Senin, 22 Juli 2013

PYPD - 49. KEPEDULIAN PARA SAHABAT TERHADAP PENINGGALAN SEJARAH




 
Oleh Sayyid Muhammad Alawi Al-Maliki


KEPEDULIAN KHULAFAURRASYIDIN TERHADAP KELESTARIAN CINCIN  RASULULLAH  SAW

Imam Bukhary meriwayatkan hadis yang sandanya sampai kepada Ibnu Umar, bahwa ia berkata : “Rasulullah saw membuat cincin dari coin mata uang. Setelah beliau saw wafat, cincin itu disimpan dan dipakai oleh khalifah Abu Bakar ash-Shiddiq ra, lalu dipakai dan disimpan khalifah Umar bin Khatthab ra, kemudian dipakai dan disimpan khalifah Usman bin Affan ra, sampai cincin itu jatuh kedalam sumur Aris, sumur hasil galian tangan Rasulullah saw sendiri”.

Hadis tersebut dituturkan oleh Bukhary didalam kitab Ash-Shahih-nya, di bawah judul Al-Libas, bab Khatam al-Fidh-dhah. Imam Ibnu Hajar Al-Asqalany mengatakan bahwa didalam riwayat an-Nasaiy terdapat teks : “Usman bin Affan menyuruh orang untuk mencarinya, namun cincin itu tidak ditemukannya”. Sementara didalam riwayat Ibnu Sa’ad terdapat teks : “Cincin itu berada di tangan Usman selama enam tahun”. (Fathul Bariy, juz 10, halaman 313)

Al-‘Allamah al-‘Ainy menjelaskan, bahwa sumur Aris terletak di sebuah kebun dekat masjid Quba.(‘Umdatul Qary, juz 22; hal. 31) Sumur tersebut terkenal dengan sebutan Sumur Cincin Rasulullah saw, disebabkan sebuah cincin peninggalan beliau saw jatuh kedalam sumur tersebut di waktu pemerintahan khalifah Usman bin Affan. Selama tiga hari cincin itu dicari dengan berbagai usaha dan cara, namun tidak berhasil ditemukan. (Baca kitab Al-Maghanim al-Muthalabah fi Ma’alim Thabah, halaman 26, karya Al-Fairuz Abady).


KEPEDULIAN KHULAFAURRASYIDIN TERHADAP SENJATA BAYONET

 Imam Bukhary meriwayatkan hadis yang sanadnya sampai pada Zubair bin Awwam ra, bahwa ia berkisah : “Saya berperang tanding melawan Ubaidah bin Sa’id bin al-‘Ash pada saat pertempuran Badar. Matanya terkena tusukan senjata bayonetku. Dia dikenal dengan julukan Abu Dzatil Karsy.Sayalah Abu Dzatil Karsy”, katanya bersumbar kepadaku. Kemudian dia aku serang dengan bayonetku, dan kedua matanya aku tusuk sampai ia akhirnya mati. Hisyam memberitahukan kejadian ini kepada Rasulullah saw bahwa aku benar-benar telah meletakkan kedua kakiku di atas tubuh Ubaidah, dan aku bergumul dengannya di tempat itu. Sewaktu aku berusaha keras untuk membunuhnya itulah maka kedua matanya terkena tusukan bayonetku”.

Urwah menuturkan, “Rasulullah saw meminta bayonet tersebut dari tangan Zubair ra, lalu diberikannya kepada beliau saw. Sewaktu beliau saw wafat, senjata itu diambilnya kembali, namun Abu Bakar memintanya (= meminjamnya), lalu senjata itu diberikannya. Setelah Abu Bakar wafart, senjata itu (diambilnya kembali), lalu diminta (dipinjam) Umar bin Khatthab ra dan dia memberikan senjata itu kepadanya. Sepeninggal Umar ra, senjata itu (diambilnya lagi) lalu diminta (dipinjam) Usman bin Affan ra, dan dia memberikannya kepadanya. Maka pada saat Usman wafat, senjata itu dikuasai oleh keluarga Ali bin Abi Thalib ra, lalu diminta kembali oleh Abdullah bin Zubair, sampai ia wafat (dibunuh oleh Hajjaj bin Yusuf, seorang panglima dari dinasti Bani Umaiyah). (HR Bukhary didalam Ash-Shahih-nya di bawah judul Al-Maghazy, pada bab Syuhud al-Malaikat Badran).

Ringkas cerita : Zubair membunuh ‘Ubaidah bin Sa’id bin Al-‘Ash pada saat perang tanding di pertempuran Badar. Dia menusukkan bayonetnya pada kedua mata Ubaidah sampai meninggal. Senjata itu diminta oleh Rasulullah saw dan ia memberikannya kepada beliau saw. Sewaktu beliau saw wafat, senjata itu diambil kembali oleh Zubair, lalu diminta oleh Abu Bakar sebagai barang pinjaman. Sewaktu Abu Bakar wafat, senjata itu diambilnya kembali, lalu diminta oleh Umar bin Khatthab untuk dipinjamnya, dan dia memberikan senjata itu kepada Umar sampai meninggalnya. Kemudian senjata itu kembali lagi kepada Zubair, pemilik pertamanya. Selanjutnya dipinjam oleh Usman bin Affan ra dan sewaktu wafatnya senjata itu jatuh ke tangan keluarga Ali bin Abi Thalib ra, lalu diambil kembali oleh Abdullah  putra Zubair, kemudian senjata itu berada di bawah kekuasaannya, sebagai pemilik pertamanya, sampai ia meninggal dunia. (Lihat kitab Al-Fath, juz 7 halaman 314 dan kitab ‘Umdatul Qary, juz 17 halaman 107).

Yang perlu kami tanyakan di sini adalah, kenapa Bayonet milik Zubair bin Awwam ra tersebut dinilai sangat penting untuk dijaga dan dipelihara sedemikian rupa oleh Rasulullah saw, lalu oleh khulafaurrasyidin, padahal masih banyak bayonet yang lain?

Barangkali senjata bayonet tersebut memiliki keistimewaan tertentu yang tidak dimiliki oleh senjata  bayonet-bayonet semisalnya. Apalagi senjata tersebut menjadi perhatian tersendiri dan dipelihara sebagai barang pinjaman oleh keempat khulafaurrasyidin.


KEPEDULIAN UMAR RA TERHADAP TALANG YANG DIPASANGKAN RASULULLAH

Satu riwayat dari Abdullah bin Abbas, bahwa di atas rumah Abbas ra terpasang talang atau saluran air hujan yang dipasangkan tepat di atas  jalan menuju ke rumah Umar bin Khatthab oleh tangan Rasulullah saw sendiri. Pada suatu hari, Umar berangkat ke masjid untuk shalat Jum’at melewati  jalan tersebut, sementara saat itu dua ekor burung disembelih dan darahnya dialirkan lewat talang tersebut. Tentu saja baju Umar kena cipratan darah itu, lalu ia memerintahkan kepada orang yang ia jumpai untuk merusak dan mencabut talang tersebut, kemudian ia pulang ke rumah untuk mengganti pakaiannya. Setelah itu Umar berangkat ke Masjid lagi dan Abbas menghampirinya sambil berkata : “Hai Umar ! Demi Allah. Talang yang engkau cabut tadi adalah dipasangkan oleh Rasulullah saw sendiri”. Umar langsung menanggapinya: “Aku sangat berharap agar engkau naik ke atas punggungku, sehingga engkau memasangnya kembali ke tempat semula, sebagaimana yang dilakukan Rasulullah saw”. Selanjutnya Abbas melaksanakan apa yang menjadi keinginan Umar bin Khatthab ra. (Tersebut didalam kitab Al-Kanz juz 7, halaman 66).

Imam Abu Muhammad Abdullah bin Ahmad bin Muhammad bin Qudamah didalam kitabnya, Al-Mughny, menuliskan : “(Faslun) : Tidak boleh membongkar saliran air atau talang yang dipasang di atas sebuah jalan besar dan tidak boleh mengeluarkannya ke lorong jalan (gang) depan jendela, kecuali seijin pemilik rumah”.

Imam Abu Hanifah, Imam Malik dan Imam Syafi’I berpendapat : “Boleh mengeluarkan talang ke jalan, berdasarkan kasus Umar bin Khatthab ra memotong talang milik Abbas yang mengarah ke arah jalan secara paksa, lalu Abbas berkata kepada Umar : “Engkau membongkarnya, padahal talang itu dipasangkan Rasulullah saw dengan tangannya sendiri”. Umar menanggapinya : “Demi Allah! Aku tidak akan memasangnya kembali, kecuali engkau sendiri yang memasangnya dengan cara menaiki punggungku”. Maka Umar membungkukkan punggunya dan Abbas naik ke atasnya sambil memasangkan kembali talang tersebut ke tempat semula. (Baca kitab Al-Mughny juz 4 halaman 554).


IBNU UMAR BUKAN SATU-SATUNYA ORANG YANG SUKA NAPAK TILAS

Ibnu Umar terkenal sebagai orang yang memiliki kesenangan melakukan perjalanan dalam rangka Napak Tilas dan termasuk orang yang sangat peduli terhadap kelestarian petilasan atau bekas peninggalan sejarah masa lalu.

Sesepuh Islam Ibnu Taimiyah menuturkan, bahwa Imam Ahmad bin Hambal pernah ditanya tentang orang yang suka mendatangi Masyahid , lalu dijawabnya, bahwa Ibnu Umar pernah menelusuri jejak petilasan perjalanan Rasulullah saw, sampai ia terlihat menuangkan air di suatu tempat. Orang bertanya tentang kelakuannya itu,lalu ia jawab : “Rasulullah saw pernah menuangkan air di tempat ini”

Imam Bukhary mengetengahkan sebuah hadis yang sanadnya sampai kepada Musa bin Uqbah, bahwa dia pernah menyaksikan Salim bin Abdullah menelusuri tempat-tempat yang pernah dilalui Rasulullah saw di tengah perjalanannya dan beliau saw melakukan shalat di situ. Dia menjelaskan bahwa ayahnya juga pernah melakukan shalat di tempat itu , karena dia pernah menyaksikan Rasulullah saw melakukan shalat di tempat itu. Dan Nafi’ pun pernah bercerita kepada Musa bin Uqbah bahwa Ibnu Umar pernah melakukan shalat di tempat-tempat tersebut. (Iqtidhaus-Shirathil Mustaqim, halaman 385).

Berdasarkan riwayat di atas, ternyata Ibnu Umar bukanlah satu-satunya orang yang melakukan penelusuran tersebut. Banyak para sahabat lain yang melakukan hal yang serupa, sebagaimana yang telah kami jelaskan mengenai apa yang dilakukan oleh keempat khulafaurrasyidin, di mana Rasulullah saw sendiri menetapkan tindakan mereka itu sebagai ‘Sunnah’ (perilaku) yang perlu diikuti dan beliau saw memerintahkan kepada kita agar selalu berpegangan kepada perilaku mereka, serta mengembalikan semua persoalan kepada keputusan mereka. Sudah kita maklumi bersama bahwa perilaku mereka adalah identik dengan perilaku Rasulullah saw, disebabkan karena mereka tidak pernah berbicara, berpendapat, berijtihad dan berpandangan melampaui dan mendahului beliau saw. Apa yang ditetapkan dan dianggap benar  oleh Rasulullah saw, mereka sekali-kali tidak berani melanggarnya.

Di muka telah kami paparkan pembahasan tentang bolehnya bertabarruk dengan petilasan dan bekas-bekas peninggalan sejarah Rasulullah saw, disertai dengan sejumlah nash-nash hadis Nabi yang layak dijadikan sebagai dalil dan memiliki hubungan yang erat dengan persoalan ini. Dengan nash-nash tersebut akan diperoleh suatu gambaran yang jelas dan gamblang, bagaimana para sahabat Nabi bertabarruk dengan petilasan dan bekas peninggalan beliau saw itu. Di antara mereka adalah Ibnu Umar dan para sahabat selainnya. Yang jelas, antara pembahasan ini dengan persoalan tabarruk yang telah kami jelaskan di muka memiliki keterkaitan yang sangat erat dan berdasarkan sumber atau dalil yang sama. Karena bertabarruk dengan petilasan atau bekas peninggalan Rasulullah saw merupakan bagian dari usaha melestarikan dan wujud dari kepedulian kita terhadap bekas peninggalan sejarah masa lalu. Hanya saja bahwa persoalan yang kedua lebih berkaitan dengan sejarah dan kebudayaan umat Islam, sementara persoalan yang pertama lebih berkaitan dengan keimanan, rasa mahabbah (wujud kecintaan) dan ikatan emosional.


KEPEDULIAN IBNU ABBAS TERHADAP PENINGGALAN SEJARAH MASA LALU

Sewaktu Abdullah bin Zubair bermaksud membangun kembali Ka’bah yang rusak akibat serangan tentara Yazid bin Mua’awiyah, dia mengumpulkan para sahabat untuk diajaknya bermusyawarah merealisir rencananya tersebut. Ibnu Abbas mengusulkan agar tidak membongkar danmerobohkan seluruh tembok Ka’bah, akan tetapi sekedar merenovasi beberapa bangunan tembok yang memerlukan perbaikan saja. Sedangkan bagian tembok yang masih baik dan layak, agar tetap dipertahankan keasliannya. Hal ini sekaligus sebagai wujud melestarikan batu-batu kuno yang terpasang sejak pertama kali dibangun pada awal masa datangnya Islam (masa Nabi Ibrahim dan Ismail) dan masa kebangkitan kembali Islam dengan diutusnya Rasulullah saw.

Diriwayatkan dari Atha’, bahwa sewaktu Ka’bah terbakar akibat serangan yang dilakukan tentara Yazid bin Mu’wiyah (khalifah kedua dari dinasti Umayyah yang berkedudukan di Damaskus Syam), lalu Abdullah bin Zubair, yang saat itu menjadi Khalifah tandingan yang berkedudukan di Makkah, membiarkan kondisi bangunan Ka’bah dalam keadaan rusak, sampai datangnya musim Haji. Dia mengundang, mengajak dan mendorong kaum muslimin yang sedang melakukan ibadah haji untuk memikirkan kerusakan Ka’bah akibat serangan tersebut. Setelah mereka berkumpul, maka berkata Abdullah bin Zubair : “Wahai saudaraku kaum muslimin! Berilah kami masukan pendapatmu mengenai rencana kami membongkar Ka’bah dan menggantinya dengan bangunan baru, atau sekedar merenovasi beberapa bagian yang rusak?”. Ibnu Abbas ra lalu mengusulkan agar Ka’bah tidak dibongkar sama sekali untuk diganti dengan bangunan baru, akan tetapi cukup direnovasi. (Baca kitab Syarh Shahih Muslim tulisan Imam An-Nawawy, pada bagian Kitabul Hajj, bab Naqdhul Ka’bah wa binaa-uhaa, juz 9; halaman 92-93).


GHIRAH UMAR BIN KHATTHAB TERHADAP PETILASAN RASULULLAH SAW

Umar bin Khatthab ra adalah seorang sahabat yang memiliki ghirah, semangat, antusias dan kepedulian yang begitu besar dalam memelihara dan melestarikan bekas-bekas peninggalan sejarah Rasulullah saw. Oleh karena itu, pada saat dia menyaksikan orang-orang berkumpul di sekitar sebuah pohon yang mereka yakini sebagai Pohon Ridhwan yang pernah dipakai Rasulullah saw mengambil sumpah setia (Bai’atur-Ridhwan) dari para sahabatnya saat itu dan diabadikan didalam firman Allah swt :

لَقَدْ رَضِيَ اللَّهُ عَنِ الْمُؤْمِنِينَ إِذْ يُبَايِعُونَكَ تَحْتَ الشَّجَرَةِ فَعَلِمَ مَا فِي قُلُوبِهِمْ فَأَنْزَلَ السَّكِينَةَ عَلَيْهِمْ وَأَثَابَهُمْ فَتْحًا قَرِيبًا  (18)

Sesungguhnya Allah telah ridha terhadap orang-orang mu'min ketika mereka berjanji setia kepadamu di bawah pohon, maka Allah mengetahui apa yang ada dalam hati mereka lalu menurunkan ketenangan atas mereka dengan memberi balasan kepada mereka dengan kemenangan yang dekat (waktunya).”. (QS Al-Fath,[48] : 18)

Umar bin Khatthab sangat marah, karena dia tahu secara pasti bahwa pohon tempat mereka berkumpul tersebut adalah bukan pohon Ridhwan yang sebenarnya dan tidak seorang pun yang mengetahui posisi pohon tersebut secara persis, apalagi sampai menentukan pohon yang asli, tentu sangat mustahil. Demikian pula para pelaku sejarah yang secara langsung menyaksikan dan berbai’at di bawah pohon tersebut, mereka sama sekali tidak lagi mengetahui letak pohon secara pasti. Karena itu, bagaimana mungkin orang-orang yang bukan pelaku sejarah dapat mengetahuinya? Dan bagaimana mungkin mereka bisa menjelaskan bahwa pohon itulah yang pernah dipakai Rasulullah saw membi’at para sahabat?!

Dalam sebuah riwayat yang diketengahkan oleh Imam Bukhary dan Muslim dijelaskan bahwa Ibnu Umar pernah mendatangi tempat terjadinya peristiwa pengucapan Bai’aturridhwan setelah peristiwa itu berlangsung satu tahun. Kemudian dia membicarakan posisi dan letak pohon tersebut dengan sahabat yang lain, namun setelah berusaha mencari dan mengingat-ingat kembali, mereka berdua tidak berhasil menemukannya.

Dituturkan dalam suatu riwayat, bahwa Al-Musayyab, ayahnya Sa’id bin Musayyab, mengatakan : “Aku telah menyaksikan secara langsung dan ikut berbai’at di bawah pohon ridhwan, tetapi setelah itu aku lupa di mana letak pohon tersebut dan aku tidak tahu lagi di mana letaknya yang persis”.

Thariq bin Abdurrahman berkata : “Aku berangkat melakukan ibadah haji dan aku melewati sekelompok orang yang melakukan shalat di suatu tempat, lalu aku bertanya kepada mereka: ‘Apakah tempat itu sebuah masjid?’. Mereka menjelaskan, bahwa tempat itu adalah letak sebuah pohon Ridhwan yang pernah dipakai Rasulullah saw menerima sumpah setia atau bai’atur-ridhwan. Kemudian aku mendatangi Sa’id bin Al-Musayyab untuk menceritakan apa yang baru saja aku saksikan dan meminta kepadanya penjelasan tentang peristiwa Ba’iat tersebut. Sa’id mengatakan kepadaku: ‘Ayahku pernah bercerita kepadaku, bahwa dia termasuk salah satu dari pelaku sejarahnya yang secara langsung ikut mengucapkan sumpah setia itu di bawah pohon Ridhwan. Setelah tahun berganti, ia lupa di mana persisnya letak pohon tersebut. Sekarang kamu datang kepadaku sambil memberitahukan letak pohon tersebut. Hal ini berarti bahwa kamu lebih mengetahuinya (daripada ayahku yang sekaligus menjadi pelaku sejarahnya)’. (Baca kitab Shahih Al-Bukhary pada bagian Kitabul Maghazy, didalam bab Ghazwah al-Hudaibiyah; dan kitab Shahih Muslim pada bagian Kitabul Imarah, didalam bab Istihbab Mutabi’atil Imam).

Maksud hadis di atas adalah bahwa dua orang tidak bersepakat paham dalam menentukan letak Pohon Ridhwan secara persis, padahal keduanya sama-sama menjadi pelaku sejarahnya, sama-sama berada pada tahun berikutnya dan masih dalam satu periode. Sementara itu, para pelaku sejarah Bai’aturridhwan banyak yang masih hidup dan masih bisa dihubungi untuk dikonfirmasi. Sekarang, bagaimana pendapat Anda, seandainya ada orang yang hidup di masa kekhalifahan Umar bin Khatthab ra, yang lebih dari sepuluh tahun dari peristiwa tersebut justru lebih mengetahui letak pohon tersebut secara repat?!

Mengenai diri Umar bin Khatthab ra, sebenarnya tidak masuk akal jika dikatakan bahwa dia memotong pohon tersebut dengan tujuan agar orang-orang tidak bertabarruk dengan pohon tersebut, atau dia tidak tahu menahu soal peristiwa tersebut. Pemahaman seperti itu sebenarnya tidak pernah terbersit sedikit pun didalam pikiran Umar dan dia tidak pernah memerintahkan orang untuk memotong pohon tersebut, karena dia bukanlah orang yang bertipe anti tabarruk. Bahkan dia selalu mencari keberkahan dari petilasan dan bekas peninggalan Rasulullah saw dan sejenisnya, sebagaimana permintaannya kepada Abu Bakar mengenai senjata bayonet yang pernah dipegang atau dikuasai oleh beliau saw yang dipinjamnya dari Zubair bin Awwam, juga usahanya memelihara cincin stempel perak dari coin mata uang milik beliau saw, dan beberapa contoh lainnya.


KEPEDULIAN TERHADAP SANDAL RASULULLAH SAW

Di antara bekas peninggalan sejarah yang mendapatkan perhatian cukup besar di kalangan para cendekiawan muslim, para pakar dan ulama adalah Sandal  atau Terompah Rasulullah saw. Bahkan hal ini menjadi bahan penelitian dalam menentukan sifat-sifatnya, bentuk dan modelnya, serta ukuran dan warnanya. Mereka melakukan kajian secara mendalam yang hasilnya kemudian mereka bukukan didalam sebuah risalah tersendiri. Maksud dan tujuan kajian mereka bukan semata-mata pada bentuk fisik sandal tersebut, akan tetapi lebih diarahkan pada pemiliknya, yakni Rasulullah saw.

Apabila kita sangat peduli terhadap bekas peninggalan para tokoh sejarah, misalnya baju atau pakaian yang pernah mereka pakai dan peralatan-peralatan mereka, lalu barang itu bisa kita peroleh dengan harga yang sangat mahal ataupun murah, kemudian kita dirikan sebuah musium khusus yang mengoleksi benda-benda tersebut, lantas kita undang para pakar yang ahli di bidang kepurbakalaan. Sekiranya hal itu kita lakukan dengan mengorbankan jiwa raga dan harta demi tujuan tersebut, tentu pengorbanan itu tidak ada artinya sama sekali jika dibandingkan dengan pentingnya usaha memelihara kelestarian benda purbakala tersebut, khususnya benda bekas peninggalan Rasulullah saw. Karena hal ini sangat besar manfaatnya di masa depan bagi generasi yang akan datang.


==============================================

*) Sumber : Diambil dari salah satu bagian dari kitab :
Judul Asli
: مفـاهـيم يجب أن تـصحح
Penulis
: Prof. DR. Sayyid Muhammad Alawi Al-Maliki
Alih Bahasa
: Achmad Suchaimi
Judul Terjemahan
: Pemahaman Yang Perlu Diluruskan (PYPD)

PYPD - 48. KEPEDULIAN AL-QUR'AN TERHADAP PETILASAN DAN PENINGGALAN SEJARAH PARA NABI




KEPEDULIAN TERHADAP PETILASAN DAN PENINGGALAN SEJARAH


Usaha pemeliharaan petilasan dan bekas peninggalasan sejarah para Nabi, khususnya Nabi Muhammad saw, besar sebagai warisan masa lalu, merupakan persoalan besar. Sementara sejarah masa lalu merupakan tonggak kebesaran dan kemuliaan suatu bangsa yang perlu dibanggakan, karena mencerminkan keagungan dan kehormatan para tokoh, pejuang dan pemimpinnya. Oleh karenanya, mengabaikan adanya petilasan dan bekas-bekas peninggalan sejarah para Nabi dan khususnya peninggalan sejarah Nabi Muhammad saw adalah suatu perbuatan yang konyol. Sama artinya dengan menyia-nyiakan dan melenyapkan bukti-bukti kejayaan kaum muslimin, menghapuskan warisan asli kebudayaan Islam, bahkan merupakan suatu kejahatan dan tindakan kriminal terhadap keagungan dan keluhuran prestasi sejarah yang pernah diraih oleh kaum muslimin dalam konteks ini. Sehingga generasi mendatang akan kehilangan identitas dan pegangan sejarah perjuangan umat Islam. Mereka tidak akan mengenal lagi kejayaan kebudayaan dan prestasi sejarah masa lalu yang pernah diraih oleh para tokoh-tokohnya.

Jika ada yang menuduhkan bahwa sebagian orang menjadikan tempat petilasan dan bekas peninggalan sejarah tersebut sebagai tempat keramat dan perayaan, tempat untuk melakukan kesyirikan,  tempat kegiatan ritual penyembahan atau pengkultusan terhadap tempat tersebut, atau sebagai tempat untuk melakukan thawaf, mengelilinginya dengan pagar, kelambu dan bangunan indah, atau sebagai tempat orang meletakkan sesajen berupa sembelihan hewan yang dinadzarkan, maka kami pun tidak menyetujui semua yang mereka lakukan tersebut, kalau itu memang benar. Bahkan kami akan melarangnya dengan sekuat tenaga dan akan mengingatkan mereka bahwa perbuatan tersebut terlarang yang perlu dijauhi, sekaligus merupakan perbuatan konyol yang perlu diberantas. Karena kami berkhusnu zhan bahwa mereka masih tetap memegangi ketauhidan dan kalimat syahadat, hanya saja perbuatan mereka tersebut kami anggap salah disebabkan ketidaktahuan mereka terhadap ajaran Islam yang benar dan lurus. Atas dasar ini maka kita seharusnya beramar makruf nahi munkar kepada mereka, kita wajib mengajari dan membimbing mereka ke jalan yang benar lagi lurus, dengan cara-cara yang bijaksana, tanpa harus disertai dengan pengrusakan, pelenyapan atau menghancurkan tempat-tempat petilasan atau bekas peninggalan sejarah masa lalu yang diwariskan para Nabi dan kaum shalihin jaman dahulu tersebut, khususnya warisan Nabi Muhammad saw. Karena yang menjadi inti persoalannya adalah bukan terletak pada faktor tempatnya, akan tetapi lebih pada faktor manusianya.

Saat ini di seluruh penjuru dunia, para pakar sejarah, arkeolog, dan para cendekiawan pada umumnya lagi ramai-ramainya berusaha memelihara dan melestarikan warisan sejarah bangsa mereka di masa lalu, sekalipun terhadap peninggalasan sejarah para tokoh yang terkenal sangat biadab, seperti peninggalan bangsa Tsamud dan bangsa ‘Ad, sementara dikalangan kaum muslimin sendiri justru ramai-ramai ingin berusaha menghancurkan dan melenyapkan bukti-bukti sejarah yang antara lain berupa bangunan monumental, makam kuno, dan petilasan peninggalan para tokoh Islam masa lalu. Ini benar-benar lucu dan aneh.



KEPEDULIAN AL-QUR’AN TERHADAP PENINGGALAN SEJARAH PARA NABI

Allah swt menuturkan didalam Al-Qur’an tetang kisah Tabut milik bani Israil yang menjadi tanda dilantiknya Thalut sebagai raja mereka

وَقَالَ لَهُمْ نَبِيُّهُمْ إِنَّ ءَايَةَ مُلْكِهِ أَنْ يَأْتِيَكُمُ التَّابُوتُ فِيهِ سَكِينَةٌ مِنْ رَبِّكُمْ وَبَقِيَّةٌ مِمَّا تَرَكَ ءَالُ مُوسَى وَءَالُ هَارُونَ تَحْمِلُهُ الْمَلَائِكَةُ إِنَّ فِي ذَلِكَ لَآيَةً لَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِينَ(248)

 Dan Nabi mereka mengatakan kepada mereka: "Sesungguhnya tanda ia akan menjadi raja, ialah kembalinya tabut kepadamu, di dalamnya terdapat ketenangan dari Tuhanmu dan sisa dari peninggalan keluarga Musa dan keluarga Harun; tabut itu dibawa oleh Malaikat. Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat tanda bagimu, jika kamu orang yang beriman.” (QS Al-Baqarah,[2] : 248)

Tabut memiliki fungsi dan posisi yang sangat penting bagi bani Israil. Selama Tabut berada di tangan mereka, mereka selalu diberi Allah swt kemenangan didalam setiap pertempuran mereka dengan bangsa lain. Namun sewaktu Tabut berada di tangan musuh, mereka tidak pernah menang berperang melawan musuh. Hal ini disebabkan keberkahan dan tawassul mereka kepada Allah swt melalui perantaraan Tabut beserta  barang bekas peninggalam keluarga Nabi Musa dan Harun yang tersimpan didalamnya.

Allah swt memberitahukan didalam firman-Nya, bahwa di antara isi dan manfaat Tabut adalah bahwa Tabut yang berisi sisa peninggalan sejarah Nabi Musa dan Harun tersebut dapat menciptakan ketenangan batin bagi pemiliknya: “di dalamnya terdapat ketenangan dari Tuhanmu dan sisa dari peninggalan keluarga Musa dan keluarga Harun” (QS Al-Baqarah,[2] : 248), yakni peningalan yang berupa tongkat milik Nabi Musa dan Nabi Harun, baju milik Nabi Musa, sepasang terompah dan dua lembar naskah kitab Taurat, sebagaimana yang diteragkan oleh Ibnu Katsir didalam kitab Tafsir-nya (juz 1, halaman 313). Tabut juga berisi baskom (bak pencuci tangan) dari bahan emas yang pernah digunakan untuk mencuci dada para Nabi jaman dahulu.(Al-Bidayah wa an-Nihayah, juz 2; hal. 8).

Allah swt senantiasa memelihara bekas peninggalan sejarah yang agung yang diwariskan dari Nabi Musa dan Harun tersebut. Sewaktu bani Israil semakin jauh dari tuntunan agamanya, banyak diantara mereka yang melakukan maksiat dan menentang para Nabi mereka, maka Allah swt lalu mencabut nikmat-Nya dengan menarik Tabut dari tangan mereka sewaktu mereka dapat dikalahkan bangsa lain didalam suatu pertempuran, sehingga Tabut mereka jatuh ke tangan musuh. Meski demikian, Tabut tetap berada didalam pemeliharaan Allah swt, sampai Dia mengembalikan lagi kepada bani Israil untuk dijadikan sebagai tanda disahkannya dan dilantiknya Thalut sebagai Raja mereka secara terhormat, yang dibawa oleh kereta berkuda yang dikendalikan oleh para Malaikat.



==============================================

*) Sumber : Diambil dari salah satu bagian dari kitab :
Judul Asli
: مفـاهـيم يجب أن تـصحح
Penulis
: Prof. DR. Sayyid Muhammad Alawi Al-Maliki
Alih Bahasa
: Achmad Suchaimi
Judul Terjemahan
: Pemahaman Yang Perlu Diluruskan (PYPD)














PYPD - 47. PERSOALAN PETILASAN & PENINGGALAN SEJARAH





MENZIARAHI PETILASAN DAN PENINGGALAN SEJARAH

Tempat-tempat peninggalan sejarah  serta bangunan monumental para Nabi dan auliya’, merupakan tempat-tempat yang biasa dijadikan orang-orang untuk melakukan ibadah kepada Allah swt, akan tetapi tidak mereka jadikan sebagai ‘masajid’ , tempat penyembahan.

Ada dua pendapat dari ulama-ulama terkenal :

Pertama.  Mereka melarang dan tidak menyukai perbuatan seperti itu. Mereka tidak setuju tempat-tempat tersebut dijadikan tempat untuk melakukan ibadah kepada Allah swt, kecuali sesuai yang diperintahkan syariat Islam. Misalnya Rasulullah saw memerintahkan agar melakukan shalat di belakang Maqam Ibrahim, melakukan di semua masjid yang ada dan beliau saw menentukan keutamaan shalat pada shaf pertama,  dan lain-lain.

Kedua. Tidak apa-apa melakukan ibadah di tempat-tempat tersebut, sebagaimana penjelasan yang dinukil dari Ibnu Umar, bahwa ia sengaja memilih tempat-tempat tertentu yang pernah digunakan Rasulullah saw untuk melakukan ibadah, meskipun hanya secara kebetulan.

As-Sanady al-Khatimy menjelaskan : “Kami pernah bertanya kepada Abu Abdillah (Imam Malik) tentang seseorang yang mendatangi tempat-tempat bersejarah tertentu. Apakah hal boleh dilakukan, dan bagaimana pendapatnya?”. Dia menjawab: “Berdasarkan riwayat dari Ibnu Maktum, bahwa ia pernah memohon kepada Rasulullah saw agar berkenan shalat di suatu ruangan dalam rumahnya dan akan menjadikannya sebagai ‘Mushalla’. Demikian pula berdasarkan tindakan Ibnu Umar yang memiliki hobi menelusuri tempat-tempat petilasan yang pernah dipakai Rasulullah saw melakukan ibadah. Atas dasar ini, maka tidak mengapa seseorang mendatangi tempat-tempat bersejarah, bangunan monumental dan petilasan para Nabi jaman dahulu dan para kaum shalihin. Kecuali jika hal itu dilakukan secara berlebihan dan secara berulang-ulang (rutin).

Abu Abdillah menjelaskan mengenai ‘Masyahid’ (bangunan monumental peninggalan sejarah) sebagai suatu tempat yang didalamnya tersimpan barang bekas peninggalan sejarah para Nabi dan kaum shalihin jaman dahulu, selain berupa masjid yang mereka tinggalkan. Keterangannya didasarkan atas Atsar-atsar dan ucapan sahabat, di antaranya adalah seperti yang diriwayatkan oleh Imam Bukhary, dari Musa bin ‘Uqbah ra, bahwa ia pernah mengatakan : “Aku melihat Salim bin Abdullah memilih suatu tempat di tengah perjalanannya untuk melakukan shalat di situ”. Dan diceritakan pula, bahwa ayahnya Musa (yakni Uqbah) juga pernah melakukan shalat di situ, disebabkan Rasulullah saw pun pernah melakukannya di tempat itu. Musa bin Uqbah mengatakan : “Nafi’ pernah mengatakan kepadaku, bahwa Ibnu Umar pernah melakukan di tempat itu juga”.

Mengenai penelusuran petilasan atau ‘Napak Tilas’ yang tidak disukai adalah sebagaimana yang diriwayatkan oleh Sa’id bin Manshur didalam kitab Sunan-nya, yang bersumber dari Abu Mu’awiyah, dari Al-A’masi, dari Al-Ma’rur bin Suwaid, dari Umar bin Khatthab ra. Al-Ma’rur mengatakan : “Kami berangkat untuk melakukan ibadah Haji bersama Umar bin Khatthab ra. Sewaktu dia mengimami shalat, surat setelah Al-Fatihah yang dibacanya adalah surat Al-Fil pada rekaat pertama dan surat Al-Quraisy pada rekaat kedua. Setelah pulang dari ibadah haji, di suatu kampung, Umar menyaksikan orang-orang berduyun-duyun mendatangi suatu masjid. Umar bertanya kepada mereka : “Ada apa ini?”. Jawab mereka: “Kami shalat di masjid yang pernah ditempati Rasulullah saw melakukan shalat”. Umar berkomentar : “Perbuatan seperti inilah yang menyebabkan Ahli Kitab (kaum Yahudi dan Nasrani) menjadi rusak. Mereka menjadikan petilasan atau tempat bekas bersejarah para Nabi mereka sebagai sinagog atau tempat ibadah. Jika ingin melakukan shalat di situ, silahkan saja dan jika tidak ingin, lewatlah dan teruskan perjalananmu”.

Umr bin Khatthab ra benar-benar tidak suka menjadikan suatu tempat yang pernah digunakan Rasulullah saw melakukan shalat sebagai tempat Perayaan, dan dia berkomentar bahwa yang menjadi penyebab rusaknya kaum ahli kitab jaman dahulu adalah melakukan perbuatan seperti itu.

Ibnu Taimiyah menuturkan: “Sesungguhnya para ulama berbeda pendapat mengenai ‘Napak Tilas’ dengan cara mendatangi atau mengunjungi ‘Masyahid’ (tempat / bangunan monumental dan petilasan peninggalan para Nabi dan kaum shalihin jaman dahulu). Di antara pendapat mereka adalah :

1). Muhammad bin Wadhah mengatakan, bahwa Imam Malik dan ulama lainnya dari Madinah tidak menyukai mendatangi tempat-tempat peninggalan sejarah masa lalu dan masjid-masjid tertentu  di sekitar kota Madinah, selain masjid Quba’ dan medan pertempuran Uhud. Sufyan Ats-Tsauri memasuki kota Baitul Maqdis dan melakukan shalat di Masjidil Aqsha, akan tetapi ia tidak meneruskan perjalanannya untuk mengunjungi tempat petilasan atau bekas peninggalan masa lalu di kota itu, serta tidak melakukan shalat di tempat-tempat itu.
Mereka memakruhkan dan tidak menyukai kunjungan tersebut secara mutlak berdasarkan penjelasan dan perilaku Umar bin Khatthab, bahwa perbuatan seperti itu menyerupai perbuatan melakukan shalat di samping makam, karena dianggap sebagai mediator atau perantara untuk menjadikan tempat tersebut sebagai tempat perayaan atau keramaian. Di samping juga menyerupai perbuatan kaum Ahli Kitab. Adapun kunjungan dalam rangka Napak Tilas yang pernah dilakukan oleh Ibnu Umar, sebenarnya tidak sesuai dengan dengan perbuatan seorang sahabat pun. Ibnu Umar tidak mencontoh perilaku para Khulafaurrasyidin, serta para sahabat Muhajirin dan Anshar.
2) Ulama mutakhir menganggap  Mustahab’  (disukai) mengunjungi tempat-tempat tersebut. Sekelompok para penyusun buku-buku Manasik Haji menjelaskan tentang sunnahnya mengunjungi tempat-tempat bersejarah tersebut, lengkap disertai dengan nama, peta, lokasi dan peristiwa sejarahnya.
3). Imam Ahmad bin Hambal memberikan ‘Rukhshah’ (keringanan) dan membolehkan hal itu berdasarkan Atsar-atsar yang menjelaskan tentang kunjungan tersebut. Kecuali disertai dengan niat menjadikan tempat tersebut sebagai tempat Perayaan dan tempat berkumpulnya pada waktu-waktu tertentu. Sama halnya dengan diperbolehkannya kaum wanita shalat berjamaah di masjid, meskipun shalat mereka di rumah itu lebih baik daripada shalat di masjid, kecuali bagi merka yang tidak memiliki untuk bersolek. (Iqtidhaus-Shirathil Mustaqim fi Mukhalafati Ashhab al-Jahim, halaman 387).

Walhasil. Imam Ahmad bin Hambal  memperbolehkan mengunjungi tempat-tempat petilasan, peninggalan sejarah dan tempat-tempat lain yang berhubungan dengan suatu peristiwa yang melibatkan para Nabi dan kaum shalihin. Kebolehan tersebut dapat ditelusuri dari beberapa Hadis Nabi. Perbuatan ini tidak termasuk  bid’ah, sesat, kufur dan syirik.

 Pendapat Imam Ahmad bin Hambal itu kemudian dirinci lagi oleh Ibnu Taimiyah, dipandang dan dilihat dari segi sedikit dan banyaknya atau sering dan jarangnya kunjungan itu dilakukan. Ibnu Taimiyah mengatakan, bahwa sering mengunjungi tempat petilasan tersebut hukumnya makruh menurut Imam Ahmad bin Hambal. Dia menjelaskan ukuran banyak-sedikitnya dan sering jarangnya melakukan kunjungan ke tempat bekas peninggalan tersebut adalah usaha menjadikannya sebagai tempat mengadakan perayaan, dimana orang-orang berkumpul  dan melakukan pesta di situ pada  waktu-waktu tertentu.

Mengenai petilasan, tempat bekas peninggalan sejarah atau bangunan monumental yang pernah dijadikan para Nabi sebagai masjid atau mereka pernah melakukan shalat di tempat itu, hal ini keluar dari pembahasan yang dirinci Ibnu Taimiyah.



PENGERTIAN AL-‘ID (PERAYAAN)

Ibnu Taimiyah mencoba memberikan batasan pengertian dari istilah Al-‘Id yang dilarang oleh Rasulullah saw didalam sabdanya : “Janganlah kamu menjadikan kuburanku sebagai Al-‘Id (perayaan)”.

Sesungguhnya membiasakan diri secara sengaja mendatangi suatu tempat tertentu pada waktu tertentu untuk melakukan perayaan di situ secara berulang-ulang misalnya setahun sekali, sebulan sekali atau mungkin seminggu sekali, dengan sendiri adalah masuk dalam pengertian Al-‘Id, yang diingkari pelaksanaannya oleh Imam Ahmad bin Hambal.

Pada kesempatan yang lain Ibnu Taimiyah mengatakan : “Adapun menjadikan kuburan-kuburan mereka sebagai Perayaan adalah termasuk perbuatan yang dilarang Allah swt dan Rasul-Nya. Dan membiasakan  diri menuju ke kuburan-kuburan ini pada waktu-waktu tertentu dan mengadakan suatu acara dan pertemuan secara umum di situ pada waktu-waktu tertentu, adalah juga masuk dalam pengertian menjadikan tempat itu sebagai perayaan, sebagaimana penjelasan yang lalu. Dan saya tidak mengetahui penyimpangan dalam persoalan ini di kalangan kaum muslimin yang dilakukan oleh ulamanya. Kita tidak perlu tertipu oleh banyaknya adat istiadat rusak, karena hal ini menyerupai apa yang terjadi di kalangan ahli Kitab, yang telah diinformasikan oleh Rasulullah saw bahwa hal ini akan terjadi juga di kalangan kaum muslimin. (Iqtidhaus-Shirathil Mustaqim, halaman 377)


AQIDAH  KAMI

Apa yang dituturkan oleh Ibnu Taimiyah di atas sama seperti apa yang menjadi Akidah kami. Kami selalu mengajak dan mendorong kaum muslimin di setiap kesempatan dan tempat agar selalu berpegangan dengan akidah ini. Kami melarang mereka menjadikan kuburan Rasulullah saw, petilasan, dan bekas-bekas peninggalan beliau saw sebagai tempat  mengadakan perayaan. Kami melarang mereka untuk melakukan secara khusus di situ berbagai macam bentuk peribadatan yang dilarang oleh syari’at, kecuali peribadatan yang hanya ditujukan kepada Allah swt. Kami melarang mereka mengkhususkan diri mengunjunginya pada waktu-waktu dan hari-hari tertentu, lalu mengadakan  pertemuan secara rutin di situ sekali setahun (acara Haul), atau mungkin sebulan sekali. Atau seminggu sekali.

Itulah keyakinan, akidah dan sikap keberagamaan kami kepada Allah swt. Bukan sejak hari ini saja, bahkan hal itu dilakukan sejak kakek dan nenek moyang kami yang diwariskan secara turun temurun dari kaum salafus shalih.

Kita seharusnya memandang secara obyektif dan penuh perhatian terhadap berbagai pendapat dan kajian ilmiyah yang cukup pelik ini. Kita seharusnya tidak perlu tergesah-gesah mengkafirkan kaum muslimin, atau melontarkan tuduhan bahwa mereka telah melakukan kesesatan dan bid’ah, hanya disebabkan oleh karena mereka menelusuri atau melakukan napak tilas pada tempat-tempat bersejarah dan petilasan Rasulullah saw, serta perhatian mereka yang cukup besar untuk menziarahi makam para Nabi, auliya’ dan kaum shalihin pada umumnya. Sebalikya kita seharusnya berbaik sangka terlebih dahulu kepada mereka, bahwa maksud dan tujuan mereka melakukan yang demikian itu pada pokoknya adalah untuk melakukan ibadah kepada Allah swt. Tempat-tempat itu semua adalah sebagai sebab  atau wasilah yang akan menambah kuatnya keimanan meraka, mendorong mereka untuk beri’tibar (mengambil pelajaran) dan meningkatkan hubungan emosional mereka dengan para Nabi, auliyak dan kaum shalihin jaman dahulu. Bukankah para Nabi dan kaum shalihin merupakan suri teladan bagi mereka?!.




==============================================

*) Sumber : Diambil dari salah satu bagian dari kitab :
Judul Asli
: مفـاهـيم يجب أن تـصحح
Penulis
: Prof. DR. Sayyid Muhammad Alawi Al-Maliki
Alih Bahasa
: Achmad Suchaimi
Judul Terjemahan
: Pemahaman Yang Perlu Diluruskan (PYPD)