MENZIARAHI
PETILASAN DAN PENINGGALAN SEJARAH
Tempat-tempat
peninggalan sejarah serta bangunan
monumental para Nabi dan auliya’, merupakan tempat-tempat yang biasa dijadikan
orang-orang untuk melakukan ibadah kepada Allah swt, akan tetapi tidak mereka
jadikan sebagai ‘masajid’ , tempat penyembahan.
Ada
dua pendapat dari ulama-ulama terkenal :
Pertama.
Mereka
melarang dan tidak menyukai perbuatan seperti itu. Mereka tidak setuju
tempat-tempat tersebut dijadikan tempat untuk melakukan ibadah kepada Allah
swt, kecuali sesuai yang diperintahkan syariat Islam. Misalnya Rasulullah saw
memerintahkan agar melakukan shalat di belakang Maqam Ibrahim, melakukan
di semua masjid yang ada dan beliau saw menentukan keutamaan shalat pada shaf
pertama, dan lain-lain.
Kedua.
Tidak apa-apa melakukan ibadah di tempat-tempat
tersebut, sebagaimana penjelasan yang dinukil dari Ibnu Umar, bahwa ia sengaja
memilih tempat-tempat tertentu yang pernah digunakan Rasulullah saw untuk
melakukan ibadah, meskipun hanya secara kebetulan.
As-Sanady
al-Khatimy menjelaskan : “Kami pernah bertanya kepada Abu Abdillah (Imam Malik)
tentang seseorang yang mendatangi tempat-tempat bersejarah tertentu. Apakah hal
boleh dilakukan, dan bagaimana pendapatnya?”. Dia menjawab: “Berdasarkan
riwayat dari Ibnu Maktum, bahwa ia pernah memohon kepada Rasulullah saw agar
berkenan shalat di suatu ruangan dalam rumahnya dan akan menjadikannya sebagai
‘Mushalla’. Demikian pula berdasarkan tindakan Ibnu Umar yang memiliki
hobi menelusuri tempat-tempat petilasan yang pernah dipakai Rasulullah saw
melakukan ibadah. Atas dasar ini, maka tidak mengapa seseorang mendatangi
tempat-tempat bersejarah, bangunan monumental dan petilasan para Nabi jaman
dahulu dan para kaum shalihin. Kecuali jika hal itu dilakukan secara berlebihan
dan secara berulang-ulang (rutin).
Abu
Abdillah menjelaskan mengenai ‘Masyahid’ (bangunan monumental
peninggalan sejarah) sebagai suatu tempat yang didalamnya tersimpan barang
bekas peninggalan sejarah para Nabi dan kaum shalihin jaman dahulu, selain
berupa masjid yang mereka tinggalkan. Keterangannya didasarkan atas Atsar-atsar
dan ucapan sahabat, di antaranya adalah seperti yang diriwayatkan
oleh Imam Bukhary, dari Musa bin ‘Uqbah ra, bahwa ia pernah mengatakan : “Aku
melihat Salim bin Abdullah memilih suatu tempat di tengah perjalanannya untuk
melakukan shalat di situ”. Dan diceritakan pula, bahwa ayahnya Musa (yakni
Uqbah) juga pernah melakukan shalat di situ, disebabkan Rasulullah saw pun
pernah melakukannya di tempat itu. Musa bin Uqbah mengatakan : “Nafi’ pernah
mengatakan kepadaku, bahwa Ibnu Umar pernah melakukan di tempat itu juga”.
Mengenai
penelusuran petilasan atau ‘Napak Tilas’ yang tidak disukai adalah
sebagaimana yang diriwayatkan oleh Sa’id bin Manshur didalam kitab Sunan-nya,
yang bersumber dari Abu Mu’awiyah, dari Al-A’masi, dari Al-Ma’rur bin Suwaid,
dari Umar bin Khatthab ra. Al-Ma’rur mengatakan : “Kami berangkat untuk
melakukan ibadah Haji bersama Umar bin Khatthab ra. Sewaktu dia mengimami
shalat, surat setelah Al-Fatihah yang dibacanya adalah surat Al-Fil pada rekaat
pertama dan surat Al-Quraisy pada rekaat kedua. Setelah pulang dari ibadah
haji, di suatu kampung, Umar menyaksikan orang-orang berduyun-duyun mendatangi
suatu masjid. Umar bertanya kepada mereka : “Ada apa ini?”. Jawab
mereka: “Kami shalat di masjid yang pernah ditempati Rasulullah saw melakukan
shalat”. Umar berkomentar : “Perbuatan seperti inilah yang menyebabkan
Ahli Kitab (kaum Yahudi dan Nasrani) menjadi rusak. Mereka menjadikan petilasan
atau tempat bekas bersejarah para Nabi mereka sebagai sinagog atau
tempat ibadah. Jika ingin melakukan shalat di situ, silahkan saja dan jika
tidak ingin, lewatlah dan teruskan perjalananmu”.
Umr
bin Khatthab ra benar-benar tidak suka menjadikan suatu tempat yang pernah
digunakan Rasulullah saw melakukan shalat sebagai tempat Perayaan, dan
dia berkomentar bahwa yang menjadi penyebab rusaknya kaum ahli kitab
jaman dahulu adalah melakukan perbuatan seperti itu.
Ibnu
Taimiyah menuturkan: “Sesungguhnya para ulama berbeda pendapat mengenai ‘Napak
Tilas’ dengan cara mendatangi atau mengunjungi ‘Masyahid’ (tempat /
bangunan monumental dan petilasan peninggalan para Nabi dan kaum
shalihin jaman dahulu). Di antara pendapat mereka adalah :
1). Muhammad
bin Wadhah mengatakan, bahwa Imam Malik dan ulama lainnya dari Madinah
tidak menyukai mendatangi tempat-tempat peninggalan sejarah masa lalu dan
masjid-masjid tertentu di sekitar kota
Madinah, selain masjid Quba’ dan medan pertempuran Uhud. Sufyan Ats-Tsauri
memasuki kota Baitul Maqdis dan melakukan shalat di Masjidil Aqsha, akan tetapi
ia tidak meneruskan perjalanannya untuk mengunjungi tempat petilasan atau bekas
peninggalan masa lalu di kota itu, serta tidak melakukan shalat di
tempat-tempat itu.
Mereka
memakruhkan dan tidak menyukai kunjungan tersebut secara mutlak berdasarkan
penjelasan dan perilaku Umar bin Khatthab, bahwa perbuatan seperti itu
menyerupai perbuatan melakukan shalat di samping makam, karena dianggap sebagai
mediator atau perantara untuk menjadikan tempat tersebut sebagai tempat
perayaan atau keramaian. Di samping juga menyerupai perbuatan kaum Ahli Kitab.
Adapun kunjungan dalam rangka Napak Tilas yang pernah dilakukan oleh
Ibnu Umar, sebenarnya tidak sesuai dengan dengan perbuatan seorang sahabat pun.
Ibnu Umar tidak mencontoh perilaku para Khulafaurrasyidin, serta para sahabat
Muhajirin dan Anshar.
2) Ulama
mutakhir menganggap ‘Mustahab’ (disukai)
mengunjungi tempat-tempat tersebut. Sekelompok para penyusun buku-buku Manasik
Haji menjelaskan tentang sunnahnya mengunjungi tempat-tempat bersejarah
tersebut, lengkap disertai dengan nama, peta, lokasi dan peristiwa sejarahnya.
3). Imam
Ahmad bin Hambal memberikan ‘Rukhshah’ (keringanan) dan membolehkan
hal itu berdasarkan Atsar-atsar yang menjelaskan tentang kunjungan
tersebut. Kecuali disertai dengan niat menjadikan tempat tersebut sebagai
tempat Perayaan dan tempat berkumpulnya pada waktu-waktu tertentu. Sama
halnya dengan diperbolehkannya kaum wanita shalat berjamaah di masjid, meskipun
shalat mereka di rumah itu lebih baik daripada shalat di masjid, kecuali bagi
merka yang tidak memiliki untuk bersolek. (Iqtidhaus-Shirathil Mustaqim fi
Mukhalafati Ashhab al-Jahim, halaman 387).
Walhasil.
Imam Ahmad bin Hambal memperbolehkan
mengunjungi tempat-tempat petilasan, peninggalan sejarah dan tempat-tempat lain
yang berhubungan dengan suatu peristiwa yang melibatkan para Nabi dan kaum
shalihin. Kebolehan tersebut dapat ditelusuri dari beberapa Hadis Nabi.
Perbuatan ini tidak termasuk bid’ah,
sesat, kufur dan syirik.
Pendapat Imam Ahmad bin Hambal itu kemudian
dirinci lagi oleh Ibnu Taimiyah, dipandang dan dilihat dari segi sedikit dan
banyaknya atau sering dan jarangnya kunjungan itu dilakukan. Ibnu Taimiyah
mengatakan, bahwa sering mengunjungi tempat petilasan tersebut hukumnya makruh
menurut Imam Ahmad bin Hambal. Dia menjelaskan ukuran banyak-sedikitnya dan
sering jarangnya melakukan kunjungan ke tempat bekas peninggalan tersebut
adalah usaha menjadikannya sebagai tempat mengadakan perayaan, dimana
orang-orang berkumpul dan melakukan
pesta di situ pada waktu-waktu tertentu.
Mengenai
petilasan, tempat bekas peninggalan sejarah atau bangunan monumental yang
pernah dijadikan para Nabi sebagai masjid atau mereka pernah melakukan shalat
di tempat itu, hal ini keluar dari pembahasan yang dirinci Ibnu Taimiyah.
PENGERTIAN
AL-‘ID (PERAYAAN)
Ibnu
Taimiyah mencoba memberikan batasan pengertian dari istilah Al-‘Id yang
dilarang oleh Rasulullah saw didalam sabdanya : “Janganlah kamu menjadikan
kuburanku sebagai Al-‘Id (perayaan)”.
Sesungguhnya
membiasakan diri secara sengaja mendatangi suatu tempat tertentu pada waktu
tertentu untuk melakukan perayaan di situ secara berulang-ulang misalnya
setahun sekali, sebulan sekali atau mungkin seminggu sekali, dengan sendiri
adalah masuk dalam pengertian Al-‘Id, yang diingkari pelaksanaannya oleh
Imam Ahmad bin Hambal.
Pada
kesempatan yang lain Ibnu Taimiyah mengatakan : “Adapun menjadikan
kuburan-kuburan mereka sebagai Perayaan adalah termasuk perbuatan yang
dilarang Allah swt dan Rasul-Nya. Dan membiasakan diri menuju ke kuburan-kuburan ini pada
waktu-waktu tertentu dan mengadakan suatu acara dan pertemuan secara umum di
situ pada waktu-waktu tertentu, adalah juga masuk dalam pengertian menjadikan
tempat itu sebagai perayaan, sebagaimana penjelasan yang lalu. Dan
saya tidak mengetahui penyimpangan dalam persoalan ini di kalangan kaum
muslimin yang dilakukan oleh ulamanya. Kita tidak perlu tertipu oleh banyaknya
adat istiadat rusak, karena hal ini menyerupai apa yang terjadi di kalangan
ahli Kitab, yang telah diinformasikan oleh Rasulullah saw bahwa hal ini akan terjadi
juga di kalangan kaum muslimin. (Iqtidhaus-Shirathil Mustaqim, halaman
377)
AQIDAH KAMI
Apa
yang dituturkan oleh Ibnu Taimiyah di atas sama seperti apa yang menjadi Akidah
kami. Kami selalu mengajak dan mendorong kaum muslimin di setiap kesempatan dan
tempat agar selalu berpegangan dengan akidah ini. Kami melarang mereka
menjadikan kuburan Rasulullah saw, petilasan, dan bekas-bekas peninggalan
beliau saw sebagai tempat mengadakan perayaan.
Kami melarang mereka untuk melakukan secara khusus di situ berbagai macam
bentuk peribadatan yang dilarang oleh syari’at, kecuali peribadatan yang hanya
ditujukan kepada Allah swt. Kami melarang mereka mengkhususkan diri
mengunjunginya pada waktu-waktu dan hari-hari tertentu, lalu mengadakan pertemuan secara rutin di situ sekali setahun
(acara Haul), atau mungkin sebulan sekali. Atau seminggu sekali.
Itulah
keyakinan, akidah dan sikap keberagamaan kami kepada Allah swt. Bukan sejak
hari ini saja, bahkan hal itu dilakukan sejak kakek dan nenek moyang kami yang
diwariskan secara turun temurun dari kaum salafus shalih.
Kita
seharusnya memandang secara obyektif dan penuh perhatian terhadap berbagai
pendapat dan kajian ilmiyah yang cukup pelik ini. Kita seharusnya tidak perlu
tergesah-gesah mengkafirkan kaum muslimin, atau melontarkan tuduhan bahwa
mereka telah melakukan kesesatan dan bid’ah, hanya disebabkan oleh karena
mereka menelusuri atau melakukan napak tilas pada tempat-tempat
bersejarah dan petilasan Rasulullah saw, serta perhatian mereka yang cukup
besar untuk menziarahi makam para Nabi, auliya’ dan kaum shalihin pada umumnya.
Sebalikya kita seharusnya berbaik sangka terlebih dahulu kepada mereka, bahwa
maksud dan tujuan mereka melakukan yang demikian itu pada pokoknya adalah untuk
melakukan ibadah kepada Allah swt. Tempat-tempat itu semua adalah sebagai sebab
atau wasilah yang akan
menambah kuatnya keimanan meraka, mendorong mereka untuk beri’tibar (mengambil
pelajaran) dan meningkatkan hubungan emosional mereka dengan para Nabi, auliyak
dan kaum shalihin jaman dahulu. Bukankah para Nabi dan kaum shalihin merupakan
suri teladan bagi mereka?!.
==============================================
*)
Sumber : Diambil dari salah satu bagian dari kitab :
|
|
Judul
Asli
|
:
مفـاهـيم يجب أن تـصحح
|
Penulis
|
:
Prof. DR. Sayyid Muhammad Alawi Al-Maliki
|
Alih
Bahasa
|
:
Achmad Suchaimi
|
Judul
Terjemahan
|
:
Pemahaman Yang Perlu Diluruskan (PYPD)
|