliau bersabda lagi, “Pergilah! Kamu akan terpelihara dari api neraka”.

2). Tidak meninggalkan bayangan tubuh. Rasulullah saw tidak meninggalkan bayangan dari tubuhnya sewaktu terkena sorot sinar matahari dan bulan. Karena beliau saw adalah “Nuraniy” (serba cahaya), sementara “bayangan” adalah wujud dari kegelapan. Ibnu Aqil dan yang lain berargumentasi, bahwa hal ini terjadi disebabkan beliau saw senantiasa berdoa agar seluruh bagian tubuhnya dan segala arahnya bercahaya. Di ujung Doanya berbunyi :  وَ اجْـعَـلْـنِيْ  نُوْراً (Dan jadikanlah diriku bercahaya).

3). Mendapatkan kedudukan yang mulia. Rasulullah saw mendapatkan posisi “Maqam Mahmudah” (kedudukan yang mulia).  Maksudnya, beliau saw berposisi duduk di atas ‘Arasy. Abdullah bin Salam mengatakan, bahwa beliau saw duduk di atas Kursy ketuhanan. Demikian pula yang dikatakan oleh Al-Baghawy.

4). Rasulullah saw tidak pernah menguap.

5). Semua amal perbuatan manusia diperlihatkan kepada Rasulullah saw . Seluruh manusia sejak jaman Nabi Adam sampai hari kiamat, diperlihatkan Allah swt kepada Rasulullah saw, sama seperti pengetahuan Nabi Adam as terhadap semua nama dari segala sesuatu yang ada jagad raya. Ad-Dailamy meriwayatkan sebuah hadis, bahwa Rasulullah saw pernah bersabda, “Dunia ini digambarkan Allah swt kepadaku dalam bentuk air dan tanah, sehingga menjadilah aku mengetahui segala sesuatu yang ada didalamnya”.
 Ath-Thabrany meriwayatkan hadis: “Telah diperlihatkan Allah swt kepadaku tentang keadaan umatku kemarin di depan kamarku ini, mulai dari awal sampai yang terakhir. Mereka digambarkan kepadaku seperti air dan tanah, sehingga aku mengenal mereka satu persatu sebagaimana pengenalanku kepada sahabat dekatku”.
Sementara itu, imam Ahmad dan para imam hadis lainnya meriwayatkan hadis: “Aku melihat peristiwa-peristiwa yang akan menimpa pada umatku sepeninggalku nanti, bahwa sebagian mereka menumpahkan darah sebagian yang lain”.

6). Menziarahi makam Rasulullah saw disunnahkan bagi kaum lelaki maupun perempuan berdasarkan keumuman lafazh dari sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Ad-Daruquthny, dari jalan Ibnu Umar ra: “Barangsiapa yang berhajji, lalu ia menziarahi makamku setelah wafatku, seakan-akan ia mengunjungiku sewaktu aku masih hidup”.        
Demikianlah beberapa keistimewaan dan kekhususan Rasulullah saw yang disebutkan didalam kitab Kasy-syaf al-Qana’, juz 5; hal. 30, yang diterbitkan disebarluaskan atas perintah Raja Faishal bin Abdul Aziz.



=============================
 *) Sumber : diterjemahkan dari kitab "مفاهيم يجب ان تصحح", karya DR. Sayyid Muhammad Alawi Abbas Al-Maliki



PYPD - 30. KEUTAMAAN MALAM MAULID NABI MUHAMMAD SAW *)




Oleh Sayyid Muhammad Alawi Al-Maliki



Beberapan ulama menjelaskan di tengah pembahasannya mengenai kekhususan dan keistimewaan Rasulullah saw, bahwa malam Maulid Nabi saw lebih mulia daripada Lailatul Qadar (Malam Qadar). Mereka mencoba membandingkan kemuliaan kedua malam tersebut. Namun yang perlu kami tegaskan terlebih dahulu di sini adalah perlunya mengetahui definisi Malam Maulid.

Malam Maulid Nabi adalah suatu malam terjadinya kelahiran Nabi Muhammad saw, dalam pengertian yang sebenarnya, yang terjadi ratusan tahun yang lalu, tepatnya pada tahun 571 masehi, sebelum terjadinya Malam Qadar pada tahun 610 masehi. Jadi yang dimaksud dengan Malam Maulid Nabi bukanlah berarti “Malam Ulang Tahun Kelahiran Nabi saw” yang dirayakan sekali dalam setiap tahunnya. Kajian yang sebenarnya dari persoalan ini bukanlah dipandang dari sudut “banyaknya keutamaan dan faedahnya”, dan sekali-kali tidak menyangkut pertentangannya dengan prinsip Akidah.

Pada dasarnya kami meyakini adanya keutamaan didalam Malam Maulid Nabi dan Lailatul Qadar. Peristiwa Maulid Nabi (kelahiran Nabi saw) telah berlalu dan tidak akan berulang kembali. Sedangkan Lailatul Qadar tetap terwujud dan selalu hadir secara berulang-ulang sekali dalam setiap tahunnya. Oleh karena itu, Lailatul Qadar adalah malam yang paling utama dari sekalian malam yang lain, termasuk Malam Maulid Nabi itu sendiri.

Allah swt berfirman :

إِنَّا أَنْزَلْنَاهُ فِي لَيْلَةِ الْقَدْرِ(1)وَمَا أَدْرَاكَ مَا لَيْلَةُ الْقَدْرِ(2)لَيْلَةُ الْقَدْرِ خَيْرٌ مِنْ أَلْفِ شَهْرٍ(3)

Sesungguhnya Kami telah menurunkannya (Al Qur'an) pada malam kemuliaan. Dan tahukah kamu apakah malam kemuliaan itu? Malam kemuliaan itu lebih baik dari seribu bulan.” (QS Al-Qadar,[97] : 1-3)

Persoalan ini sangat ramai dibicarakan para ulama dan para pakar, termasuk dari kalangan para tokoh ulama salaf. Ibnu Taimiyah menitikberatkan pembahasannya pada perbandingan antara keutamaan  Lailatul Qadar dan malam Isra’ Mi’raj secara mendalam dan teliti, yang hal ini belum pernah dilakukan oleh para ulama jaman dahulu, baik di kalangan ulama salaf maupun ulama pada abad pertama hijriah, terutama oleh para sahabat, dan terlebih lagi oleh Rasulullah saw sendiri.

Orang-orang pernah bertanya kepada Ibnu Taimiyah : “ Sebagian ulama mengatakan bahwa Malam Isra’ Mi’raj lebih utama daripada Lailatul Qadar. Sementara sebagian yang lain mengatakan yang sebaliknya. Mana di antara dua pernyataan yang benar?”.

Jawaban Ibnu Taimiyah : “Alhamdulillah. Mengenai orang yang mengatakan bahwa Malam Isra’ Mi’raj lebih utama daripada Lailatul Qadar, dengan disertai suatu pemahaman agar malam yang lebih utama tersebut dapat dipergunakan semaksimal mungkin untuk beribadah, melakukan Qiyamul lail,  memperbanyak doa dan amal shaleh lainnya, maka pemahaman semacam itu adalah salah, batil, tidak benar sama sekali dan belum pernah diucapkan oleh seorang muslim pun, bahkan merupakan pemahaman yang dapat merusak ajaran Islam itu sendiri. Akan tetapi jika yang  mereka maksudkan dengan Malam Isra’ Mi’raj  adalah suatu malam di mana pada saat itu (tanggal 27 Rajab tahun kedua sebelum hijrah) Rasulullah saw di-Isra’-Mi’raj-kan, tanpa di sertai embel-embel perintah secara khusus agar mempergunakan malam tersebut untuk melakukan ibadah Qiyamul lail dan ibadah lainnya, maka pemahaman seperti inilah yang benar. (Lihat bagian pendahuluan kitab Zaadul Ma’ad, karya Ibnul Qayyim). 


_________________________________________________




*)  Sumber : Diambil dari salah satu bagian dari kitab :
Judul Asli
: مفـاهـيم يجب أن تـصحح
Penulis
: Prof. DR. Sayyid Muhammad Alawi Al-Maliki
Alih Bahasa
: Achmad Suchaimi
Judul Terjemahan
: Pemahaman Yang Perlu Diluruskan (PYPD)