Tampilkan postingan dengan label Sayyid Muhammad Alawi Al-Maliki. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Sayyid Muhammad Alawi Al-Maliki. Tampilkan semua postingan

Minggu, 21 Juli 2013

PYPD - 43. KAJIAN HADIS NABI TENTANG WISATA RELIGI "ZIARAH KUBUR"




 
Oleh Sayyid Muhammad Alawi Al-Maliki



Banyak sekali orang yang salah dalam memahami hadis Nabi :

لَا تُـشَدُّ الرِّحَالُ إِلَى الْـقـبْرِ إِلاّ إِلَى ثَلَاثَـةِ مَسَاجِدَ  : الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ وَ مَسْجِدِيْ هَـذَا وَ الْمَسْجِدِ اْلأَقْصَى

Janganlah bepergian jauh melainkan pergi menuju ketiga masjid, yakni Masjidil Haram, Masjidku ini, dan Masjidil Aqsha”.

Mereka menjadikan hadis tersebut sebagai alasan untuk mengingkari dan menolak keras setiap bepergian jauh dengan tujuan berziarah ke makam Rasulullah saw. Mereka beranggapan bahwa perjalanan jauh semacam itu merupakan perjalanan maksiat. Alasan tersebut sama sekali tidak benar, karena didasarkan atas landasan pemahaman yang tidak benar dan logika yang salah.

Sabda Rasulullah saw : لا تـشدّ الرحال إلاّ إلى ثلاثـة مساجد  (“Janganlah bepergian jauh melainkan pergi ke tiga masjid”) menggunakan Uslub atau struktur dan gaya bahasa yang dikenal dengan  "الإسـتـثناء"    ("Al-Istitsna’", Pengecualian). Struktur bahasa semacam ini memerlukan adanya : "الـمستـثـنى"  ("Al-Mus-tatsna", yang dikecualikan) dan "الـمستـثـنى منـه"  ("Al-Mus-tatsna Min-hu", dikecualikan darinya) . "Mus-tatsna" adalah kata atau lafazh yang terletak setelah lafazh  "إلاّ"  ("Illa", kecuali, melainkan). Sementara “Mus-tatsna min-hu” adalah kata yang terletak sebelum kata "إلاّ" . Baik “Mus-tatsna” maupun “Mus-tatsna min-hu”  itu terkadang bersifat "Wujud" (Ada secara lafzhiyah)  dan terkadang  bersifat "Taqdir" (Dikira-kirakan adanya. Secara lafzhiyah tidak ada, namun secara maknawiyah Ada). Pembahasan dari segi tata bahasa ini telah dibicarakan secara luas dan mendalam didalam kitab-kitab “Nahwu".
 Kalau kita perhatikan teks hadis di atas, kita akan menyimpulkan bahwa hadis itu secara jelas menyebutkan “Mus-tatsna”-nya, yakni kata " إلى ثلاثـة مسـاجد” (pergi ke tiga masjid) yang terletak setelah kata "إِلاَّ"   (melainkan). Dengan demikian “Mus-tatsna”-nya bersifat “Wujud” (ada, nampak dan dapat kita baca). Hanya saja “Mus-tatsna Min-hu”-nya, yang terletak sebelum kata "إِلاّ"  , tidak disebutkan. Dengan demikian “Mus-tatsna min-hu”-nya  bersifat “Taqdir” (diperkirakan wujudnya, secara lafzhiyah tidak tertulis, namun secara maknawiyah diperkirakan adanya).

Seandainya jika “Mus-tatsna Min-hu”-nya berupa kata : "إِلَى الْـقَـبْرِ”  (ke kuburan), maka hadis di atas akan berbunyi :

لَا تُـشَدُّ الرِّحَالُ إِلَى الْـقـبْرِ إِلاّ إِلَى ثَلَاثَـةِ مَسَاجِدَ  . . .

Janganlah bepergian ke kuburan melainkan pergi menuju ketiga masjid, …"

Dengan demikian, maka tidak ada kesesuaian hubungan pembicaraan antara “kuburan” dan “masjid”. Padahal yang namanya “Mus-tatsna” adalah merupakan bagian dari “Mus-tatsna Min-hu” . Hati para ulama terasa tidak tenang dan bahkan tidak terima jika pembicaraan ini dikaitkan dengan sabda Rasulullah saw. Para ulama tidak akan mengatakan, bahwa “Mus-tatsna Min-hu”-nya adalah berupa kata “menuju ke kuburan” disebabkan kata itu tidak layak berkedudukan sebagai “Mus-tatsna min-hu”. Bukankah antara “Mus-tatsna” dan “Mus-tatsna min-hu” itu harus sejenis?! Sementara kata “masjid” dan kata “kuburan” adalah tidak sejenis.

Atau seandainya jika “Mus-tatsna Min-hu”-nya berupa kata “tempat” (dalam pengertian yang sangat luas, bisa diartikan tempat perdagangan; tempat mencari ilmu seperti sekolah, pondok dan sejenisnya; tempat untuk melakukan kebaikan apa saja), maka pengertian hadis di atas  adalah : “Janganlah bepergian jauh menuju ke tempat (pasar, sekolah, pondok, majlis pengajian dan tempat kebaikan lainnya) … melainka pergi menuju tiga masjid, yakni …”. Ini pun juga merupakan pemahaman yang salah dan menyimpang.

Ringkas kata, hadis di atas menyebutkan “Mus-tatsna”-nya (kata : ke tiga masjid), akan tetapi tidak menyebutkan “Mus-tatsna min-hu”-nya, atau ia bersifat Taqdir (dikira-kirakan keberadaannya) yang menurut para ahli Nahwu (Tatabahasa Arab) ia tidak lepas dari salah satu di antara tiga segi / pengertian, yaitu bahwa “Mus-tatsna min-hu”-nya diperkirakan berupa kata :

Pertama : kata “Kuburan”, sehingga hadis tersebut akan memiliki pengertian : “Janganlah bepergian jauh ke kuburan, melainkan pergi menuju tiga masjid  yakni Masjidil Haram, Masjidku ini (Masjid Nabawy) dan Masjidil Aqsha”.  Perkiraan kata kuburan ini didasarkan atas pendapat segelintir orang yang memperalat hadis tersebut sebagai dalil untuk menolak, mengingkari dan melarang bepergian jauh dalam rangka berziarah kubur. Ini merupakan perkiraan orang-orang yang bodoh dan sekaligus menunjukkan ketidaktahuan mereka terhadap gaya bahasa arab. Bahkan orang yang tidak mengerti ilmu Nahwu dan gaya bahasa arab secara mendalam pun sebenarnya akan menolak pemahaman seperti itu. Pemahaman seperti itu tidak layak dinisbatkan dan dialamatkan sebagai sabda Rasulullah saw, bahkan mustahil beliau berbicara dengan Uslub atau gaya bahasa seperti itu.

Kedua :  Kata “Tempat” pada umumnya. Ini pun kurang benar dan tidak masuk akal, sehingga hadis di atas akan memiliki pengertian : “Janganlah bepergian jauh ke tempat perdagangan (pasar, mall, supermarket, dll); ke tempat mencari ilmu (sekolah, pondok, majlis taklim, seminar dll); ke tempat tertentu untuk melakukan kebaikan (seperti mengikuti rapat, ke kantor, kerja bakti, dll), kecuali pergi ke tiga masjid, yakni Masjidil Haram, Masjidku ini (Masjid Nabawy) dan Masjidil Aqsha”. Dan kenyataannya, tidak ada seorang pun yang berpendapat seperti itu.

Ketiga : berupa kata “Masjid”, sehingga pemahaman hadis di atas akan berbunyi : “Janganlah bepergian jauh menuju ke suatu Masjid melainkan menuju tiga masjid, yakni Masjidil Haram, Masjidku ini (Masjid Nabawy) dan Masjidil Aqsha”. Dengan pemahaman seperti ini maka kita akan menemukan kesesuaian dan keserasian makna dari suatu susunan kalimat, serta sesuai dengan gaya bahasa arab yang fashih.

Alhamdulillah. Kami menemukan beberapa Hadis Nabi lain yang dapat dijadikan sebagai “petunjuk” untuk mencari kata yang tepat bagi “Mus-tatsna min-hu” yang tidak disebutkan atau dibuang didalam hadis di muka. Di antaranya adalah :

1.   Hadis yang diketengahkan oleh Imam Ahmad bin Hambal, dari jalan Syahr bin Hausyab, bahwa dia berkata : “Aku mendengar Abu Sa’id, lalu aku tuturkan kepadanya mengenai shalat di atas bukit, kemudian dia mengemukakan sabda Rasulullah saw : ‘Tidak selayaknya seseorang bepergian jauh bertujuan sekedar mendatangi suatu masjid untuk melakukan shalat didalamnya, selain pergi ke Masjidil Haram, Masjidil Aqsha, dan Masjidku ini”.
Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-Asqalany mengatakan, bahwa hadis tersebut sudah tersebar luas di kalangan kaum muslimin dan dinilai Hasan (bagus), meskipun ada sedikit kelemahan. (Fathul Bary juz 3, hal. 65).

2. Hadis yang bersumber dari Aisyah ra, bahwa Rasulullah saw bersabda : “Aku adalah Khatamul anbiya’ (Penutup para Nabi), dan Masjidku ini adalah penutup masjid para Nabi. Masjid yang paling berhak diziarai dan dikunjungi dalam bepergian jauh adalah Masjidil Haram dan Masjidku ini (Masjid Nabawy di Madinah). Shalat di Masjidku ini lebih utama daripada seribu kali shalat di masjid-masjid selainnya, kecuali shalat di Masjidil Haram”.
Sabda Rasulullah saw di atas menjelaskan, bahwa semua masjid, kecuali tiga masjid (Masjidil Haram, Masjid Nabawi dan Masjidil Aqsha), yang tersebar di seluruh dunia ini memiliki nilai keutamaan yang relatif sama dan keutamaannya itu tidak saling melebihi antara satu dengan lainnya. Oleh karena itu, tidak ada gunanya bersusah payah melakukan berpegian jauh mendatangi salah satu masjid tersebut, kecuali mendatangi tiga masjid di atas. Karena ketiga Masjid tersebut memiliki nilai kautamaan lebih.

Sementara mengenai kuburan atau makam, adalah tidak masuk dalam pembicaraan hadis dari Aisyah ra di atas. Dengan demikian, menyisipkan kata “kuburan” kedalam pemahaman hadisnya Aisyah di atas adalah sama artinya dengan melakukan “kebohongan” terhadap diri Rasulullah saw.

Mengenai persoalan “Berziarah kubur”, khususnya menziarahi kuburan Rasulullah saw di Madinah, merupakan salah satu perbuatan yang diperintahkan agama. Bahkan sebagian besar para ulama telah membahasnya didalam kitab-kitab “Manasik Haji” , bahwa menziarahi makam Rasulullah saw adalah sunnah hukumnya. Pendapat ini didukung oleh hadis-hadis yang cukup banyak, di antaranya:

1). Hadis yang bersumber dari riwayat Ibnu Umar, bahwa Rasulullah saw bersabda : “Barangsiapa yang menziarahi makamku, maka aku akan berkewajiban memberinya syafaat”. (HR Al-Bazzar yang dikutip  oleh Ibnu Taimiyah dan dinilainya dha’if. Namun dia tidak menghukuminya sebagai hadis maudhu’ (hadis palsu atau karangan seeorang) dan bohong. (Al-Fatawa, juz 27, hal. 30).

2). Hadis dari Ibnu Umar, bahwa Rasulullah saw bersabda : “Barangsiapa yang datang mengunjungiku, dan dia tidak mengetahui maksud tujuannya selain niat menziarahiku, maka aku wajid memberikan syafaat kepadanya pada hari kiamat nanti”. (HR At-Thabrany yang disebutkan didalam kitabnya, Al-Ausath al-Kabir).
Didalam hadis di atas ada salah seorang perawi yang bernama  Maslamah bin Salim yang dinilai dha’if (“Majma’ az-Zawaid” juz 4, hal. 2). Sementara Al-Hafizh Al-‘Iraqy mengatakan, bahwa Ibnu as-Subky menilai hadis tersebut sebagai hadis shahih. (“Al-Mughny” juz 1, hal. 265).

3). Hadis dari Ibnu Umar lagi, bahwa Rasulullah saw bersabda : “Barangsiapa yang selesai menunaikan ibadah haji lalu pergi menziarahi makamku sepeninggalku nanti, maka ia bagaikan mengunjungiku sewaktu hidupku”. (HR At-Thabrany didalam kitab “Al-Kabir” dan kitab “Al-Ausath”. Didalamnya terdapat seorang Rawy bernama Hafazh bin Abu Dawud al-Qary yang dinilai Tsiqah oleh Imam Ahmad bin Hambal, namun dipandang dha’if oleh sebagian imam hadis yang lain.)

4). Hadis bersumber dari Ibnu Umar lagi, bahwa Rasulullah saw bersabda : “Barangsiapa yang menziarahi makamku setelah wafatku, maka dia bagaikan mengunjungiku sewaktu hidupku” (HR At-Thabrany didalam kitab “Ash-Shaghir” dan kitab “Al-Ausath”.).

Kesimpulannya. Hadis-hadis Nabi yang menjelaskan diperintahkannya berziarah kubur ke makam beliau saw di atas memiliki jalur sanad yang beragam. Sebagian hadis memperkuat sebagian yang lain, sebagaimana yang dikutip oleh Al-Manawy dari al-Hafizh Adz-Dzahaby didalam buku “Faidh al-Qadir” juz 6 pada halaman 140.  Sebagian ulama ada yang menilainya sebagai hadis-hadis shahih dan dinukil keshahihannya oleh para imam hadis yang terkenal, para penghafal hadis yang dapat dipercaya, seperti Imam As-Subky, Ibnu Sakan, Al-‘Iraqy, Al-Qadhy ‘Iyadh (didalam bukunya “Asy-Syifa), Mulla Aly Qariy, dan Al-Khafajy. (Lihat buku Nasim ar-Riyadh, juz 3, halaman 511).

Selain di atas, keempat Imam madzhab empat (Maliki, Hanafi, Syafi’i dan Hambali) dan para ulama besar lainnya berpendapat  tentang disyariatkannya menziarahi makam Rasulullah saw, sebagaimana yang dijelaskan didalam beberapa kitab Fiqih mereka yang Mu’tamad (dapat dipercaya dan layak dijadikan sebagai ‘pegangan’ atau sumber bacaan). Pendapat mereka ini sebenarnya sudah cukup dijadikan alasan tentang diperintahkannya menziarahi makam Rasulullah saw, sekaligus sebagai dalil untuk menerima hadis-hadis tentang ziarah kubur di atas. Meskipun hadis tersebut bernilai dha’if, akan tetapi hadis itu akan menjadi kuat disebabkan telah diamalkan oleh orang banyak dan didukung dengan Fatwa para Fuqaha’, sesuai dengan yang dijelaskan oleh  Kaidah-kaidah para ahli ushul fiqh dan hadis.



==============================================

*) Sumber : Diambil dari salah satu bagian dari kitab :
Judul Asli
: مفـاهـيم يجب أن تـصحح
Penulis
: Prof. DR. Sayyid Muhammad Alawi Al-Maliki
Alih Bahasa
: Achmad Suchaimi
Judul Terjemahan
: Pemahaman Yang Perlu Diluruskan (PYPD)

PYPD - 42. BEBERAPA KEKERAMATAN AHLI KUBUR SELAIN PARA NABI



Oleh Sayyid Muhammad Alawi Al-Maliki



Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab, seorang ulama besar sekaligus pendiri faham Wahhaby, meriwayatkan beberapa kekeramatan sebagian orang shaleh yang justru muncul setelah mereka wafat. Para perawinya tidak perlu diragukan ketsiqahannya, di mana mereka meriwayatkan dari orang yang dapat dipercaya dan menyaksikan secara langsung kekeramatan mereka dengan mata kepalanya sendiri.

 Berikut ini akan kami nukilkan sebagian dari isi karangan Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab yang berjudul “Ahkam Tamanni al-Mautyang dibukukan menjadi satu dengan beberapa Risalah dan karangannya yang lain, yang diterbitkan dan disebarluaskan oleh Universitas Islam al-Imam Muhammad bin Su’ud, Riyadh, Kerajaan Saudi Arabia.


SHALAT DIDALAM KUBUR

Imam Ahmad bin Hambal meriwayatkan dari Affan, dari Tsabit Al-Banani, bahwa dia pernah berdoa : “Ya Allah! Bila Engkau telah memberikan kemampuan kepada salah seorang di antara hamba-Mu untuk melakukan shalat didalam kuburnya, maka berikanlahlah kemampuan serupa untuk melakukan shalat kepadaku”.

Abu Na’Imam meriwayatkan kisah dari Jubair, dia berkata : “Demi Allah! Tiada tuhan selain Dia. Aku bersama-sama dengan Hamid at-Thawil pernah memasukkan jenazah Tsabit al-Banany kedalam liang kuburnya. Setelah kami timbun dan kami ratakan dengan tanah dan batu bata, kemudian timbunan itu ambrol ke bawah dan tiba-tiba aku melihat dia sedang melakukan shalat didalam kuburnya”.


BACAAN  AL-QUR’AN  TERDENGAR DARI DALAM KUBUR.

Imam Ahmad bin Hambal dan Ibnu Jarir meriwayatkan dari Ibrahim bin al-Mahlaby, dia bercerita : “Aku diberi tahu oleh orang-orang yang menyaksikan secara langsung suatu kejadian aneh di waktu malam menjelang subuh : “Kami melewati tanah pekuburan Tsabit Al-Banany dan kami mendengar suara bacaan Al-Qur’an dari dalam kuburnya”, cerita mereka”.

Imam At-Tirmidzy meriwayatkan hadis Hasan yang bersumber dari Ibnu Abbas ra, ia berkata : “Sebagian sahabat Nabi pernah memukulkan kulit gandum di atas suatu makam. Mereka tidak menyangka kalau tempat itu adalah sebuah makam. Saat itu pula tiba-tiba terdengar suara orang membaca Al-Qur’an’an surat Al-Mulk sampai selesai dari arah dalam kubur sahabat tersebut. Kemudian mereka segera memberitahukan kejadian yang baru mereka saksikan itu kepada Rasulullah saw. Beliau saw bersabda : “Surat Al-Mulk (yang dibacanya itu) adalah pencegah dan penyelamat, yang dapat menyelamatkan pembacanya dari siksa kubur”.

An-Nasaiy dan Al-Hakim meriwayatkan dari Aisyah ra, bahwa Rasulullah saw bersabda : “Aku tertidur dan di tengah tidurku aku melihat surga”. Sementara didalam teks An-Nasaiy yang lain berbunyi “Aku memasuki surga”. “…kemudian aku mendengar orang yang membaca Al-Qur’an. Aku bertanya kepada  orang-orang yang ada di situ : ‘Siapa orang yang membaca Al-Qur’an tadi?’. Mereka menjawab: ‘Dia adalah Haritsah bin An-Nu’man’”. Selanjutnya beliau saw berkomentar : “Demikianlah contoh orang yang berbakti kepada orang tuanya”. Dan kenyataannya memang demikian, bahwa Haritsah bin Nu’man terkenal sangat berbakti terutama kepada ibunya.

Ibnu Abid-Dunya mengetengahkan riwayat dari Al-Hasan, bahwa ia berkata : “Kami pernah mendengar cerita bahwa jika seorang mukmin yang tidak hafal Al-Qur’an telah wafat, dia akan diperintah untuk menghafalkannya (didalam kuburnya). Mereka (arwah orang-orang yang hafal Al-Qur’an) mengajarkan Al-Qur’an didalam kuburnya sampai dia dibangkitkan Allah swt pada hari kiamat bersama-sama dengan keluarganya”. 


AHLI KUBUR SALING BERKUNJUNG

Ibnu Abi Syaibah mengetengahkan riwayat dari Ibnu Sirin, dia menceritakan bahwa Rasulullah saw suka mengkafani mayit dengan sebaik-baiknya. Beliau saw bersabda : “Sesungguhnya ahli kubur saling berkunjung antar mereka dalam keadaan berpakaian kafan”.

Maksud yang terkandung didalam hadis tersebut adalah seperti yang dijelaskan didalam Musnad Ibnu Abi Usamah, yang diriwayatkan dari Jabir secara marfu’, bahwa mereka berbangga diri (dengan pakaian kafannya) dan saling berkunjung antar mereka didalam kuburnya.

Imam Muslim mengetengahkan riwayat dari Ibnu Sirin : “Jika salah seorang di antara kalian ingin menolong saudaranya yang wafat, hendaklah memperbagus pengkafanannya”.

Imam At-Tirmidzy, Ibnu Majah dan Muhammad bin Yahya Al-Hamdany didalam kitab Shahih-nya mengetengahkan riwayat dari Abu Qatadah ra secara marfu’ : “Jika salah seorang di antara kalian hendak menolong saudaranya (yang baru wafat), hendaklah memperbagus pengkafanannya, karena Ahli kubur saling kunjung mengunjungi antar mereka didalam kuburnya”.


MENGIRIMKAN KAIN KAFAN

Ibnu Abid-Dunya megetengahkan suatu riwayat dengan sanad yang tidak ada masalah, dari Rasyid bin Sa’ad, bahwa seseorang telah ditinggal wafat isterinya. Di tengah tidurnya dia bermimpi melihat para wanita (yang sudah wafat), namun dia tidak melihat isterinya di tengah-tengah mereka. Dia bertanya kepada mereka: “Dimana isteriku”. Mereka menjawab : “Kamu kurang didalam memberikan kain kafan kepada isterimu, sehingga ia malu keluar untuk bergaul bersama-sama dengan kami”. Setelah bangun dari tidurnya, lelaki tersebut menemui Rasulullah saw untuk menceritakan kejadian mimpi yang baru saja ia alami. Beliau saw bersabda : “Lihatlah di sekitar tempat tinggal kamu, apakah ada orang yang dapat dipercaya untuk menyampaikannya (kain kafan)”. Selanjutnya lelaki itu  mendatangi seorang sahabat Anshar yang sedang Naza’, menunggu proses kematiannya, dan kepada sahabat itu ia menceritakan problem yang ia hadapi. Sahabat Anshar tersebut berkata: “Jika suatu ketika aku sampai pada kematianku, aku akan menyampaikan kiriman kafanmu itu kepadanya”.

Tidak berapa lama setelah pertemuan itu, sahabat tersebut wafat, dan pada saat dikafani, lalu didalamnya diikutsertakan dua lembar dan satu baju yang dilengkapi dengan minyak za’faron. Selang beberapa hari setelah kematiannya, lelaki tersebut bermimpi melihat isterinya sudah berada di tengah-tengah para wanita, dengan memakai pakaian berwarna kuning (seperti pakaian yang ia kirimkan melalui sahabat Anshar di atas)”.

Ibnu al-Jauzy meriwayatkan dari Muhammad bin Yusuf al-Faryaby suatu kisah tentang seorang wanita yang bermimpi melihat ibunya yang sudah lama wafat. Di tengah mimpinya itu ibunya mengadukan perihal kurangnya kain kafan yang sedang ia pakai dan memohon agar dibelikan kain kafan, lalu mohon dikirimkan melalui seorang wanita yang akan wafat. Mimpinya itu diceritakan kepada orang-orang di sekitarnya, yang oleh mereka problemnya tersebut disampaikan kepada Muhammad bin Yusuf. Muhammad bin Yusuf membacakan hadis Nabi yang isinya menceritakan bahwa para ahli kubur saling kunjung mengunjungi antar mereka dalam keadaan berpakaian kafan, kemudian dia menyuruh kepada orang-orang yang menemuinya agar membelikan kain kafan untuk dikirimkan kepada ibu dari wanita yang bermimpi tersebut. Beberapa saat kemudian, wanita tersebut meninggal dunia, dan mereka meletakan kain kafan untuk ibunya bersama jenazahnya.


CAHAYA MEMANCAR DI ATAS KUBURAN

Ibnu Abid-Dunya mengetengahkan riwayat dari Abu Ghalib, yang mengkisahkan tentang seorang pemuda di kota Syam yang sedang Naza’ menghadapi proses kematiannya. Dia mengatakan kepada pamannya: “Bagaimana pendapatmu, seandainya jika Allah swt menyerahkanku kedalam pelukan ibuku (yang sudah lama wafat). Apa yang akan dilakukan ibuku kepadaku nanti?”. Pamannya menjawab : “Jika demikian, Demi Allah, ibumu akan membawamu masuk kedalam surga”. Pemuda itu berkata : “Demi Allah! Semoga Allah swt memberikan rahmat kepadaku berkat usaha ibuku tersebut”. Tak lama kemudian pemuda tersebut wafat, lalu pamannya ikut mengantarkan dan memasukkan jenazahnya kedalam liang kubur. Setelah makam diratakannya dengan tanah dan batu bata, tiba-tiba longsor, sementara pamannya melompat ke atas kuburan,  lalu ia duduk termenung sambil memandangi kuburan keponakannya tersebut. Orang-orang bertanya kepadanya, kenapa ia duduk termenung. Dia jawab : “Kuburnya dipenuhi dengan cahaya”.

Abu Dawud dan Imam Hadis lainnya menuturkan riwayat dari Aisyah ra, bahwa ia berkata : “Sewaktu Raja Najasyi wafat, Rasulullah saw bercerita kepadaku, bahwa beliau saw baru saja melihat ada kilatan cahaya memancar dari atas kuburan Raja Najasyi”.

Ibnu ‘Asyakir didalam buku Tarikh-nya menceritakan, bahwa Abdurrahman bin Imarah berkata : “Pada saat Al-Ahnaf bin Qais wafat, aku adalah orang yang ikut meletakkan jenazahnya kedalam liang kuburnya. Setelah kuburannya aku ratakan, aku menyaksikan cahaya memancar di atas kuburannya, sehingga mataku tak henti-hentinya memandangi. Kemudian kejadian itu aku ceritakan kepada teman-temanku, dan mereka pun ingin menyaksikannya, namun mereka tidak mampu melihat apa (pancaran cahaya) yang sedang aku saksikan itu”.



==============================================

*) Sumber : Diambil dari salah satu bagian dari kitab :
Judul Asli
: مفـاهـيم يجب أن تـصحح
Penulis
: Prof. DR. Sayyid Muhammad Alawi Al-Maliki
Alih Bahasa
: Achmad Suchaimi
Judul Terjemahan
: Pemahaman Yang Perlu Diluruskan (PYPD)