Minggu, 21 Juli 2013

PYPD - 45. ADA APA DENGAN MAKAM ROSULULLOH SAW ....?





Oleh Sayyid Muhammad Alawi Al-Maliki


HAKEKAT MAKAM RASULULLAH SAW

Segolongan orang memandang makam Rasulullah saw sekedar sebagai ruang kubur semata. Dengan pandangan seperti itulah maka tidak aneh jika mereka memiliki persepsi, anggapan dan pandangan yang aneh lagi ‘nyeleneh’  pula. Hati mereka dipenuhi dengan suuzhan (prasangka buruk) yang berlebihan kepada kaum muslimin yang berziarah ke makam beliau saw dan berdoa di sampingnya, lalu mereka berkampanye : “Jangan bersusah-susah pergi ke makam Rasulullah saw, dan tidak boleh berdoa di samping makam beliau saw, dll”. Bahkan omongan mereka terkadang ‘nyelekit’ dan menyakitkan hati, misalnya : “Berdoa di samping makam adalah syirik dan kufur… menghadap ke makam adalah perbuatan bid’ah dan syirik, dan seterusnya”. Tuduhan syirik, kafir, bid’ah dan sesat seperti yang mereka lontarkan itu merupakan tindakan yang tanpa mempertimbangkan dampak negatifnya, serta bukan didasarkan atas pandangan dan pemikiran yang sehat. Hal ini jelas sangat bertentangan dengan sikap dan perilaku kaum salaf yang mereka banggakan.  

Kajian kami tentang makam Rasulullah saw, berziarah ke makamnya, bepergian jauh dalam rangka mengunjungi makamnya, dan berdoa kepada Allah swt di samping makamnya, bukanlah dimaksudkan untuk menciptakan permusuhan, perpecahan, pertentangan dan mengadu domba kaum muslimin. Akan tetapi yang terpenting adalah  ingin membicarakan sosok seorang “Tokoh” yang menghuni makam tersebut.

Makam Rasulullah SAW
 
Perlu diketahui, bahwa penghuni makam tersebut adalah seorang Sayyidul Mursalin wal Akhirin, makhluk Allah swt yang paling utama, Nabi yang teragung, dan seorang Utusan Allah yang paling mulia, Nabi Muhammad saw . Makam tersebut tidak ada harganya sama sekali seandainya didalamnya tidak ada beliau saw. Demikian pula kota Madinah dan kaum muslimin tidak memiliki harga dan nilai sedikit pun seandainya tanpa kehadiran beliau saw di bumi ini. Karena mereka itu, seandainya tidak ada pribadi beliau saw, tidak ada Risalah yang beliau saw bawa, tiadanya keimanan dan kecintaan kepada beliau saw,  serta pernyataan syahadat dianggap tidak sah kecuali dengan mengakui beliau saw sebagai Rasulullah, maka mereka (kaum muslimin) tidak akan pernah ada di dunia, tidak akan dapat berdiri kokoh, dan tidak akan memperoleh kebahagiaan dan keselamatan baik di dunia maupun di akhirat.

Berangkat dari persoalan ini, sewaktu Ibnu Aqil ditanya seseorang tentang keutamaan antara cungkup makam Rasulullah saw dengan bangunan Ka’bah, dia mejawab : “ Kalau dilihat dari segi bangunan fisiknya, Ka’bah jelas lebih utama daripada cungkup makam Rasulullah saw. Namun jika yang Anda maksudkan adalah cungkup makam yang didalamnya ada jenazah beliau saw, maka jelaslah bahwa makam beliau saw yang lebih utama daripada Ka’bah. Bahkan, Demi Allah, ‘Arasy, penyanggah ‘Arasy, dan surga ‘Aden,  tidak ada nilai dan harganya bila dibanding dengan makam beliau saw. Karena didalam makam tersebut terbaring satu jasad seseorang yang seandainya ditimbang dengan kedua alam dunia dan akhirat, tentu akan berat sebelah, masih berat makam tersebut”. (Baca kitab Bada-iul Fawaid, tulisan Ibnul Qayyim).

Itulah maksud dan tujuan kami mengkaji persoalan makam Rasulullah saw, keutamaannya, menziarahinya, dan bepergian jauh menuju ke sana. Dan dari kenyataan ini pula  para ulama Malikiyah berkomentar : “Tidak sepantanya seseorang mengatakan ‘Aku menziarahi makam Rasulullah saw’, seharusnya yang dia ucapkan adalah ‘Aku menziarahi Rasulullah saw”. Komentar mereka ini merupakan pentafsir terhadap pernyartaan imam Malik : “Aku tidak menyukai seseorang mengatakan ‘Aku menziarahi makam Rasulullah saw’ .

Kenapa begitu? Karena yang diziarahi itu adalah orang yang masih mampu mendengar ucapan dan mampu melihat  para peziarahnya, serta mampu merasakan, mengenal dan mengembalikan setiap ucapan salam yang ditujukan kepadanya. Dengan demikian, seharusnya yang menjadi maksud dan tujuan para peziarah adalah bukanlah  bangunan fisik makam Rasulullah saw, akan tetapi lebih dari itu, yakni jasad beliau saw terbaring didalam makam tersebut.

Ad-Darimy didalam kitab Sunan-nya menuturkan, bahwa telah bercerita kepadanya Abdullah bin Shalih, dari al-Laits, dari Khalid bin Yazid, dari Sa’id bin Abi Hilal, dari Nabih bin Wahab. Bahwa pada suatu hari Kaab  pernah berada didalam rumah Aisyah ra, sementara orang-orang sama menyebut nama Rasulullah saw di situ, maka berkatalah Kaab kepada mereka : “Tiada satu hari pun berlalu, melainkan turun 70.000 ribu malaikat yang senantiasa mengelilingi makam Rasulullah saw seraya mengepak-epakkan sayapnya dan bershalawat kepadanya. Jika hari sudah sore, mereka meninggalkan makam beliau saw lalu diganti dengan rombongan 70.000 malaikat yang lain. Begitu seterusnya sampai hari kiamat”. (Sunan ad-Darimy, juz 1, halaman 44).  Al-Hafizh Ismail Al-Qadhy. Juga meriwayatkan Atsar ini. Dan Atsar ini baik untuk diikuti, dijadikan sebagai dalil, biografi dan fadhailul a’mal.



BERDOA DI SAMPING MAKAM RASULULLAH SAW

 Para ulama menjelaskan, bahwa orang yang sedang berziarah disunnahkan berhenti sejenak di samping makam Rasulullah saw, lalu menghadap ke arah kiblat seraya berdoa kepada Allah swt untuk memohon kebaikan dan rahmat-karunia sesuai dengan keinginannya. Berhenti sejenak di samping makam beliau saw seraya berdoa bukanlah merupakan suatu perbuatan kufur, bid’ah, sesat atau syirik. Bahkan mereka menetapkannya sebagai amalan sunnah.

Sewaktu khalifah Abu Ja’far Al-Manshur, seorang khalifah Bani Abbasiyah, berkunjung ke Madinah dan menemui Imam Malik, terjadilah dialog interaktif didalam Masjid Nabawi. Imam Malik mengatakan: “Wahai Amirul Mukminin! Jangan Anda keraskan suaramu didalam Masjid ini, karena tatakrama semacam ini memang diajarkan Allah swt kepada kaum muslimin :

يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا لَا تَرْفَعُوا أَصْوَاتَكُمْ فَوْقَ صَوْتِ النَّبِيِّ وَلَا تَجْهَرُوا لَهُ بِالْقَوْلِ كَجَهْرِ بَعْضِكُمْ لِبَعْضٍ أَنْ تَحْبَطَ أَعْمَالُكُمْ وَأَنْتُمْ لَا تَشْعُرُونَ

Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu meninggikan suaramu lebih dari suara Nabi, dan janganlah kamu berkata kepadanya dengan suara keras sebagaimana kerasnya (suara) sebahagian kamu terhadap sebahagian yang lain, supaya tidak hapus (pahala) amalanmu sedangkan kamu tidak menyadari” . (QS Al-Hujurat,[49] : 2).

Allah swt memuji sikap kaum muslimin didalam firman-Nya :

إِنَّ الَّذِينَ يَغُضُّونَ أَصْوَاتَهُمْ عِنْدَ رَسُولِ اللَّهِ أُولَئِكَ الَّذِينَ امْتَحَنَ اللَّهُ قُلُوبَهُمْ لِلتَّقْوَى لَهُمْ مَغْفِرَةٌ وَأَجْرٌ عَظِيمٌ

Sesungguhnya orang-orang yang merendahkan suaranya di sisi Rasulullah mereka itulah orang-orang yang telah diuji hati mereka oleh Allah untuk bertakwa. Bagi mereka ampunan dan pahala yang besar”. (QS Al-Hujurat,[49] : 3)


Selanjutnya Allah swt mencela mereka karena sikapnya yang kurang sopan :

إِنَّ الَّذِينَ يُنَادُونَكَ مِنْ وَرَاءِ الْحُجُرَاتِ أَكْثَرُهُمْ لَا يَعْقِلُونَ(4). وَلَوْ أَنَّهُمْ صَبَرُوا حَتَّى تَخْرُجَ إِلَيْهِمْ لَكَانَ خَيْرًا لَهُمْ وَاللَّهُ غَفُورٌ رَحِيمٌ (5)

Sesungguhnya orang-orang yang memanggil kamu dari luar kamar (mu) kebanyakan mereka tidak mengerti. Dan kalau sekiranya mereka bersabar sampai kamu keluar menemui mereka sesungguhnya itu adalah lebih baik bagi mereka, dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”. (QS Al-Hujurat,[49] : 4-5)

Ketentuan tatakrama semacam itu berlaku baik sewaktu Rasulullah saw masih hidup maupun setelah wafatnya”.

Mendengar penuturan Imam Malik tersebut, Khalifah Abu Ja’far Al-Manshur berkata: “Wahai Abu Abdillah (nama panggilan Imam Malik), apakah aku berdoa sambil menghadap ke arah kiblat ataukah ke arah makam?”.

Imam Malik menjawab : “Kenapa engkau harus memalingkan muka dari beliau saw, sementara beliau saw adalah “wasilah” engkau dan “wasilah” ayah engkau, yakni Nabi Adam as, pada hari kiamat nanti? Bahkan sebaliknya,  hadapkan saja wajah engkau ke arah beliau saw, lalu meminta syafaatnya, semoga Allah swt mengabulkan syafaatnya. Allah swt berfirman :

وَلَوْ أَنَّهُمْ إِذْ ظَلَمُوا أَنْفُسَهُمْ جَاءُوكَ فَاسْتَغْفَرُوا اللَّهَ وَاسْتَغْفَرَ لَهُمُ الرَّسُولُ لَوَجَدُوا اللَّهَ تَوَّابًا رَحِيمًا

Sesungguhnya jikalau mereka ketika menganiaya dirinya datang kepadamu, lalu memohon ampun kepada Allah, dan Rasulpun memohonkan ampun untuk mereka, tentulah mereka mendapati Allah Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang”. (QS An-Nisa’,[4] : 64).

Kisah di atas dituturkan oleh Al-Qadhy ‘Iyadh didalam kitabnya, Asy-Syifa’ fit-Ta’rif bi Huquq al-Musthafa, didalam bab “Ziayarah”. 

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan, menurut Ibnu Wahb, bahwa Imam Malik pernah berkata : “Jika akan mengucapkan salam kepada Rasulullah saw, hendaklah sambil menghadapkan wajahnya ke arah makam beliau saw, bukan ke arah kiblat. Kemudian sebaiknya mendekat ke arah makam, lalu mengucapkan salam kepada kedua sahabat beliau saw, diteruskan berdoa. Tidak perlu mengusap-usapkan tangannya pada tembok makam beliau saw”. (Iqtidhaus Shirathil Mustaqim, halaman 396).

Imam An-Nawawy juga menjelaskan seperti itu didalam kitabnya yang terkenal, Al-Adzkar an-Nawawiyah, pada Bab “Ziayarah”, dan didalam kitab Al-Idhah  pada Bab “Ziyarah”, serta didalam kitab Al-Majmu’ pada juz 8 halaman 398)



PANDANGAN IBNU TAIMIYAH  

 Setelah menukil pendapat para ulama, lalu Ibnu Taimiyah berkomentar : “Para ulama telah sepakat memperbolehkan menghadapkan wajah ke arah kiblat, namun mereka berselisih faham tentang hukum membelakangi makam sewaktu berdoa”.

Itulah resume dan intisari pendapat Ibnu Taimiyah dalam thema ini. Seandainya orang yang bersikap moderat lagi rasional merenungkan pernyataan Ibnu Taimiyah, “Para ulama berselisih faham tentang hukum membelakangi makam sewaktu berdoa”, tentu ia akan memahami apa yang tersembunyi di balik hatinya dan akan menyimpulkan bahwa para peziarah yang berdiri sambil berdoa di samping makam Rasulullah saw setelah mengucapkan salam kepadanya adalah orang-orang yang konsisten terhadap akidah tauhidnya dan benar-benar termasuk golongan orang yang beriman. Karena persoalan ini masih diperselisihkan di kalangan ulama salaf, mereka masih memperselisihkan tentang sunnah dan tidaknya menghadapkan wajah ke arah makam. Yang menjadi pertanyaan kita sekarang adalah, apakah hanya karena masih diperselisihkan itu lalu harus keluar tuduhan syirik, kufur, bid’ah dan sesat? Subhanaka hadza buhtanun ‘azhiim, Maha Suci Engkau, Ya Allah! Ini merupakan kebohongan yang besar.

Yang dilarang sebenarnya adalah  sengaja memilih berdoa secara khusus di samping makam, atau sengaja pergi ke makam khusus untuk berdoa dan mengharapkan terkabulnya doa di sana, atau merasa bahwa berdoa di samping makam adalah lebih dikabulkan daripada di tempat-tempat selainnya. Sedangkan berdoa sewaktu di tengah perjalanannya dan bertepatan dengan melewati suatu makam, lalu berdoa di sampingnya, atau menziarahi suatu makam lalu mengucapkan salam kepada penghuninya dan diteruskan dengan berdoa kepada Allah swt di tempat itu, maka tidak perlu merubah posisinya dari menghadap ke arah makam menjadi menghadap ke arah kiblat. Peziarah yang mempraktekkan cara seperti ini tidak berhak dituduh telah melakukan perbuatan syirik, kufur dan bid’ah.

Ibnu Taimiyah didalam kitab Iqtidhaus-Shirathil Mustaqim, pada halaman 336, mengatakan : “… diantara yang masuk dalam persoalan ini adalah sengaja mendatangi makam khusus untuk berdoa di sampingnya, karena berdoa di samping makam dan di tempat-tempat selainnya dapat dibedakan menjadi dua:

Pertama. Boleh berdoa di sekitar makam, selama hal itu tidak sengaja dilakukan untuk mengkhususkan berdoa di situ, misalnya boleh bagi orang yang  bertepatan   melewarti suatu makam, atau orang yang berziarah ke suatu makam lalu mengucapkan salam kepada ahli kubur diteruskan berdoa kepada Allah swt untuk memohon kesejahteraan dan kebaikan, baik untuk dirinya maupun untuk ahli kubur. Cara berdoa semacam ini tidak apa-apa dilakukan.

Kedua. Sengaja memilih berdoa secara khusus di suatu makam tertentu, disertai perasaan bahwa berdoa di tempat itu lebih dikabulkan daripada di tempat selainnya. Cara berdoa semacam ini dilarang : ada kalanya jatuh kedalam larangan yang bersifat haram dan atau larangan yang bersifat makruh tanzih, yakni kemakruhan yang mendekati keharaman. Sama halnya dengan terlarangnya memilih berdoa secara khusus di samping berhala, di depan salib, gereja, candi dan sejenisnya sambil mengharapkan bahwa berdoa di tempat-tempat itu lebih makbul daripada di tempat lain. Bahkan seandainya ada orang yang secara sengaja menjadikan rumah, toko, pasar atau beberapa jalan tertentu sebagai tempat khusus untuk berdoa dan diyakini lebih makbul daripada di tempat lainnya, maka cara berdoa semacam ini pun dilarang. Ringkas kata, cara berdoa semacam ini termasuk perbuatan munkar yang perlu dihindari, karena tidak ada keutamaan sama sekali berdoa di tempat-tempat itu menurut pandangan syariat Islam.

Sengaja bepergian ke suatu makam dengan niat secara khusus berdoa di situ adalah suatu larangan, bahkan lebih besar daripada yang lain, disebabkan Rasulullah saw melarang menjadikan makam-makam sebagai tempat peribadatan, tempat perayaan, dan melakukan shalat di sampingnya. Hal ini berbeda dengan tempat-tempat yang lain.

Ibnu Taimiyah didalam kitab Iqtidhaus-Shirathil Mustaqim pada halaman 338 menyatakan : “Sesungguhnya sengaja mendatangi makam secara khusus untuk berdoa dan harapan terkabulnya doa di situ lebih besar daripada di tempat lain merupakan perbuatan yang tidak pernah disyariatkan Allah swt dan Rasul-Nya, tidak pernah dilakukan seorang pun dari para sahabat Nabi, tabi’in, tabiut-tabi’in dan para ulama salaf, bahkan tidak pernah diajarkan oleh seorang pun ulama muthakir saat ini” Sementara pada halaman  339 didalam kitab yang sama, dia menegaskan, bahwa jika seseorang mau merenungkan dan menghayati kitab-kitab Atsar yang ada dan mengetahui kondisi perilaku kaum salaf, tentu ia akan yakin seyakin yakinnya bahwa pada dasarnya kaum muslimin tidak akan memohon pertolongan kepada Allah swt di samping makam, bahkan mereka akan berusaha mencegah dari perbuatan yang demikian itu. Kalaupun di antara mereka ada yang melakukannya, hal itu lebih disebabkan oleh kebodohannya.



PANDANGAN SYAIKH MUHAMMAD BIN ABDUL WAHHAB

Dia pernah ditanya orang tentang pendapat para ulama mengenai Istisqa’ (memohon turunnya hujan), kebolehan bertawassul dengan kaum shalihin, pendapat Imam Ahmad bin Hambal tentang bertawassul secara khusus dengan Rasulullah saw, serta pendapat para ulama yang tidak memperbolehkan meminta pertolongan kepada sesama makhluk Allah swt.

Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab menjawab : “Perbedaannya jauh sekali. Pembicaraan mereka itu tidak ada yang cocok untuk kita. Sebagian ulama membolehkan bertawassul dengan kaum  shalihin, sebagiannya lagi membolehkan bertawassul khusus dengan Rasulullah saw, dan sebagian besar mereka melarang melakukan tawassul seperti itu dengan hukum ‘makruh’. Atas dasar itu, kita tidak boleh mengingkari orang yang melakukannya dan mengingkari persoalan Ijtihadiyah mereka. Akan tetapi yang perlu kita ingkari adalah orang yang berdoa memohon sesuatu kepada sesama makhluk lebih besar daripada berdoa kepada Allah swt dan orang yang sengaja mendatangi suatu makam, misalnya makam syaikh Abdul Qadir al-Jilany dan makam kaum shalihin pada umumnya, sambil merendahkan diri di sampingnya dengan maksud untuk mencari ketentraman hati dari berbagai kesulitan dan mencari pertolongan dalam memecahkan problem hidupnya. Bagaimana mungkin perbuatan semacam itu pantas dilakukan oleh orang yang secara ikhlas berdoa kepada Allah swt, memurnikan ketaatannya kepada-Nya dan tidak menyeru seorang pun bersama Allah swt ? Sementara didalam teks doanya ada kata-kata, misalnya, Aku memohon kepada-Mu, Ya Allah, dengan perantaraan Nabi-Mudengan perantaraan para Nabi… dengan perantaraan hamba-Mu yang shaleh… dan lain-lain!. Atau orang itu senagaja datang ke suatu makam, baik yang ia kenal maupun yang tidak, lalu berdoa di sampingnya, da  ia tidak berdoa melainkan hanya kepada Allah swt sambil memurnikan ketaatannya kepada-Nya?. Mana mungkin hal ini kita lakukan?! “. (Fatwa-fatwa asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab yang dihimpun didalam “Kumpulan Karangan” dengan judul “Majmu’ al-Muallafat”, Bagian ketiga, halaman 68, yang diterbitkan dan disebarluaskan oleh Universitas Islam al-Imam Muhammad bin Su’ud, Riyadh-Saudi Arabia).

 

==============================================

*) Sumber : Diambil dari salah satu bagian dari kitab :
Judul Asli
: مفـاهـيم يجب أن تـصحح
Penulis
: Prof. DR. Sayyid Muhammad Alawi Al-Maliki
Alih Bahasa
: Achmad Suchaimi
Judul Terjemahan
: Pemahaman Yang Perlu Diluruskan (PYPD)

PYPD - 43. KAJIAN HADIS NABI TENTANG WISATA RELIGI "ZIARAH KUBUR"




 
Oleh Sayyid Muhammad Alawi Al-Maliki



Banyak sekali orang yang salah dalam memahami hadis Nabi :

لَا تُـشَدُّ الرِّحَالُ إِلَى الْـقـبْرِ إِلاّ إِلَى ثَلَاثَـةِ مَسَاجِدَ  : الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ وَ مَسْجِدِيْ هَـذَا وَ الْمَسْجِدِ اْلأَقْصَى

Janganlah bepergian jauh melainkan pergi menuju ketiga masjid, yakni Masjidil Haram, Masjidku ini, dan Masjidil Aqsha”.

Mereka menjadikan hadis tersebut sebagai alasan untuk mengingkari dan menolak keras setiap bepergian jauh dengan tujuan berziarah ke makam Rasulullah saw. Mereka beranggapan bahwa perjalanan jauh semacam itu merupakan perjalanan maksiat. Alasan tersebut sama sekali tidak benar, karena didasarkan atas landasan pemahaman yang tidak benar dan logika yang salah.

Sabda Rasulullah saw : لا تـشدّ الرحال إلاّ إلى ثلاثـة مساجد  (“Janganlah bepergian jauh melainkan pergi ke tiga masjid”) menggunakan Uslub atau struktur dan gaya bahasa yang dikenal dengan  "الإسـتـثناء"    ("Al-Istitsna’", Pengecualian). Struktur bahasa semacam ini memerlukan adanya : "الـمستـثـنى"  ("Al-Mus-tatsna", yang dikecualikan) dan "الـمستـثـنى منـه"  ("Al-Mus-tatsna Min-hu", dikecualikan darinya) . "Mus-tatsna" adalah kata atau lafazh yang terletak setelah lafazh  "إلاّ"  ("Illa", kecuali, melainkan). Sementara “Mus-tatsna min-hu” adalah kata yang terletak sebelum kata "إلاّ" . Baik “Mus-tatsna” maupun “Mus-tatsna min-hu”  itu terkadang bersifat "Wujud" (Ada secara lafzhiyah)  dan terkadang  bersifat "Taqdir" (Dikira-kirakan adanya. Secara lafzhiyah tidak ada, namun secara maknawiyah Ada). Pembahasan dari segi tata bahasa ini telah dibicarakan secara luas dan mendalam didalam kitab-kitab “Nahwu".
 Kalau kita perhatikan teks hadis di atas, kita akan menyimpulkan bahwa hadis itu secara jelas menyebutkan “Mus-tatsna”-nya, yakni kata " إلى ثلاثـة مسـاجد” (pergi ke tiga masjid) yang terletak setelah kata "إِلاَّ"   (melainkan). Dengan demikian “Mus-tatsna”-nya bersifat “Wujud” (ada, nampak dan dapat kita baca). Hanya saja “Mus-tatsna Min-hu”-nya, yang terletak sebelum kata "إِلاّ"  , tidak disebutkan. Dengan demikian “Mus-tatsna min-hu”-nya  bersifat “Taqdir” (diperkirakan wujudnya, secara lafzhiyah tidak tertulis, namun secara maknawiyah diperkirakan adanya).

Seandainya jika “Mus-tatsna Min-hu”-nya berupa kata : "إِلَى الْـقَـبْرِ”  (ke kuburan), maka hadis di atas akan berbunyi :

لَا تُـشَدُّ الرِّحَالُ إِلَى الْـقـبْرِ إِلاّ إِلَى ثَلَاثَـةِ مَسَاجِدَ  . . .

Janganlah bepergian ke kuburan melainkan pergi menuju ketiga masjid, …"

Dengan demikian, maka tidak ada kesesuaian hubungan pembicaraan antara “kuburan” dan “masjid”. Padahal yang namanya “Mus-tatsna” adalah merupakan bagian dari “Mus-tatsna Min-hu” . Hati para ulama terasa tidak tenang dan bahkan tidak terima jika pembicaraan ini dikaitkan dengan sabda Rasulullah saw. Para ulama tidak akan mengatakan, bahwa “Mus-tatsna Min-hu”-nya adalah berupa kata “menuju ke kuburan” disebabkan kata itu tidak layak berkedudukan sebagai “Mus-tatsna min-hu”. Bukankah antara “Mus-tatsna” dan “Mus-tatsna min-hu” itu harus sejenis?! Sementara kata “masjid” dan kata “kuburan” adalah tidak sejenis.

Atau seandainya jika “Mus-tatsna Min-hu”-nya berupa kata “tempat” (dalam pengertian yang sangat luas, bisa diartikan tempat perdagangan; tempat mencari ilmu seperti sekolah, pondok dan sejenisnya; tempat untuk melakukan kebaikan apa saja), maka pengertian hadis di atas  adalah : “Janganlah bepergian jauh menuju ke tempat (pasar, sekolah, pondok, majlis pengajian dan tempat kebaikan lainnya) … melainka pergi menuju tiga masjid, yakni …”. Ini pun juga merupakan pemahaman yang salah dan menyimpang.

Ringkas kata, hadis di atas menyebutkan “Mus-tatsna”-nya (kata : ke tiga masjid), akan tetapi tidak menyebutkan “Mus-tatsna min-hu”-nya, atau ia bersifat Taqdir (dikira-kirakan keberadaannya) yang menurut para ahli Nahwu (Tatabahasa Arab) ia tidak lepas dari salah satu di antara tiga segi / pengertian, yaitu bahwa “Mus-tatsna min-hu”-nya diperkirakan berupa kata :

Pertama : kata “Kuburan”, sehingga hadis tersebut akan memiliki pengertian : “Janganlah bepergian jauh ke kuburan, melainkan pergi menuju tiga masjid  yakni Masjidil Haram, Masjidku ini (Masjid Nabawy) dan Masjidil Aqsha”.  Perkiraan kata kuburan ini didasarkan atas pendapat segelintir orang yang memperalat hadis tersebut sebagai dalil untuk menolak, mengingkari dan melarang bepergian jauh dalam rangka berziarah kubur. Ini merupakan perkiraan orang-orang yang bodoh dan sekaligus menunjukkan ketidaktahuan mereka terhadap gaya bahasa arab. Bahkan orang yang tidak mengerti ilmu Nahwu dan gaya bahasa arab secara mendalam pun sebenarnya akan menolak pemahaman seperti itu. Pemahaman seperti itu tidak layak dinisbatkan dan dialamatkan sebagai sabda Rasulullah saw, bahkan mustahil beliau berbicara dengan Uslub atau gaya bahasa seperti itu.

Kedua :  Kata “Tempat” pada umumnya. Ini pun kurang benar dan tidak masuk akal, sehingga hadis di atas akan memiliki pengertian : “Janganlah bepergian jauh ke tempat perdagangan (pasar, mall, supermarket, dll); ke tempat mencari ilmu (sekolah, pondok, majlis taklim, seminar dll); ke tempat tertentu untuk melakukan kebaikan (seperti mengikuti rapat, ke kantor, kerja bakti, dll), kecuali pergi ke tiga masjid, yakni Masjidil Haram, Masjidku ini (Masjid Nabawy) dan Masjidil Aqsha”. Dan kenyataannya, tidak ada seorang pun yang berpendapat seperti itu.

Ketiga : berupa kata “Masjid”, sehingga pemahaman hadis di atas akan berbunyi : “Janganlah bepergian jauh menuju ke suatu Masjid melainkan menuju tiga masjid, yakni Masjidil Haram, Masjidku ini (Masjid Nabawy) dan Masjidil Aqsha”. Dengan pemahaman seperti ini maka kita akan menemukan kesesuaian dan keserasian makna dari suatu susunan kalimat, serta sesuai dengan gaya bahasa arab yang fashih.

Alhamdulillah. Kami menemukan beberapa Hadis Nabi lain yang dapat dijadikan sebagai “petunjuk” untuk mencari kata yang tepat bagi “Mus-tatsna min-hu” yang tidak disebutkan atau dibuang didalam hadis di muka. Di antaranya adalah :

1.   Hadis yang diketengahkan oleh Imam Ahmad bin Hambal, dari jalan Syahr bin Hausyab, bahwa dia berkata : “Aku mendengar Abu Sa’id, lalu aku tuturkan kepadanya mengenai shalat di atas bukit, kemudian dia mengemukakan sabda Rasulullah saw : ‘Tidak selayaknya seseorang bepergian jauh bertujuan sekedar mendatangi suatu masjid untuk melakukan shalat didalamnya, selain pergi ke Masjidil Haram, Masjidil Aqsha, dan Masjidku ini”.
Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-Asqalany mengatakan, bahwa hadis tersebut sudah tersebar luas di kalangan kaum muslimin dan dinilai Hasan (bagus), meskipun ada sedikit kelemahan. (Fathul Bary juz 3, hal. 65).

2. Hadis yang bersumber dari Aisyah ra, bahwa Rasulullah saw bersabda : “Aku adalah Khatamul anbiya’ (Penutup para Nabi), dan Masjidku ini adalah penutup masjid para Nabi. Masjid yang paling berhak diziarai dan dikunjungi dalam bepergian jauh adalah Masjidil Haram dan Masjidku ini (Masjid Nabawy di Madinah). Shalat di Masjidku ini lebih utama daripada seribu kali shalat di masjid-masjid selainnya, kecuali shalat di Masjidil Haram”.
Sabda Rasulullah saw di atas menjelaskan, bahwa semua masjid, kecuali tiga masjid (Masjidil Haram, Masjid Nabawi dan Masjidil Aqsha), yang tersebar di seluruh dunia ini memiliki nilai keutamaan yang relatif sama dan keutamaannya itu tidak saling melebihi antara satu dengan lainnya. Oleh karena itu, tidak ada gunanya bersusah payah melakukan berpegian jauh mendatangi salah satu masjid tersebut, kecuali mendatangi tiga masjid di atas. Karena ketiga Masjid tersebut memiliki nilai kautamaan lebih.

Sementara mengenai kuburan atau makam, adalah tidak masuk dalam pembicaraan hadis dari Aisyah ra di atas. Dengan demikian, menyisipkan kata “kuburan” kedalam pemahaman hadisnya Aisyah di atas adalah sama artinya dengan melakukan “kebohongan” terhadap diri Rasulullah saw.

Mengenai persoalan “Berziarah kubur”, khususnya menziarahi kuburan Rasulullah saw di Madinah, merupakan salah satu perbuatan yang diperintahkan agama. Bahkan sebagian besar para ulama telah membahasnya didalam kitab-kitab “Manasik Haji” , bahwa menziarahi makam Rasulullah saw adalah sunnah hukumnya. Pendapat ini didukung oleh hadis-hadis yang cukup banyak, di antaranya:

1). Hadis yang bersumber dari riwayat Ibnu Umar, bahwa Rasulullah saw bersabda : “Barangsiapa yang menziarahi makamku, maka aku akan berkewajiban memberinya syafaat”. (HR Al-Bazzar yang dikutip  oleh Ibnu Taimiyah dan dinilainya dha’if. Namun dia tidak menghukuminya sebagai hadis maudhu’ (hadis palsu atau karangan seeorang) dan bohong. (Al-Fatawa, juz 27, hal. 30).

2). Hadis dari Ibnu Umar, bahwa Rasulullah saw bersabda : “Barangsiapa yang datang mengunjungiku, dan dia tidak mengetahui maksud tujuannya selain niat menziarahiku, maka aku wajid memberikan syafaat kepadanya pada hari kiamat nanti”. (HR At-Thabrany yang disebutkan didalam kitabnya, Al-Ausath al-Kabir).
Didalam hadis di atas ada salah seorang perawi yang bernama  Maslamah bin Salim yang dinilai dha’if (“Majma’ az-Zawaid” juz 4, hal. 2). Sementara Al-Hafizh Al-‘Iraqy mengatakan, bahwa Ibnu as-Subky menilai hadis tersebut sebagai hadis shahih. (“Al-Mughny” juz 1, hal. 265).

3). Hadis dari Ibnu Umar lagi, bahwa Rasulullah saw bersabda : “Barangsiapa yang selesai menunaikan ibadah haji lalu pergi menziarahi makamku sepeninggalku nanti, maka ia bagaikan mengunjungiku sewaktu hidupku”. (HR At-Thabrany didalam kitab “Al-Kabir” dan kitab “Al-Ausath”. Didalamnya terdapat seorang Rawy bernama Hafazh bin Abu Dawud al-Qary yang dinilai Tsiqah oleh Imam Ahmad bin Hambal, namun dipandang dha’if oleh sebagian imam hadis yang lain.)

4). Hadis bersumber dari Ibnu Umar lagi, bahwa Rasulullah saw bersabda : “Barangsiapa yang menziarahi makamku setelah wafatku, maka dia bagaikan mengunjungiku sewaktu hidupku” (HR At-Thabrany didalam kitab “Ash-Shaghir” dan kitab “Al-Ausath”.).

Kesimpulannya. Hadis-hadis Nabi yang menjelaskan diperintahkannya berziarah kubur ke makam beliau saw di atas memiliki jalur sanad yang beragam. Sebagian hadis memperkuat sebagian yang lain, sebagaimana yang dikutip oleh Al-Manawy dari al-Hafizh Adz-Dzahaby didalam buku “Faidh al-Qadir” juz 6 pada halaman 140.  Sebagian ulama ada yang menilainya sebagai hadis-hadis shahih dan dinukil keshahihannya oleh para imam hadis yang terkenal, para penghafal hadis yang dapat dipercaya, seperti Imam As-Subky, Ibnu Sakan, Al-‘Iraqy, Al-Qadhy ‘Iyadh (didalam bukunya “Asy-Syifa), Mulla Aly Qariy, dan Al-Khafajy. (Lihat buku Nasim ar-Riyadh, juz 3, halaman 511).

Selain di atas, keempat Imam madzhab empat (Maliki, Hanafi, Syafi’i dan Hambali) dan para ulama besar lainnya berpendapat  tentang disyariatkannya menziarahi makam Rasulullah saw, sebagaimana yang dijelaskan didalam beberapa kitab Fiqih mereka yang Mu’tamad (dapat dipercaya dan layak dijadikan sebagai ‘pegangan’ atau sumber bacaan). Pendapat mereka ini sebenarnya sudah cukup dijadikan alasan tentang diperintahkannya menziarahi makam Rasulullah saw, sekaligus sebagai dalil untuk menerima hadis-hadis tentang ziarah kubur di atas. Meskipun hadis tersebut bernilai dha’if, akan tetapi hadis itu akan menjadi kuat disebabkan telah diamalkan oleh orang banyak dan didukung dengan Fatwa para Fuqaha’, sesuai dengan yang dijelaskan oleh  Kaidah-kaidah para ahli ushul fiqh dan hadis.



==============================================

*) Sumber : Diambil dari salah satu bagian dari kitab :
Judul Asli
: مفـاهـيم يجب أن تـصحح
Penulis
: Prof. DR. Sayyid Muhammad Alawi Al-Maliki
Alih Bahasa
: Achmad Suchaimi
Judul Terjemahan
: Pemahaman Yang Perlu Diluruskan (PYPD)