Minggu, 09 Juni 2013

PPYD - 18. Bertawassul Dengan Rasulullah SAW Semasa Hidupnya dan Sesudah Wafatnya




Oleh : Prof. DR. Sayyid Muhammad Alawi Al-Maliki




Kisah seorang lelaki yang buta
 
Hadis Usman bin Hunaif ra menerangkan kesaksiannya, bahwa pada suatu hari telah datang kepada Rasulullah saw seorang lelaki yang mengeluhkan hilangnya penglihatannya (buta), “Ya Rasulullah, aku tidak memiliki seorang penuntun jalanku, sehingga aku mengalami kesulitan”. Beliau saw berkata, “ Pergilah dan ambillah air wudhu, lalu shalatlah sunnah dua rekaat, kemudian membaca doa :
 
أَللَّهُمَّ إِنِّي أَسْأَلُكَ وَ أَتَوَجَّهُ إِلَيْكَ بِـنَبِيِّكَ مُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ, نَبِيِّ الرَّحْمَةِ. يَا مُحَمَّدُ ! إِنِّي أَتَوَجَّهُ بِكَ إِلَى رَبِّكَ, فَيُجْلِيَ لِيْ بَصَرِيْ حَاجَتيِ . أَللَّهُمَّ شَفِّعْهُ فِيَّ وَ شَفِّعْنِيْ فِيْ نَفْسِيْ
Ya Allah, aku memohon dan bertawajjuh (menghadap) kepada-Mu dengan perantaraan Nabi-Mu, Nabi Muhammad saw, seorang Nabi pembawa rahmat. Ya Muhammad ! Aku bertawajjuh melalui perantaraanmu kepada Tuhanmu, agar Dia menjadikan penglihatanku bisa melihat kembali. Ya Allah, terimalah permohonan syafaatnya untukku dan terimalah permohonan syafaatku untuk diriku”.
Usman bin Hunaif ra melanjutkan ceritanya, “Demi Allah. Tidak lama kemudian, lelaki tersebut mendatangi Rasulullah saw dalam keadaan seakan-akan tidak buta”.
Al-Hakim menilai hadis di atas shahih isnadnya. Akan tetapi imam al-Bukhari dan Muslim tidak mentakhrijnya. Adz-Dzahaby juga menilai hadis ini shahih, sementara at-Turmudzi menilianya hasan shahih lagi gharib. Hadis ini juga diriwayatkan oleh Abu Ja’far, yang bukan bergelar Al-Khathamy, pada bagian akhir kitab As-Sunan dalam bab doa-doa.
Perlu kami luruskan, bahwa yang benar Abu Ja’far bergelar Al-Khathamy al-Madany, sebagaimana yang dijelaskan didalam riwayat at-Thabrany, al-Hakim dan al-Baihaqy. At-Thabrany menambahkan didalam kitab Al-Mu’jam ash-Shaghir , bahwa nama asli Abu Ja’far adalah Umair bin Yazid, seorang yang tsiqah.
Para sahabat tidak sekedar bertawassul kepada Rasulullah saw semasa hidupnya, bahkan mereka melakukannya setelah wafatnya. At-Thabrany meriwayatkan hadis di atas setelah sebelumnya diawali dengan sebuah kisah tentang seorang lelaki yang berkali -kali  datang menemui khalifah Usman bin Affan untuk mengadukan suatu hajat keperluannya. Karena sesuautu hal, khalifah tidak menanggapi dan tidak memperhatikannya. Lelaki itu lalu menemui Usman bin Hunaif untuk mengadukan persoalannya dan diperintahkan kepadanya, “Ambillah air wudhu, berwudhulah, lalu shalatlah sunnah dua rekaat, kemudia bacalah doa :
 
أَللَّهُمَّ إِنِّي أَسْأَلُكَ وَ أَتَوَجَّهُ إِلَيْكَ بِـنَبِيِّنَا مُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ, نَبِيِّ الرَّحْمَةِ. يَا مُحَمَّدُ ! إِنِّي أَتَوَجَّهُ بِكَ إِلَى رَبِّكَ فَيُقْضِيَ حَاجَتيِ .....
Ya Allah, aku memohon dan bertawajjuh kepada-Mu dengan perantaraan Nabi kami, Nabi Muhammad saw, Nabi pembawa rahmat. Hai Muhammad ! Sesungguhnya  aku bertawajjuh kepada Tuhanmu melalui perantaraanmu, kiranya Dia mengabulkan hajat keperluanku …”
Kemudian sebutkan apa yang menjadi hajat keperluanmu”. Demikianlah kata Usman bin Hunaif menyarankan kepada lelaki tersebut.
Lelaki tersebut lalu menemui khalifah. Sesampainya di istana, ia diantar oleh penjaga untuk menemui khalifah dan ia diterima dengan penuh penghormatan. Khalifah Usman bin Affan mempersilahkannya untuk mengemukakan hajatnya, “Ada perlu apa Anda datang menemuiku?”. Dia lalu mengemukakan semua permintaannya, dan dikabulkan oleh khalifah seraya menambahkan, “Jika Anda memiliki hajat keperluan lagi, yang sekiranya aku bisa membantumu, datanglah menemuiku”.
Lelaki itu selanjutnya keluar dari istani dan langsung mendatangi Usman bin Hunaif, lalu berkata: “Semoga Allah swt membalas kebaikanmu. Sebelum ini, khalifah tidak pernah mengubris dan memperdulikan hajatku. Menoleh pun tidak. Sampai kamu membicarakan persoalanku kepada beliau”.
Usman bin Hunaif mengelak, “Demi Allah, aku tidak berbicara dengan khalifah. Hanya saja aku pernah menyaksikan sendiri bahwa Rasulullah saw pernah didatangi seorang lelaki buta yang mengaduan kebutaannya, lalu beliau saw bersabda, ‘Apakah kamu bersabar atas kebudataan yang menimpamu ?’  .Orang itu menjawab: ‘Iya, saya bersabar, wahai Rasulullah. Namun aku tidak memiliki seorang penuntun jalanku sehingga aku benar-benar mengalami kesulitan’.  Kemudian beliau saw memerintahkannya agar berwudhu, diteruskan shalat sunnah dua rekaat dan berdoa (seperti doa di atas). Demi Allah, tidak lama kemudian, lelaki tersebut datang menemui beliau saw kembali dalam keadaan seakan-akan tidak pernah tertimpa kebutaan sama sekali”.
Al-Mundziry berkomentar, “Hadis tersebut diriwayatkan oleh at-Thabrany dan dinilainya sebagai hadis shahih”. Demikianlah yang dijelaskan didalam kitab At-Targhib, juz 1; hal. 440 dan kitab Majma’ al-Zawaid, juz 2; hal. 279.
Menurut pandangan Ibnu Taimiyah, imam at-Tirmidzi pernah berkata, bahwa hadis ini diriwayatkan oleh Syu’bah dari Abu Ja’far yang memiliki nama asli Umair bin Yazid, seorang yang Tsiqah.
Dengan penjelasan ini maka semakin jelaslah bahwa hadis tawassul di atas dinilai  shahih  oloh at-Thabrany dan al-Hafizh Ibnu Abdillah al-Maqdisy, kemudian dinukil oleh al-Hafizh al-Mundziry, Hasanuddin al-Haitsamy dan Syaikhul Islam Ibnu Taimiah.
Kesimpulan : Usman bin Hunaif ra yang meriwayatkan hadis di atas mengungkapkan kesaksiannya sendiri terhadap dua orang yang berdoa kepada Allah swt dengan cara tawassul melalui perantaraan Rasulullah saw. Orang yang pertama bertawassul melalui beliau saw sewaktu beliau masih hidup. Sedangkan orang yang kedua bertawassul dengan beliau setelah wafatnya. Tepatnya terjadi pada masa kekhalifahan Usman bin Affan. Ternyata doa kedua orang tersebut dikabulkan Allah. 
 
  Praktek Tawassul lain dan penegasan Ibnu Taimiyah
 
Ibnu Abdiddunya menceritakan didalam kitabnya Mujabud-dua’ : Telah bercerita kepada kami Abu Hasyim, dari Katsir bin Muhammad bin Katsir bin Rifaah, dia mengatakan bahwa seseorang telah mendatangi Abdul Malik bin Sa’id binAbjar untuk memeriksakan kesehatannya. Orang itu bilang, “Didalam lambungmu terdapat penyakit yang tidak dapat disembuhkan?”. “Penyakit apa itu?”, kata Abdul Malik. “Yaitu penyakit Dubailah, sejenis penyakit bisul dan borok (kanker). Biasanya penyakit ini sering mematikan si pasien”, jawabnya, sambil mengalihkan pembicaraannya pada persoalan lain. Karena panik dan perasannya tidak karuan, lalu Abdul Malik berdoa :
 
اَللَّهُ, اَللَّهُ, اَللَّهُ, رَبِّي لَا أُشْرِكُ بِهِ شَيْئًا. أَللَّـهُمَّ إِنِّي أَتَوَجَّهُ إِلَيْكَ بِنَبِيِّكَ مُحَمَّدٍ نَبِيِّ الرَّحْمَةِ. يَا مُحَمَّدُ, إِنِّي أَتَوَجَّهُ بِكَ إِلَى رَبِّكَ وَ رَبِّي  يَرْحَمُنِي مِمَّا بِيْ.
Allah, Allah, Allah ! Wahai Tuahanku. Aku tidak mensyirikkan-Nya dengan sesuatu yang lain. Ya Allah, aku bertawajjuh kepada-Mu dengan perantaraan Muhammad, Nabi pembawa rahmat. Ya Muhammad, aku bertawajjuh dengan perantaraanmu kepada Tuhanku, semoga Dia memberi rahmat kepadaku dan menyembuhkan penyakit yang sedang aku derita ini”.
Tidak lama kemudian, lelaki itu memeriksa lagi perut Abdul Malik, lalu berkomentar, “Sekarang penyakitnya sudah hilang, dan tidak ada lagi penyakit didalam perutmu”.
Ibnu Taimiyah didalam bukunya Qa’idah Jalilah, hal. 94, menyatakan : “Saya tegaskan bahwa doa semacam ini dan doa-doa sejenisnya benar-benar telah dipraktekkan oleh orang-orang salaf jaman dahulu”.
Ibnu Taimiyah menyatakan demikian itu tentu ada maksud dan tujuan tertentu. Namun yang penting bagi kita adalah penegasannya bahwa para ulama dan orang-orang salaf jaman dahulu mempraktekkan doa tawassul untuk tujuan-tujuan pengobatan. Itulah pendapatnya yang terpenting. Bagi kita, ada yang lebih penting dari itu semua, yakni menetapkan hadis tawassul di atas sebagai argumentasi tentang diperbolehkannya bertawassul, sesuai dengan apa yang kita kehendaki di sini.
 
  
  Usaha Keras Para Penentang Tawassul    
 
Di antara mereka ada yang mengkritik dan bersuara keras tentang hadis tawassulnya Nabi Adam, hadis Usman bin Hunaif dan hadis tawassul lainnya. Mereka berusaha sekuat tenaga menolaknya dengan berbagai cara, antara lain melalui diskusi, seminar, berteriak-teriak, atau dialog dengan tema sekitar persoalan tawassul. Semua yang mereka lakukan itu akan sia-sia dan tidak ada manfaatnya. Karena setiap kali mereka berusaha keras menolaknya, saat itu pula mereka berhadapan dengan para ulama besar yang nota bene adalah para panutannya, dimana semua ucapan dan pendapat para ulama tersebut jelas jauh lebih bermutu dan rasional, menunjukkan keluasan ilmunya dan ketajaman analisisnya, lebih dalam pemahamannya dan lebih bersinar, serta lebih taqwa dan ikhlas daripada ucapan dan pendapat mereka yang menjadi pengikutnya.
Di antara para ulama yang menjadi idola dan panutan mereka adalah 1) imam Ahmad bin Hanbal yang jelas-jelas memperbolehkan praktek tawassul, dimana pendapat-pendapatnya banyak dinukil oleh Ibnu Taimiyah dan syaikh ‘Izzuddin bin Abdussalam;  2) Ibnu Taimiyah, juga memperbolehkan praktek tawassul. Bahkan didalam kitabnya Fatawa, beliau menjelaskan bahwa tawassul merupakan persoalan furu’ (cabang) dan bukan ushul (prinsip);  3) syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab, seorang pendiri dan peletak dasar faham Wahhabiyah yang berkembang dan bahkan menjadi faham atau madzhab resmi pemerintah Kerajaan Arab Saudi sampai saat ini, secara tegas mengingkari orang yang mencaci maki disertai pengkufuran terhadap setiap orang yang berpendapat tentang bolehnya bertawassul.   
Syaikh al-‘Allamah al-Muhaddits Abdullah al-Ghamary menyususn sebuah kitab Risalah (karangan tipis dan ringkas) yang secara khusus membicarakan tentang hadis-hadis yang membicarakan persoalan tawassul, yang diberi judul Mishbah al-Zujajah fi shalatil Hajat . Didalam kitab tersebut diuraikan antara lain mengenai doa tawassul yang sesuai dalam rangka pengobatan, kecukupan hidup dan kekayaan. Semoga Allah swt membalasnya dengan sebaik-baik balasan.
 
  Bertawassul dengan Rasulullah saw pada hari Kiamat
 
Bertawassul dengan perantaraan Rasulullah saw pada hari kiamat tidak perlu diperpanjanglebarkan pembahasannya, karena hadis-hadis mengenai syafaat sudah sampai pada puncak kemutawatirannya.  Semuanya merupakan nash-nash yang sharih (jelas) yang menceritakan bahwa pada saat seluruh umat manusia dirundung kesusahan, kegelisahan dan kesulitan yang luar biasa didalam penantiannya yang cukup panjang untuk mencari keselamatan diri, mereka meminta bantuan syafaat kepada para Nabi. Mulai dari meminta syafaat kepada Nabi Adam as, Nabi Nuh, Nabi Ibrahim, Nabi Musa, kemudian kepada Nabi Isa. Mereka para Nabi tersebut justru menyarankan umat manusia agar memohon syafaat kepada Nabi Muhammad saw dan beliau pun lalu meluluskan permohonan mereka. Beliau saw bersabda, “Aku-lah pemilik syafaat. Aku-lah pemiliknya”. Kemudian beliau terus menerus bersujud di hadapan Allah swt, sampai terdengar suara-Nya: “Angkatlah kepalamu! Mohonlah syafaat, tentu akan Aku beri syafaat”.  
 Ini semua merupakan konsensus atau kesepakatan para Nabi dan Rasul serta seluruh kaum mukminin, dan merupakan ketentuan dari Allah swt Tuhan Pencipta alam, bahwa memohon pertolongan (istighatsah) sewaktu menghadapi kesulitan dan kesusahan dengan cara bertawassul melalui perantaraan pimpinan Muqarrabin (orang yang sangat dekat hubungannya dengan Allah swt ), yakni Nabi Muhammad saw , merupakan pembuka jalan kesulitan dan tercapainya ridha Tuhan Pencipta alam, Allah swt.
 
 
 
 
_______________________________________________
 
 Sumber : diterjemahkan dari kitab "مفاهيم يجب ان تصحح".
 

Tidak ada komentar: